Ads

Selasa, 24 September 2019

Mutiara Hitam Jilid 132

“Ha-ha-ha-ha!”

Lima orang itu tertawa terbahak-bahak. Mereka tidak mengenal Boan-hwesio akan tetapi dapat menduga bahwa tentulah seorang diantara hwesio-hwesio jubah merah. Bukan rahasia lagi bahwa hwesio-hwesio itu, biarpun pakaiannya jelas seperti hwesio dan kepalanya gundul namun dalam hal mengejar wanita cantik, tidak kalah oleh mereka! Bahkan mereka tahu betapa Bouw Lek Couwsu sendiri setiap hari berganti kekasih.

“Kenapa kalian tertawa? Tolong panggilkan Boan-toako, atau tunjukkan kemana aku dapat bertemu dengan dia.... “

Wanita itu kembali berkata, sikapnya makin genit, senyum manisnya murah dan kerling matanya menyambar-nyambar penuh tantangan.

“Ha-ha-ha-ha!” Si Kumis Panjang berkata sambil tertawa. “Jadi kau sudah sepekan lebih tidak didatangi sehingga menjadi rindu dan kini menyusul kesini?” Tangan kirinya diulur dan meraba dagu yang putih halus itu.

“Aiihh.... kenapa raba-raba.” Wanita itu menjerit genit.

Si Kumis tiba-tiba memandang tajam dan sikap gembiranya berubah dengan bentakan menghardik.

“Perempuan, jangan kaucoba mengelabuhi kami! Kau seorang perempuan dusun penghuni luar hutan? Bagaimana kau dapat memasuki tempat ini?”

Kiranya Si Kumis ini teringat betapa jalan menuju masuk ke situ penuh perangkap dan terjaga sehingga tak mungkin seorang wanita muda yang bodoh dan lemah dapat masuk tanpa diketahui, sedangkan Mutiara Hitam sendiri terjebak.

Wanita itu tersenyum genit.
“Aahhh. kenapa Cu-wi begini curiga? Apakah percuma saja aku mempunyai kekasih Boan-koko? Sudah beberapa hari aku diselundupkan masuk oleh Boan-koko, melalui jalan yang aman menyusup-nyusup semak dan alang-alang. Apa sukarnya?”

Lima orang ini lega dan percaya kini, lalu timbul pula kegembiraan mereka untuk mempermainkan wanita cantik genit ini.

“Kenapa kau menjadi kekasih seorang hwesio gundul? Apakah dia masih muda?”

“Ah, tidak muda lagi, lebih tua daripada kalian.”

“Hemm, apa dia tampan?”

“Tampan? Huh, mukanya bopeng dan terutama sekali hidungnya amat kubenci. Terlalu besar hidung itu, dan dia.... rakus.”

“Ha-ha.-ha-ha! Apanya yang rakus? Apakah hidungnya?”

“Idihh, mau tahu aja. Pendeknya dia tua dan buruk, kalian jauh lebih menarik. Apalagi.... hemm, aku paling suka pria berkumis panjang!” Ia memandang Si Kumis dengan mata dipicingkan penuh tantangan.

“Waduh! Kalau begitu, kenapa tidak menjadi kekasih kami saja?”

“Boan-koko biarpun buruk rupa tapi hatinya baik. Kalau tidak ada dia, bagaimana aku dan Ayah Ibu serta adik-adikku dapat makan? Aku menjadi kekasihnya bukan untuk mencari kesenangan melainkan mencari.... makan. Kalau mencari senang tentu aku memilih kalian, terutama yang kumisnya panjang.”

“Ha-ha-ha!”






Si Kumis Panjang memelintir kumisnya dengan bangga, matanya liar menjelajahi tubuh wanita itu lalu menengok ke kanan kiri,

“Manis, marilah ikut kami sebentar ke dalam gardu!” bisiknya sambil merangkul.

Wanita itu terkekeh genit dan balas memeluk pinggang Si Kumis, sambil berkata,
“Aku mau akan tetapi satu-satu. Yang lain menjaga di luar, karena aku takut ketahuan Boan-koko!”

“Baik. Kawan-kawan, kalian jaga di luar menanti giliran!”

Si Kumis terkekeh dan menyeret tubuh wanita itu memasuki gardu. Empat orang kawannya tersenyum senyum dan menanti di luar dengan sikap tak sabar. Jarang sekali, bahkan belum pernah mereka mendapatkan korban yang begini lunak. Mereka menanti diluar dan tertawa-tawa ketika mendengar suara Si Kumis menggereng dan mengeluh di dalam gardu. Tak lama kemudian muncul kepala Si Wanita sambil menggerakkan leher ke arah Si Buta Sebelah.

“Giliranmu. Dia tertidur!”

Si Buta Sebelah seperti ditarik tenaga tak tampak, meloncat memasuki gardu menyusul bayangan wanita itu. Kemudian ganti-berganti mereka memasuki gardu, akan tetapi tak tampak seorang pun diantara mereka keluar lagi.

Tak lama kemudian, muncullah seorang Hsi-hsia yang bertubuh tegap ramping, mukanya kotor berdebu, pakaiannya longgar dan di pinggangnya tergantung sebatang golok. Orang ini melenggang keluar dari dalam gardu penjagaan, langsung masuk ke bagian dalam dari markas itu. Ketika di baglan dalam dari batas penjagaan ia bertemu dengan beberapa orang Hsi-hsia, ia ditegur dalam bahasa Hsi-hsia.

“Hee! Siapa kamu dan dari mana? Mengapa baru kali ini kami melihatmu?”

Orang muda itu tersenyum dan menjawab sambil mengangkat dada.
“Aiih, kawan-kawan apakah belum mendengar? Couwsu sendiri yang dengan rahasia mengutusku dari utara langsung melakukan penyelidikan ke kota raja Sung dan kini aku datang untuk menyampaikan hasil kerjaku.”

Ia lalu memberi salam dengan tangannya. Sikapnya yang lincah dan tidak ragu-ragu serta wajahnya yang gembira agaknya tidak menimbulkan kecurigaan.

“Tunggulah, kawan-kawan. Setelah selesai menghadap Couwsu, akan kuceritakan pengalamanku dengan puteri-puteri Sung!”

Semua penjaga tersenyum dan pemuda itu melanjutkan perjalanannya ke sebelah dalam dan mulailah tampak bangunan-bangunan markas Bouw Lek Couwsu. Tidak lagi tampak orang-orang Hsi-hsia dan di bagian ini penjagaan dilakukan oleh hwesio-hwesio jubah merah murid anak buah Bouw Lek Couwsu.

Pemuda Hsi-hsia ini melanjutkan perjalanan dengan hati-hati, akan tetapi kali ini ia menyelinap diantara bangunan-bangunan, mencari-cari. Ia mulai bersikap hati-hati sekali karena ia dapat menduga bahwa lima orang Hsi-hsia yang dibunuhnya di dalam gardu penjagaan tadi tentu kini sudah ditemukan orang-orang Hsi-hsia lainnya. Ia tertawa sendiri kalau teringat akan perannya sebagai seorang wanita cantik tadi.

Untung lima orang Hsi-hsia itu semuanya goblok-goblok dan mata keranjang sehingga mudah saja ia pancing masuk gardu seorang demi seorang. Kalau tidak, ia harus bertempur melawan pengeroyokan mereka dan sungguhpun ia sanggup pula membunuh mereka dengan cara ini, namun bahayanya ketahuan lebih besar. Ia harus bekerja cepat. Ia maklum bahwa para penjaga kini adalah hwesio-hwesio jubah merah dan ia dapat menduga pula bahwa penjaga-penjaga ini tidaklah selemah penjaga-penjaga sebelah luar yang hanya terdiri dari orang-orang Hsi-hsia kasar. Hwesio-hwesio ini adalah murid Bouw Lek Couwsu!

“Heiii! Mau apa kau masuk ke sini?”

Teguran ini begitu tiba-tiba sehingga dia terkejut sekali. Akan tetapi teguran yang diucapkan dalam bahasa Hsi-hsia ini melegakan hatinya. Selama hwesio-hwesio disini menyangka ia seorang Hsi-hsia, hal ini baik sekali. Sambil bersikap menghormat ia lalu berkata.

“Saya hendak menghadap Couwsu untuk menyampaikan hasil penyelidikan saya di kota raja Sung sebagaimana yang diperintahkan langsung kepada saya.”

Hwesio itu mengerutkan keningnya, memandang tajam. Ia memang tahu bahwa gurunya banyak mengirim mata-mata ke kota raja musuh, akan tetapi mengapa mengirim seorang pemuda seperti ini. Pula, ia merasa tak pernah bertemu dengan orang ini. Kembali ia membentak.

“Hemm, kalau menghadap Couwsu, mengapa longak-longok di sini dan tidak langsung saja masuk melalui pintu gerbang? Dan kenapa tidak melapor kepada penjaga agar menyampaikan permohonanmu menghadap kepada Couwsu? Hayo kita pergi ke tempat jaga, dan pinceng (aku) sendiri yang akan melapor kepada Couwsu yang sekarang sedang sibuk.”

“Ah, Couwsu sedang sibuk apakah? Apakah ada tamu? Kalau sibuk, lebih baik saya tidak mengganggu, jangan-jangan saya akan mendapat marah besar!” pemuda itu tampak ketakutan.

Sikapnya itu agak mengurangi kecurigaan Si Hwesio yang mengenal watak gurunya. Memang kalau gurunya sedang sibuk, orang yang mengganggunya seringkali menerima hukuman berat.

“Karena itu harus pinceng yang menghadap. Suhu sedang menjamu Bu-tek Ngo-sian yang sekarang sudah hadir lengkap. Malah wanita mengerikan itu, Sian-toanio, datang bersama puteranya. Dan tempat tahanan makin penuh saja!”

“Eh, apakah yang terjadi? Mengapa ada orang tahanan? Dari mana?” Pemuda itu bertanya.

“Tahanan-tahanan penting. Pangeran Mahkota Khitan, puteri Pangllma besar Khitan, Kiang-kongcu dari kota raja, Ketua Khong-sim Kai-pang, Mutiara Hitam....”

“Mutiara Hitam....?” Pemuda itu bertanya terbelalak lebar memandang.

“Ya, gadis cantik jelita dan galak.... auuughhh....!”

Hwesio itu roboh oleh pukulan jari-jari terbuka yang tepat menghantam tenggorokannya, membuat kerongkongannya hancur dan tewas seketika! Sebelum tubuhnya terbanting, pemuda itu menyambarnya dan menyeretnya ke belakang semak-semak.

Tidak lama kemudian, dari belakang semak itu muncullah Si Pemuda yang kini sudah berubah menjadi.... hwesio muda tampan berjubah merah berwajah alim! Goloknya yang tadi tak tampak lagi, tersembunyi di balik jubah merah yang kebesaran itu.

Hwesio tadi memang gemuk. Setelah berpakaian hwesio, pemuda ini dapat memasuki markas tanpa mendapat kesukaran. Ia selalu menjaga agar wajahnya tidak tampak dari depan oleh hwesio lain, hanya jubahnya yang merah dan kepalanya yang gundul licin saja yang tampak dan dalam hal ini, biarpun ada banyak hwesio, jubah merah dan kepala gundulnya tentu saja tiada banyak bedanya.

**** 132 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar