Ads

Selasa, 26 November 2019

Pendekar Bongkok Jilid 023

Sambil menyusuti air matanya, Koay Tojin melanjutkan.
“Aku melihat semua orang mengenakan topeng pada mukanya. Mengerikan dan menakutkan, juga membuat hati penasaran dan mendongkol sekali. Pada lahirnya semua orang memakai topeng yang indah dan bersih, padahal di balik topeng itu, batin mereka busuk dan kotor! Munafik dan pura-pura. Hati, kata dan perbuatan merupakan segi tiga yang berbeda jurusan. Palsu, palsu, semua palsu! Juga para pendeta yang pernah kujumpai berbatin palsu. Karena itu, suheng, aku sudah membuang semua pantangan. Heh-heh, aku makan daging, minum arak, heh-heh. Suheng sendiri tentu tak pernah makan daging dan minum arak, bukan? Apakah suheng berani mengatakan bahwa suheng tidak pernah membunuh?”

“Siancai....! Pinto tidak menyangkal, sute. Akan tetapi dijauhkan Thian kiranya hati ini dari benci, iri, dengki dan pementingan diri pribadi.”

“Coba jawab, suheng. Apakah kalau suheng makan sayur dan minum air saja, berarti suheng tidak melakukan pembunuhan? Jawab yang jujur, jangan munafik, suheng!”

“Saincai...., munafik lebih keji daripada penyelewengan itu sendiri, sute. Tidak dapat disangkal lagi, di dalam sayuran, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahkan di dalam air jernih itu terdapat mahluk-mahluk hidup yang bergerak dan bernyawa dan yang tidak nampak saking kecilnya. Bahkan sayur itu sendiri merupakan tumbuh-tumbuhan yang hidup.”

“Nah-nah-nah....!” Koay Tojin menudingkan telunjuknya, mengamang-amangkan kearah suhengnya. “Kalau begitu suheng juga membunuh!”

“Memang, hal itu pinto akui, sute, akan tetapi biarpun sama-sama membunuh namun perbedaannya bumi-langit, Manusia hidup harus makan, demi kelangsungan hidupnya dan sudah menjadi pembawaan sejak lahir bahwa manusia harus makan. Dan satu-satunya bahan makanan yang baik, menghidupkan, dan bukan sekedar menuruti nafsu lidah saja, adalah sayur-sayuran dan buah-buahan, juga air jernih. Biarpun semua itu mengandung mahluk hidup, akan tetapi karena tidak kelihatan maka kita membunuh tanpa kita ketahui, tanpa kita sengaja. Andaikata pinto melihat ada ulat pada buah yang pinto makan, tentu ulat itu akan pinto singkirkan agar tidak termasuk dan termakan.

Semua mahluk hidup kecil tak nampak yang ikut termakan, bukan sengaja dimakan. Inilah bedanya, sute. Orang yang makan daging, sengaja membunuh hewan itu dan makan dagingnya untuk memuaskan selera, sedangkan orang yang makan sayur, biarpun membunuh mahluk kecil-kecil, hal itu dilakukan bukan dengan sengaja dan sama sekali tidak bermaksud menikmati dagingnya. Demikian pula dengan sayuran, walaupun sayuran itupun hidup, namun sayuran tidak bergerak, tidak memperlihatkan rasa sakit seperti halnya binatang. Demikianlah, sute. Segala perbuatan haruslah dilihat dasar dan pendorongnya. Kalau orang membunuh sesama hidup karena ingin memuaskan nafsu kesenangan, atau karena kebencian, sungguh hal itu merupakan perbuatan yang amat keji dan kejam.”

“Bagaimana kalau aku minum arak? Itu tidak membunuh....”

“Sute, mengapa dianjurkan agar minuman arak dijauhi? Karena dari minum arak orang menjadi mabok dan dalam mabok dapat melakukan hal-hal yang tidak baik. Bermabok-mabokan memberi jalan kepada nafsu untuk makin merajalela menguasai batin. Juga, bermabok-mabokan merusak kesehatan. Kalau hal seperti ini tetap dilaksanakan, bukankah itu merupakan kebodohan besar merusak diri sendiri? Ingat, sute. Tubuh kita merupakan Kuil Suci yang dihuni oleh jiwa. Sudah sepatutnya kalau kita merawat Kuil Suci ini sebaik-baiknya, tidak dikotori dan tidak dirusak, kita pelihara sebaiknya luar dalam.”

“Suheng, keteranganmu sudah cukup jelas. Sekarang, kebetulan kita saling bertemu, aku minta sedikit petunjuk tentang ilmu silat kepadamu. Nah, bersiaplah, suheng!”

Koay Tojin meloncat berdiri dan menudingkan tongkat bututnya ke langit. Melihat ini, Pek-sim Sian-su tertawa.

“Ha-ha, sejak dulu engkau masih saja keranjingan ilmu silat, sute. Orang-orang tua bangka seperti kita ini, perlu apa mementingkan ilmu kekerasan seperti itu? Akan tetapi, pinto mendengar bahwa engkau telah memperoleh ilmu yang amat hebat, maka pintopun ingin pula manyaksikan kehebatan ilmumu itu, sute. Nah, perlihatkan kepada pinto!”

Pek-sin Sian-su juga bangkit berdiri dan dengan tenang dia menghampiri kakek sinting itu, berdiri tegak dengan tongkat butut di tangannya. Kedua orang kakek itu sungguh amat berbeda. Pek-sim Sian-su demikian anggun dan rapi bersih, penuh wibawa akan tetapi juga penuh kelembutan dan keramahan, sinar mata dan senyumnya penuh kasih sayang.






Sebaliknya, Koay Tojin berpakaian tidak karuan, butut dan kotor, berdirinya juga sembarangan saja, dan hanya ada satu persamaan antara mereka, yaitu bahwa keduanya memiliki sinar mata mencorong dan keduanya sama-sama memegang sebatang tongkat butut.

Melihat betapa supek dan susiok mereka itu saling berhadapan dengan tongkat di tangan, Himalaya Sam Lojin mengamati dengan wajah berseri gembira. Sungguh beruntung, pikir mereka. Kesempatan seperti ini sungguh langka. Sementara itu Sie Liong yang sama sekali belum mengenal dasar ilmu silat tinggi, hanya nonton dengan hati ingin tahu, akan tetapi tentu saja dia tidak begitu mengerti, karena ketika tadi terjadi perkelahian tingkat tinggi antara para pendeta Lama dan San Lojin diapun tidak mampu mengikutinya dengan baik.

Dia hanya merasa heran mengapa hatinya tertarik kepada si jembel yang berotak miring ini, akan tetapi diapun kagum dan tunduk kepada kakek berpakaian kuning yang berwibawa. Heran dia mengapa kakek itu mau saja melayani jembel tua yang disebut sute-nya.

“Suheng, coba kau sambut jurus tongkatku ini!”

Tiba-tiba Koay Tojin berseru dan tongkatnya bergerak. Anehnya, gerakan itu lambat saja, seperti main-main akan tetapi ujung tongkat itu mengeluarkan angin menderu dan ujungnya menusuk secara beruntun ke arah tulang-tulang iga Pek-sim Sian-su, sedangkan tangan kirinya dipentang dengan jari-jari tangan terbuka, siap menyambut kemana lawan akan mengelak! Semua gerakan ini dilakukan lambat sehingga Sie Liong saja dapat mengikuti dengan pandang matanya.

“Bagus sekali!”

Seru Pek-sim Sian-su memuji, bukan sekadar menyenangkan hati sutenya, melainkan memuji karena kagum.

Dia melihat betapa dahsyatnya serangan sutenya itu yang memang amat sukar untuk dilawan, sukar dielakkan maupun ditangkis. Dia maklum bahwa kalau ditangkis, maka tenaga tangkisan itu justeru akan memperkuat getaran tongkat sutenya untuk melakukan tusukan berikutnya karena serangan itu merupakan serangkaian tusukan ke arah tulang iga.

Dia lalu mengangkat tongkatnya, menggerakkan tongkat bututnya dengan lambat pula, dan menyambut tongkat sutenya. Dua batang tongkat butut bertemu, akan tetapi Pek-sim Sian-su tidak menangkis, melainkan menggunakan sin-kang membuat tongkatnya menempel pada tongkat sutenya dan dengan demikian, tongkatnya terus mengikuti gerakan tongkat sutenya dan setiap tusukan dapat didorongnya kembali sehingga ujung tongkat sutenya itu hanya mampu mencium kain kuning yang melibat dada saja. Karena serangan pertama gagal, Koay Tojin melangkah mundur.

“Hemm, sungguh hebat. Bukankah itu sebuah jurus dari ilmu tongkatmu yang baru, yang dinamakan Ta-kwi Tung-hoat (Ilmu Tongkat Memukul Setan)?” tanya sang suheng.

“Heh-heh-heh, matamu yang sudah tua memang masih tajam sekali, suheng. Memang benar, dan jurus tadi kunamakan Jurus Menghitung Tulang Iga. Sayang engkau tidak membiarkan aku menghitung tulang igamu, suheng.”

“Dan membiarkan tulang-tulang igaku yang sudah tua itu remuk? Aih, aku berkewajiban menjaga tubuh tua ini, sute.”

“Sekarang lihatlah ini, jurus yang kunamakan Menyapu Ribuan Setan!” katanya dan Koay Tojin sudah menyerang lagi, kini tongkatnya itu membuat gerakan berputar lebar dan seakan ada ratusan batang tongkat menyambar ke arah tubuh Pek-sim Sian-su, dari kanan, kiri, depan, belakang, atas dan bawah!

Sungguh hebat tongkat itu, atau orang yang menggerakkan tongkat itu. Bagaimana mungkin tongkat yang hanya sebatang itu mampu menghujankan serangan seperti itu, dari segala jurusan, dalam waktu yang berturut-turut. Dan angin pukulan yang keluar dari tongkat itu!

Untung Sie Liong masih duduk bersila, demikian pula Sam Lojin sehingga angin pukulan yang menyambar ke atas itu tidak mengenai mereka. Daun-daun pohon yang berdekatan sudah rontok semua, bahkan ada ranting yang kurang kuat patah-patah terkena sambaran angin pukulan tongkat butut itu! Melihat keadaan ini, berdebar rasa jantung Sie Liong. Barulah dia melihat sendiri betapa hebatnya kakek jembel gila itu.

“Siancai....! Sungguh dahsyat....!” kata Pek-sim Sian-su dan kakek inipun menggerakkan tongkat bututnya dan ke manapun bayangan tongkat Koay Tojin menyambar, selalu tongkat itu bertemu dengan tongkat lain yang menangkisnya, seolah-olah tubuh Pek-sim Sian-su sudah dilindungi benteng yang kokoh kuat.

Berulang kali tongkat mereka saling bertemu, mengeluarkan suara tak-tuk-tak-tuk yang menggetarkan jantung, seperti dua buah benda yang amat kuat dan berat saling bertemu. Akhirnya, kembali Koay Tojin melangkah mundur menghentikan serangannya.

“Engkau memang hebat, suheng. Masih saja engkau memiliki ilmu Benteng Tongkat Baja yang amat kokoh kuat. Akan tetapi balaslah menyerang, suheng. Kenapa engkau hanya menangkis saja dan tidak membalas?”

“Siancai...., sute yang baik. Bagaimana pinto mampu menyerang kalau untuk melindungi diri saja sudah repot sekali? Hampir saja pinto tidak kuat bertahan terhadap seranganmu yang mengerikan tadi.”

“Biarlah sekarang yang terakhir, suheng. Sambutlah jurus Tongkat Menghancurkan Kepala Setan ini!”

Dan dia pun sudah memegang tongkat itu dengan kedua tangannya dan langsung menghantamkan ke arah kepala suhengnya dari atas. Kelihatannya saja jurus ini amat sederhana bahkan kasar seperti gerakan liar orang yang berkelahi tanpa menggunakan ilmu silat.

Akan tetapi sesungguhnya pukulan ini berbahaya sekali karena mempunyai banyak macam perubahan yang tidak tersangka-sangka andaikata yang dipukul mengelak. Menghadapi pukulan dari atas seperti itu, memang mudah saja mengelak. Akan tetapi anehnya Pek-sim Sian-su justeru tidak mengelak melainkan mengangkat kedua tangan yang memegangi kedua ujung tongkat untuk menangkis!

Dia mengenal ilmu yang aneh ini dan tahu bahwa di balik kesederhanaannya tersembunyi perubahan yang amat berbahaya. Maka dia tidak mau mengelak malah menangkis agar jurus itu dengan tenaga sepenuhnya menimpa tangkisannya dan diam-diam dia mengerahkan tenaga saktinya.

Sie Liong sudah merasa ngeri, mengira bahwa tentu pertemuan antara dua tongkat itu akan hebat dan dahsyat sekali dan tentu ada diantara dua orang kakek itu yang akan terluka. Dan tongkat butut yang dipukulkan oleh Koay Tojin itu menyambar turun, amat kuatnya menimpa tongkat yang dilintangkan di atas kepala Pek-sim Sian-su. Kedua orang kakek itu memegangi tongkat dengan kedua tangan.

Dua batang tongkat butut itu bertemu, keras sekali akan tetapi sungguh luar biasa. Tidak ada suara terdengar! Seolah-olah dua batang tongkat itu hanyalah benda-benda yang lunak. Akan tetapi, Koay Tojin melompat ke belakang dan tongkat bututnya telah patah menjadi dua potong! Sambil terkekeh dia melemparkan tongkat itu. Dua potong tongkat itu meluncur dan menancap pada batang sebuah pohon, tingginya dua meter lebih dan menancap rapi berjajar atas dan bawah dalam jarak sekepalan tangan.

“Heh-heh, engkau hebat, suheng. Biar kubantu engkau mengobati bocah bongkok ini!”

Tiba-tiba dia sudah menangkap Sie Liong dengan mencengkeram punggung bajunya dan tiba-tiba Sie Liong merasa tubuhnya melayang ke atas dibawa oleh kakek itu melompat ke arah pohon itu. Dia tidak sempat meronta karena tubuhnya sudah melayang ke atas dan dia merasa betapa kedua kakinya dijepitkan diantara dua potongan tongkat tadi sehingga tubuhnya tergantung dengan kepala ke bawah, bergantung pada kedua kakinya yang terjepit. Ternyata dua potong tongkat yang dilemparkan tadi dan menancap di batang pohon, jaraknya demikian tepat sehingga dapat menjepit kedua pergelangan kaki Sie Liong.

Ketika Sie Liong yang tergantung dengan kepala di bawah itu hendak meronta karena takut jatuh, kakek jembel itu sambil terkekeh menepuk punggung Sie Liong tiga kali, cukup keras sehingga mengeluarkan bunyi berdebuk. Dan seketika Sie Liong muntahkan darah dari mulutnya yang langsung keluar dari dalam dada dan perutnya. Darah itu banyak dan agak menghitam!

Koay Tojin lalu meloncat turun. Cara dia turun dari pohon itu aneh karena dia hinggap di atas tanah bukan dengan kedua kakinya, melainkan dengan kepalanya dan kini dia melompat-lompat dengan kepala di bawah, mengeluarkan suara dak-duk-dak-duk dan tubuhnya sudah berloncatan secara aneh itu cepat sekali, sebentar saja lenyap dari situ.

“Siancai.... siancai.... siancai....!”

Pek-sim Sian-su memuji dengan kedua tangan dirangkap di depan dada.
“Sute Koay Tojin sungguh telah mencapai tingkat yang sukar diukur tingginya. Hebat.”




Pendekar Bongkok Jilid 022
Pendekar Bongkok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar