Gadis itu memandang dengan mata terbelalak.
"Ehhh? Kepandaian bukan untuk menimbulkan kekacauan melainkan untuk memadamkan kekacauan? Paman, aku pernah mendengar kalimat itu diucapkan suhu! Bukankah begitu, suheng?"
Song Gan mengangguk, akan tetapi dia memandang kepada Sie Liong dengan alis berkerut.
"Kalau begitu, suhumu adalah seorang yang bijaksana sekali, Bi Sian. Memang aku pernah menyaksikan kehebatannya dan mendengar bahwa beliau, yang berjuluk Koay Tojin, adalah seorang yang sakti dan bijaksana!"
"Paman Liong! Engkau.... engkau mengenal suhu?"
Sie Liong tersenyum lagi.
"Mengenal sih tidak, akan tetapi aku pernah bertemu dengan beliau dan berhutang budi karena beliau pernah mengobati aku yang terluka oleh pukulan beracun."
"Kalau begitu, engkau tentu murid orang sakti pula, Paman Liong! Hayo ceritakan pengalamanmu. Siapa itu gurumu yang sakti?"
Tanya Bi Sian gembira sekali membayangkan bahwa pamannya yang disayangnya dan dikasihaninya itu kini telah menjadi seorang yang lihai!
"Aihh, Bi Sian. Aku yang cacat ini mana bisa mempelajari ilmu silat yang tinggi? Hanya kebetulan sekali bahwa aku mendengar dari ibumu tentang kepergianmu dibawa oleh seorang sakti bernama Koay Tojin, dan aku mengenal nama itu, karena dia.... dia itu masih terhitung paman guruku juga."
Baik Bi Sian maupun Bong Gan terkejut mendengar ini.
"Apa?" gadis itu berseru. "Suhuku masih paman gurumu? Kalau begitu, siapakah gurumu? Ah, sekarang aku ingat....! Pernah suhu menyebut nama seorang yang katanya paling dia segani dan sayangi di dunia ini. Nama orang itu adalah.... Pek-sim Sian-su! Benarkah engkau muridnya?"
Sie Liong mengangguk.
"Engkau memang cerdik dari dulu, Bi Sian. Akan tetapi, orang cacat seperti aku ini tidak dapat mempelajari banyak ilmu silat. Aku hanya banyak belajar tentang hidup."
"Ah, aku tidak percaya! Engkau tentu lihai sekali, paman! Sekali waktu engkau harus mengajarku ilmu silat!"
"Wah, mana aku berani? Melawanmu, dalam beberapa jurus saja aku tentu akan roboh!"
Kata Sie Liong dan suasana menjadi semakin gembira karena paman dan keponakan ini seolah-olah merasakan suasana di waktu mereka masih kanak-kanak dahulu.
Hanya Bong Gan yang diam saja. Dia sendiri memandang rendah dan tidak suka kepada pemuda bongkok itu. Pemuda bongkok itu kelihatan amat disuka dan dipuji oleh Bi Sian! Katakanlah pemuda itu sudah mempelajari ilmu dari seorang sakti, akan tetapi dengan punggungnya yang bongkok itu, bagaimana mungkin dia memperoleh ilmu yang tinggi? Bagaimana mampu menghimpun tenaga sakti kalau tulang punggungnya saja bengkok?
Dia merasa tidak suka sekali, apalagi melihat betapa kadang-kadang sepasang mata pemuda bongkok itu mencorong dan memandang tajam kepadanya, seolah hendak menjenguk isi hatinya sehingga dia merasa ngeri sendiri! Masih baik bahwa pemuda bongkok itu paman dari Bi Sian, adik ibunya sehingga bukan merupakan seorang saingan dalam memperebutkan hati Bi Sian!
"Aih, kalian jangan main-main!" kata Sie Lan Hong. "Bi Sian, engkau ini baru saja pulang setelah pergi selama tujuh tahun, dan begitu datang engkau hendak menantang pamanmu? Ketahuilah, pamanmu inipun baru dua hari tiba disini! Kedatangan kalian sungguh kebetulan sekali. Sekarang, kalian harus beristirahat dan kita saling melepas rindu dengan membicarakan pengalaman-pengalamanmu, bukan untuk saling hantam dan gebuk! Aih, aku ini mempunyai keluarga macam apa! Adik jagoan dan anak tukang pukul?"
Mereka tertawa, bahkan Bong Gan juga tersenyum mendengar ucapan itu. Pada saat itu, terdengar teriakan dari luar rumah.
"Haii, mana dia isteriku yang baik dan adiknya yang gagah? Aku sudah pulang siang-siang dan tidak mabok, ha-ha-ha-ha!"
Laki-laki itu muncul di pintu. Mulutnya mengatakan tidak mabok, akan tetapi keadaannya yang terhuyung-huyung itu jelas membuktikan keadaan yang sebaliknya.
"Ayahhhhh....!"
Bi Sian berseru, bukan seruan girang melainkan seruan kaget melihat keadaan ayahnya. Dahulu, ayahnya seorang pria yang tampan dan rapi, akan tetapi sekarang, nampak awut-awutan dan kotor!
Orang itu adalah Yauw Sun Kok. Mendengar panggilan itu, lenyaplah senyum menyeringai dan mengejek tadi dari bibirnya. Matanya terbuka lebar dan dia memandang kepada gadis yang sudah bangkit berdiri dan melangkah maju menghampirinya itu.
"Bi Sian.... kau.... kau Bi Sian....?"
"Ayah....!" Bi Sian lari menghampiri. "Kau kenapakah, ayah?"
Ayahnya merangkul puteri itu dan menangis! Bi Sian terkejut bukan main. Ayahnya menangis? Sungguh luar biasa sekali ini! Ayahnya yang demikian gagah perkasa, ayahnya yang jantan. Kini menangis?
"Ayah, tenanglah, ayah. Mari duduk...."
Ia membimbing ayahnya dan membawa ayahnya duduk di kursi menghadapi meja. Hanya sebentar saja Sun Kok menangis. Dia sudah memandang kepada puterinya dengan mata merah. Lalu dia tertawa.
"Ha-ha-ha, engkau sudah pulang, Bi Sian? Engkau sudah mewarisi ilmu silat tinggi dari Koay Tojin? Bagus! Engkau harus mewakili ayahmu ini, engkau harus dapat mengalahkan Si Bongkok ini. Dia telah mengalahkan aku, Bi Sian...."
"Hemm, engkau telah mabok lagi. Mari, engkau perlu tidur....!" Sie Lan Hong membantu suaminya bangkit dan memapahnya ke dalam kamar. Yauw Sun Kok tidak membantah, hanya mengomel, "Kau harus pukul dia, Bi Sian, demi ayahmu, kau pukul bongkoknya, biar mampus....!"
Saking heran dan bingungnya, Bi Sian menjatuhkan diri duduk di atas kursi dan tidak dapat bicara apa-apa. Ia memandang kepada pamannya yang juga duduk sambil menundukkan mukanya. Pintu kamar itu tertutup setelah ayahnya dipapah ibunya masuk ke dalamnya dan suasana menjadi sunyi sekali, sunyi dan menegangkan.
"Paman Liong," akhirnya Bi Sian bicara dan biarpun suaranya perlahan, namun terdengar mengejutkan dan memecahkan kesunyian itu. "Engkau.... engkau benar telah mengalahkan ayah....?"
Sie Liong mengangkat mukanya, memandang kepada keponakannya itu, kemudian melirik kearah Bong Gan. Bi Sian mengerti maksud lirikan itu, dan ia berkata,
"Suheng adalah seperti keluarga sendiri, paman. Tidak ada salahnya bicara di depan dia!"
Suaranya sudah terdengar kaku, tanda bahwa dia penasaran mendengar ayahnya dikalahkan Sie Liong, dan tentu ayahnya telah dipukul oleh pamannya itu.
Sie Liong mengangguk-angguk.
"Aku tidak pernah mengalahkah dia, Bi Sian."
"Akan tetapi, ayah tadi mengatakan...."
"Kemarin dulu, ketika aku datang, aku melihat ayahmu hendak memukuli ibumu, dalam keadaan mabok. Terpaksa aku melindungi ibumu, bukan berarti melawan dan mengalahkan ayahmu. Aku hanya mengelak dan menangkis.... dan ayahmu mabok, dan pukulan-pukulan itu.... kalau mengenai ibumu, tentu akan berakibat parah! Kau tidak melihat keadaan mereka? Keadaan rumah ini! Aih, Bi Sian.... kesemuanya berubah....!"
Kembali dia melirik ke arah Bong Gan. Jelas bahwa dia merasa tidak enak sekali harus bicara lebih banyak di depan orang lain. Melihat ini, Bong Gan yang sejak tadi sudah merasa tidak enak dengan munculnya ayah Bi Sian yang seperti itu, lalu bangkit berdiri.
"Maafkan aku, sumoi. Sebaiknya kalau aku mencari rumah penginapan di kota. Besok aku akan datang berkunjung, sampaikan maafku kepada ayah dan ibumu!"
Bi Sian hanya mengangguk. Hatinya dipenuhi hal lain, yaitu kenyataan tentang ayah dan ibunya. Dan dalam keadaan seperti itu, memang sebaiknya kalau suhengnya bermalam di rumah penginapan.
"Baiklah, suheng. Maafkan kami."
Bong Gan pergi meninggalkan rumah itu. Setelah pemuda itu pergi, barulah Bi Sian duduk di dekat Sie Liong. Tadi ia memang marah sekali membayangkan bahwa pamannya telah memukul ayahnya, akan tetapi kini sudah hilang kemarahannya. Ia terlalu percaya kepada Sie Liong, tidak mungkin pamannya ini mau memukul ayahnya.
"Nah, sekarang ceritakanlah keadaan yang sesungguhnya, paman!" Bi Sian menuntut.
Sie Liong menarik napas panjang.
"Sebenarnya, ibumu yang harus menceritakan kepadamu. Akan tetapi biarlah, akupun berkewajiban untuk memberitahukan semua kepadanu. Ketahuilah bahwa setelah kita berdua pergi, ayahmu telah berubah sama sekali. Setiap hari dia bergaul dengan orang-orang sesat, dia berjudi, mabok-mabokan, pelesir, menghamburkan uang sampai usaha dagangnya jatuh dan dia bangkrut. Bukan hanya itu, malah semua barang di rumah, prabot dan perhiasan ibumu, semua dijual untuk dihamburkan di medan perjudian dan pelesiran. Lebih lagi, dia mulai membenci ibumu dan suka memukuli ibumu."
"Ah, mana mungkin itu?"
"Aku sendiripun tidak akan percaya kalau tidak melihat sendiri. Kemarin dulu, dia tidak tahu bahwa aku telah datang, dia datang malam-malam dalam keadaan mabok dan hendak memukuli ibumu. Aku yang melihatnya lalu melindungi ibumu. Aku diserang, bukan main-main, diserang mati-matian dengan pedang. Aku hanya membela diri, sama sekali tidak memukulnya, melainkan merampas pedangnya. Engkau tentu tahu bahwa aku tidak akan berani melakukan hal seperti itu, Bi Sian."
"Aih, ayah....! Kenapa begitu. Ibuu.... ah, kasihan sekali, ibuku...." Bi Sian lalu meninggalkan Sie Liong dan iapun lari memasuki kamar ayah dan ibunya.
Melihat ini, Sie Liong juga meninggalkan ruangan itu dan pergi mencari hawa sejuk di belakang rumah. Hatinya lega karena Bi Sian tidak sampai salah paham dengan dia. Diam-diam dia merasa bangga dan kagum kepada keponakannya itu.
Bi Sian telah menjadi seorang gadis seperti yang selalu dia bayangkan. Seorang gadis yang lincah jenaka, gagah perkasa, berkepandaian tinggi, juga bijaksana seperti sikapnya tadi ketika melihat ayahnya dan bertanya kepadanya. Tidak mudah dipengaruhi emosi.
Dan teringatlah dia kepada Bong Gan. Pemuda itu suheng Bi Sian? Sebagai suhengnya, tentu memiliki ilmu silat yang lebih tinggi! Memang, baru melihat sinar matanya saja mudah diduga bahwa pemuda itu tentu lihai sekali. Akan tetapi ada sesuatu pada pandang mata pemuda itu yang membuat hatinya merasa tidak enak.
Dia duduk di atas bangku di bawah pohon. Mengapa dia merasa tidak enak? Karena pemuda itu suheng Bi Sian dan kelihatan amat akrab dengan gadis itu sehingga Bi Sian mengajak pemuda itu pulang? Hendak diperkenalkan kepada ayah ibunya? Kalau benar begitu, mengapa dia harus merasa tidak enak? Sudah sepantasnya kalau Bi Sian saling mencinta dengan pemuda itu!
"Ah, tidak....!"
Tiba-tiba dia bangkit dan mengepal tinju. Akan tetapi dia teringat dan sadar lagi, duduk kembali. Ih, engkau ini kenapa? Demikian dia memaki diri sendiri. Bi Sian seorang gadis yang cantik manis, dan suhengnya itupun seorang pemuda tampan. Keduanya sudah dewasa, sudah sepatutnya kalau saling jatuh cinta. Kenapa di hatinya, harus ikut ribut-ribut? Dia kan hanya pamannya, dan dia kan hanya seorang bongkok?
"Yang tahu dirilah kau!" demikian dia memaki diri sendiri dan Sie Liong duduk termenung di kebun belakang itu sampai lama sekali.
"Ehhh? Kepandaian bukan untuk menimbulkan kekacauan melainkan untuk memadamkan kekacauan? Paman, aku pernah mendengar kalimat itu diucapkan suhu! Bukankah begitu, suheng?"
Song Gan mengangguk, akan tetapi dia memandang kepada Sie Liong dengan alis berkerut.
"Kalau begitu, suhumu adalah seorang yang bijaksana sekali, Bi Sian. Memang aku pernah menyaksikan kehebatannya dan mendengar bahwa beliau, yang berjuluk Koay Tojin, adalah seorang yang sakti dan bijaksana!"
"Paman Liong! Engkau.... engkau mengenal suhu?"
Sie Liong tersenyum lagi.
"Mengenal sih tidak, akan tetapi aku pernah bertemu dengan beliau dan berhutang budi karena beliau pernah mengobati aku yang terluka oleh pukulan beracun."
"Kalau begitu, engkau tentu murid orang sakti pula, Paman Liong! Hayo ceritakan pengalamanmu. Siapa itu gurumu yang sakti?"
Tanya Bi Sian gembira sekali membayangkan bahwa pamannya yang disayangnya dan dikasihaninya itu kini telah menjadi seorang yang lihai!
"Aihh, Bi Sian. Aku yang cacat ini mana bisa mempelajari ilmu silat yang tinggi? Hanya kebetulan sekali bahwa aku mendengar dari ibumu tentang kepergianmu dibawa oleh seorang sakti bernama Koay Tojin, dan aku mengenal nama itu, karena dia.... dia itu masih terhitung paman guruku juga."
Baik Bi Sian maupun Bong Gan terkejut mendengar ini.
"Apa?" gadis itu berseru. "Suhuku masih paman gurumu? Kalau begitu, siapakah gurumu? Ah, sekarang aku ingat....! Pernah suhu menyebut nama seorang yang katanya paling dia segani dan sayangi di dunia ini. Nama orang itu adalah.... Pek-sim Sian-su! Benarkah engkau muridnya?"
Sie Liong mengangguk.
"Engkau memang cerdik dari dulu, Bi Sian. Akan tetapi, orang cacat seperti aku ini tidak dapat mempelajari banyak ilmu silat. Aku hanya banyak belajar tentang hidup."
"Ah, aku tidak percaya! Engkau tentu lihai sekali, paman! Sekali waktu engkau harus mengajarku ilmu silat!"
"Wah, mana aku berani? Melawanmu, dalam beberapa jurus saja aku tentu akan roboh!"
Kata Sie Liong dan suasana menjadi semakin gembira karena paman dan keponakan ini seolah-olah merasakan suasana di waktu mereka masih kanak-kanak dahulu.
Hanya Bong Gan yang diam saja. Dia sendiri memandang rendah dan tidak suka kepada pemuda bongkok itu. Pemuda bongkok itu kelihatan amat disuka dan dipuji oleh Bi Sian! Katakanlah pemuda itu sudah mempelajari ilmu dari seorang sakti, akan tetapi dengan punggungnya yang bongkok itu, bagaimana mungkin dia memperoleh ilmu yang tinggi? Bagaimana mampu menghimpun tenaga sakti kalau tulang punggungnya saja bengkok?
Dia merasa tidak suka sekali, apalagi melihat betapa kadang-kadang sepasang mata pemuda bongkok itu mencorong dan memandang tajam kepadanya, seolah hendak menjenguk isi hatinya sehingga dia merasa ngeri sendiri! Masih baik bahwa pemuda bongkok itu paman dari Bi Sian, adik ibunya sehingga bukan merupakan seorang saingan dalam memperebutkan hati Bi Sian!
"Aih, kalian jangan main-main!" kata Sie Lan Hong. "Bi Sian, engkau ini baru saja pulang setelah pergi selama tujuh tahun, dan begitu datang engkau hendak menantang pamanmu? Ketahuilah, pamanmu inipun baru dua hari tiba disini! Kedatangan kalian sungguh kebetulan sekali. Sekarang, kalian harus beristirahat dan kita saling melepas rindu dengan membicarakan pengalaman-pengalamanmu, bukan untuk saling hantam dan gebuk! Aih, aku ini mempunyai keluarga macam apa! Adik jagoan dan anak tukang pukul?"
Mereka tertawa, bahkan Bong Gan juga tersenyum mendengar ucapan itu. Pada saat itu, terdengar teriakan dari luar rumah.
"Haii, mana dia isteriku yang baik dan adiknya yang gagah? Aku sudah pulang siang-siang dan tidak mabok, ha-ha-ha-ha!"
Laki-laki itu muncul di pintu. Mulutnya mengatakan tidak mabok, akan tetapi keadaannya yang terhuyung-huyung itu jelas membuktikan keadaan yang sebaliknya.
"Ayahhhhh....!"
Bi Sian berseru, bukan seruan girang melainkan seruan kaget melihat keadaan ayahnya. Dahulu, ayahnya seorang pria yang tampan dan rapi, akan tetapi sekarang, nampak awut-awutan dan kotor!
Orang itu adalah Yauw Sun Kok. Mendengar panggilan itu, lenyaplah senyum menyeringai dan mengejek tadi dari bibirnya. Matanya terbuka lebar dan dia memandang kepada gadis yang sudah bangkit berdiri dan melangkah maju menghampirinya itu.
"Bi Sian.... kau.... kau Bi Sian....?"
"Ayah....!" Bi Sian lari menghampiri. "Kau kenapakah, ayah?"
Ayahnya merangkul puteri itu dan menangis! Bi Sian terkejut bukan main. Ayahnya menangis? Sungguh luar biasa sekali ini! Ayahnya yang demikian gagah perkasa, ayahnya yang jantan. Kini menangis?
"Ayah, tenanglah, ayah. Mari duduk...."
Ia membimbing ayahnya dan membawa ayahnya duduk di kursi menghadapi meja. Hanya sebentar saja Sun Kok menangis. Dia sudah memandang kepada puterinya dengan mata merah. Lalu dia tertawa.
"Ha-ha-ha, engkau sudah pulang, Bi Sian? Engkau sudah mewarisi ilmu silat tinggi dari Koay Tojin? Bagus! Engkau harus mewakili ayahmu ini, engkau harus dapat mengalahkan Si Bongkok ini. Dia telah mengalahkan aku, Bi Sian...."
"Hemm, engkau telah mabok lagi. Mari, engkau perlu tidur....!" Sie Lan Hong membantu suaminya bangkit dan memapahnya ke dalam kamar. Yauw Sun Kok tidak membantah, hanya mengomel, "Kau harus pukul dia, Bi Sian, demi ayahmu, kau pukul bongkoknya, biar mampus....!"
Saking heran dan bingungnya, Bi Sian menjatuhkan diri duduk di atas kursi dan tidak dapat bicara apa-apa. Ia memandang kepada pamannya yang juga duduk sambil menundukkan mukanya. Pintu kamar itu tertutup setelah ayahnya dipapah ibunya masuk ke dalamnya dan suasana menjadi sunyi sekali, sunyi dan menegangkan.
"Paman Liong," akhirnya Bi Sian bicara dan biarpun suaranya perlahan, namun terdengar mengejutkan dan memecahkan kesunyian itu. "Engkau.... engkau benar telah mengalahkan ayah....?"
Sie Liong mengangkat mukanya, memandang kepada keponakannya itu, kemudian melirik kearah Bong Gan. Bi Sian mengerti maksud lirikan itu, dan ia berkata,
"Suheng adalah seperti keluarga sendiri, paman. Tidak ada salahnya bicara di depan dia!"
Suaranya sudah terdengar kaku, tanda bahwa dia penasaran mendengar ayahnya dikalahkan Sie Liong, dan tentu ayahnya telah dipukul oleh pamannya itu.
Sie Liong mengangguk-angguk.
"Aku tidak pernah mengalahkah dia, Bi Sian."
"Akan tetapi, ayah tadi mengatakan...."
"Kemarin dulu, ketika aku datang, aku melihat ayahmu hendak memukuli ibumu, dalam keadaan mabok. Terpaksa aku melindungi ibumu, bukan berarti melawan dan mengalahkan ayahmu. Aku hanya mengelak dan menangkis.... dan ayahmu mabok, dan pukulan-pukulan itu.... kalau mengenai ibumu, tentu akan berakibat parah! Kau tidak melihat keadaan mereka? Keadaan rumah ini! Aih, Bi Sian.... kesemuanya berubah....!"
Kembali dia melirik ke arah Bong Gan. Jelas bahwa dia merasa tidak enak sekali harus bicara lebih banyak di depan orang lain. Melihat ini, Bong Gan yang sejak tadi sudah merasa tidak enak dengan munculnya ayah Bi Sian yang seperti itu, lalu bangkit berdiri.
"Maafkan aku, sumoi. Sebaiknya kalau aku mencari rumah penginapan di kota. Besok aku akan datang berkunjung, sampaikan maafku kepada ayah dan ibumu!"
Bi Sian hanya mengangguk. Hatinya dipenuhi hal lain, yaitu kenyataan tentang ayah dan ibunya. Dan dalam keadaan seperti itu, memang sebaiknya kalau suhengnya bermalam di rumah penginapan.
"Baiklah, suheng. Maafkan kami."
Bong Gan pergi meninggalkan rumah itu. Setelah pemuda itu pergi, barulah Bi Sian duduk di dekat Sie Liong. Tadi ia memang marah sekali membayangkan bahwa pamannya telah memukul ayahnya, akan tetapi kini sudah hilang kemarahannya. Ia terlalu percaya kepada Sie Liong, tidak mungkin pamannya ini mau memukul ayahnya.
"Nah, sekarang ceritakanlah keadaan yang sesungguhnya, paman!" Bi Sian menuntut.
Sie Liong menarik napas panjang.
"Sebenarnya, ibumu yang harus menceritakan kepadamu. Akan tetapi biarlah, akupun berkewajiban untuk memberitahukan semua kepadanu. Ketahuilah bahwa setelah kita berdua pergi, ayahmu telah berubah sama sekali. Setiap hari dia bergaul dengan orang-orang sesat, dia berjudi, mabok-mabokan, pelesir, menghamburkan uang sampai usaha dagangnya jatuh dan dia bangkrut. Bukan hanya itu, malah semua barang di rumah, prabot dan perhiasan ibumu, semua dijual untuk dihamburkan di medan perjudian dan pelesiran. Lebih lagi, dia mulai membenci ibumu dan suka memukuli ibumu."
"Ah, mana mungkin itu?"
"Aku sendiripun tidak akan percaya kalau tidak melihat sendiri. Kemarin dulu, dia tidak tahu bahwa aku telah datang, dia datang malam-malam dalam keadaan mabok dan hendak memukuli ibumu. Aku yang melihatnya lalu melindungi ibumu. Aku diserang, bukan main-main, diserang mati-matian dengan pedang. Aku hanya membela diri, sama sekali tidak memukulnya, melainkan merampas pedangnya. Engkau tentu tahu bahwa aku tidak akan berani melakukan hal seperti itu, Bi Sian."
"Aih, ayah....! Kenapa begitu. Ibuu.... ah, kasihan sekali, ibuku...." Bi Sian lalu meninggalkan Sie Liong dan iapun lari memasuki kamar ayah dan ibunya.
Melihat ini, Sie Liong juga meninggalkan ruangan itu dan pergi mencari hawa sejuk di belakang rumah. Hatinya lega karena Bi Sian tidak sampai salah paham dengan dia. Diam-diam dia merasa bangga dan kagum kepada keponakannya itu.
Bi Sian telah menjadi seorang gadis seperti yang selalu dia bayangkan. Seorang gadis yang lincah jenaka, gagah perkasa, berkepandaian tinggi, juga bijaksana seperti sikapnya tadi ketika melihat ayahnya dan bertanya kepadanya. Tidak mudah dipengaruhi emosi.
Dan teringatlah dia kepada Bong Gan. Pemuda itu suheng Bi Sian? Sebagai suhengnya, tentu memiliki ilmu silat yang lebih tinggi! Memang, baru melihat sinar matanya saja mudah diduga bahwa pemuda itu tentu lihai sekali. Akan tetapi ada sesuatu pada pandang mata pemuda itu yang membuat hatinya merasa tidak enak.
Dia duduk di atas bangku di bawah pohon. Mengapa dia merasa tidak enak? Karena pemuda itu suheng Bi Sian dan kelihatan amat akrab dengan gadis itu sehingga Bi Sian mengajak pemuda itu pulang? Hendak diperkenalkan kepada ayah ibunya? Kalau benar begitu, mengapa dia harus merasa tidak enak? Sudah sepantasnya kalau Bi Sian saling mencinta dengan pemuda itu!
"Ah, tidak....!"
Tiba-tiba dia bangkit dan mengepal tinju. Akan tetapi dia teringat dan sadar lagi, duduk kembali. Ih, engkau ini kenapa? Demikian dia memaki diri sendiri. Bi Sian seorang gadis yang cantik manis, dan suhengnya itupun seorang pemuda tampan. Keduanya sudah dewasa, sudah sepatutnya kalau saling jatuh cinta. Kenapa di hatinya, harus ikut ribut-ribut? Dia kan hanya pamannya, dan dia kan hanya seorang bongkok?
"Yang tahu dirilah kau!" demikian dia memaki diri sendiri dan Sie Liong duduk termenung di kebun belakang itu sampai lama sekali.
**** 045 ****
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar