Ads

Rabu, 25 September 2019

Mutiara Hitam Jilid 136

Karena disinggung kepemimpinannya, mau tidak mau Bouw Lek Couwsu mengangkat muka memandang Hauw Lam dengan keningnya yang tebal berkerut.

“Hemm, kalian sudah memilih wakil pembicara, yaitu Kiang-kongcu, mengapa kau ini anjing kecil besar mulut?”

“Siapa memilih? Huh, Bouw Lek Couwsu, tampak sekarang kebodohanmu dan kecuranganmu. Memang yang lain di bawah ini sudah memilih Kiang-kongcu, akan tetapi, hayo telinga siapa yang tadi mendengar aku memilih! Aku belum memilih dan aku berhak untuk bicara!”

Bouw Lek Couwsu tertegun. Betapapun gilanya, benar juga ucapan bocah itu dan kalau ia melanggar, maka benar-benar tidak tepat dengan kedudukannya sebagai pemimpin besar bangsa Hsi-Hsia. Biarlah ia memberi kesempatan bicara bocah ini, apa bedanya?

“Hemm, kau bicaralah.”

Kiang Liong yang memandang muka Hauw Lam, melihat betapa sinar mata pemuda itu bersinar-sinar dan wajahnya berseil-seri. Ah, bocah ini cerdik, pikirnya, agaknya hendak mengelabuhi Bouw Lek Couwsu atau setidaknya mengulur waktu.

“Bouw Lek Couwsu, aku tidak akan mendengar usul atau ancamanmu seperti yang kau kemukakan kepada teman-temanku yang lain. Sebaliknya, akulah yang mengajukan usul sebagai tantangan tanpa mengancam sepertimu. Aku akan mengajukan teka-teki hitungan dan bukan hanya engkau, bahkan Bu-tek Ngo-sian boleh membantumu! Kalau diantara kalian ada yang sanggup menjawab tepat, aku akan membenturkan kepalaku pada dinding ini sampai kepalaku pecah. Dan kalau diantara kalian tidak ada yang dapat menjawab tepat, terserah mau diapakan tubuhku ini, masa bodoh! Bagaimana, sanggupkah kalian?”

Mendengar ucapan ini, bukan pihak Bouw Lek Couwsu saja yang terheran, bahkan Kiang Liong dan teman-temannya juga menjadi heran. Gilakah pemuda itu? Agaknya karena digantung seperti itu sejak tadi, terlalu banyak darah mengalir ke kepalanya membuat kepalanya pening dan bicaranya melantur! Pertaruhan macam apa itu? Kalau terjawab, ia akan membunuh diri dan kalau tidak terjawab ia boleh diperlakukan apa juga, berarti tentu saja juga dibunuh. Mengapa tidak minta bebas kalau tidak terjawab?

Bouw Lek Couwsu yang terheran-heran tadinya tidak mau melayaninya lagi dan menganggap pemuda ini gila, akan tetapi Siauw-bin Lo-mo dan Bu-tek Siu-lam tertarik. Pemuda itu aneh sekali dan gila, teka-teki macam apa yang akan dikemukakannya? Gila atau tidak, mereka menjadi tertarik untuk mendengarnya.

“Ha-ha-ha, Couwsu, biarkan dia mengajukan teka-tekinya”, kata Bu-tek Siu-lam.

“He-he, benar, Couwsu. Dia toh takkan dapat melarikan diri terbang ke langit,” kata Siauw-bin Lo-mo.

Bouw Lek Couwsu mengerutkan kening. Ia tidak mau dipermainkan bocah ini, dan ia curiga, takut kalau-kalau ditipu. Maka ia bertanya,

“Bocah gila, kau ulangi syaratmu tadi agar kami dengar baik-baik.”

“Ha-ha, Bouw Lek Couwsu, kau takut ditipu? Boleh saja asal jangan takut kalah karena hanya pengecut yang takut kalah. Dengar kalian semua. Kalau teka-tekiku nanti terjawab, aku akan membenturkan kepalaku ke dinding sampai pecah, kalau tidak, terserah kepadamu terhadap diriku.”

“Hemmm, baik. Akan tetapi untuk membenturkan kepala ke dinding tak mungkin dilakukan dalam keadaan itu. Turunlah!”

Tangan Bouw Lek Couwsu bergerak, serangkum tenaga dahsyat menyambar ke atas rantai yang menggantung tubuh Hauw Lam dan.... rantai pada kakinya itu terlepas dari langt-langit dan tubuh pemuda itu jatuh ke bawah dengan kepala lebih dulu!

Akan tetapi, dengan gerakan pinggangnya, tubuh Hauw Lam berjungkir balik dan ia jatuh ke lantai dengan kaki dulu sehingga berdiri tegak, akan tetapi kaki tangannya masih terbelenggu. Semua orang kagum, karena tanpa ilmu gin-kang yang tinggi, tak mungkin dapat berjungkir balik dalam keadaan kaki tangan terbelenggu seperti itu.

“Berandal, apa kau gila? Kalah menang kau tetap mati!” seru Kwi Lan yang tidak dapat menahan ketegangan hatinya.

Hauw Lam tertawa.
“Ha-ha-ha, Mutiara, apa artinya mati? Yang penting dalam saat terakhir ini, aku menikmati kemenangan kalau teka-tekiku tak tertebak. Hendak kulihat, apakah Bouw Lek Couwsu yang sudah dikalahkan masih ada muka untuk mengangkat diri menjadi calon raja, dan lima Bu-tek Ngo-sian ini masih ada muka untuk menjagoi dunia kang-ouw!”






Bouw Lek Couwsu mendongkol dan diam-diam di dalam hatinya ia mengumpat. Kau tunggu saja bocah, kematianmu akan menjadi kematian yang paling sengsara!

“Tak perlu banyak cerewet, lekas majukan teka-teki gilamu!” bentaknya.

Diantara mereka semua, hanya Kiang Liong yang benar-benar menjadi tegang hatinya. Tegang sekali karena kini ia mengenal siasat yang dilakukan Hauw Lam. Bocah jenaka yang ia tahu kegilaan terhadap Mutiara Hitam dan oleh Mutiara Hitam disebut Berandal ini jelas menggunakan akal mengulur waktu.

Tadi keadaan Mutiara Hitam terancam bahaya mengerikan di tangan Bu-tek Siu-lam tanpa mereka dapat menolong. Kini karena tingkah Hauw Lam, hukuman itu otomatis menjadi mundur dan tentu dalam siasat mengulur waktu ini, Si Berandal sudah mendapatkan akal lain lagi yang belum ia ketahui apa dan bagaimana.

Dalam keadaan terbelenggu, Hauw Lam berdiri tegak, kaku dan mengangkat mukanya, membusungkan dadanya.

“Guruku adalah seorang manusia dewa yang sakti tiada bandingan. Tidak perlu yang budiman Bu Kek Siansu datang kesini, baru Guruku saja, kalian akan dibikin kocar-kacir.”

“Hemm, siapa gurumu, bocah sombong?”

Thai-lek Kauw-ong, Si Tukang Cari Lawan, tertarik sekali dan hatinya agak berdebar mendengar nama Bu Kek Siansu disebut-sebut.

“Guruku bukan manusia biasa, orang-orang seperti kalian belum cukup berharga untuk mendengar namanya.”

“Bocah gila! Lekas ceritakan teka-tekimu, tentang Gurumu setan atau iblis kami tidak perlu tahu!”

Kiang Liong tidak heran mendengar pemuda ini menyebut-nyebut nama Bu Kek Siansu, ini adalah siasat untuk membikin gentar lawan, pikirnya. Tapi apa gunanya siasat seperti itu? Kemudian ia teringat akan sesuatu dan bulu tengkuk Kiang Liong meremang.

Tadi....! Benar sekali, tadi sebelum muncul musuh, ada suara yang menertawakan Suling Emas tolol. Suara siapakah itu? Ia mendengar dari gurunya bahwa kakek sakti yang bernama Bu-tek Lo-jin adalah seorang kakek yang edan-edanan, seperti watak Hauw Lam ini. Mungkinkah suara tadi suara Bu-tek Lo-jin? Timbul harapan di hatinya dan ia mulai mengerti mengapa Hauw Lam menggunakan siasat mengulur waktu. Agaknya dia menanti pertolongan gurunya!

“Teka-tekiku adalah teka-teki hitungan yang berbentuk syair. Tentu saja buatan Guruku karena siapa lagi manusia di dunia dapat membuat teka-teki seperti ini? Di dalam syair ini terdapat angka-angka terpendam dan kalian boleh menebak berenam! Beginilah syairnya!"

Hauw Lam lalu bernyanyi dengan suaranya yang nyaring dan cukup merdu, sambil menggoyang-goyang tubuhnya yang terikat seperti gerak tari mengikuti irama lagu nyanyiannya

"Terang bulan memancing kura-kura,
air jernih laksana cermin.
lima ekor yang satu emas,
berapakah jumlah terbilang?"

"Nah, hayo kalian boleh tebak. Angka berapa yang tersembunyi di dalam syair? Pergunakan otak, jangan ngawur, ini bukan sembarangan hitungan melainkan hitungan para dewa. Kuberi waktu satu tahun!"

Hampir Kiang Liong tertawa kalau tidak cepat menekan perasaannya. Ia memandang wajah tampan itu dengan kagum. Benar pemuda cerdik, akan tetapi ugal-ugalan, pantas.... disebut berandal. Masa memberi waktu setahun? Betapapun juga, siasat itu berhasil karena mereka semua, kecuali Kam Sian Eng, mulai mengerutkan kening, berpikir dengan aksi masing-masing.

Kam Sian Eng hanya berdiri tak bergerak, kadang-kadang memandang ke arah Kwi Lan, kadang-kadang termenung, tarikan wajahnya tersembunyi di belakang kerudung hitam. Suma Kiat pasang aksi pula, berusaha ikut menebak teka-teki.

Suasana dalam kamar tahanan hening. Bouw Lek Couwsu meraba-raba hidungnya, satu kebiasaan tanpa disadari kalau ia sedang berpikir, Thai-lek Kauw-ong sudah duduk bersila, bersamadhi mengumpulkan kekuatannya, sambil kadang-kadang terkekeh-kekeh seperti orang gila. Pak-sin-ong makin angkuh mukanya, telunjuk kanan menempel antara kening.

Lucunya, melihat para kakek ini memeras otak, Yu Siang Ki, Kwi Lan, Puteri Mimi, dan Pangeran Talibu ikut pula berpikir memecahkan teka-teki! Sungguh permainan yang lucu dan aneh, mudah menular! Ketika Kiang Liong bertemu pandang dengan Hauw. Lam, mereka saling berkedip menahan senyum.

Sampai lama keheningan menyelubungi kamar itu. Para penjaga di luar kamar tahanan saling bertanya-tanya dan terheran-heran. Namun karena para datuk ini berkumpul di situ, tak seorang pun diantara mereka berani lancang mengintai. Waktu ini dipergunakan oleh Kiang Liong dan Yu Siang Ki untuk bersamadhi memulihkan luka-luka mereka.

Akhirnya terdengar suara Bu-tek Siu-lam yang bernyanyi menirukan syair tadi. Suaranya merdu sekali, akan tetapi kecil seperti suara perempuan. Ia bernyanyi sambil berdiri dan tubuhnya bergoyang-goyang pula, akan tetapi ia betul-betul menari seperti seorang perempuan genit. Selesai bernyanyi, ia berkata,

"Heh-heh¬heh, sudah terdapat olehku jawabannya! He-he-he, amat mudahnya!"

"Jangan tertawa dulu, kakek banci!" kata Hauw Lam berani. "Dan jangan katakan dulu tebakanmu, menanti yang lain. Aku memberi bantuan. Jawaban angkanya tidak lebih dari dua puluh! Nah, lebih mudah bukan?"

Wajah Bu-tek Siu-lam tampak girang, agaknya jawabannya memang tidak lebih dari angka dua puluh, maka ia merasa yakin bahwa jawabannya tentu benar! Juga kini tokoh-tokoh yang lain sudah siap dengan jawabannya.

"Sudah siap? Nah, boleh katakan seorang demi seorang tapi jangan ngawur, berikut alasan jawaban. Nanti baru kukatakan siapa benar siapa salah,"

Kata pula Hauw Lam yang hatinya sudah berdebar-debar karena gurunya yang tadi suaranya ia dengar belum juga muncul.

Ia harus mencari akal lain dan otaknya yang cerdik sudah memikir-mikir mencari siasat yang lebih berhasil. Ketika melihat betapa tadi wanita berkerudung yang kini ia tahu adalah Sian-toanio dan guru Kwi Lan berdiri tak acuh akan tetapi seringkali mencuri pandang ke arah muridnya, ia sudah merencanakan akalnya sebagai lanjutan daripada akal teka-tekinya.

Keadaan kembali tegang. Bahkan para tawanan juga ikut memperhatikan apa dan berapa gerangan jawaban pihak musuh, apakah sama dengan tebakan mereka? Bu-tek Siu-lam yang sudah tidak sabar mulai dengan jawabannya.

"Hi-hi-hik, orang muda yang lucu. Kalau kau tidak menjadi musuh Couwsu, aku akan senang sekali tidur satu kamar bersamamu mendengar syair-syair dan teka-tekimu yang lain! Syairmu tadi mudah saja. Jawabannya adalah angka TUJUH! Betul tidak?"

Hauw Lan tersenyum.
"Betul atau tidaknya nanti kuberi tahu. Yang penting apa yang kau jadikan dasar tebakanmu, supaya diberi tahu. "

"Hi-hi-hik, heh-heh, bocah nakal. Kau ingin membikin bingung kami dengan syair itu? Hi-hik, Bu-tek Siu-lam tak mungkin bingung oleh itu. Yang pokok dan penting dalam syairmu hanyalah bulan dan kura-kura. Waktu itu terang bulan, tentu bulan purnama dan air jernih, berarti bulan terbayang di air, jadi ada dua buah bulan, bukankah sudah jelas bilangannya? Bulan, bayangannya, dan kura-kura jumlahnya tujuh. Nah, angka yang tersembunyi tujuh!"

Hauw Lam hanya tersenyum lebar, lalu menoleh kepada yang lain, sikapnya menantang.

"Bagus sekali uraian Bu-tek Siu-lam. Kini siapa lagi yang menebak?"

"Bocah gila, betul atau tidak tebakan kami nasibmu toh sama saja. Menurut perhitunganku, bilangan yang tersembumyi adalah DUA PULUH. Sudah jelas, bulan sedang purnama, airnya jernih, jadi jumlah bulan ada dua. Permukaan bulan bundar berarti angka nol, jadi dua dan nol sama dengan dua puluh!" kata Bouw Lek Couwsu.

Hauw Lam berseri-seri wajahnya, senyumnya tetap gembira.
"Siapa lagi?"






Tidak ada komentar:

Posting Komentar