Ads

Selasa, 03 Desember 2019

Pendekar Bongkok jilid 043

Kakek jembel itu duduk di bawah pohon besar, nampak melenggut. Memang nyaman sekali pada siang hari yang amat panas itu duduk berteduh di bawah pohon yang rindang dan teduh. Angin semilir sejuk dan kakek itu mengantuk. Dia duduk bersandar batang pohon, tongkat bututnya menggeletak di dekat kakinya yang dijulurkan. Kakek jembel ini sudah tua sekali, hampir delapan puluh tahun usianya. Pakaiannya butut penuh tambalan.

Tiba-tiba kedua matanya yang tadi tertutup seperti orang tidur, kini terbuka dan dia tertawa-tawa seorang diri, lalu memejamkan kembali matanya. Orang-orang yang melihat keadaannya ini tentu akan menduga bahwa dia seorang jembel tua yang hidup sengsara dan berotak miring. Akan tetapi kalau ada tokoh kang-ouw lewat disitu dan melihat jembel tua ini, dia tentu akan terkejut setengah mati.

Kakek tua renta ini sesungguhnya bukanlah orang sembarangan. Dia adalah Koay Tojin, seorang yang terkenal memiliki kesaktian yang menggiriskan. Sepak terjangnya aneh dan biarpun dia jarang bahkan hampir tidak pernah mencampuri urusan dunia ramai, akan tetapi orang-orang kang-ouw ketakutan kalau bertemu dengannya. Hal ini adalah karena wataknya yang aneh dan kadang-kadang ugal-ugalan dan celakalah orang yang sampai berhadapan dengan dia sebagai lawan!

Selagi kakek itu duduk melenggut, tiba-tiba nampak bayangan dua orang berkelebat dan di depan kakek itu kini nampak dua orang muda. Seorang gadis berusia delapan belas tahun dan seorang pemuda berusia hampir dua puluh tahun. Gadis itu cantik dan manis sekali, dengan sepasang mata yang jeli dan tajam mencorong, sikap yang jenaka dengan wajah selalu cerah ceria.

Gadis manis inipun mengenakan pakaian tambal-tambalan, akan tetapi bukan sembarang tambalan! Biarpun pakaiannya tambal-tambalan, namun bersih dan semua tambalan itu terbuat dari kain yang baru! Sepatu kulitnya juga mengkilat baru, rambutnya bersih licin, sama sekali tidak nampak kesan seorang pengemis!

Pemuda itupun berwajah tampan, matanya mengandung kecerdikan dan mulutnya selalu terhias senyum yang manis sehingga mendatangkan kesan bahwa dia adalah seorang pemuda yang merendahkan orang lain dan memandang diri sendiri terlampau tinggi.

Seperti telah kita ketahui, Koay Tojin mempunyai dua orang murid dan dua orang muda itulah muridnya. Gadis itu bukan lain adalah Yauw Bi Sian dan pemuda itu adalah Coa Bong Gan. Biarpun Bi Sian lebih dahulu menjadi murid Koay Tojin, akan tetapi karena ia lebih muda, ia memaksa Bong Gan untuk menyebut sumoi (adik seperguruan wanita) kepadanya, dan ia sendiri menyebut Bong Gan suheng (kakak seperguruan pria).

“Suhu, nih teecu (murid) bawakan oleh-oleh untuk suhu! Bebek tim yang lunak dan bubur!” kata gadis itu sam¬bil duduk di atas batu dekat suhunya sambil menyerahkan bungkusan makanan.

“Dan teecu bawakan arak Hang-ciu kesukaan suhu!” kata pula Bong Gan gembira menyerahkan seguci arak.

Kakek itu membuka matanya dan terkekeh, lalu menyeringai memandang kepada dua orang muridnya.

“Heh-heh, kalian adalah murid-murid yang baik. Kalian tahu saja kesukaan orang tua. Heh-heh, tidak ada yang lebih enak untuk dimakan kecuali bubur dan bebek tim. Lunak dan gurih, tidak perlu menggunakan gigi untuk mengunyah, memudahkan mulutku yang sudah tak bergigi lagi, heh-heh. Dan arak Hang-ciu memang harum dan keras! Ha-ha-ha!”

Dua orang murid itu tersenyum. Mereka tahu bahwa guru mereka berkelakar karena mereka baru kemarin dulu menyaksikan betapa guru mereka itu, dengan mulutnya tanpa gigi sebuahpun, masih kuat untuk menggigit daging kering yang amat keras dan mengunyahnya dengan mata meram-melek! Dengan kekuatan sin-kang yang amat hebat, gusi dari guru mereka yang sudah tidak bergigi lagi itu dapat menjadi lebih kuat daripada gigi orang-orang muda!

Kakek itu makan minum tanpa memperdulikan dua orang muridnya yang duduk tak jauh di depannya. Akan tetapi, diam-diam Koay Tojin kadang-kadang melirik. Dia merasa senang sekali melihat Bi Sian. Dia amat sayang kepada muridnya ini yang ternyata selain memiliki bakat baik, juga gadis ini memiliki watak yang gagah perkasa dan baik.

Sebaliknya, kakek ini merasa khawatir dan sangsi kepada muridnya yang pria. Watak Bong Gan sukar diselami walaupun pada lahirnya, dia juga seorang murid yang berbakat dan amat rajin, pandai mengambil hati. Akan tetapi ada sesuatu dalam pandang mata pemuda itu yang membuat kakek itu kadang-kadang curiga dan ragu-ragu.






Pernah dia melihat betapa pandang mata pemuda itu ditujukan kepada sumoinya secara tidak wajar. Bukan memandang biasa, akan tetapi sinar mata pemuda itu penuh nafsu berahi, memandangi ke seluruh bagian tubuh Bi Sian seperti hendak melahapnya!

Sungguh seorang murid yang kadang-kadang menimbulkan rasa khawatir di hatinya. Jangan-jangan dia telah keliru memilih murid, pikirnya. Akan tetapi, dia sengaja sudah memberi pelajaran lebih pada Bi Sian sehingga kalau sampai terjadi apa-apa, gadis itu tidak akan kalah menghadapi dan melawan Bong Gan. Pernah dia ketika berdua saja dengan Bi Sian mengatakan bahwa ia harus berhati-hati terhadap suhengnya.

“Wataknya sukar diselami,” demikian dia berkata, akan tetapi gadis itu hanya tersenyum saja.

“Aih, suhu ini ada-ada saja. Bukankah suheng seorang pemuda dan murid yang amat baik?”

Setelah makan, Koay Tojin mengusap mulutnya dengan ujung lengan baju yang sudah butut.

“Kebetulan kalian datang, memang aku bermaksud untuk memanggil kalian.”

“Suhu, ada keperluan apakah?” Bi Sian bertanya sambil mendekati gurunya, sikapnya manja.

Kakek itu tersenyum untuk menutupi rasa nyeri di dalam hatinya. Dia merasa heran. Mengapa mendadak saja hatinya begini aneh? Mengapa bayangan perpisahan dengan muridnya ini mendatangkan rasa sakit? Padahal selamanya belum pernah dia merasakan hal seperti ini!

Akan tetapi kakek yang lihai ini segera dapat menemukan jawabannya. Sikap Bi Sian terlalu baik, terlalu menyenangkan hatinya, sehingga gadis itu selama tujuh tahun menjadi muridnya, hidup di sampingnya, seolah-olah menjadi matahari yang menyinari hidupnya!

Kesenangan dan keenakan memang selalu menimbulkan ikatan! Kalau sudah terikat, maka akan datanglah duka karena kehilangan! Kalau gadis itu pergi, dibiarkan terpisah darinya, dia seolah-olah kehilangan matahari yang menerangi hidupnya yang sudah tua, membuat dia seperti dalam kegelapan! Kesenangan mendatangkan ikatan, dan ikatan menciptakan duka!

Itulah hidup. Ada suka pasti ada duka! Sudah menjadi imbangannya. Ada nikmat tentu ada derita. Dan melihat kenyataan ini, menghadapi kenyataan ini, menerima kenyataan ini secara wajar merupakan seni hidup itu sendiri.

“Bi Sian, dan kau juga Bong Gan, sekarang sudah tiba saatnya bagi kita untuk memenuhi janji. Janji antara aku dan kau, Bi Sian. Janji bahwa kita akan berkumpul sebagai guru dan murid selama tujuh tahun saja.”

Gadis itu nampak terkejut! Selama ikut dengan gurunya, iapun merasakan lebih banyak senangnya dari pada susahnya. Hidup bebas seperti burung di udara. Tanpa dirasakannya, tahu-tahu kini sudah tujuh tahun ia mengikuti gurunya.

“Tapi, suhu....! Rasanya belum lama aku ikut suhu, dan aku masih ingin mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi!”

Bantahnya, terkejut karena tiba-tiba saja ia mendapat kenyataan bahwa ia harus berpisah dengan suhunya dan melihat pula kenyataan betapa beratnya hal itu kalau terjadi karena ia merasa sayang kepada suhunya yang sudah tua itu!

Koay Tojin tertawa dan nampak mulutnya yang tanpa gigi itu.
“Ha-ha-ha, Bi Sian, janji tetap janji yang harus dipegang teguh. Engkau bukan hanya berjanji kepadaku, akan tetapi juga kepada ayah ibumu yang tentu telah menanti-nanti penuh kerinduan. Tentang kepandaian, sampai berapa tingginya? Berapa ukurannya? Apa yang kau pelajari selama ini sudah lebih dari pada cukup, Bi Sian. Tinggal terserah kepadamu untuk melatih diri. Dan engkau, Bong Gan, engkaupun sudah dewasa dan kepandaianmu sudah cukup. Hanya berhati-hatilah, karena kepandaian silat seperti juga pedang, dapat dipergunakan untuk berbuat kebaikan akan tetapi juga dapat dipergunakan untuk melakukan kejahatan. Semua tergantung kepadamu.”

Diingatkan kepada ayah ibunya, kedukaan bayangan berpisah dari gurunya agak menipis dari hati Bi Sian, tertutup oleh kegembiraan bayangan akan bertemu dengan ayah dan ibunya. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. Bong Gang juga berlutut di dekat sumoinya.

“Suhu, selama tujuh tahun ini, suhu telah melimpahkan banyak kebaikan dan kasih sayang kepada teecu. Teecu menghaturkan terima kasih, suhu dan entah bagaimana teecu akan dapat membalas budi kebaikan suhu. Sebaliknya, teecu sudah banyak menjengkelkan hati suhu, maka mohon suhu memaafkan teecu,”

Kata Bi Sian dengan hati terharu, akan tetapi tidak setetespun air matanya tumpah. Ia memang pantang menangis, apalagi setelah menjadi murid Koay Tojin.

Koay Tojin tersenyum.
“Engkau anak baik. Kalau hendak membalas budi kepadaku, pergunakanlah semua kepandaian yang kau peroleh dariku itu dengan baik, tidak melakukan penyelewengan. Dengan demikian berarti engkau menjunjung tinggi nama gurumu, sedangkan kalau engkau melakukan kejahatan dan menyeleweng, engkau akan menyeret nama gurumu ke dalam lumpur.”

“Teecu juga menghaturkan banyak terima kasih, suhu. Teecu berjanji akan menjunjung tinggi nama suhu,” kata Bong Gan.

Koay Tojin tersenyum saja dan memandang wajah murid pria ini dengan penuh keraguan. Dia tahu bahwa muridnya ini cerdik sekali, demikian cerdiknya sehingga dia tidak dapat menduga apa isi hatinya.

“Engkau berhati-hatilah, Bong Gan. Ingat bahwa musuh yang paling berbahaya, paling lihai dan paling sukar ditundukkan adalah dirimu sendiri. Karena itu, sebelum menundukkan musuh, sebaiknya kalau menundukkan dulu diri sendiri.” Bong Gan tidak menjawab, hanya mengangguk-angguk. “Sekarang, pergilah kalian sebelum timbul kedukaan dalam hatiku!”

Kata Koay Tojin, lalu tangan kanannya menyambar tongkat di depannya dan dengan gerakan secepat kilat, tongkatnya itu sudah melakukan serangan totokan bertubi-tubi kepada dua orang muridnya yang berlutut di depannya.

Dua orang muda itu terkejut sekali. Sambaran tongkat di tangan suhu mereka itu bukan main cepat dan dahsyatnya, maka keduanya segera melempar tubuh ke belakang sambil berjungkir balik beberapa kali.

Mereka terhindar dari serangan kilat itu, dan melihat betapa kakek itu masih duduk bersandar batang pohon, memegangi tongkat sambil tertawa. Tahulah Bi Sian bahwa suhunya memang ingin segera melihat mereka pergi tanpa membiarkan kedukaan karena perpisahan itu memasuki hati. Maka iapun menjura dan berkata dengan suara dibuat nyaring gembira.

“Suhu, selamat tinggal! Mudah-mudahan suatu waktu kita akan dapat berjumpa kembali!”

“Ha-ha-ha, selamat jalan. Kita pasti akan bertemu kembali, kalau tidak di alam sini tentu di alam sana, heh-heh-heh!”

Bong Gan juga menjura dan kedua orang itu lalu melompat pergi dan dalam waktu singkat mereka sudah lenyap dari pandang mata. Kakek yang ditinggal seorang diri itu nampak tertegun, matanya yang tua memandang ke arah lenyapnya dua bayangan itu, lalu dia menghela napas panjang berulang kali, lalu bangkit berdiri, dan melangkah perlahan pergi meninggalkan tempat itu, mengambil jurusan yang berlawanan dengan dua orang muridnya.

Dua orang itu berlari cepat, keluar dari dalam hutan itu dan ketika mereka sudah berlari kurang lebih satu jam dan tiba di kaki bukit, Bi Sian menghentikan larinya. Biarpun tubuhnya terlatih baik, namun karena selama satu jam itu ia berlari cepat sambil menahan getaran hatinya yang penuh haru, kini wajah dan lehernya basah oleh keringat.

Diambilnya saputangannya dan diusapnya keringat dari leher dan wajahnya. Bong Gan juga mongusap keringatnya. Tidak seperti Bi Sian, pemuda ini mengenakan pakaian yang tidak ada tambalannya, walaupun dari kain murah dan bentuknya sederhana saja, tidak seperti pakaian Bi Sian yang penuh tambalan namun semua tambalannya kain yang baru.

“Suheng, sekarang engkau hendak pergi ke manakah?” tanya Bi Sian.

Bong Gan menghela napas panjang, lalu duduk di atas sebuah batu besar di tepi jalan. Sebelum menjawab, dia menatap wajah sumoinya dengan tajam, juga dengan wajah yang membayangkan kedukaan. Betapa cantik manisnya sumoinya ini, pikirnya penuh kagum. Apakah dia harus berpisah dari gadis manis ini?

Membayangkan perpisahannya dengan gadis yang telah menjadi sahabatnya dan saudara seperguruannya selama tujuh tahun, hampir tak pernah mereka saling berpisah dan mengalami suka-duka bersama-sama, wajah yang tampan itu nampak diliputi kesedihan. Demikian jelas kedukaan itu sehingga nampak jelas oleh Bi Sian.




Pendekar Bongkok Jilid 042
Pendekar Bongkok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar