Karena diperlakukan kasar dan dimaki-maki di depan adiknya, Sie Lan Hong yang biasanya hanya menghadapi suaminya dengan cucuran air mata, kini tak dapat menahan kemarahannya.
“Sungguh bagus sekali sikapmu ini ya? Sejak pagi engkau pergi meninggalkan rumah, pulang sudah malam dalam keadaan mabok, begitu mengetuk pintu segera kubuka, engkau malah memaki-maki aku!”
Sie Liong hampir tidak mengenal cihu-nya. Bukan hanya wataknya yang berubah, akan tetapi juga keadaan badan orang itu berubah! Dulu cihu-nya tampan pesolek dan pakaiannya selalu rapi. Akan tetapi sekarang, rambutnya awut-awutan, pakaiannya kusut, matanya seperti orang mengantuk dan mulutnya cemberut. Cihu-nya itu seperti orang yang tidak percaya mendengar ucapan isterinya.
“Apa? Engkau hendak melawan, ya? Siapa yang mengajarmu melawan suami? Perempuan sial! Perempuan terkutuk! Engkau minta dihajar, ya?”
Yauw Sun Kok mengangkat tangan ke atas, siap memukul isterinya. Melihat betapa lengan itu terayun kuat, Sie Liong maklum bahwa kalau encinya terkena pukulan itu, bisa celaka. Sekali berkelebat tubuhnya sudah melompat dekat dan dia menangkap pergelanggn tangan cihu-nya sambil berkata,
“Harap jangan memukul!”
Yauw Sun Kok menoleh ke kanan. Ketika melihat bahwa ada seorang pemuda menangkap lengannya, kemarahannya memuncak. Dia menarik tangannya dan memaki isterinya.
“Bagus! Sungguh perempuan tak bermalu, perempuan lacur! Jadi engkau benar-benar menyimpan seorang laki-laki di rumah, ya? Pantas, engkau berani melawan aku, suamimu!”
Dia maju dan hendak menyerang isterinya. Akan tetapi Sie Liong sudah berdiri menghalang di depannya.
“Cihu, lihatlah baik-baik siapa aku! Harap cihu jangan memukul enci dan mendakwa yang bukan-bukan!”
“Engkau pemuda kurang ajar berani main-main dengan isteriku? Ahh, engkau bongkok! Bongkok....?” Yauw Sun Kok membelalakkan kedua matanya seolah-olah tidak dapat melihat dengan jelas, lalu mendekatkan mukanya. “Engkau bongkok....? Benarkah engkau Sie Liong?”
“Benar, cihu. Aku Sie Liong.”
“Sie Liong....? Ha-ha-ha....!” Yauw Sun Kok tertawa bergelak sambil mengamati pemuda bongkok itu. “Engkau sudah dewasa, akan tetapi masih cacat. Ha-ha-ha!” Dia tertawa-tawa seperti orang gila.
“Jangan bicara sembarangan. Dia bukan Sie Liong yang dulu lagi. Dia telah menjadi murid orang-orang sakti dan dia datang untuk mencari pembunuh ayah dan ibu kami,” kata Sie Lan Hong.
Seketika Yauw Sun Kok berhenti tertawa dan dia memandang kepada Sie Liong dengan mata terbelalak.
“Apa? Engkau....? Engkau hendak mencari pembunuh ayah ibumu? Hemm, mau apa engkau mencarinya, Sie Liong? Apa kau kira setelah beberapa tahun ini engkau belajar sedikit ilmu silat lalu kau kira akan mampu melawan pembunuh itu? Huh, jangan sombong engkau! Aku sendiri yang memiliki kepandaian tinggi dan banyak pengalaman, masih tidak mampu menandingi pembunuh itu. Apalagi engkau?”
“Hemm, jadi cihu tahu siapa pembunuh ayah dan ibuku? Siapa dia itu, cihu?”
“Dia adalah Tibet Sin-mo (Iblis Sakti Tibet), tokoh Tibet yang amat sakti. Aku sendiri tidak mampu mencarinya. Apalagi bocah cacat seperti engkau!”
Sie Liong mengerutkan alisnya. Cihu-nya ini memang telah berubah. Walaupun dahulu juga cihu-nya tidak suka kepadanyaa, akan tetapi sikapnya baik dan ramah. Sekarang sikapnya demikian kasar dan menghina. Teringat dia akan cerita encinya dan tadipun dia melihat betapa encinya akan dipukuli.
“Cihu! Tidak sepatutnya cihu berkata demikian. Cihu memuji-muji musuh, dan cihu tentu tidak bersungguh hati mencari pembunuh ayah ibu kami karena cihu tidak perduli! Dan sekarangpun cihu memperlihatkan sikap yang amat buruk terhadap enci!”
“Apa? Kau anak kurang ajar.... Hemm, encimu sudah mengadu, ya....?”
“Cihu, tanpa pengaduan dari siapa pun juga, aku sudah melihat sikapmu tadi. Engkau mabok-mabokan, pulang malam marah-marah, bahkan mau memukul enci! Keadaan rumah tanggamu menjadi rusak, habis-habisan, karena kau habiskan untuk berjudi! Cihu, engkau harus sadar bahwa engkau telah terseret ke dalam lumpur....”
“Tutup mulutmu, keparat!”
Tiba-tiba Yauw Sun Kok menerjang dengan marah sekali, mengirim serangan kilat ke arah dada dan leher adik isterinya. Biarpun dia sedang mabok, akan tetapi karena memang dia seorang ahli silat yang pandai, serangannya ini masih amat berbahaya dan kalau hanya ahli silat biasa saja, masih akan sukar untuk dapat menghindarkan diri dari serangan Yauw Sun Kok itu.
Akan tetapi, yang diserangnya adalah Sie Liong, biarpun seorang pemuda cacat, punggungnya bongkok namun dia murid tersayang dari Himalaya Sam Lojin dan Pek-sim Sian-su manusia sakti dari He-lan-san itu.
Dengan mudah saja Sie Liong memiringkan tubuhnya dan menggunakan lengan kirinya untuk mendorong dari samping dan tubuh Yauw Sun Kok terpelanting!
“Cihu, aku tidak mau dihina dan dipukul lagi!”
Melihat betapa akibat serangannya membuat dirinya terpelanting, Sun Kok marah sekali. Dia menyambar ke arah dinding dimana tergantung sebatang pedang hiasan. Biar dia mabok, gerakannya masih cepat sekali dan tahu-tahu pedang itu telah berada di tangan kanannya, terlolos dari sarungnya.
“Jangan....! Jangan berkelahi! Jangan pergunakan pedang....!” Sie Lan Hong berteriak ketakutan.
Akan tetapi suaminya tidak memperdulikan jeritannya dan sudah menyerang Sie Liong dengan pedangnya. Pedang menyambar ganas ke arah leher pemuda itu. Sie Liong menekuk lutut sehingga pedang itu menyambar lewat berdesing di atas kepalanya. Akan tetapi dengan cepat, pedang yang menyambar itu telah membalik dan kini menusuk ke arah dadanya.
“Cihu, engkau sedang mabok!”
Bentak Sie Liong dan dia menggunakan tangannya dari samping memukul pedang sambil mengerahkan tenaganya.
“Plakkk!”
Pedang itu terpukul lepas dari tangan Yauw Sun Kok yang menjadi terkejut bukan main. Namun dia masih sempat menendang dengan kakinya ke arah perut Sie Liong. Pemuda ini maklum betapa cihunya yang mabok itu harus diberi hajaran agar sadar bahwa yang dihadapinya bukanlah anak bongkok dan lemah yang dahulu. Maka, dia sengaja menyambut tendangan kaki itu dengan pengerahan tenaga di perutnya.
“Dukkk!” keras sekali tendangan itu, namun akibatnya, bukan tubuh Sie Liong yang terjengkang.
Pemuda itu masih berdiri tegak, akan tetapi tubuh Yauw Sun Kok yang terjengkang dan terbanting cukup keras. Dia bangkit duduk dengan mata terbelalak, dan pada saat itu, isterinya yang mengkhawatirkan kejadian atau perkelahian yang lebih hebat, sudah berlutut di dekatnya.
“Hemm, sudahlah. Engkau sedang mabok maka engkau menyerang adik kita sendiri. Hayo, mengasolah.... tidurlah....”
Ia membantu suaminya bangkit berdiri dan memapahnya menuju ke kamar mereka. Sekali ini Yauw Sun Kok tidak membantah. Biarpun mabok, sebenarnya orang ini masih cukup sadar untuk melihat kenyataan yang membuatnya terkejut bukan main. Si Bongkok itu kini telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi!
Sungguh berbahaya sekali. Dia merasa penasaran dan juga malu, maka dia merasa lebih aman menyembunyikan diri dan berlindung di balik kemabokannya, maka diapun pura-pura tidak ingat apa-apa lagi dan menurut saja ketika dipapah isterinya ke kamar. Setibanya di dalam kamarnya, langsung dia melempar tubuh ke atas pembaringan dan tak lama kemudian dia sudah tidur mendengkur.
“Sungguh bagus sekali sikapmu ini ya? Sejak pagi engkau pergi meninggalkan rumah, pulang sudah malam dalam keadaan mabok, begitu mengetuk pintu segera kubuka, engkau malah memaki-maki aku!”
Sie Liong hampir tidak mengenal cihu-nya. Bukan hanya wataknya yang berubah, akan tetapi juga keadaan badan orang itu berubah! Dulu cihu-nya tampan pesolek dan pakaiannya selalu rapi. Akan tetapi sekarang, rambutnya awut-awutan, pakaiannya kusut, matanya seperti orang mengantuk dan mulutnya cemberut. Cihu-nya itu seperti orang yang tidak percaya mendengar ucapan isterinya.
“Apa? Engkau hendak melawan, ya? Siapa yang mengajarmu melawan suami? Perempuan sial! Perempuan terkutuk! Engkau minta dihajar, ya?”
Yauw Sun Kok mengangkat tangan ke atas, siap memukul isterinya. Melihat betapa lengan itu terayun kuat, Sie Liong maklum bahwa kalau encinya terkena pukulan itu, bisa celaka. Sekali berkelebat tubuhnya sudah melompat dekat dan dia menangkap pergelanggn tangan cihu-nya sambil berkata,
“Harap jangan memukul!”
Yauw Sun Kok menoleh ke kanan. Ketika melihat bahwa ada seorang pemuda menangkap lengannya, kemarahannya memuncak. Dia menarik tangannya dan memaki isterinya.
“Bagus! Sungguh perempuan tak bermalu, perempuan lacur! Jadi engkau benar-benar menyimpan seorang laki-laki di rumah, ya? Pantas, engkau berani melawan aku, suamimu!”
Dia maju dan hendak menyerang isterinya. Akan tetapi Sie Liong sudah berdiri menghalang di depannya.
“Cihu, lihatlah baik-baik siapa aku! Harap cihu jangan memukul enci dan mendakwa yang bukan-bukan!”
“Engkau pemuda kurang ajar berani main-main dengan isteriku? Ahh, engkau bongkok! Bongkok....?” Yauw Sun Kok membelalakkan kedua matanya seolah-olah tidak dapat melihat dengan jelas, lalu mendekatkan mukanya. “Engkau bongkok....? Benarkah engkau Sie Liong?”
“Benar, cihu. Aku Sie Liong.”
“Sie Liong....? Ha-ha-ha....!” Yauw Sun Kok tertawa bergelak sambil mengamati pemuda bongkok itu. “Engkau sudah dewasa, akan tetapi masih cacat. Ha-ha-ha!” Dia tertawa-tawa seperti orang gila.
“Jangan bicara sembarangan. Dia bukan Sie Liong yang dulu lagi. Dia telah menjadi murid orang-orang sakti dan dia datang untuk mencari pembunuh ayah dan ibu kami,” kata Sie Lan Hong.
Seketika Yauw Sun Kok berhenti tertawa dan dia memandang kepada Sie Liong dengan mata terbelalak.
“Apa? Engkau....? Engkau hendak mencari pembunuh ayah ibumu? Hemm, mau apa engkau mencarinya, Sie Liong? Apa kau kira setelah beberapa tahun ini engkau belajar sedikit ilmu silat lalu kau kira akan mampu melawan pembunuh itu? Huh, jangan sombong engkau! Aku sendiri yang memiliki kepandaian tinggi dan banyak pengalaman, masih tidak mampu menandingi pembunuh itu. Apalagi engkau?”
“Hemm, jadi cihu tahu siapa pembunuh ayah dan ibuku? Siapa dia itu, cihu?”
“Dia adalah Tibet Sin-mo (Iblis Sakti Tibet), tokoh Tibet yang amat sakti. Aku sendiri tidak mampu mencarinya. Apalagi bocah cacat seperti engkau!”
Sie Liong mengerutkan alisnya. Cihu-nya ini memang telah berubah. Walaupun dahulu juga cihu-nya tidak suka kepadanyaa, akan tetapi sikapnya baik dan ramah. Sekarang sikapnya demikian kasar dan menghina. Teringat dia akan cerita encinya dan tadipun dia melihat betapa encinya akan dipukuli.
“Cihu! Tidak sepatutnya cihu berkata demikian. Cihu memuji-muji musuh, dan cihu tentu tidak bersungguh hati mencari pembunuh ayah ibu kami karena cihu tidak perduli! Dan sekarangpun cihu memperlihatkan sikap yang amat buruk terhadap enci!”
“Apa? Kau anak kurang ajar.... Hemm, encimu sudah mengadu, ya....?”
“Cihu, tanpa pengaduan dari siapa pun juga, aku sudah melihat sikapmu tadi. Engkau mabok-mabokan, pulang malam marah-marah, bahkan mau memukul enci! Keadaan rumah tanggamu menjadi rusak, habis-habisan, karena kau habiskan untuk berjudi! Cihu, engkau harus sadar bahwa engkau telah terseret ke dalam lumpur....”
“Tutup mulutmu, keparat!”
Tiba-tiba Yauw Sun Kok menerjang dengan marah sekali, mengirim serangan kilat ke arah dada dan leher adik isterinya. Biarpun dia sedang mabok, akan tetapi karena memang dia seorang ahli silat yang pandai, serangannya ini masih amat berbahaya dan kalau hanya ahli silat biasa saja, masih akan sukar untuk dapat menghindarkan diri dari serangan Yauw Sun Kok itu.
Akan tetapi, yang diserangnya adalah Sie Liong, biarpun seorang pemuda cacat, punggungnya bongkok namun dia murid tersayang dari Himalaya Sam Lojin dan Pek-sim Sian-su manusia sakti dari He-lan-san itu.
Dengan mudah saja Sie Liong memiringkan tubuhnya dan menggunakan lengan kirinya untuk mendorong dari samping dan tubuh Yauw Sun Kok terpelanting!
“Cihu, aku tidak mau dihina dan dipukul lagi!”
Melihat betapa akibat serangannya membuat dirinya terpelanting, Sun Kok marah sekali. Dia menyambar ke arah dinding dimana tergantung sebatang pedang hiasan. Biar dia mabok, gerakannya masih cepat sekali dan tahu-tahu pedang itu telah berada di tangan kanannya, terlolos dari sarungnya.
“Jangan....! Jangan berkelahi! Jangan pergunakan pedang....!” Sie Lan Hong berteriak ketakutan.
Akan tetapi suaminya tidak memperdulikan jeritannya dan sudah menyerang Sie Liong dengan pedangnya. Pedang menyambar ganas ke arah leher pemuda itu. Sie Liong menekuk lutut sehingga pedang itu menyambar lewat berdesing di atas kepalanya. Akan tetapi dengan cepat, pedang yang menyambar itu telah membalik dan kini menusuk ke arah dadanya.
“Cihu, engkau sedang mabok!”
Bentak Sie Liong dan dia menggunakan tangannya dari samping memukul pedang sambil mengerahkan tenaganya.
“Plakkk!”
Pedang itu terpukul lepas dari tangan Yauw Sun Kok yang menjadi terkejut bukan main. Namun dia masih sempat menendang dengan kakinya ke arah perut Sie Liong. Pemuda ini maklum betapa cihunya yang mabok itu harus diberi hajaran agar sadar bahwa yang dihadapinya bukanlah anak bongkok dan lemah yang dahulu. Maka, dia sengaja menyambut tendangan kaki itu dengan pengerahan tenaga di perutnya.
“Dukkk!” keras sekali tendangan itu, namun akibatnya, bukan tubuh Sie Liong yang terjengkang.
Pemuda itu masih berdiri tegak, akan tetapi tubuh Yauw Sun Kok yang terjengkang dan terbanting cukup keras. Dia bangkit duduk dengan mata terbelalak, dan pada saat itu, isterinya yang mengkhawatirkan kejadian atau perkelahian yang lebih hebat, sudah berlutut di dekatnya.
“Hemm, sudahlah. Engkau sedang mabok maka engkau menyerang adik kita sendiri. Hayo, mengasolah.... tidurlah....”
Ia membantu suaminya bangkit berdiri dan memapahnya menuju ke kamar mereka. Sekali ini Yauw Sun Kok tidak membantah. Biarpun mabok, sebenarnya orang ini masih cukup sadar untuk melihat kenyataan yang membuatnya terkejut bukan main. Si Bongkok itu kini telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi!
Sungguh berbahaya sekali. Dia merasa penasaran dan juga malu, maka dia merasa lebih aman menyembunyikan diri dan berlindung di balik kemabokannya, maka diapun pura-pura tidak ingat apa-apa lagi dan menurut saja ketika dipapah isterinya ke kamar. Setibanya di dalam kamarnya, langsung dia melempar tubuh ke atas pembaringan dan tak lama kemudian dia sudah tidur mendengkur.
**** 42 ****
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar