Ads

Selasa, 03 Desember 2019

Pendekar Bongkok Jilid 041

Bukankah tubuhnya itu pemberian Tuhan? Bongkok atau tidak, pemberian Tuhan adalah anugerah yang sempurna, dan patut disukuri. Biarlah semua orang tidak menyukainya dan menghinanya karena tubuhnya yang bongkok, dia tidak akan berkecil hati.

Memang dia bongkok, tinggal orang lain mau menerimanya seperti apa adanya ataukah tidak. Dia memang bongkok dan dia tidak ingin menjadi tidak bongkok, karena keinginan seperti itulah yang menyengsarakan kehidupan manusia. Menginginkan sesuatu yang tidak dimilikinya, menginginkan sesuatu yang lain dari pada yang ada. Tidak, dia tidak menginginkan apa-apa. Dia memang bongkok, seorang pemuda yang berbahagia.

“Liong-te....!” Sie Lan Hong menjerit dan merangkul pemuda bongkok yang muncul di depannya itu. Wanita itu merangkul dan menangis di dada adiknya. “Aih, Liong-te.... betapa girangnya hatiku melihatmu....!”

Sie Liong membiarkan encinya menangis dan menumpahkan semua peraaaan haru dan rindu, juga kebahagiaan hati melihat bahwa adik yang telah lama menghilang itu kini muncul dalam keadaan selamat dan telah menjadi seorang pemuda dewasa. Setelah mereda guncangan hatinya, Sie Lan Hong melepaskan rangkulannya.

“Enci, marilah kita duduk dan bicara,” kata Sie Liong, “dan mana ci-hu (kakak ipar)?”

“Cihu-mu.... dia pergi, sebentar tentu akan kembali. Marilah, Liong-te, mari kita duduk di dalam.”

Sambil bergandeng tangan mereka masuk. Diam-diam Sie Liong memperhatikan segala yang nampak disitu. Encinya nampak kurus dan pucat, dan garis-garis duka membuat encinya nampak tua. Padahal kini usianya sendiri dua puluh tahun, berarti encinya baru tiga puluh empat tahun. Belum setua nampaknya! Tentu encinya hidup dalam kedukaan, pikirnya. Karena dia pergi? Dan rumah ini berbeda jauh dengan tujuh delapan tahun yang lalu. Cihu-nya yang berdagang rempa-rempa dapat dikatakan hidup makmur biarpun tidak terlalu kaya.

Dahulu, prabot rumahmya cukup mewah dan keluarga encinya hidup berkecukupan. Akan tetapi sekarang sunguh berbeda sekali keadaannya. Pakaian yang dikenakan encinya juga tidak seindah dulu. Di tubuhnya tidak pula nampak perhiasan mahal. Dan prabot rumah sudah berganti semua, terganti prabot yang murah dan buruk. Tentu saja hati Sie Liong diliputi perasaan khawatir sekali walaupun wajahnya tidak membayangkan sesuatu ketika dia duduk berhadapan dengan encinya.

Keduanya saling pandang dan wajah wanita itu berseri melihat betapa adiknya, walaupun punggungnya masih bongkok, namun telah menjadi seorang pemuda dewasa yang wajahnya gagah dan tubuhnya nampak sehat.

“Liong-te, selama ini engkau pergi kemana saja?”

“Aku mempelajari ilmu silat, enci, berguru kepada orang-orang sakti dari Himalaya.”

Sie Liong menceritakan secara singkat tentang riwayatnya ketika belajar ilmu silat. Mendengar ini, encinya girang sekali.

“Ah, sukurlah, adikku. Dengan demikian, maka engkau kini tentu menjadi seorang pendekar yang tidak akan mengecewakan hati ayah dan ibu di alam baka....”

Sie Liong merasa heran. Biasanya dahulu encinya paling tidak suka membicarakan ayah dan ibu mereka yang sudah tiada.

“Enci Hong, kedatanganku ini untuk bertanya sesuatu kepadamu dan harap sekali ini engkau tidak berbohong kepadaku.”

Wanita itu terbelalak memandang kepadanya, mukanya segera berubah agak pucat dan sinar matanya membayangkan ketakutan.

“Apa.... apakah yang ingin kau tanyakan, adikku?”

“Apa yang telah terjadi dengan ayah dan ibu kita, enci?”






Wanita itu nampak semakin kaget.
“Ayah dan ibu? Mereka.... mereka meninggal dunia....”

“Tak perlu membohong lagi, enci. Aku sudah pergi ke Tiong-cin dan disana aku mendengar bahwa ayah dan ibu, dan juga suheng Kim Cu An, dua orang pelayan wanita, anjing, ayam dan kuda, semua dibunuh orang pada suatu malam. Nah, enci tidak perlu berbohong lagi!”

Sie Lan Hong menangis, lalu mengusap air matanya dan berkata,
“Engkau maafkan aku, Liong-te. Memang dulu aku berbohong kepadamu agar tidak membuat engkau penasaran dan diracuni dendam. Memang pada malam jahanam itu keluarga ayah diserbu musuh. Ayah telah mengetahuinya, maka dia memaksa aku pergi meninggalkan rumah dan membawa engkau yang baru berusia sepuluh bulan. Ayah memaksaku, dan andaikata aku tidak pergi membawamu mengungsi, tentu kita berdua sudah menjadi korban pembunuhan pula....”

Sie Liong memandang wajah encinya dengan tajam dan penuh selidik.
“Enci, di dusun kita itu tidak ada seorangpun mengetahui siapa pembasmi keluarga kita. Apakah engkau tahu, enci? Siapakah musuh besar yang demikian kejam itu?”

Sie Lan Hong menangis lagi dan menggeleng kepala keras-keras.
“Tidak.... ah, aku tidak tahu.... aku tidak tahu.... aku mengajakmu melarikan diri, adikku. Aku tidak tahu siapa pembunuh itu....”

Melihat encinya menangis lagi, agaknya berduka mengingat akan kematian ayah ibu mereka yang mengerikan, Sie Liong tidak bertanya lagi. Jadi benar ayah ibunya, suhengnya, dua orang pelayan dan semua binatang peliharaan di rumah orang tuanya dibunuh orang. Tentu orang itu menyimpan dendam yang amat hebat maka melakukan perbuatan sekejam itu.

Lalu dia teringat kepada Yauw Bi Sian.
“Enci, aku tidak melihat Bi Sian. Di manakah ia?”

Encinya kembali memperlihatkan wajah duka.
“Ia juga pergi mempelajari ilmu. Ia bertemu dengan seorang sakti dan menjadi muridnya, lalu diajak pergi oleh gurunya itu.”

“Ahhh....!” Sie Liong kagum sekali mendengar ini. Anak yang bengal itu akhirnya belajar silat pada seorang sakti! “Siapakah nama gurunya, enci?”

“Namanya Koay Tojin....”

Sie Liong menahan debaran jantungnya. Koay Tojin? Kakek yang seperti gila namun yang amat sakti itu? Koay Tojin adalah sute dari Pek-sim Sian-su, gurunya sendiri!

“Kapan ia pulang, enci?” tanyanya, hatinya masih berdebar girang.

“Entah, menurut janjinya dahulu ketika pamit, agaknya sewaktu-waktu ia akan pulang.”

“Enci yang baik, engkau kelihatan begini lesu, kurus dan sengsara. Juga aku melihat perubahan dalam rumah ini. Enci, apakah cihu gagal dalam usahanya dan menderita rugi? Apakah engkau sakit, enci?”

Ditanya demikian, Sie Lan Hong tiba-tiba menutupi muka dengan kedua tangannya dan menangis sesenggukan. Sedih sekali. Sie Liong terkejut. Dia mendiamkan saja encinya menangis tersedu-sedu. Setelah tangis itu mereda, Sie Liong memegang tangan encinya, digenggamnya tangan itu.

“Enci, engkau hanya mempunyai aku sebagai keluargamu. Percayalah kepadaku dan ceritakan semuanya. Siapa tahu aku akan dapat meringankan beban penderitaan batinmu, enci.”

Wanita itu menggeleng kepalanya.
“Aih, memang nasibku buruk, adikku. Semenjak engkau pergi, lalu disusul Bi Sian juga pergi. Semenjak itu ah, cihu-mu berubah sama sekali. Dia dahulu begitu baik, begitu mencintaku, akan tetapi sudah beberapa tahun ini.... dia hampir setiap malam pergi. Dia berjudi sampai habis-habisan. Pekerjaannya tidak diurus sehingga bangkrut.... dan dia.... dia hanya berjudi dan pelesir saja....”

Sie Liong mengerutkan alianya. Cihu-nya itu sungguh semakin tua tidak mencari jalan terang! Akan tetapi, bagaimana dia dapat mcncampuri urusan rumah tangga encinya? Bagaimanapun juga, cihu-nya telah menyeleweng, dan hal itu perlu ditegur dan diingatkan. Sie Liong teringat bahwa adiknya baru datang. Diusapnya air mata dan ia pun memaksa diri tersenyum.

“Aih, engkau datang-datang kuajak bicara hal-hal yang tidak enak saja, Liong-te. Mari, engkau beristirahatlah. Akan kubersihkan kamarmu untukmu.”

“Biar kubersihkan sendiri, enci. Akupun tidak akan lama sekali tinggal disini.”

“Liong-te, jangan begitu! Engkau baru pulang dan engkau mendatangkan kegembiraan di hatiku. Jangan tergesa-gesa pergi. Temanilah encimu yang kesepian ini, Liong-te. Ah, kita sudah tidak mempunyai pelayan, semua harus dikerjakan sendiri.”

“Baiklah, enci. Aku akan tinggal selama beberapa hari sampai hilang rasa rindu kita.”

Diam-diam dia bermakasud untuk membujuk agar cihu-nya kembali ke jalan benar. Kalau perlu dia akan menggunakan teguran keras!

Setelah jauh malam, baru nampak Yauw Sun Kok pulang menggedor pintu dalam keadaan mabok! Memang semenjak Bi Sian pergi, Yauw Sun Kok telah berubah sama sekali. Agaknya karena anaknya tidak ada dan dia merasa kesepian, maka kambuh pula penyakit lamanya.

Dia merasa bosan dengan isterinya dan dia berpelesir di luaran, menjadi langganan rumah pelacuran dan rumah perjudian. Perdagangannya bangkrut karena tidak diurusnya sehingga perabot rumahpun yang berharga telah dijualnya untuk modal berjudi! Terhadap isterinya dia tidak perduli, bahkan pernah beberapa kali kalau isterinya mengomelinya, dia tidak segan turun tangan memukulinya.

Melihat encinya tergopoh-gopoh membuka pintu depan, Sie Liong juga ke luar dari dalam kamarnya.

“Brakkkkkk!”

Daun pintu didorong kuat-kuat dari luar ketika kuncinya dibuka oleh encinya dari dalam dan tubuh Sie Lan Hong terdorong oleh daun pintu sampai terhuyung dan hampir jatuh.

“Perempuan gila! Perempuan malas! Engkau sudah segan membuka pintu untuk suamimu, hah? Engkau sudah bosan melayani aku, atau engkau sudah mempunyai seorang pacar simpanan? Awas, kubunuh kau!” bentak Yauw Sun Kok sambil berjalan terhuyung menghampiri isterinya. Jelas bahwa dia mabok.




Pendekar Bongkok Jilid 040
Pendekar Bongkok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar