Sekarang, begitu turun, dia mendengar berita kematian orang tuanya yang amat mengejutkan, yaitu bahwa ayah ibunya tewas karena dibunuh orang, sama sekali bukan karena penyakit. Ayah ibunya dan seisi rumah dibunuh, kecuali encinya dan dia! Apa artinya ini semua dan mengapakah encinya harus berbohong kepadanya? Dia harus mendengar penjelasan dari encinya.
Pada keesokan harinya dia berpamit meninggalkan dusun Tiong-cin, tempat kelahirannya itu. Lurah Kwan terkejut mendengar bahwa pendekar itu hendak pergi meninggalkan dusun mereka.
“Sie Taihiap, kenapa engkau tergesa-gesa hendak meninggalkan kami? Harap taihiap menanti selama beberapa hari karena kami semua bermaksud untuk menjamu taihiap yang telah menyelamatkan semua saudara di dusun ini dari penindasan orang jahat. Selain itu, juga saya sendiri mempunyai urusan yang amat penting untuk diselesaikan kepada taihiap.”
Sie Liong tersenyum. Dia memang memiliki rasa persaudaraan dekat sakali dengan para penghuni dusun Tiong-cin, tempat kelahirannya. Kalau para penduduk hendak menjamunya, sebagai semacam pesta perpisahan, tidak mungkin dia menolak. Dia tidak ingin mengecewakan hati mereka, dan pula, menunda beberapa haripun apa salahnya? Biarpun hatinya ingin sekali mendengar dari encinya tentang kematian orang tuanya, namun dia tidak tergesa-gesa.
“Baiklah, Kwan Lopek. Aku tidak berkeberatan untuk menunda dua hari lagi, akan tetapi jangan terlalu lama. Tentang urusanmu itu, apakah itu, lopek?”
“Sebelumnya maaf kalau pertanyaanku ini menyinggung karena terlalu pribadi. Akan tetapi bolehkah aku mengetahui apakah engkau sudah menikah atau bertunangan, Sie Taihiap?”
Sie Liong tersenyum dan menggeleng kepalanya. Kalau saja dia tidak menerima penggemblengan ilmu-ilmu yang dalam, juga pengertian tentang kehidupan dari para gurunya, tentu pertanyaan itu akan menyinggung perasaannya. Dia seorang yang cacat, bagaimana berani memikirkan tentang perjodohan? Wanita mana yang mau didekati seorang laki-laki yang bongkok seperti dia? Yatim piatu, miskin, dan bongkok pula!
“Tidak, lopek. Aku masih hidup seorang diri.”
Tiba-tiba wajah kakek itu berseri gembira sehingga Sie Liong menjadi heran. Bahkan kini kakek itu tertawa.
“Ha-ha-ha, sungguh kebetulan sekali, taihiap. Kalau Tuhan menghendaki, dan kalau taihiap tidak merasa rendah, kami sekeluarga, bahkan seluruh penduduk dusun ini akan merasa berbahagia sekali kalau taihiap sudi menjadi jodoh cucuku Kwan Siu Si. Ia juga sudah yatim piatu dan ia seorang anak yang amat baik, taihiap.”
Wajah Sie Liong berubah merah. Siu Si? Hemm, gadis yang manis sekali itu! Memang dia sama sekali belum pernah berpikir tentang jodoh. Akan tetapi kalau benar gadis yang manis itu mau dijodohkan dengan dia, sungguh hal itu merupakan suatu anugerah baginya. Gadis itu berwajah manis, bertubuh padat dan sehat, juga seorang gadis dari dusun tempat kelahirannya sendiri.
“Bagaimana, Sie Taihiap? Maafkan kami kalau usulku tadi menyinggung perasaanmu. Memang kami akui bahwa Siu Si seorang gadis dusun bodoh dan terlalu rendah apabila dibandingkan dengan taihiap.”
“Ah, jangan berkata demikian, lopek! Sama sekali aku tidak mempunyai pikiran seperti itu. Bahkan aku merasa berterima kasih sekali. Akan tetapi karena aku sudah tidak mempunyai ayah ibu, aku harus minta keputusan enciku dalam hal perjodohan. Maka, bersabarlah kalau aku belum dapat memberi jawaban dan keputusan sekarang. Aku akan menyampaikan kepada enci dan minta keputusan enci.”
“Tapi.... tapi, engkau sendiri tidak berkeberatan, taihiap?”
Sie Liong menggelengkan kepala.
Lurah Kwan menjadi girang bukan main.
“Terima kasih, taihiap! Aku akan memberitahu kepada kawan-kawan agar secepatnya mempersiapkan jamuan karena engkau akan pulang ke rumah encimu!”
Pada keesokan harinya, perjamuan makan untuk menghormati Sie Liong dan untuk menghaturkan selamat jalan diadakan di rumah Lurah Kwan. Semua penghuni dusun itu hadir, dan Sie Liong duduk semeja dengan Lurah Kwan, dilayani oleh Siu Si sendiri. Gadis ini nampak malu-malu, karena ia sudah diberitahu oleh kakeknya tentang usaha kakeknya menjodohkannya dengan pendekar itu.
Sie Liong melihat betapa gadis yang manis ini kelihatan canggung dan malu-malu, akan tetapi penglihatan Sie Liong yang tajam dapat menangkap bekas air mata dan mata yang agak kemerahan oleh tangis, dan bahwa sikap ramah dan senyum di bibir yang mungil itu tidak wajar, seperti dipaksakan.
Lurah Kwan bangkit berdiri dan minta perhatian kepada semua orang, lalu dia membuat pengumuman bahwa dia telah menjodohkan Kwan Siu Si kepada pendekar Sie Liong! Tentu saja berita ini amat menggembirakan para penduduk dusun itu dan mereka menyambutnya dengan sorakan dan tepuk tangan. Lurah Kwan mengangkat kedua lengan ke atas dan merekapun diam, wajah mereka berseri dan mereka mendengarkan penuh perhatian apa yang akan diucapkan oleh kepala dusun baru itu.
“Perjodohan ini telah kami bicarakan dengan Sie-taihiap, dan diapun tidak berkeberatan. Akan tetapi jawaban dan keputusannya akan diberikan setelah dia menyampaikan hal itu kepada encinya yang kini tinggal di kota Sung-jan. Karena itu, dalam waktu dekat ini Sie-taihiap akan meninggalkan dusun kita dan pulang ke Sung-jan untuk minta persetujuan encinya.”
Kembali orang-orang bersorak dan bertepuk tangan. Akan tetapi Sie Liong melihat betapa Siu Si, gadis yang tadi melayani mereka bahkan diajak makan bersama oleh kakeknya, diam-diam telah pergi meninggalkan meja dan keluar dari ruangan itu. Kwan Sun yang melihat hal itu hanya tertawa.
“Maafkan cucuku. Maklum, ia malu-malu,” katanya dan Sie Liong juga tidak berkata sesuatu.
Malam itu, di dalam kamarnya, Sie Liong agak gelisah. Malam terakhir dia di rumah keluarga Kwan yang menjadi lurah baru, karena besok pagi-pagi dia akan pergi meninggalkan dusun itu. Akan tetapi bukan hal itu yang membuatnya tidak dapat tidur. Dia membayangkan keadaan sendiri, tentang ikatan jodoh itu. Bagaimana kalau encinya menyetujui ikatan jodoh itu? Kalau encinya tidak setuju, hal itu bukan yang digelisahkan.
Kalau encinya tidak setuju, tinggal menyampaikan saja kepada Lurah Kwan dan ikatan itu tidak jadi. Dia hanya suka saja kepada Siu Si yang manis, apalagi gadis sedusun dengannya. Dia belum dapat merasakan, belum tahu dan belum mengerti apa itu yang dinamakan cinta antara pria dan wanita. Akan tetapi, bagaimana kalau encinya setuju? Apakah dia harus menikah dengan Siu Si? Lalu apa jadinya dengan dia? Dia tidak mempunyai rumah tinggal, tidak mempunyai pekerjaan yang menghasilkan sesuatu. Tinggal di rumah Lurah Kwan? Sebagai laki-laki, tentu hal ini merendahkan harga dirinya. Ikut encinya? Inipun tidak betul, mengingat akan sikap cihu-nya dan bahkan urusan kematian orang tuanya masih menjadi rahasia yang harus dia tanyakan kepada encinya.
Dan Bi Sian.... Tiba-tiba Sie Liong tertegun dan termenung. Bi Sian! Terbayanglah wajah anak perempuan yang manis, manja dan galak itu, dan jantungnya berdebar. Mengapa timbul parasaan yang amat aneh ketika dia teringat kepada Bi Sian? Uhh, anak itu tentu akan menggodanya setengah mati kalau mendengar bahwa dia hendak kawin!
Tiba-tiba saja timbul penyesalan di dalam hatinya. Mengapa dia tergesa-gesa menerima usul lurah Kwan? Kini dia telah melangkah maju, tidak mungkin mundur lagi tanpa menyakiti hati keluarga Kwan.
Tiba-tiba Sie Liong bangkit duduk, memejamkan mata dan mengerahkan pendengarannya yang terlatih. Dia mendengar suara isak tangis tertahan! Karena mengkhawatirkan terjadinya sesuatu yang tidak bares, apalagi dia menduga bahwa tangis itu agaknya suara tangis Siu Si di dalam kamarnya, dengan hati-hati Sie Liong membuka jendela kamarnya dan sekali berkelebat dia sudah berada di luar kamarnya, kemudian meloncat naik ke atas genteng dan mengintai ke dalam kamar gadis yang dicalonkan menjadi isterinya itu.
Benar saja. Siu Si duduk di atas pembaringan sambil menangis lirih. Agaknya gadis itu menahan suara tangisnya agar tidak kedengaran orang lain. Seorang wanita setengah tua duduk di dekat gadis itu dan menghiburnya.
“Bibi Liu, kau tidak perlu membujuk dan menghiburku! Percuma kong-kong menyuruh engkau menemaniku dan membujukku. Kong-kong sudah tahu bahwa aku telah lama bersahabat akrab dengan Sui-koko, dan semua orang tahu, engkau juga tahu bahwa kami saling mencinta dan kami mengharapkan kelak menjadi suami isteri. Bahkan kong-kong, biarpun tidak secara resmi, menyetujui kalau Siu-koko kelak menjadi suamiku. Akan tetapi kenapa tiba-tiba saja kong-kong menjodohkan aku dengan.... Si Bongkok itu?”
“Hushh, jangan berkata demikian, Siu Si. Dia adalah seorang pendekar sakti yang budiman....”
“Aku tidak perduli! Biar dia sakti seperti dewa sekalipun, aku tidak sudi, aku tidak suka padanya. Siapa mau dikawinkan dengan seorang yang bongkok dan buruk?” Siu Si menangis lagi.
“Hushh, kau tidak boleh berkata begitu, Siu Si. Sie-taihiap memang bongkok, akan tetapi dia tidaklah buruk. Pula, dia telah menyelamatkan kita semua, terutama engkau! Kalau tidak ada dia, bukankah engkau telah menjadi tawanan Lurah Bouw?”
“Tapi dia menolongku dengan pamrih! Buktinya, setelah menolongku, kenapa dia tidak pergi saja dan bahkan ingin menjadi suamiku? Aku tidak sudi.... tidak sudi menjadi isteri Si Bongkok! Aihh, aku mau minggat saja dengan Siu-koko....”
“Hushhh....!”
Wajah Sie Liong menjadi pucat, lalu merah kembali dan tanpa diketahui siapapun, dia sudah melayang turun kembali ke dalam kamarnya. Hatinya seperti ditusuk rasanya. Dia menyelamatkan dusun kelahirannya, menolong penduduk dengan hati yang jujur, menghindarkan Siu Si dari bahaya dengan sesungguhnya tanpa pamrih.
Akan tetapi kini dia dituduh yang bukan-bukan. Dan gadis yang ditolongnya itu menyebutnya Si Bongkok dengan nada suara menghina dan penuh kebencian! Dan gadis yang amat membencinya itu akan menjadi isterinya? Tidak, tidak mungkin! Dengan tubuh lemas dan jari tangan agak gemetar Sie Liong lalu menulis sepucuk surat, pendek saja isinya.
Kwan Lopek,
Maafkan kepergianku tanpa pamit. Tentang perjodohanku itu, sebaiknya kita batalkan saja. Aku tidak mau terikat perjodohan dan aku bukan calon suami yang baik bagi cucumu.
Sie Liong.
Malam itu juga Sie Liong meninggalkan rumah Lurah Kwan, meninggalkan dusun Tiong-cin lalu keluar menuju ke barat. Menjelang pagi, ketika matahari mulai nampak mengintai dari balik cakrawala di timur, dia sudah tiba di puncak sebuah bukit. Dia duduk menghadap ke arah matahari yang baru tersembul, duduk memeluk kedua lututnya, tersenyum pahit dan kadang-kadang meraba punggungnya yang bongkok. Terngiang suara Siu Si diantara isaknya.
“Siapa mau dikawinkan dengan seorang yang bongkok dan buruk? Aku tidak sudi menjadi isteri Si Bongkok....”
Senyum yang menghias wajah Sie Liong menjadi pahit sekali. Ia mengepal tinjunya, wajahnya merah. Akan tetapi kepalan tinjunya terbuka kembali dan kepahitan senyumnya menipis. Kenapa dia harus marah? Memang dia bongkok, memang dia buruk, habis mengapa? Biarlah dia berbahagia dengan kebongkokannya, dengan keburukannya. Bongkok dan buruk hanyalah tubuh. Dia bahkan harus berterima kasih kepada Siu Si. Seorang gadis yang hebat! Tidak mau menyerah begitu saja, berjiwa pemberontak dan berani menentang kesewenang-wenangan.
Kakeknya memang sewenang-wenang! Kalau kakek Kwan itu sudah tahu bahwa cucunya saling mencinta dengan seorang pemuda lain, kenapa mempunyai niat hendak menjodohkan cucunya itu dengan dia! Untuk membalas budi? Untuk mencari muka? Atau untuk mengikat agar dia mau terus tinggal di dusun itu sehingga menjamin keamanan dan keselamatan penduduk?
Yang jelas, niat itu sudah pasti berpamrih. Kalau tidak, tentu kakek Kwan tidak akan memutuskan ikatan kasih sayang antara cucunya dan pemuda lain. Ya, dia harus berterima kasih kepada Siu Si. Kalau gadis itu seperti para gadis lain yang lemah dan tidak berdaya, tidak menentang melainkan “terima nasib”, bukankah dia akan memasuki sebuah perkawinan yang celaka? Isterinya akan merupakan orang yang sama sekali tidak mencintanya, bahkan membencinya, dan hanya mau menjadi isterinya karena terpaksa!
“Terima kasih, Siu Si....” dia berbisik, lalu bangkit berdiri.
Pagi itu indah sekali. Matahari muncul sebagai sebuah bola merah yang amat besar, dengan sinar redup cemerlang. Dia tersenyum kepada matahari.
“Terima kasih, matahari, untuk pagi yang seindah ini....” dia kembali berbisik dan memandang matahari.
Tidak lama, karena segera sinar matahari mulai menyilaukan dan tidak baik untuk kesehatan mata. Sie Liong membalikkan tubuh, lalu menuruni puncak bukit itu, senyumnya tidak lagi pahit, melainkan senyum cerah, menyongsong hari yang cerah.
“Terima kasih, Thian, untuk tubuh yang bongkok ini....” dia berbisik penuh rasa sukur.
Pada keesokan harinya dia berpamit meninggalkan dusun Tiong-cin, tempat kelahirannya itu. Lurah Kwan terkejut mendengar bahwa pendekar itu hendak pergi meninggalkan dusun mereka.
“Sie Taihiap, kenapa engkau tergesa-gesa hendak meninggalkan kami? Harap taihiap menanti selama beberapa hari karena kami semua bermaksud untuk menjamu taihiap yang telah menyelamatkan semua saudara di dusun ini dari penindasan orang jahat. Selain itu, juga saya sendiri mempunyai urusan yang amat penting untuk diselesaikan kepada taihiap.”
Sie Liong tersenyum. Dia memang memiliki rasa persaudaraan dekat sakali dengan para penghuni dusun Tiong-cin, tempat kelahirannya. Kalau para penduduk hendak menjamunya, sebagai semacam pesta perpisahan, tidak mungkin dia menolak. Dia tidak ingin mengecewakan hati mereka, dan pula, menunda beberapa haripun apa salahnya? Biarpun hatinya ingin sekali mendengar dari encinya tentang kematian orang tuanya, namun dia tidak tergesa-gesa.
“Baiklah, Kwan Lopek. Aku tidak berkeberatan untuk menunda dua hari lagi, akan tetapi jangan terlalu lama. Tentang urusanmu itu, apakah itu, lopek?”
“Sebelumnya maaf kalau pertanyaanku ini menyinggung karena terlalu pribadi. Akan tetapi bolehkah aku mengetahui apakah engkau sudah menikah atau bertunangan, Sie Taihiap?”
Sie Liong tersenyum dan menggeleng kepalanya. Kalau saja dia tidak menerima penggemblengan ilmu-ilmu yang dalam, juga pengertian tentang kehidupan dari para gurunya, tentu pertanyaan itu akan menyinggung perasaannya. Dia seorang yang cacat, bagaimana berani memikirkan tentang perjodohan? Wanita mana yang mau didekati seorang laki-laki yang bongkok seperti dia? Yatim piatu, miskin, dan bongkok pula!
“Tidak, lopek. Aku masih hidup seorang diri.”
Tiba-tiba wajah kakek itu berseri gembira sehingga Sie Liong menjadi heran. Bahkan kini kakek itu tertawa.
“Ha-ha-ha, sungguh kebetulan sekali, taihiap. Kalau Tuhan menghendaki, dan kalau taihiap tidak merasa rendah, kami sekeluarga, bahkan seluruh penduduk dusun ini akan merasa berbahagia sekali kalau taihiap sudi menjadi jodoh cucuku Kwan Siu Si. Ia juga sudah yatim piatu dan ia seorang anak yang amat baik, taihiap.”
Wajah Sie Liong berubah merah. Siu Si? Hemm, gadis yang manis sekali itu! Memang dia sama sekali belum pernah berpikir tentang jodoh. Akan tetapi kalau benar gadis yang manis itu mau dijodohkan dengan dia, sungguh hal itu merupakan suatu anugerah baginya. Gadis itu berwajah manis, bertubuh padat dan sehat, juga seorang gadis dari dusun tempat kelahirannya sendiri.
“Bagaimana, Sie Taihiap? Maafkan kami kalau usulku tadi menyinggung perasaanmu. Memang kami akui bahwa Siu Si seorang gadis dusun bodoh dan terlalu rendah apabila dibandingkan dengan taihiap.”
“Ah, jangan berkata demikian, lopek! Sama sekali aku tidak mempunyai pikiran seperti itu. Bahkan aku merasa berterima kasih sekali. Akan tetapi karena aku sudah tidak mempunyai ayah ibu, aku harus minta keputusan enciku dalam hal perjodohan. Maka, bersabarlah kalau aku belum dapat memberi jawaban dan keputusan sekarang. Aku akan menyampaikan kepada enci dan minta keputusan enci.”
“Tapi.... tapi, engkau sendiri tidak berkeberatan, taihiap?”
Sie Liong menggelengkan kepala.
Lurah Kwan menjadi girang bukan main.
“Terima kasih, taihiap! Aku akan memberitahu kepada kawan-kawan agar secepatnya mempersiapkan jamuan karena engkau akan pulang ke rumah encimu!”
Pada keesokan harinya, perjamuan makan untuk menghormati Sie Liong dan untuk menghaturkan selamat jalan diadakan di rumah Lurah Kwan. Semua penghuni dusun itu hadir, dan Sie Liong duduk semeja dengan Lurah Kwan, dilayani oleh Siu Si sendiri. Gadis ini nampak malu-malu, karena ia sudah diberitahu oleh kakeknya tentang usaha kakeknya menjodohkannya dengan pendekar itu.
Sie Liong melihat betapa gadis yang manis ini kelihatan canggung dan malu-malu, akan tetapi penglihatan Sie Liong yang tajam dapat menangkap bekas air mata dan mata yang agak kemerahan oleh tangis, dan bahwa sikap ramah dan senyum di bibir yang mungil itu tidak wajar, seperti dipaksakan.
Lurah Kwan bangkit berdiri dan minta perhatian kepada semua orang, lalu dia membuat pengumuman bahwa dia telah menjodohkan Kwan Siu Si kepada pendekar Sie Liong! Tentu saja berita ini amat menggembirakan para penduduk dusun itu dan mereka menyambutnya dengan sorakan dan tepuk tangan. Lurah Kwan mengangkat kedua lengan ke atas dan merekapun diam, wajah mereka berseri dan mereka mendengarkan penuh perhatian apa yang akan diucapkan oleh kepala dusun baru itu.
“Perjodohan ini telah kami bicarakan dengan Sie-taihiap, dan diapun tidak berkeberatan. Akan tetapi jawaban dan keputusannya akan diberikan setelah dia menyampaikan hal itu kepada encinya yang kini tinggal di kota Sung-jan. Karena itu, dalam waktu dekat ini Sie-taihiap akan meninggalkan dusun kita dan pulang ke Sung-jan untuk minta persetujuan encinya.”
Kembali orang-orang bersorak dan bertepuk tangan. Akan tetapi Sie Liong melihat betapa Siu Si, gadis yang tadi melayani mereka bahkan diajak makan bersama oleh kakeknya, diam-diam telah pergi meninggalkan meja dan keluar dari ruangan itu. Kwan Sun yang melihat hal itu hanya tertawa.
“Maafkan cucuku. Maklum, ia malu-malu,” katanya dan Sie Liong juga tidak berkata sesuatu.
Malam itu, di dalam kamarnya, Sie Liong agak gelisah. Malam terakhir dia di rumah keluarga Kwan yang menjadi lurah baru, karena besok pagi-pagi dia akan pergi meninggalkan dusun itu. Akan tetapi bukan hal itu yang membuatnya tidak dapat tidur. Dia membayangkan keadaan sendiri, tentang ikatan jodoh itu. Bagaimana kalau encinya menyetujui ikatan jodoh itu? Kalau encinya tidak setuju, hal itu bukan yang digelisahkan.
Kalau encinya tidak setuju, tinggal menyampaikan saja kepada Lurah Kwan dan ikatan itu tidak jadi. Dia hanya suka saja kepada Siu Si yang manis, apalagi gadis sedusun dengannya. Dia belum dapat merasakan, belum tahu dan belum mengerti apa itu yang dinamakan cinta antara pria dan wanita. Akan tetapi, bagaimana kalau encinya setuju? Apakah dia harus menikah dengan Siu Si? Lalu apa jadinya dengan dia? Dia tidak mempunyai rumah tinggal, tidak mempunyai pekerjaan yang menghasilkan sesuatu. Tinggal di rumah Lurah Kwan? Sebagai laki-laki, tentu hal ini merendahkan harga dirinya. Ikut encinya? Inipun tidak betul, mengingat akan sikap cihu-nya dan bahkan urusan kematian orang tuanya masih menjadi rahasia yang harus dia tanyakan kepada encinya.
Dan Bi Sian.... Tiba-tiba Sie Liong tertegun dan termenung. Bi Sian! Terbayanglah wajah anak perempuan yang manis, manja dan galak itu, dan jantungnya berdebar. Mengapa timbul parasaan yang amat aneh ketika dia teringat kepada Bi Sian? Uhh, anak itu tentu akan menggodanya setengah mati kalau mendengar bahwa dia hendak kawin!
Tiba-tiba saja timbul penyesalan di dalam hatinya. Mengapa dia tergesa-gesa menerima usul lurah Kwan? Kini dia telah melangkah maju, tidak mungkin mundur lagi tanpa menyakiti hati keluarga Kwan.
Tiba-tiba Sie Liong bangkit duduk, memejamkan mata dan mengerahkan pendengarannya yang terlatih. Dia mendengar suara isak tangis tertahan! Karena mengkhawatirkan terjadinya sesuatu yang tidak bares, apalagi dia menduga bahwa tangis itu agaknya suara tangis Siu Si di dalam kamarnya, dengan hati-hati Sie Liong membuka jendela kamarnya dan sekali berkelebat dia sudah berada di luar kamarnya, kemudian meloncat naik ke atas genteng dan mengintai ke dalam kamar gadis yang dicalonkan menjadi isterinya itu.
Benar saja. Siu Si duduk di atas pembaringan sambil menangis lirih. Agaknya gadis itu menahan suara tangisnya agar tidak kedengaran orang lain. Seorang wanita setengah tua duduk di dekat gadis itu dan menghiburnya.
“Bibi Liu, kau tidak perlu membujuk dan menghiburku! Percuma kong-kong menyuruh engkau menemaniku dan membujukku. Kong-kong sudah tahu bahwa aku telah lama bersahabat akrab dengan Sui-koko, dan semua orang tahu, engkau juga tahu bahwa kami saling mencinta dan kami mengharapkan kelak menjadi suami isteri. Bahkan kong-kong, biarpun tidak secara resmi, menyetujui kalau Siu-koko kelak menjadi suamiku. Akan tetapi kenapa tiba-tiba saja kong-kong menjodohkan aku dengan.... Si Bongkok itu?”
“Hushh, jangan berkata demikian, Siu Si. Dia adalah seorang pendekar sakti yang budiman....”
“Aku tidak perduli! Biar dia sakti seperti dewa sekalipun, aku tidak sudi, aku tidak suka padanya. Siapa mau dikawinkan dengan seorang yang bongkok dan buruk?” Siu Si menangis lagi.
“Hushh, kau tidak boleh berkata begitu, Siu Si. Sie-taihiap memang bongkok, akan tetapi dia tidaklah buruk. Pula, dia telah menyelamatkan kita semua, terutama engkau! Kalau tidak ada dia, bukankah engkau telah menjadi tawanan Lurah Bouw?”
“Tapi dia menolongku dengan pamrih! Buktinya, setelah menolongku, kenapa dia tidak pergi saja dan bahkan ingin menjadi suamiku? Aku tidak sudi.... tidak sudi menjadi isteri Si Bongkok! Aihh, aku mau minggat saja dengan Siu-koko....”
“Hushhh....!”
Wajah Sie Liong menjadi pucat, lalu merah kembali dan tanpa diketahui siapapun, dia sudah melayang turun kembali ke dalam kamarnya. Hatinya seperti ditusuk rasanya. Dia menyelamatkan dusun kelahirannya, menolong penduduk dengan hati yang jujur, menghindarkan Siu Si dari bahaya dengan sesungguhnya tanpa pamrih.
Akan tetapi kini dia dituduh yang bukan-bukan. Dan gadis yang ditolongnya itu menyebutnya Si Bongkok dengan nada suara menghina dan penuh kebencian! Dan gadis yang amat membencinya itu akan menjadi isterinya? Tidak, tidak mungkin! Dengan tubuh lemas dan jari tangan agak gemetar Sie Liong lalu menulis sepucuk surat, pendek saja isinya.
Kwan Lopek,
Maafkan kepergianku tanpa pamit. Tentang perjodohanku itu, sebaiknya kita batalkan saja. Aku tidak mau terikat perjodohan dan aku bukan calon suami yang baik bagi cucumu.
Sie Liong.
Malam itu juga Sie Liong meninggalkan rumah Lurah Kwan, meninggalkan dusun Tiong-cin lalu keluar menuju ke barat. Menjelang pagi, ketika matahari mulai nampak mengintai dari balik cakrawala di timur, dia sudah tiba di puncak sebuah bukit. Dia duduk menghadap ke arah matahari yang baru tersembul, duduk memeluk kedua lututnya, tersenyum pahit dan kadang-kadang meraba punggungnya yang bongkok. Terngiang suara Siu Si diantara isaknya.
“Siapa mau dikawinkan dengan seorang yang bongkok dan buruk? Aku tidak sudi menjadi isteri Si Bongkok....”
Senyum yang menghias wajah Sie Liong menjadi pahit sekali. Ia mengepal tinjunya, wajahnya merah. Akan tetapi kepalan tinjunya terbuka kembali dan kepahitan senyumnya menipis. Kenapa dia harus marah? Memang dia bongkok, memang dia buruk, habis mengapa? Biarlah dia berbahagia dengan kebongkokannya, dengan keburukannya. Bongkok dan buruk hanyalah tubuh. Dia bahkan harus berterima kasih kepada Siu Si. Seorang gadis yang hebat! Tidak mau menyerah begitu saja, berjiwa pemberontak dan berani menentang kesewenang-wenangan.
Kakeknya memang sewenang-wenang! Kalau kakek Kwan itu sudah tahu bahwa cucunya saling mencinta dengan seorang pemuda lain, kenapa mempunyai niat hendak menjodohkan cucunya itu dengan dia! Untuk membalas budi? Untuk mencari muka? Atau untuk mengikat agar dia mau terus tinggal di dusun itu sehingga menjamin keamanan dan keselamatan penduduk?
Yang jelas, niat itu sudah pasti berpamrih. Kalau tidak, tentu kakek Kwan tidak akan memutuskan ikatan kasih sayang antara cucunya dan pemuda lain. Ya, dia harus berterima kasih kepada Siu Si. Kalau gadis itu seperti para gadis lain yang lemah dan tidak berdaya, tidak menentang melainkan “terima nasib”, bukankah dia akan memasuki sebuah perkawinan yang celaka? Isterinya akan merupakan orang yang sama sekali tidak mencintanya, bahkan membencinya, dan hanya mau menjadi isterinya karena terpaksa!
“Terima kasih, Siu Si....” dia berbisik, lalu bangkit berdiri.
Pagi itu indah sekali. Matahari muncul sebagai sebuah bola merah yang amat besar, dengan sinar redup cemerlang. Dia tersenyum kepada matahari.
“Terima kasih, matahari, untuk pagi yang seindah ini....” dia kembali berbisik dan memandang matahari.
Tidak lama, karena segera sinar matahari mulai menyilaukan dan tidak baik untuk kesehatan mata. Sie Liong membalikkan tubuh, lalu menuruni puncak bukit itu, senyumnya tidak lagi pahit, melainkan senyum cerah, menyongsong hari yang cerah.
“Terima kasih, Thian, untuk tubuh yang bongkok ini....” dia berbisik penuh rasa sukur.
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar