Ads

Rabu, 25 September 2019

Mutiara Hitam Jilid 138

Namun gunting itu terhenti di tengah jalan, bertemu dengan kerudung hitam yang kini menjadi semacam senjata ampuh. Kerudung itu terbuat daripada bahan yang kuat sekali, dari benang baja hitam yang halus, maka biarpun Bu-tek Siu-lam menggerakkan guntingnya menggunting tidak ada hasilnya, malah guntingnya terlibat-libat kerudung tak dapat bergerak lagi.

Adapun jarumnya dapat dielakkan oleh Kam Sian Eng yang sambil tersenyum membetot kerudungnya membuat tubuh lawan doyong ke depan lalu ia papaki dengan tusukan pedang mematikan!

Bu-tek Siu-lam terkejut. Tidak mengira bahwa ia akan mati demikian mudah di tangan wanita ini, akan tetapi apa daya, racun mulai bekerja di tubuhnya, membuat tenaganya menjadi lemas dan ia hanya dapat memejamkan mata menanti datangnya pedang dan memasuki dadanya.

"Tranggg....!"

Pedang di tangan Kam Sian Eng terpental ketika tongkat kuningan Bouw Lek Couwsu menangkisnya.

"Toanio, tak boleh kau membunuh tamuku!" bentak Bouw Lek Couwsu sambil menyerang dengan tongkatnya.

Kam Sian Eng mengeluarkan suara melengking marah, tubuhnya berkelebat cepat dan dalam waktu beberapa menit saja ia sudah bertanding sampai belasan jurus, balas-membalas dengan ketua orang Hsi-hsia.

"Ha, kau tangguh, Toanio. Tapi tetap saja aku yang menjadi orang pertama dari Bu-tek Ngo-sian!"

Inilah suara Thai-lek Kauw-ong yang sudah berjongkok lalu memukul dengan ilmu pukulan Thai-lek-kang yang luar biasa lihainya. Kam Sian Eng terkejut, berusaha menahan namun ia tetap saja terhuyung ke belakang, permainan pedangnya menjadi kacau dan pada saat ia memutar pedang menghadapi tongkat kuningan Bouw Lek Couwsu, dari belakang ada tangan menyambar.

"Awas, Bibi....!" terdengar Kwi Lan berseru.

Gadis ini sudah membungkus tubuh dengan jubah gurunya dan kini melihat serangan ganas Bu-tek Siu-lam dari belakang, ia memperingatkan gurunya.

Namun Sian Eng yang sudah marah itu menggerakkan tangan kiri dan sinar putih menyambar. Hanya tiga batang jarum yang ia sambitkart namun ketiga-tiganya memasuki tubuh Bu-tek Siu-lam yang roboh berkelojotan dan menjerit-jerit seperti babi disembelih karena seluruh tubuhnya terasa sakit-sakit, tak tertahankan.

Rasa nyeri yang amat hebat membuat tokoh banci ini seperti gila, guntingnya bergerak menggunting bagian tubuhnya yang terasa nyeri sehingga dalam sekejap mata saja lengan kirinya buntung, lalu kedua kakinya dan terakhir sekali batang lehernya! Ia mati dalam keadaan tubuh terpotong-potong gunting seperti nasib sekian banyak korbannya.

Andaikata ia harus menghadapi Bouw Lek Couwsu atau bahkan Thai-lek Kauw-ong satu lawan satu saja agaknya Kam Sian Eng tidak akan mudah dapat dikalahkan. Akan tetapi sekarang ia harus menghadapi Bouw Lek Couwsu dan Thai-lek Kauw-ong malah kini Pak-sin-ong dan Siauw-bin Lo-mo sudah maju mengeroyoknya! Dikeroyok empat orang sakti itu, tentu saja, ia menjadi repot sekali.

Kwi Lan dengan nekat membantu gurunya. Ia menyambar gunting Bu-tek Siu-lam yang berlepotan darah, lalu mengamuk, mainkan gunting itu seperti orang mainkan pedang. Namun karena senjata ini tidak cocok, ia menjadi kaku dan gerakannya canggung.

"Kwi Lan, kau bebaskan saja kami agar kami dapat membantu. Lekas!" teriak Hauw Lam, Siang Ki, dan Kiang Liong.

Akan tetapi gadis itu dalam kemarahan meluap-luap tidak ingat akan hal ini dan akhirnya, ketika Thai-lek Kauw-ong memutar-mutar tubuh mainkan ilmu Soan-hong-sin-ciang sehingga tubuhnya berputaran seperti gasing, Kwi Lan roboh tertotok dan tak mampu bergerak lagi!

Hauw Lam menjadi kecewa sekali dan pemuda ini hanya mampu memaki-maki dan berteriak-teriak,

"Tak tahu malu! Empat ekor kura-kura busuk tua bangka hanya berani melakukan pengeroyokan! Aku berani mempertaruhkan kepala nenek moyangku kalau bertanding satu lawan satu, semua tentu dapat terbunuh mampus oleh Sian-toanio!"






Namun teriakan-teriakannya percuma saja dan akhirnya Kam Sian Eng harus mengakui keunggulan empat orang pengeroyoknya. Ia tak dapat bertahan lama. Serangan Thai-lek Kauw-ong membuat ia terhuyung-huyung dan pening. Ia sudah menghabiskan jarum-jarumnya, sudah mainkan pedang dan kerudung, namun sia-sia dan akhirnya ia roboh terkena hantaman gergaji Pak-sin-ong yang mengenai lambungnya.

Lambungnya robek. Kam Sian Eng memekik marah dan tendangan kakinya yang dilakukan secara tak terduga-duga membuat Pak-sin-ong terlempar akan tetapi pada saat itu, tongkat Bouw Lek Couwsu, senjata gembreng Thai-lek Kauw-ong, dan pukulan tangan Siauw-bin Lo-mo membuat ia roboh terkapar tak bernyawa lagi! Pak-sin-ong sudah bangkit dan hanya terluka ringan.

"Wanita hebat....!"

Thai-lek Kauw-ong mengangguk-angguk dan diam-diam ia memuji karena biarpun ia sanggup seorang diri mengalahkan Kam Sian Eng namun tentu memakan waktu yang lama.

Kiang Liong, Pangeran Talibu, Mimi, Yu Siang Ki, dan Hauw Lam memandang ke arah empat orang kakek itu dengan jantung berdebar. Bahkan Hauw Lam sendiri kini diam saja, maklum bahwa kata-kata tidak ada artinya lagi sekarang. Bahaya hebat mengancam mereka, akan tetapi mengapa gurunya belum juga muncul? Ataukah ia salah dengar dan bukan suara gurunya?

Bouw Lek Couwsu dengan muka geram menghadapi para tawanan muda. Ia marah sekali karena sekaligus kehilangan dua orang pembantu kuat, yaitu Kam Sian Eng dan Bu-tek Siu-lam. Suma Kiat hanya berdiri memandang mayat ibunya, tidak menangis tidak tertawa hanya menunduk.

"Suma-kongcu, bagaimana pendapatmu kini?"

Tiba-tiba Bouw Lek Couwsu bertanya kepada pemuda itu. Ia hendak menjenguk isi hati pemuda yang kematian ibunya ini. Suma Kiat berkata, suaranya menggetar.

"Apa yang dapat kukatakan, Couwsu? Kami ibu dan anak telah membantumu dengan kenyataan, akan tetapi Ibu karena membela gadis sialan ini telah menjadi korban. Couwsu, berikan gadis itu kepadaku, aku ingin membalas dendam ini kepadanya!"

Bouw Lek Couwsu mengangguk. Baik sekali kalau begitu pendapat pemuda ini.
"Boleh saja, asal kemudian dibunuh. Dia telah menimbulkan banyak kerewelan."

Kemudian setelah Suma Kiat memondong tubuh Kwi Lan yang pingsan dan dibawa keluar kamar tahanan, Bouw Lek Couwsu menghadapi Pangeran Talibu dan berkata,

"Pangeran, untuk penghabisan kali, apakah kau masih keras kepala? Kalau sekarang kalian semua kubunuh, siapa yang akan berani menolongmu?"

Sunyi tiada jawaban dari para tawanan muda. Tiba-tiba terdengar bunyi ledakan keras disusul sorak-sorai. Agaknya ini sebagai jawaban pertanyaan Bouw Lek Couwsu karena pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan semua tawanan muda itu tiba-tiba saja berkelebat bayangan orang dan bagaikan gerakan iblis, entah dari mana datangnya, tahu-tahu disitu berdiri seorang laki-laki yang tinggi tegap tampan dan gagah berusia lima puluh lima tahun kurang lebih. Sebatang suling terselip di pinggang, topinya lehar dan sepasang mata yang memandang dari bayangan topi itu penuh wibawa.

"Suling Emas....!"

Seruan ini keluar dari mulut Thai-lek Kauw-ong, dan semua kakek itu terkejut seperti disambar kilat. Terutama sekali Bouw Lek Couwsu yang mendengar suara ribut-ribut di sekeliling markasnya, tanda bahwa di luar terjadi perang hebat.

Suling Emas tidak mempedulikan empat orang kakek itu yang menatapnya dengan mata terbelalak dan sikap gentar. Ia melirik dan dengan ujung matanya menyapu keadaan para tawanan. Pandang matanya mencari-cari, kemudian bertemu dengan pandang mata Kiang Liong.

"Dimana Mutiara Hitam....?" tanyanya, suaranya tenang halus, seperti sikapnya.

"Dia dibawa pergi Suma Kiat, putera Sian-toanio...." Kiang Liong menunjuk dengan pandang matanya ke arah mayat Kam Sian Eng.

Sejenak pandang mata Suling Emas menuju kepada muka Kam Sian Eng yang sudah mati, muka yang cantik dan tersenyum aneh. Sedetik Suling Emas memejamkan mata, seperti terkejap. Yang menggeletak tak bernyawa itu adalah adik tirinya! Kemudian kaki kanannya dibanting perlahan dan.... gunting besar milik Bu-tek Siu-lam terbang dari lantai menuju tangannya.

Suling Emas menyambar gunting dan terdengar bunyi nyaring dua kali ketika gunting menyambar belenggu kaki tangan Kiang Liong. Suling Emas melempar gunting ke atas lantai sambil berkata,

"Pergi kau kejar dan ambil kembali Mutiara Hitam."

"Baik, Suhu!"

Kiang Liong menyambar gunting dan menggunting pula belenggu Yu Siang Ki, kemudian berkelebat pergi meninggalkan gunting kepada Siang Ki, yang kini sibuk membebaskan teman-temannya.

Suling Emas menjura kepada Thai-lek Kauw-ong,
"Kauw-ong, selamat berjumpa kembali. Agaknya sahabat-sahabat ini adalah Pak-sin-ong dan Siauw-bin Lomo. Sayang bahwa Sam-wi (Tuan Bertiga) terperosok rendah mengabdi orang Hsi-hsia."

"Suling Emas, jangan sombong! Kamu kira dapat menangkan kami berempat?"

Bouw Lek Couwsu berseru dan tongkat kuningan di tangannya sudah bergerak menyerang Suling Emas, disusul gergaji di tangan Pak-sin-ong yang bertemu musuh lamanya. Dahulu ia gagal mengacau di Khitan karena Suling Emas, maka sekarang ia hendak menggunakan kesempatan selagi ada teman-teman sakti, membalas dendam.

"Suling Emas, hadapilah kematianmu!" bentaknya.

Thai-lek Kauw-ong yang sudah mengalami kelihaian Suling Emas, membunyikan gembreng dan menerjang maju secara dahsyat. Demikian pula Siauw-bin Lo-mo, biarpun bertangan kosong, kini menerjang maju dengan pukulan tangan kanan sedangkan tangan lainnya siap dengan bumbung berisi racun.

Suling Emas menggerakkan sulingnya. Hebat luar biasa gerakannya ini. Sinar kuning menyilaukan mata bergulung-gulung seperti naga bermain di angkasa, dan semua senjata lawan terpukul mundur. Namun ia dikurung rapat dan empat orang pengeroyoknya adalah jagoan-jagoan yang berilmu tinggi.

Tempat itu kurang luas untuk menghadapi pengeroyokan, apalagi di situ terdapat mayat Kam Sian Eng dan Bu-tek Siu-lam. Suling Emas tidak mau menginjak mayat adik tirinya, maka terdengar suara melengking panjang dan sinar sulingnya menyambar dengan lingkaran-lingkaran besar. Ketika empat orang pengeroyoknya mundur, ia melesat keluar kamar.Tentu saja empat orang pengeroyoknya tidak membiarkan ia pergi dan cepat menyusul.

Kiranya Suling Emas sudah menanti mereka di luar, di tempat yang luas, sambil memalangkan suling di depan dada dan tangan kiri diangkat tinggi di atas kepala. Sikapnya gagah bukan main dan biarpun usianya sudah setengah abad lebih, ia tampak gagah dan tampan, tubuhnya masih padat dengan sikap tegak berdiri, dadanya bidang.

"Hyaaaahhh!!"

Bouw Lek Couwsu memekik dan tongkatnya menyambar kepala Suling Emas yang hanya miringkan tubuh menghindarkan diri, namun sulingnya menyambar dengan totokan ke arah lambung Ketua Hsi-hsia ini. Dengan menyontekkan tongkat ke sampingf Bouw Lek Couwsu berhasil menangkisnya.

Pada setengah detik berikutnya, gergaji Pak-sin-ong menyambar pinggang dan Suling Emas sudah menangkis dengan suling, berusaha menempel gergaji dengan sinkang, akan tetapi karena pada saat itu Thai-lek Kauw-ong sudah menghimpitnya dengan sepasang gembreng yang amat berbahaya itu, terpaksa Suling Emas melepaskan sulingnya dan meloncat ke belakang membiarkan gembreng lewat, siku kirinya menotok pergelangan tangan Bouw Lek Couwsu yang hendak menyerang sehingga kakek ini meloncat ke samping, kemudian Suling Emas sudah meloncat lagi ke depan, selagi Thai-lek Kauw-ong belum menarik kembali gembrengnya pendekar sakti ini sudah memukulkan suling ke arah kepala.

Thai-lek Kauw-ong tentu saja tidak mau kepalanya dipecahkan suling, cepat menghindar. Suling Emas sekali lagi meloncat ke belakang karena tangan Siauw-bin Lo-mo sudah memukulnya dengan jari tangan miring yang kalau mengenai iganya dapat mematahkan tulang iga.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar