Ads

Rabu, 25 September 2019

Mutiara Hitam Jilid 137

Thai-lek Kauw-ong mengeluarkan suaranya yang parau besar,
"Bulan purnama berarti tanggal lima belas. Nah, angka bilangan yang tersembunyi tentu LIMA BELAS."

Hauw Lam mengangguk-angguk.
"Bagus juga khayalmu, Locianpwe. Nah, siapa lagi?"

"Tidak ada yang penting dalam syair itu kecuali bulan dan emas. Sinar bulan pun seperti emas, bulan dan bayangannya laksana bola emas. Yang penting hanya tiga, bulan, bayangannya, dan emas, maka tentu angka TIGA yang dimaksudkan." kata Pak-sin-ong tenang.

Kembali Hauw Lam hanya tersenyum sehingga tidak ada yang dapat menduga, jawaban Siapa yang paling tepat.

"Siapa lagi? Kau bagaimana, Siauw-bin Lo-mo?"

"Ha-ha-ha, kau bocah edan! Membikin orang-orang tua memeras otak dan teman-temanku sampai harus menggunakan arti yang dalam-dalam. Akan tetapi bocah seperti engkau ini mana mengerti arti yang dalam? Tentu kau maksudkan di dalam syair itu jumlah semua benda hidup atau mati dan yang disebut adalah lima ekor- kura-kura, sebuah pancing, seorang manusia yang memancing, dan sebuah bulan. Jumlahnya hanya delapan. Nah, angkanya tentu DELAPAN!"

"Boleh kau terka sesukamu. Nah, siapa lagi? Engkau bagaimana, Toanio?"

Hauw Lam menghadapi Kam Sian Eng. Sepasang sinar mata menyorot dari balik kerudung hitam dan Hauw Lam bergidik.

"Jangan ganggu aku, tolol!" hardik Kam Sian Eng.

Hauw Lam menahan napas. Sekali wanita itu bergerak, dia bisa celaka, maka ia lalu cepat-cepat menghadapi para penebaknya dan berkata,

"Sudah jelas semua tadi, Bu-tek Siu-lam menebak angka tujuh, Bouw Lek Couwsu angka dua puluh, Thai-lek Kauw-ong angka lima belas, Pak-sin-ong angka tiga, dan Siauw-bin Lo-mo angka delapan. Bukan begitu?"

Lima orang kakek mengangguk-angguk tertarik untuk mendengar siapa di antara mereka yang tepat tebakannya.

"Ketahuilah, biarpun kalian mengaku kakek-kakek yang pandai, akan tetapi ternyata tebakan kalian ngawur tidak karuan, tidak ada seorang pun yang benar! Mau tahu jawabannya yang betul? Nah, jawabannya, adalah angka EMPAT!"

Hening sejenak, Bouw Lek Couwsu cemberut, semua mengerutkan kening, menghitung-hitung kembali.

"Aihhh, kenapa empat?" Akhirnya Bu-tek Siu-lam bertanya.

"Kalian yang bodoh, kecual Sian-toanio yang tentu saja sudah mengerti maka tidak mau menjawab. Yang dipersoalkan dalam syair hanya baris ke tiga yang berbunyi : LIMA EKOR YANG SATU EMAS. Nah, kalau ada lima ekor kura-kura tapi yang seekor adalah emas, maka yang empat ekorlah yang benar-benar kura-kura tolol, kura-kura yang buruk dan tua seperti kakek-kakek tua buruk dan jahat. Yang satu adalah emas, cantik dan cemerlang, mana bisa direndahkan dengan empat ekor kura-kura? Maka kalau dibilang lima ekor adalah keliru, yang benar hanya ada empat ekor kura-kura tua sedangkan yang satu hanya terbawa-bawa akan tetapi sama sekali tidak patut disebut kura-kura melainkan emas. Maka aku mempunyai sebutan untuk empat ekor kura-kura itu, paling tepat adalah Bu-tek Su-kwi (Empat Setan Tanpa Tanding)! Ha-ha-ha-ha!"

Hebat bukan main siasat Hauw Lam ini, pikir Kiang Liong sambil memandang dengan hati berdebar. Jelas maksudnya, Hauw Lam dalam jawabannya yang teratur telah menyindir Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa Tanding).

Ia mengumpamakan empat kakek itu kura-kura dan Sian-toanio diumpamakan emas. Sisanya empat kakek itu ia sebut jebagai Bu-tek Su-kwi! Inilah siasat memecah belah, memperingatkan Sian-toanio bahwa ia sama sekali tidak pantas merendahkan diri bersekutu dengan empat orang kakek. Cerdik Hauw Lam, pikirnya. Ingin meminjam tangan Sian-toanio untuk menghadapi empat orang kakek.

Bu-tek Siu-lam, Pak-sin-ong, Siauw-bin Lo-mo, dan Thai-lek Kauw-ong bukanlah orang bodoh. Mereka kini maklum bahwa mereka dipermainkan dan diejek, akan tetapi karena yang berkuasa di situ Bouw Lek Couwsu, mereka tidak berani turun tangan. Bouw Lek Couwsu juga mengerti bahwa tamu-tamu dan sekutunya dihina, maka ia berkata.

"Bocah gila, kau tunggu saja giliranmu. Kematianmu akan menjadi kematian yang paling sengsara dan mengerikan. Sebelum mati terakhir, kau saksikan dulu teman-temanmu! Bu-tek Siu-lam, harap lanjutkan rencana kita tadi."






Bu-tek Siu-lam melangkah maju menghampiri Kwi Lan yang memandangnya dengan sinar mata penuh kemarahan dan kebencian. Semua tawanan menjadi tegang, akan tetapi Hauw Lam tertawa bergelak dan berkata,

"Salahkah aku menyebut mereka ini kura-kura tua bangka buruk dan jahat? Lihat saja Bu-tek Siu-lam ini. Katanya mengaku jagoan utama dari dunia barat! Mengaku seorang diantara Bu-tek Ngo-sian. Sebetulnya lebih tepat disebut setan tak bermalu. Masa seorang tua bangka yang mengaku jago, kini menghadapi seorang gadis remaja seperti Mutiara Hitam saja takut-takut dan begini pengecut? Coba Mutiara Hitam tidak terbelenggu tentu dia sudah terkencing-kencing di celana saking takutnya. Ha-ha-ha!"

Hebat memang penghinaan dan ejekan Hauw Lam ini. Kwi Lan girang mendengar ini dan berkata,

"Ah, mana dia berani. Berandal?, Dia pengecut besar, seekor kura-kura masih terlampau baik baginya. Ia mirip.... eh, kadal buduk!"

Merah sepasang mata Bu-tek Siu-lam. Senyumnya melebar dan tiba-tiba tangannya bergerak ke depan dua kali. Terdengar suara keras dan.... belenggu pada kaki tangan Kwi Lan sudah patah-patah. Gadis itu bebas!

"Hi-hik, anak manis. Sekarang kau sudah bebas. Mari kita coba-coba lihat sampai berapa jurus kau mampu melawan Bu-tek Siu-lam sebelum kutelanjangi dan kunikmati tubuhmu!"

Kwi Lan merasa lega. Biarpun ia maklum akan kelihaian Bu-tek Siu-lam, namun setelah kini ia bebas, ia akan melawan mati-matian dan tidak menyerah begitu saja seperti kalau dia dibelenggu tadi.

Sambil mengeluarkan jerit melengking keras ia menerjang maju, menggunakan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaganya menyerang Bu-tek Siu-lam. Sayang bahwa ia tidak berpedang, dan lebih sayang lagi bahwa tenaganya sudah banyak berkurang karena lelah dengan penderitaan yang bertubi-tubi, dengan penahanan dan dalam belenggu yang membikin kaku urat tubuh.

Bu-tek Siu-lam tertawa terkekeh ketika mengelak dan balas menyerang. Pertandingan terjadi dalam ruang tahanan. Pertandingan yang berat sebelah. Keahlian Kwi Lan adalah bermain pedang. Kini ia bertangan kosong dan biarpun ia merupakan seorang gadis remaja yang jarang bandingnya dalam bersilat tangan kosong, namun menghadapi seorang tokoh seperti Bu-tek Siu-lam, ia masih kalah setingkat.

Bahkan kini karena tenaganya sudah banyak berkurang, ia kalah tenaga sehingga tiap kali lengan mereka beradu, Kwi Lan terhuyung mundur. Bu-tek Siu-lam makin mendesak sambil terkekeh-kekeh. Kini gerakan tokoh banci ini makin kurang ajar, kadang-kadang menowel pipi, meraba dada dan mencubit paha.

Kwi Lan malu dan marah sekali, berlaku nekat dan mati-matian. Lewat seratus jurus, tiba-tiba Bu-tek Siu-lam menubruk, tangan kiri mencengkeram dada dan tangan kanan mencengkeram paha. Kwi Lan kaget dan jengah. Serangan ini kurang ajar sekali, melanggar batas kesopanan. Mana ia mau membiarkan dirinya dipegang? Ia menjatuhkan diri dan bergulingan, akan tetapi tiba-tiba gadis ini menjerit ketika terdengar bunyi kain robek.

Kiranya serangan Bu-tek Siu-lam tadi hanya siasat belaka dan ia kini mencengkeram baju Kwi Lan terus direnggut robek. Hebat tenaga Bu-tek Siu-lam sehingga pakaian gadis itu, baik yang luar maupun yang dalam sebagian besar berada dalam tangannya dan hanya sedikit saja yang masih menempel ditubuh Kwi Lan.

Gadis ini cepat menelungkup di lantai, tak berani bangkit lagi karena tubuhnya sudah setengah telanjang. Bahkan ketika menelungkup pun, sebagian pinggul dan pahanya yang putih bersih tampak nyata!

"Hi-hik, begini saja kepandaianmu?"

Bu-tek Siu-lam terkekeh-kekeh dan membawa robekan pakaian ke depan hidung sambil menyedot-nyedot dan berseru,

"Aihh, wangi....! Mari kita main-main, Nona manis!"

Hauw Lam berseru,
"Coba dengar sombongnya Si Tokoh Banci! Biarpun ada guru Mutiara Hitam hadir, dia berani memandang rendah ilmunya. Murid sama dengan anak, kalau murid dipermainkan berarti guru dihina! Kalau murid dihina berarti guru dibunuh! Di depan Sian-toanio Si Banci menjemukan ini berani bermain gila. Sungguh tak tahu diri!"

Ketika itu Bu-tek Siu-lam sudah melangkah maju hendak memaksa Kwi Lan membalikkan tubuh, hendak melakukan penghinaan seperti direncanakan Bouw Lek Couwsu untuk menundukkan Pangeran Talibu, Kiang Liong, dan Yu Siang Ki. Tak seorang pun tahu kecuali Hauw Lam dan Kiang Liong betapa wajah di balik kerudung hitam itu mengeluarkan napas yang membuat kerudung bergerak-gerak, betapa pandang mata dari balik kerudung seperti dua titik api membakar.

Ketika Hauw Lam mengeluarkan kata-kata yang bagaikan minyak menyiram api, terdengar lengking mengerikan dan tubuh Kam Sian Eng sudah berkelebat maju, tangannya yang kanan mencengkeram pundak Bu-tek Siu-lam sedangkan tangan kiri melemparkan jubahnya yang tepat menyelimuti tubuh Kwi Lan.

Bu-tek Siu-lam mengeluh dan tubuhnya terlempar membentur dinding. Cengkeraman tadi bukan sembarang cengkeraman, melainkan cengkeraman dengan jari-jari beracun yang sudah menembus baju dan kulit pundak Bu-tek Siu-lam!

Wajah Si Banci menjadi pucat ketika ia melompat bangun, jelas ia kesakitan bercampur marah dan keluarlah senjata guntingnya dan jarum di ujung benang. Ia memekik dan menerjang maju. Namun tangan kiri Kam Sian Eng bergerak dan sinar hitam menyambar ke depan. Itulah jarum-jarum hitam yang sebetulnya adalah warna merah yang amat tua sehingga kalau disambitkan sinarnya menjadi hitam. Tiga belas batang jarum menyambar ke tiga belas jalan darah di tubuh Bu-tek Siu-lam!

Sinar ini mendatangkan suara berciutan mengerikan. Namanya Ang-sin-ciam (Jarum Sakti Merah) dan jarang ada lawan dapat menyelamatkan diri terhadap serangan jarum-jarum ini. Dilepas dari jarak dekat, cepatnya seperti kilat menyambar, sasarannya tiga belas jalan darah di sebelah depan tubuh, suaranya mengerikan dan racunnya sedemikian hebat sehingga jangankan terluka, baru tergores sedikit saja sudah mendatangkan maut! Jarum-jarum hijau milik Kwi Lan kalau dibandingkan dengan jarum-jarum merah milik gurunya ini masih belum apa-apa.

Baru Ang-sin-ciam sudah begini hebat, belum lagi Pek-sin-ciam (Jarum Sakti Putih). Jarum-jarum ini tidak mengeluarkan suara, hampir tak tampak sinarnya akan tetapi racunnya lebih gila lagi, tersentuh kulit orang bisa menimbulkan maut! Racunnya terdapat dari kerangka-kerangka manusia di bawah tanah!

Bu-tek Siu-lam memang lihai sekali namun ia tetap saja kaget dan repot menyelamatkan diri dari sambaran sinar hitam jarum-jarum itu. Memang benar dengan jalan memutar gunting melempar diri ia berhasil terbebas dari terjangan jarum, namun Kam Sian Eng yang sudah menduga akan gerakan ini, sudah berkelebat maju dan sebuah tamparan tepat mengenai punggung Bu-tek Siu-lam yang sedang repot menghindarkan diri dari jarum-jarum.

"Plakk....! Auuuukhhh!"

Bu-tek Siu-lam terhuyung ke belakang dan dari mulutnya menyembur darah segar. Ia sudah terluka hebat! Kini ia berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang, bibir berlepotan darah, mata beringas memandang Kam Sian Eng yang berdiri tenang dan dengan gerakan tenang pula Kam Sian Eng membuka kerudung hitamnya.

Semua orang menahan napas. Betapa cantiknya wajah di balik kerudung itu! Kulitnya putih kemerahan seperti kulit muka gadis remaja, hidungnya mancung dengan cuping bergerak-gerak kembang-kempis dan angkuh. Matanya tajam namun sinarnya aneh bergerak-gerak ke kanan kiri dan senyumnya membuat bulu tengkuk berdiri.

Senyum wanita biasanya membuat hati makin tenang, mendatangkan kehangatan. Akan tetapi senyum ini dingin sekali, seperti kita melihat senyum pada bibir orang-orang mati! Dengan kerudung hitam di tangan kiri, diputar-putar seperti seorang gadis remaja memutar saputangan sutera, tangan kanannya bergerak ke pinggang dan...., sebatang pedang tipis telah dipegangnya.

"Bu-tek Siu-lam, apakah kau masih berani memandang rendah ilmuku?" Suara ini merdu dan manis, namun didorong ancaman yang mengerikan.

Bu-tek Siu-lam yang sudah dua kali terkena pukulan yang membuatnya terluka dalam amat hebat, maklum bahwa keselamatannya sukar ditolong lagi. Hatinya gelisah dan kemarahan membuat lehernya serasa tercekik. Ia tidak dapat menjawab, hanya mengeluarkan suara seperti tertawa atau ringkik seekor kuda, kemudian tubuhnya menerjang ke depan, guntingnya bergerak menggunting ke arah leher Kam Sian Eng, sedangkan jarumnya meluncur ke arah perut lawan.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar