Sie Liong tersenyum dan berkata kepada orang she Bouw itu.
“Nah, engkau sudah mendengar sendiri. Kalau tidak ada aku disini, engkau tentu telah mereka pukuli terus sampai mati. Orang she Bouw, sekarang lebih baik kalau engkau dan anak buahmu itu pergi dari dusun ini secepatnya. Kami penduduk Tiong-cin tidak membutuhkan engkau dan orang-orangmu, kami dapat mengatur diri sendiri. Aku akan melapor kepada pembesar atasanmu bahwa engkau tidak disuka rakyat dan bahwa engkau telah pergi, dan kami akan mencari pengganti seorang kepala dusun. Nah, sekarang engkau pergilah dan bawalah keluargamu, juga hartamu. Akan tetapi, gudang gandum dan padi harus kau tinggalkan, karena itu milik rakyat yang kau peras!”
Semua penghuni dusun bersorak gegap gempita menyambut ucapan Sie Liong itu karena mereka semua merasa setuju sekali. Menghadapi semangat rakyat yang berkobar itu, Bouw Kun Hok, yaitu kepala dusun yang jahat itu, menjadi ngeri. Dengan susah payah dia lalu bersama anak buahnya, kembali ke rumahnya dan mengumpulkan keluarga mereka, membawa harta mereka dan pada hari itu juga mereka pergi meninggalkan dusun Tiong-cin, diantar sorak-sorai para penduduk yang merasa lega sekali.
Setelah enam belas orang itu bersama keluarga mereka pergi, dengan dipimpin seorang kakek, yaitu kakek Kwan Sun sendiri, para penghuni dusun menjatuhkan diri berlutut di depan Sie Liong. Kini mereka semua keluar, termasuk kanak-kanak dan wanita sehingga ratusan orang berlutut di depan Sie Liong.
“Sie-taihiap,” kata Kwan Sun dengan suara nyaring, “kami seluruh penghuni dusun Tiong-cin menghaturkan terima kasih kepada taihiap yang telah membebaskan kami dari tekanan lurah Bouw. Sekarang kami mohon agar taihiap suka menjadi kepala dusun kami.”
“Hidup Sie-taihiap....!”
“Kami setuju!”
“Akur! Sie-taihiap menjadi lurah kami!”
Melihat mereka itu berteriak-teriak, Sie Liong mengangkat kedua tangan ke atas dan hatinya terharu sekali. Selama ini, orang-orang hanya memandang kepadanya dengan ejekan, dengan olok-olok, ada yang dengan pandang mata kasihan. Dia seorang bongkok yang dipandang rendah, membuat dia merasa rendah diri. Akan tetapi sekarang, di dusun orang tuanya, di tempat kelahirannya, dia seperti dipuja-puja!
“Terima kasih atas kepercayaan cu-wi (anda sekalian)! Akan tetapi, aku masih mempunyai tugas yang amat panting dan tidak mungkin tinggal selamanya disini. Karena itu, aku tidak dapat pula menjadi seorang lurah, apalagi mengingat bahwa aku tidak berpengalaman dan tidak berpengetahuan bagaimana memimpin rakyat dusun. Sebaiknya kalau sekarang cu-wi memilih sendiri seorang diantara cu-wi yang dapat dipercaya, kemudian mengangkatnya menjadi lurah baru.”
Kembali terjadi kegaduhan ketika mereka mengajukan nama-nama calon, akan tetapi ternyata sebagian besar suara mereka memilih kakek Kwan Sun. Melihat ini, Sie Liong juga menyatakan persetujuannya.
“Kalian telah memilih dengan tepat. Kwan Lopek memang tepat untuk menjadi lurah kalian yang baru. Kuharap Kwan Lopek dapat menerimanya dan suka memimpin saudara-saudara ini!”
Kwan Sun bangkit dan mukanya agak merah karena merasa malu bahwa dia seorang petani biasa, diangkat menjadi lurah.
“Sie-taihiap, bukan saya menolak, akan tetapi bagaimana mungkin saya menjadi lurah tanpa pengangkatan para pembesar yang berwajib di kota besar Wen-su?”
Semua orang menjadi bengong dan bingung karena apa yang diucapkan oleh kakek itu memang benar. Sie Liong mengangguk-angguk, karena diapun baru tahu akan hal itu sekarang.
“Harap lopek jangan khawatir. Aku sendiri yang akan pergi ke kota Wen-su dan akan kutemui pejabat yang berwenang untuk itu, akan kuceritakan tentang keadaan di Tiong-cin ini, tentang kejahatan lurah Bouw dan tentang keputusan para penduduk mengangkat lopek sebagai lurah!”
Semua orang bersorak gembira karena mereka semua yakin bahwa kalau Pendekar Bongkok yang muda itu turun tangan, pasti akan beres, seperti yang telah dibuktikan ketika dia menumpas lurah Bouw dan anak buahnya.
“Akan tetapi, taihiap. Bagaimana kalau orang she Bouw itu tidak mau menerima dan setelah taihiap pergi dari sini, dia akan datang bersama gerombolannya dan membalas dendam?” tanya seorang penduduk muda dan kembali semua orang bengong dan wajah mereka berubah ketakutan.
Membayangkan balas dendam dari lurah Bouw dan gerombolannya, selagi Pendekar Bongkok, demikian mereka menjuluki Sie Liong, tidak berada lagi di dusun itu, membuat mereka mengeluarkan keringat dingin.
“Jangan takut! Kalau kalian sudah bersatu padu seperti tadi, lurah Bouw dan gerombolannya tidak akan mampu berbuat sesuatu! Kulihat tadi di antara cu-wi banyak pula yang kuat dan memiliki gerakan silat. Bukankah mendiang ayahku dahulu adalah guru silat disini dan disebut Sie Kauwsu? Siapakah di antara cu-wi yang pernah berguru kepada ayahku?”
Ternyata ada tujuh orang yang pernah menjadi murid Sie Kauwsu. Mereka sudah lama tidak pernah berlatih, akan tetapi ketika Sie Liong menyuruh mereka memperlihatkan gerakan silat, ternyata mereka cukup mahir.
“Aku akan melatih tujuh orang saudara ini dengan beberapa jurus silat pilihan, kemudian mereka akan melatih para muda disini. Jumlah kalian ada ratusan orang, kalau bersatu padu, tentu tidak ada gerombolan penjahat yang barani main-main.”
Semua orang setuju dan kakek Kwan Sun dipilih menjadi lurah yang baru, menempati bekas rumah lurah Bouw yang besar! Dan Sie Liong menjadi tamunya yang dihormati. Akan tetapi sebelum dia pergi ke rumah baru dari lurah Kwan lebih dahulu dia minta penjelasan dari Kwan Sun tentang orang tuanya.
“Seperti lopek mengetahui, saya datang untuk berkunjung ke makam ayah ibu saya disini. Sekarang saya ingin pergi dulu berkunjung ke makam itu. Di manakah makam mereka, lopek?”
“Ah, mari kuantar sendiri, taihiap. Makam itu berada di pinggir dusun sebelah timur, tempat pemakaman penduduk kita.” Lurah baru itu lalu mengantar Sie Liong menuju ke tanah kuburan yang sunyi itu.
Tak lama kemudian, Sie Liong sudah berlutut di depan tiga buah makam yang berdampingan. Makam yang sederhana sekali, dan tidak terawat. Hal ini menunjukkan bahwa ayah ibunya tidak mempunyai sanak keluarga lagi di dusun itu. Setelah memberi hormat, diapun membersihkan rumput-rumput liar di makam itu, dibantu oleh lurah Kwan.
“Ini makam Sie Kauwsu dan ini makam isterinya. Aku sendiri ikut mengubur jenazah mereka, dan yang ini makam Kim Cu An, muridnya yang menjadi calon mantunya.”
Sie Liong terkejut dan heran.
“Apakah suheng Kim Cu An Inipun tewas karena penyakit menular yang ganas itu, lopek?”
Kini lurah Kwan itu yang memandangnya dengan mata terbelalak.
“Penyakit menular? Apa maksudmu, taihiap?”
“Bukankah.... bukankah ayah ibu tewas karena penyakit menular?”
“Ah, dari mana taihiap mendengar berita itu! Sama sekali tidak begitu! Disini memang pernah berjangkit penyakit menular, akan tetapi tidak berapa hebat dan yang jelas, ayah ibumu tidak tewas oleh penyakit menular, juga Kim Cu An ini tidak pula!”
Sie Liong terkejut bukan main, akan tetapi dia mampu menekan perasaannya sehingga tidak nampak pada wajahnya. Dia mempersilakan kakek itu duduk di atas rumput, di depan makam ayah ibunya dan suhengnya, lalu dengan lembut dia berkata,
“Kwan Lopek, sekarang aku minta tolong kepadamu. Ceritakanlah dengan jelas apa yang telah terjadi pada ayah ibuku, dan bagaimana mereka itu tewas.”
Kwan Sun mengangguk-angguk.
“Mendiang ayahmu terkenal sebagai Sie Kauwsu, guru silat di dusun ini yang gagah perkasa dan kami semua menghormatinya. Dia mempunyai dua orang anak, yang pertama seorang gadis bernama Sie Lan Hong, ketika itu berusia lima belas tahun, dan anak ke dua adalah seorang anak laki-laki yang baru kurang lebih setahun usianya, bernama Sie Liong.”
“Akulah anak itu, lopek.”
Kakek itu mengangguk.
“Ya, kami sudah menduganya, taihiap, walaupun tadinya kami ragu-ragu....” Dia memandang ke arah punggung Sie Liong. “Mendiang ayahmu mempunyai beberapa orang murid, dan yang menjadi murid utamanya adalah mendiang Kim Cu An yang ketika itu berusia kurang lebih dua puluh tahun dan sudah ditunangkan dengan puterinya yaitu Sie Lan Hong. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali, kami sedusun dikejutkan oleh keadaan di rumah orang tuamu. Sungguh mengerikan dan menyedihkan sekali....” Kakek itu berhenti bercerita dan termenung.
“Lalu bagaimana, lopek? Apa yang telah terjadi di rumah orang tuaku?”
Sie Liong mendesak karena dia sudah tidak sabar lagi dan ingin mendengar apa yang sebenarnya terjadi kepada ayah ibunya.
Kwan Sun menghela napas panjang.
“Akulah seorang diantara para tetangga yang pertama kali menyaksikan keadaan itu. Kami mendapatkan ayahmu dan ibumu, juga Kim Cu An, dalam keadaan tewas terbunuh! Bukan hanya mereka bertiga, juga kami mendapatkan bahwa semua binatang peliharaan orang tuamu, anjing, kucing, ayam dan kuda, juga mati terbunuh.”
“Ahhh! Apa yang telah terjadi dengan mereka, lopek? Siapa pembunuh mereka?”
Kakek itu manggeleng kepalanya.
“Kami tidak tahu apa yang terjadi dengan mereka dan siapa pembunuh mereka. Tidak ada tanda-tanda sama sekali! Encimu, Sie Lan Hong dan engkau sendiri, tidak berada disana, taihiap. Kami tidak tahu pula apa yang terjadi dengan taihiap dan enci taihiap itu. Barang-barang dalam rumah Sie Kauwsu tidak dicuri orang yang menjadi pembunuh itu. Dan barang-barang itu, rumah itu, sudah lama dirampas oleh lurah Bouw.”
Sie Liong mengepal tinjunya.
“Jangan-jangan lurah Bouw yang melakukan itu!”
Kakek Kwan menggeleng kepala.
“Saya kira bukan, taihiap. Biarpun dia amat jahat, akan tetapi saya yakin dia tidak akan mampu mengalahkan ayahmu yang gagah. Saya kira, yang mengetahui siapa pembunuhnya hanyalah taihiap sendiri. Akan tetapi ketika itu taihiap baru berusia setahun, akan tetapi encimu, Sie Lan Hong....”
“Lopek,” Sie Liong memotong, “apakah diantara para penduduk dusun ini tidak ada yang kebetulan melihat orang asing malam itu di dusun ini, lopek?”
Kakek itu manggeleng kepala lagi.
“Tidak ada. Kalau ada, tentu dia sudah bercerita kepada kami. Kami semua mencinta Sie Kauwsu dan kami semua merasa bersedih dan kehilangan.”
Sie Liong mengerutkan alisnya, termenung.
“Lopek, banyak terima kasih atas keteranganmu, dan aku tidak ingin lagi bicara tentang hal itu.”
Setelah berkata demikian, pemuda ini bersila di depan makam dan memejamkan kedua matanya, bersamadhi. Kakek Kwan tidak lagi berani mengganggunya.
Terjadi perang di dalam pikiran Sie Liong. Mengapa encinya bercerita lain? Mengapa encinya seperti hendak menutupi kematian ayah ibunya, dan mengatakan bahwa ayah ibunya tewas karena penyakit menular? Benarkah encinya tidak tahu akan peristiwa itu? Ataukah encinya sengaja membohonginya? Akan tetapi, bagaimana mungkin encinya berbohong kepadanya? Dia yakin benar betapa besar kasih sayang encinya kepadanya.
Dia tidak mau membicarakan urusan itu lagi dengan Kwan Sun, karena khawatir kalau orang-orang mencurigai encinya. Bagaimanapun juga, memang segalanya menunjukkan bahwa encinya tentu tahu akan peristiwa itu dan tahu pula siapa pembunuh ayah ibunya! Hanya encinya yang tahu, dan dia pasti akan mendengarnya dari encinya. Dia akan bertanya kepada Sie Lan Hong, encinya.
Setelah merasa cukup melakukan sembahyang di depan makam itu, Sie Liong lalu mengikuti Kwan Sun yang menjadi lurah baru untuk pulang ke rumah baru lurah itu. Dia harus tinggal beberapa hari lamanya di dusun itu untuk melatih beberapa jurus kepada bekas murid-murid ayahnya agar para penduduk dapat menyusun kekuatan untuk menghadapi ancaman orang-orang jahat seperti lurah Bouw.
Dengan penuh semangat para penduduk dusun itu, terutama mereka yang pernah belajar silat kepada Sie Kauwsu berlatih silat di bawah bimbingan Sie Liong selama satu minggu. Dan pada malam terakhir, Sie Liong duduk bersila di dalam kamarnya di rumah lurah Kwan merenungkan nasibnya. Nasib yang lebih banyak pahitnya dari pada manisnya. Sejak kecil dia telah menderita banyak sekali kekecewaan. Baru setelah dia menjadi murid orang-orang sakti dan berlatih ilmu di puncak bukit, hidupnya nampak indah dan berbahagia.
“Nah, engkau sudah mendengar sendiri. Kalau tidak ada aku disini, engkau tentu telah mereka pukuli terus sampai mati. Orang she Bouw, sekarang lebih baik kalau engkau dan anak buahmu itu pergi dari dusun ini secepatnya. Kami penduduk Tiong-cin tidak membutuhkan engkau dan orang-orangmu, kami dapat mengatur diri sendiri. Aku akan melapor kepada pembesar atasanmu bahwa engkau tidak disuka rakyat dan bahwa engkau telah pergi, dan kami akan mencari pengganti seorang kepala dusun. Nah, sekarang engkau pergilah dan bawalah keluargamu, juga hartamu. Akan tetapi, gudang gandum dan padi harus kau tinggalkan, karena itu milik rakyat yang kau peras!”
Semua penghuni dusun bersorak gegap gempita menyambut ucapan Sie Liong itu karena mereka semua merasa setuju sekali. Menghadapi semangat rakyat yang berkobar itu, Bouw Kun Hok, yaitu kepala dusun yang jahat itu, menjadi ngeri. Dengan susah payah dia lalu bersama anak buahnya, kembali ke rumahnya dan mengumpulkan keluarga mereka, membawa harta mereka dan pada hari itu juga mereka pergi meninggalkan dusun Tiong-cin, diantar sorak-sorai para penduduk yang merasa lega sekali.
Setelah enam belas orang itu bersama keluarga mereka pergi, dengan dipimpin seorang kakek, yaitu kakek Kwan Sun sendiri, para penghuni dusun menjatuhkan diri berlutut di depan Sie Liong. Kini mereka semua keluar, termasuk kanak-kanak dan wanita sehingga ratusan orang berlutut di depan Sie Liong.
“Sie-taihiap,” kata Kwan Sun dengan suara nyaring, “kami seluruh penghuni dusun Tiong-cin menghaturkan terima kasih kepada taihiap yang telah membebaskan kami dari tekanan lurah Bouw. Sekarang kami mohon agar taihiap suka menjadi kepala dusun kami.”
“Hidup Sie-taihiap....!”
“Kami setuju!”
“Akur! Sie-taihiap menjadi lurah kami!”
Melihat mereka itu berteriak-teriak, Sie Liong mengangkat kedua tangan ke atas dan hatinya terharu sekali. Selama ini, orang-orang hanya memandang kepadanya dengan ejekan, dengan olok-olok, ada yang dengan pandang mata kasihan. Dia seorang bongkok yang dipandang rendah, membuat dia merasa rendah diri. Akan tetapi sekarang, di dusun orang tuanya, di tempat kelahirannya, dia seperti dipuja-puja!
“Terima kasih atas kepercayaan cu-wi (anda sekalian)! Akan tetapi, aku masih mempunyai tugas yang amat panting dan tidak mungkin tinggal selamanya disini. Karena itu, aku tidak dapat pula menjadi seorang lurah, apalagi mengingat bahwa aku tidak berpengalaman dan tidak berpengetahuan bagaimana memimpin rakyat dusun. Sebaiknya kalau sekarang cu-wi memilih sendiri seorang diantara cu-wi yang dapat dipercaya, kemudian mengangkatnya menjadi lurah baru.”
Kembali terjadi kegaduhan ketika mereka mengajukan nama-nama calon, akan tetapi ternyata sebagian besar suara mereka memilih kakek Kwan Sun. Melihat ini, Sie Liong juga menyatakan persetujuannya.
“Kalian telah memilih dengan tepat. Kwan Lopek memang tepat untuk menjadi lurah kalian yang baru. Kuharap Kwan Lopek dapat menerimanya dan suka memimpin saudara-saudara ini!”
Kwan Sun bangkit dan mukanya agak merah karena merasa malu bahwa dia seorang petani biasa, diangkat menjadi lurah.
“Sie-taihiap, bukan saya menolak, akan tetapi bagaimana mungkin saya menjadi lurah tanpa pengangkatan para pembesar yang berwajib di kota besar Wen-su?”
Semua orang menjadi bengong dan bingung karena apa yang diucapkan oleh kakek itu memang benar. Sie Liong mengangguk-angguk, karena diapun baru tahu akan hal itu sekarang.
“Harap lopek jangan khawatir. Aku sendiri yang akan pergi ke kota Wen-su dan akan kutemui pejabat yang berwenang untuk itu, akan kuceritakan tentang keadaan di Tiong-cin ini, tentang kejahatan lurah Bouw dan tentang keputusan para penduduk mengangkat lopek sebagai lurah!”
Semua orang bersorak gembira karena mereka semua yakin bahwa kalau Pendekar Bongkok yang muda itu turun tangan, pasti akan beres, seperti yang telah dibuktikan ketika dia menumpas lurah Bouw dan anak buahnya.
“Akan tetapi, taihiap. Bagaimana kalau orang she Bouw itu tidak mau menerima dan setelah taihiap pergi dari sini, dia akan datang bersama gerombolannya dan membalas dendam?” tanya seorang penduduk muda dan kembali semua orang bengong dan wajah mereka berubah ketakutan.
Membayangkan balas dendam dari lurah Bouw dan gerombolannya, selagi Pendekar Bongkok, demikian mereka menjuluki Sie Liong, tidak berada lagi di dusun itu, membuat mereka mengeluarkan keringat dingin.
“Jangan takut! Kalau kalian sudah bersatu padu seperti tadi, lurah Bouw dan gerombolannya tidak akan mampu berbuat sesuatu! Kulihat tadi di antara cu-wi banyak pula yang kuat dan memiliki gerakan silat. Bukankah mendiang ayahku dahulu adalah guru silat disini dan disebut Sie Kauwsu? Siapakah di antara cu-wi yang pernah berguru kepada ayahku?”
Ternyata ada tujuh orang yang pernah menjadi murid Sie Kauwsu. Mereka sudah lama tidak pernah berlatih, akan tetapi ketika Sie Liong menyuruh mereka memperlihatkan gerakan silat, ternyata mereka cukup mahir.
“Aku akan melatih tujuh orang saudara ini dengan beberapa jurus silat pilihan, kemudian mereka akan melatih para muda disini. Jumlah kalian ada ratusan orang, kalau bersatu padu, tentu tidak ada gerombolan penjahat yang barani main-main.”
Semua orang setuju dan kakek Kwan Sun dipilih menjadi lurah yang baru, menempati bekas rumah lurah Bouw yang besar! Dan Sie Liong menjadi tamunya yang dihormati. Akan tetapi sebelum dia pergi ke rumah baru dari lurah Kwan lebih dahulu dia minta penjelasan dari Kwan Sun tentang orang tuanya.
“Seperti lopek mengetahui, saya datang untuk berkunjung ke makam ayah ibu saya disini. Sekarang saya ingin pergi dulu berkunjung ke makam itu. Di manakah makam mereka, lopek?”
“Ah, mari kuantar sendiri, taihiap. Makam itu berada di pinggir dusun sebelah timur, tempat pemakaman penduduk kita.” Lurah baru itu lalu mengantar Sie Liong menuju ke tanah kuburan yang sunyi itu.
Tak lama kemudian, Sie Liong sudah berlutut di depan tiga buah makam yang berdampingan. Makam yang sederhana sekali, dan tidak terawat. Hal ini menunjukkan bahwa ayah ibunya tidak mempunyai sanak keluarga lagi di dusun itu. Setelah memberi hormat, diapun membersihkan rumput-rumput liar di makam itu, dibantu oleh lurah Kwan.
“Ini makam Sie Kauwsu dan ini makam isterinya. Aku sendiri ikut mengubur jenazah mereka, dan yang ini makam Kim Cu An, muridnya yang menjadi calon mantunya.”
Sie Liong terkejut dan heran.
“Apakah suheng Kim Cu An Inipun tewas karena penyakit menular yang ganas itu, lopek?”
Kini lurah Kwan itu yang memandangnya dengan mata terbelalak.
“Penyakit menular? Apa maksudmu, taihiap?”
“Bukankah.... bukankah ayah ibu tewas karena penyakit menular?”
“Ah, dari mana taihiap mendengar berita itu! Sama sekali tidak begitu! Disini memang pernah berjangkit penyakit menular, akan tetapi tidak berapa hebat dan yang jelas, ayah ibumu tidak tewas oleh penyakit menular, juga Kim Cu An ini tidak pula!”
Sie Liong terkejut bukan main, akan tetapi dia mampu menekan perasaannya sehingga tidak nampak pada wajahnya. Dia mempersilakan kakek itu duduk di atas rumput, di depan makam ayah ibunya dan suhengnya, lalu dengan lembut dia berkata,
“Kwan Lopek, sekarang aku minta tolong kepadamu. Ceritakanlah dengan jelas apa yang telah terjadi pada ayah ibuku, dan bagaimana mereka itu tewas.”
Kwan Sun mengangguk-angguk.
“Mendiang ayahmu terkenal sebagai Sie Kauwsu, guru silat di dusun ini yang gagah perkasa dan kami semua menghormatinya. Dia mempunyai dua orang anak, yang pertama seorang gadis bernama Sie Lan Hong, ketika itu berusia lima belas tahun, dan anak ke dua adalah seorang anak laki-laki yang baru kurang lebih setahun usianya, bernama Sie Liong.”
“Akulah anak itu, lopek.”
Kakek itu mengangguk.
“Ya, kami sudah menduganya, taihiap, walaupun tadinya kami ragu-ragu....” Dia memandang ke arah punggung Sie Liong. “Mendiang ayahmu mempunyai beberapa orang murid, dan yang menjadi murid utamanya adalah mendiang Kim Cu An yang ketika itu berusia kurang lebih dua puluh tahun dan sudah ditunangkan dengan puterinya yaitu Sie Lan Hong. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali, kami sedusun dikejutkan oleh keadaan di rumah orang tuamu. Sungguh mengerikan dan menyedihkan sekali....” Kakek itu berhenti bercerita dan termenung.
“Lalu bagaimana, lopek? Apa yang telah terjadi di rumah orang tuaku?”
Sie Liong mendesak karena dia sudah tidak sabar lagi dan ingin mendengar apa yang sebenarnya terjadi kepada ayah ibunya.
Kwan Sun menghela napas panjang.
“Akulah seorang diantara para tetangga yang pertama kali menyaksikan keadaan itu. Kami mendapatkan ayahmu dan ibumu, juga Kim Cu An, dalam keadaan tewas terbunuh! Bukan hanya mereka bertiga, juga kami mendapatkan bahwa semua binatang peliharaan orang tuamu, anjing, kucing, ayam dan kuda, juga mati terbunuh.”
“Ahhh! Apa yang telah terjadi dengan mereka, lopek? Siapa pembunuh mereka?”
Kakek itu manggeleng kepalanya.
“Kami tidak tahu apa yang terjadi dengan mereka dan siapa pembunuh mereka. Tidak ada tanda-tanda sama sekali! Encimu, Sie Lan Hong dan engkau sendiri, tidak berada disana, taihiap. Kami tidak tahu pula apa yang terjadi dengan taihiap dan enci taihiap itu. Barang-barang dalam rumah Sie Kauwsu tidak dicuri orang yang menjadi pembunuh itu. Dan barang-barang itu, rumah itu, sudah lama dirampas oleh lurah Bouw.”
Sie Liong mengepal tinjunya.
“Jangan-jangan lurah Bouw yang melakukan itu!”
Kakek Kwan menggeleng kepala.
“Saya kira bukan, taihiap. Biarpun dia amat jahat, akan tetapi saya yakin dia tidak akan mampu mengalahkan ayahmu yang gagah. Saya kira, yang mengetahui siapa pembunuhnya hanyalah taihiap sendiri. Akan tetapi ketika itu taihiap baru berusia setahun, akan tetapi encimu, Sie Lan Hong....”
“Lopek,” Sie Liong memotong, “apakah diantara para penduduk dusun ini tidak ada yang kebetulan melihat orang asing malam itu di dusun ini, lopek?”
Kakek itu manggeleng kepala lagi.
“Tidak ada. Kalau ada, tentu dia sudah bercerita kepada kami. Kami semua mencinta Sie Kauwsu dan kami semua merasa bersedih dan kehilangan.”
Sie Liong mengerutkan alisnya, termenung.
“Lopek, banyak terima kasih atas keteranganmu, dan aku tidak ingin lagi bicara tentang hal itu.”
Setelah berkata demikian, pemuda ini bersila di depan makam dan memejamkan kedua matanya, bersamadhi. Kakek Kwan tidak lagi berani mengganggunya.
Terjadi perang di dalam pikiran Sie Liong. Mengapa encinya bercerita lain? Mengapa encinya seperti hendak menutupi kematian ayah ibunya, dan mengatakan bahwa ayah ibunya tewas karena penyakit menular? Benarkah encinya tidak tahu akan peristiwa itu? Ataukah encinya sengaja membohonginya? Akan tetapi, bagaimana mungkin encinya berbohong kepadanya? Dia yakin benar betapa besar kasih sayang encinya kepadanya.
Dia tidak mau membicarakan urusan itu lagi dengan Kwan Sun, karena khawatir kalau orang-orang mencurigai encinya. Bagaimanapun juga, memang segalanya menunjukkan bahwa encinya tentu tahu akan peristiwa itu dan tahu pula siapa pembunuh ayah ibunya! Hanya encinya yang tahu, dan dia pasti akan mendengarnya dari encinya. Dia akan bertanya kepada Sie Lan Hong, encinya.
Setelah merasa cukup melakukan sembahyang di depan makam itu, Sie Liong lalu mengikuti Kwan Sun yang menjadi lurah baru untuk pulang ke rumah baru lurah itu. Dia harus tinggal beberapa hari lamanya di dusun itu untuk melatih beberapa jurus kepada bekas murid-murid ayahnya agar para penduduk dapat menyusun kekuatan untuk menghadapi ancaman orang-orang jahat seperti lurah Bouw.
Dengan penuh semangat para penduduk dusun itu, terutama mereka yang pernah belajar silat kepada Sie Kauwsu berlatih silat di bawah bimbingan Sie Liong selama satu minggu. Dan pada malam terakhir, Sie Liong duduk bersila di dalam kamarnya di rumah lurah Kwan merenungkan nasibnya. Nasib yang lebih banyak pahitnya dari pada manisnya. Sejak kecil dia telah menderita banyak sekali kekecewaan. Baru setelah dia menjadi murid orang-orang sakti dan berlatih ilmu di puncak bukit, hidupnya nampak indah dan berbahagia.
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar