Ads

Selasa, 03 Desember 2019

Pendekar Bongkok Jilid 044

“Suheng, engkau pernah menceritakan riwayatmu kepadaku. Engkau sudah yatim piatu, tidak mempunyai keluarga sama sekali, tidak mempunyai handai taulan dan tidak mempunyai tempat tinggal. Oleh karena itulah maka aku sengaja bertanya kepadamu karena aku ingin tahu, kemana engkau hendak pergi?”

“Justeru pertanyaanmu itulah yang membuat aku membungkam karena sukar bagiku untuk menjawabnya. Aku sendiri sejak tadi bertanya-tanya di dalam hatiku kepada diriku sendiri, sumoi. Kemana aku harus pergi? Aku tidak mempunyai tujuan sama sekali! Aku menjadi bingung setelah mendengar pertanyaanmu, sumoi.”

Bi Sian memandang wajah suhenguya itu dengan hati kasihan. Selama ini, suhengnya telah membuktikan bahwa dia seorang pemuda yang amat baik, amat rajin dan juga bersikap sopan kepada gurunya dan juga kepada dirinya. Tidak pernah memperlihatkan kekurang-ajaran sama sekali.

Memang kadang-kadang suhengnya suka pergi meninggalkan ia dan suhunya, akan tetapi kepergiannya itu tentu hanya untuk mencari bahan makanan untuk mereka. Kalau pulang, suhengnya tentu membawa seekor rusa, atau beberapa ekor kelinci, ayam hutan, atau juga buah-buahan segar.

Beberapa kali suhengnya pernah berpamit kepada suhu mereka untuk berjalan-jalan ke dusun atau kota, dan tidak pernah lancang mengajaknya. Diam-diam Bi Sian merasa suka sekali kepada pemuda ini, rasa suka yang bercampur rasa iba. Inikah cinta, beberapa kali ia suka bertanya kepada diri sendiri tanpa mendapat jawaban!

“Suheng, engkau ini bagaimanakah? Andaikata aku tidak mengajak engkau berhenti dan bertanya, lalu engkau hendak kemana?”

“Aku.... aku hanya akan mengikutimu, sumoi. Kemanapun engkau pergi.... tentu saja kalau.... kalau aku tidak terlalu mengganggumu.”

Bi Sian tersenyum dan menggeleng kepalanya, mendadak mendapat sebuah pikiran yang dianggap amat bagus.

“Tentu saja engkau tidak mengganggu, suheng. Bahkan kalau engkau suka, marilah engkau ikut bersamaku ke Sung-jan. Tempat tinggal orang tuaku itu merupakan kota yang cukup ramai, dan siapa tahu engkau dapat tinggal dan bekerja disana. Ayahku seorang pedagang, mungkin dapat membantumu mencari pekerjaan.”

Wajah yang diliputi kedukaan itu kini menjadi cerah dan berseri. Sepasang mata itu bersinar-sinar dan Bong Gan segera menjura kearah sumoinya.

“Ah, sumoi, sungguh engkau berbudi mulia sekali! Terima kasih atas kebaikanmu, sumoi. Tentu saja aku suka sekali pergi bersamamu!”

Bi Sian membalas penghormatan suhengnya dan tertawa.
“Ihh, suheng ini! Engkau adalah suhengku dan lebih tua, mengapa memberi hormat kepadaku? Dan diantara kita saudara seperguruan, perlukah bersungkan-sungkan? Sudah sepantasnya kalau kita saling bantu, bukan?”

Demikianlah, suheng dan sumoi ini melakukan perjalanan cepat menuju ke barat. Berkat adanya Bong Gan di sampingnya, di sepanjang perjalanan Bi Sian tidak menemui banyak gangguan.

Andaikata ia melakukan perjalanan seorang diri, tentu akan banyak timbul gangguan, mengingat bahwa ia seorang gadis yang cantik manis dan melakukan perjalanan jauh seorang diri. Akan tetapi sikap Song Gan yang gagah membuat banyak orang menjadi jerih untuk mengganggu mereka. Padahal, tentu saja andaikata ada gangguan, Bi Sian sama sekali tidak akan merasa gentar bahkan hal itu merupakan kesialan bagi si pengganggu yang tentu akan dihajar habis-habisan!

Ketika mereka pada suatu siang memasuki kota Sung-jan, keduanya langsung saja menuju ke rumah Bi Sian. Gadis ini nampak gembira sekali, wajahnya cerah berseri dan matanya berkilat-kilat ketika mereka tiba di depan rumah dan toko milik ayahnya.

Akan tetapi ia merasa heran melihat betapa toko itu tertutup dan segera ia mengajak suhengnya memasuki pekarangan dan langsung menuju ke pintu depan. Dua orang yang tadinya duduk di ruangan depan, bangkit berdiri dan melihat Bi Sian, wanita itu menjerit.

"Bi Sian....!"

"Ibuuu....!"






Dua orang wanita itu berlari saling tubruk dan dilain saat mereka telah berangkulan sambil memanggil berulang kali. Sie Lan Hong menangis dalam rangkulan puterinya, akan tetapi Bi Sian yang juga merasa terharu dan gembira, tidak menangis, akan tetapi menciumi kedua pipi ibunya dengan penuh kerinduan dan kasih sayang. Ia diam-diam merasa kasihan melihat wajah ibunya yang kurus dan agak pucat. Tak disangkanya bahwa dalam waktu tujuh tahun ibunya kini nampak tua sekali!

Sementara itu, ketika dua orang wanita itu berangkulan, Bong Gan hanya berdiri menonton dengan canggung. Juga Sie Liong, pemuda yang tadi sedang duduk bersama encinya, berdiri dan memandang dengan wajah berseri, akan tetapi juga berdiri canggung.

Tentu saja hatinya girang bukan main melihat keponakannya yang dulu menjadi teman bermain yang akrab itu pulang dan kini telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan manis sekali. Diapun heran melihat keponakannya itu pulang bersama seorang pemuda yang tampan, yang kini juga berdiri dengan canggung. Mereka saling pandang sebentar saja, tidak tahu harus berbuat apa karena mereka belum diperkenalkan.

"Ibu.... ah, ibu.... kenapa ibu begini kurus? Mana ayah?"

Sie Lan Hong dapat menguasai keharuan hatinya dan teringat akan dua orang pemuda itu.

"Ayahmu tidak berada di rumah, sedang keluar. Akan tetapi, mari kau temui dulu pamanmu...."

Bi Sian yang melepaskan pelukan ibunya, tiba-tiba memandang dan matanya terbelalak, mulutnya tersenyum dan hampir ia berteriak,

"Paman Liong....!"

Sie Liong juga tersenyum.
"Bi Sian, engkau sudah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik dan gagah!"

Bi Sian melangkah maju dan memegang tangan Sie Liong. Ia lupa bahwa ia kini telah menjadi seorang gadis dewasa dan pamannya itupun sudah menjadi seorang pemuda dewasa. Digenggamnya tangan pemuda itu.

"Paman Liong! Ah, tidak kusangka akan bertemu denganmu disini! Dan engkau.... ah, engkau juga sudah menjadi seorang pemuda, paman! Engkau kelihatan gagah dan.... hemm...."

Gadis itu melepaskan tangannya, mundur dan mengamati Sie Liong yang menjadi merah sekali mukanya.

"Dan.... bongkok!" sambungnya mendahului, daripada didahului gadis itu.

"Ah, itu aku sudah tahu. Akan tetapi engkau gagah dan tampan, paman!"

Sungguh! Bi Sian masih nakal seperti dulu, pikirnya gembira. Masih lincah jenaka dan suka menggoda orang akan tetapi dengan cara yang menyenangkan.

"Bi Sian, engkau masih seperti dulu! Suka menggoda pamanmu!"

Sie Lan Hong juga tertawa dan ia sendiri terkejut. Agaknya sudah bertahun-tahun ia lupa untuk tertawa dan baru sekarang ia dapat tertawa kembali. Anaknya telah pulang!

"Oya, ibu, paman. Aku sampai lupa memperkenalkan. Dia ini adalah suhengku, namanya Bong Gan. Suheng, inilah ibuku dan ini pamanku Sie Liong."

Sejak tadi Bong Gan hanya menonton saja dan hatinya terasa panas dan tidak enak melihat keakraban antara sumoinya dan pemuda bongkok itu. Biarpun disebut paman, akan tetapi mereka itu sebaya dan juga hubungan mereka demikian akrab, tidak seperti paman dan keponakan. Seketika, timbul perasaan tidak suka kepada kedua orang itu. Akan tetapi karena dia diperkenalkan maka dia cepat memberi hormat dan bersoja dan sikapnya amat sopan santun.

"Ibu, mana ayah?"

"Sudah kukatakan, ayahmu sedang keluar rumah. Mari, mari kita bicara di dalam...."

Ibu itu merangkul anaknya dan diajak masuk ke dalam rumah. Sie Liong mengkuti, akan tetapi Bong Gan merasa ragu-ragu, dan dia menjadi salah tingkah. Dia bukan anggauta keluarga, bagaimana berani ikut masuk? Akan tetapi agaknya Bi Sian dapat memaklumi keadaannya, maka iapun menoleh dan berkata kepadanya.

"Suheng, mari silakan masuk saja. Paman Liong, ajaklah suheng. Dia memang pemalu."

Sie Liong sejak tadi memperhatikan suheng dari keponakannya itu. Seorang pemuda yang tampan dan gagah, dan mengingat bahwa mereka berdua itu murid Koay Tojin, tidak dapat diragukan lagi bahwa kepandaian mereka tentu tinggi sekali. Akan tetapi, ada sesuatu pada wajah pemuda itu yang membuatnya ragu-ragu. Entah apanya, mungkin pandang matanya.

"Saudara Bong, silakan masuk," katanya dan Bong Gan menganguk.

"Terima kasih, terima kasih....!"

Mereka berempatpun memasuki rumah itu. Seperti juga ketika untuk pertama kalinya Sie Liong masuk ke dalam rumah itu Bi Sian juga melihat perubahan besar di dalam rumahnya. Prabot-prabot rumahnya sudah berubah, sekarang jelek dan butut, tidak seperti dulu.

Ibunya juga tidak mengenakan perhiasan sedikitpun, dan toko mereka sudah ditutup! Apa yang terjadi? Ia tidak berani langsung bertanya kepada ibunya karena disitu terdapat Bong Gan yang bagaimana juga adalah orang luar. Ia akan bertanya kepada ibunya kalau mereka hanya berdua, atau bertiga saja dengan pamannya.

Mereka berempat duduk menghadap meja besar di ruangan dalam. Bi Sian segera menceritakan pengalamannya ketika ia diambil murid Koay Tojin dan ia segera menceritakan tentang perbuatan Lu Ki Cong, putera Lu-ciangkun komandan pasukan keamanan di Sung-jan itu.

"Coba ibu bayangkan, bukankah orang itu jahat sekali? Dia mempergunakan anak buahnya yang menyamar sebagai perampok dan menggangguku, kemudian dia muncul sebagai penolongku. Setelah para perampok palsu itu pergi, dia menggangguku! Untung muncul suhu! Dan dia datang lagi membawa perampok-perampok palsu itu dan mengeroyok suhu. Akan tetapi mereka dihajar oleh suhu! Aih, betapa senangku pada waktu itu! Apakah manusia jahat itu sekarang masih hidup, ibu?"

Sie Lan Hong menahan senyumnya.
"Hussssh, jangan berkata demikian, anakku. Memang dia jahat, akan tetapi tidak perlu hal itu diperpanjang. Dia masih hidup dan ayahmu masih mengharapkan perjodohan itu....."

Bi Sian bangkit berdiri dan mengepal tinjunya.
"Apa? Dia masih berani melanjutkan ikatan jodoh itu? Biarlah, aku akan kesana dan menghajarnya sendiri sampai dia minta ampun!"

"Jangan, Bi Sian! Baru saja engkau pulang, jangan membikin ribut di Sung-jan. Bagaimanapun juga, dia putera kepala pasukan keamanan di sini, dan kekuasaan ayahnya besar sekali. Kalau engkau memusuhi mereka secara terang-terangan begitu, bukankah akibatnya ayah dan ibumu yang akan menanggung?"

"Sumoi, apa yang ibumu katakan itu benar sekali. Engkau adalah penduduk kota ini, tidak baik memusuhi penguasa setempat. Kalau memang engkau ingin memberi hajaran padanya, serahkan saja kepadaku. Disini aku tidak dikenal orang, maka tiada halangannya kalau aku yang pergi menemui dan menghajar orang yang berani menghinamu," kata Bong Gan dengan sikap gagah.

"Sudahlah Bi Sian. Aku tidak menghendaki ribut-ribut," kata Sie Lan Hong yang teringat akan keadaan suaminya. Baru menghadapi suaminya saja yang kini berubah demikian jahat, ia sudah berduka sekali. Apalagi ditambah urusan yang ditimbulkan karena pengamukan Bi Sian terhadap keluarga Lu-ciangkun. "Engkau baru pulang, Bi Sian. Tidak boleh terjadi hal-hal yang hanya akan mendatangkan keributan dan kekacauan."

Bi Sian masih merasa penasaran, lalu ia menoleh kepada Sie Liong.
"Coba pertimbangkan, paman Liong. Bukankah sudah sepatutnya kalau manusia macam Lu Ki Cong itu kuberi hajaran keras? Dahulupun dia yang menghinamu. Hal itu masih boleh dilupakan karena engkau laki-laki. Akan tetapi penghinaannya terhadap diriku, sungguh membuat hati ini panas dan mendongkol saja."

Sie Liong tersenyum, akan tetapi dia lalu bersikap sungguh-sungguh dan memandang tajam kepada keponakannya itu.

"Bi Sian, kurasa ibumu berkata benar. Tidak perlu mencari gara-gara dan permusuhan. Mengenai kejahatan Lu Ki Cong kepadamu, bukankah katamu tadi dia dan anak buahnya sudah mendapat hajaran keras dari suhumu? Nah, dengan demikian berarti sudah lunas, bukan? Kalau sekarang dia melakukan perbuatan jahat lagi, barulah pantas kau turun tangan menghajarnya. Kukira engkau cukup mengerti bahwa kepandaian yang dipelajari bukan untuk menimbulkan kekacauan, bahkan sebaliknya untuk memadamkan kekacauan. Bukankah begitu?"





Pendekar Bongkok Jilid 043
Pendekar Bongkok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar