Seorang pemuda memasuki rumah pelesir yang mewah itu. Pemuda itu tampan dan segera menarik perhatian para pelacur yang hendak memperebutkan perhatian pemuda itu.
Maka, ketika pemuda itu duduk di dalam ruangan makan di depan, segera ada lima orang gadis pelacur menghampirinya, menyapanya dengan ramah dan tanpa diminta mereka segera duduk mengelilingi meja itu. Pakaian mereka yang tipis, muka mereka yang berbedak tebal, tubuh mereka yang menantang dan disiram minyak wangi, membuat pemuda itu tersenyum-senyum gembira.
Pemuda itu bukan lain adalah Bong Gan! Sebetulnya, tidak aneh kalau kini dia kelihatan berada di dalam sebuah rumah pelacuran, walaupun selama ini dia amat pandai menyimpan rahasia. Semenjak dia melakukan perjinahan dengan Pek Lan, selir ayah angkatnya itu, dia sudah menjadi hamba nafsu berahi yang tidak ketulungan lagi!
Akan tetapi, sebagai murid Koay Tojin dan yang selalu dekat dengan Bi Sian, dia pandai sekali menjaga diri sehingga di luarnya dia nampak alim bukan main, sopan dan tidak pernah kurang ajar. Akan tetapi, apabila dia memperoleh kesempatan, yaitu ketika melakukan perjalanan seorang diri untuk berbelanja bumbu atau memburu binatang, dia selalu mempergunakan kepandaiannya untuk memuaskan berahinya yang berkobar-kobar.
Di luar dugaan Bi Sian dan Koay Tojin, setelah dewasa, Bong Gan sering sekali mengganggu wanita. Baik melalui ketampanannya, kepandaiannya, maupun dengan paksa! Banyak sudah isteri atau anak gadis orang menjadi korbannya, namun selalu dapat menjaga diri, menyembunyikan mukanya sehingga tidak ada yang mengenalnya.
Wanita yang dirobohkannya dengan modal ketampannya, selalu adalah isteri orang yang tentu saja tidak akan membongkar rahasia busuknya sendiri. Juga, tempat pelacuran bukan tempat asing bagi Bong Gan karena kalau dia tidak mendapat korban, maka tempat pelacuranlah yang menjadi tempat dia melepaskan semua dorongan nafsu birahinya.
Kini dia berada di rumah pelacuran karena hatinya agak kesal. Dia terpaksa berpisah dari Bi Sian, bermalam di sebuah rumah penginapan dan malam itu, karena iseng, diapun keluar berjalan-jalan dan akhirhya masuk ke dalam sebuah rumah pelesir yang besar di kota Sung-jan.
Bong Gan tidak kekurangan uang. Sebelum memasuki rumah penginapan tadi, dia sudah mempergunakan kepandaiannya untuk memasuki sebuah rumah gedung dan dari dalam rumah itu, tanpa diketahui siapapun, dia telah berhasil mencuri uang emas yang cukup banyak. Dengan kepandaian yang dia miliki, kejahatan seperti itu mudah saja dia lakukan.
Tak lama kemudian, dia sudah masuk ke dalam kamar ditemani oleh tiga orang gadis pelacur! Menjelang tengah malam, baru dia keluar dari dalam kamar itu dan bermaksud untuk kembali ke rumah penginapan. Besok pagi-pagi dia akan berkunjung ke rumah Bi Sian dan dia tidak ingin kurang tidur.
Akan tetapi, baru saja dia keluar digandeng tiga orang gadis pelacur yang kelihatan amat mencintanya. Siapa orangnya takkan mencinta seorang pemuda yang tampan, jantan dan royal dengan uangnya? Apalagi kalau perempuan itu seorang pelacur!
"Heiii, bukankah engkau suheng dari Bi Sian?"
Tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki menegurnya, Song Gan menoleh dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia mengenal pria yang menegurnya itu. Yauw Sun Kok, ayah Bi Sian! Kalau ada kilat menyambar kepalanya, belum tentu Bong Gan sekaget ketika dia bertemu dengan ayah Bi Sian di rumah pelacuran!
Celaka, pikirnya, habislah namanya. Rusaklah dia di mata ayah Bi Sian dan tentu sumoinya itu juga akan mendengar dari ayahnya! Tentu sumoinya itu tidak akan sudi lagi berdekatan dengan dia kalau mendengar bahwa dia dilihat ayahnya di rumah pelacuran, dirangkul tiga orang pelacur. Dia cepat dapat memulihkan sikapnya, berpura-pura tidak mengenal Yauw Sun Kok dan melepaskan diri dari gandengan tiga orang pelacur, dia lalu keluar sambil berkata dengan suara dirobah.
"Anda salah lihat!"
Yaw Sun Kok belum mabok pada saat itu. Dia memang langganan rumah pelacuran ini dan kalau dia tidak berjudi, tentu dia berada disini, main-main dengan gadis pelacur, atau sekedar mabok-mabokan. Ketika melihat pemuda yang digandeng tiga orang pelacur itu, dia segera mengenalnya dan menegurnya. Sebetulnya kekhawatiran Song Gan tidak beralasan. Orang yang sudah menjadi langganan rumah pelacuran seperti Yauw Sun Kok, tentu tidak akan memandang rendah kepada pria lain yang juga datang menghibur diri di tempat itu.
Yauw Sun Kok adalah seorang manusia yang jiwanya lemah, tertutup oleh nafsu-nafsunya sehingga jiwanya menjadi hamba dari nafsunya. Karena sejak kecil hidup sebagai orang sesat, di tengah-tengah orang yang bekerja sebagai perampok, penjudi dan penjahat-penjahat, akhirnya isterinya terbunuh oleh Sie Kian, dia menjadi sakit hati dan setelah memperdalam ilmu-ilmunya, dia berhasil membalas dendam, membasmi keluarga musuh besarnya itu.
Akan tetapi dia tergila-gila kepada Sie Lan Hong dan membawa gadis remaja itu sebagai isterinya, juga membiarkan Sie Liong hidup atas permintaan Sie Lan Hong yang pada waktu itu amat dicintanya. Karena cintanya terhadap isteri yang baru inilah Yauw Sun Kok dapat merobah jalan hidupnya. Dia dapat mengekang nafsu-nafsunya, karena semua nafsunya telah dipuaskan oleh isteri yang dicintanya itu. Apalagi ketika Bi Sian terlahir. Sun Kok bahkan pernah menjadi suami dan ayah yang baik.
Akan tetapi, rasa takutnya akan menerima pembalasan dari Sie Liong membuat sifat jahatnya timbul dan dia bahkan telah membikin cacat adik isterinya itu. Setelah Sie Liong melarikan diri, dan juga puterinya dibawa orang sakti sebagai murid, dalam keadaan kesepian ini, nafsu-nafsu rendah yang tadinya mulai dapat dikekang, bermunculan kembali dan menguasai jiwa raga Sun Kok!
Maka diapun kembali ke jalan lama membiarkan nafsunya meraja lela dan setiap hari hanya mengejar kesenangan belaka. Bahkan muncul pula watak kejamnya sehingga dia tidak segan memukuli isterinya yang dulu pernah amat disayangnya itu kalau isterinya dianggap menghalangi kesenangannya!
Segala macam nafsu tidak terpisahkan dari manusia. Sejak lahir memang kita sudah disertai nafsu-nafsu, karena sesungguhnya nafsu-nafsu merupakan pendorong bagi kita untuk dapat hidup di dunia ini.
Nafsu adalah kemelekatan kita kepada kebutuhan hidup di dunia, kebutuhan badan. Kemelekatan pada benda, pada makanan, dan sebagainya. Akan tetapi, nafsu-nafsu ini setelah merasakan segala macam kesenangan melalui badan manusia, lalu ingin menguasai manusia, mencengkeram dan memperhamba manusia sehingga jiwa manusia yang murni terselubung oleh hawa nafsu, menjadi lemah dan tidak berdaya.
Kalau jiwa yang menjadi penghubung antara manusia dengan Tuhannya itu terselubung, maka Kekuasaan Tuhan yang berada di dalam diri tidak dapat bekerja dengan sempurna. Maka nafsulah yang berkuasa, dan di dalam setiap gerak gerik kita, selalu nafsu yang menjadi pengemudinya!
Kalau keadaan kita manusia ini dapat diumpamakan sebuah kereta, lengkap dengan roda, kerangka, lampu, dan segala perlengkapan sebuah kereta, maka nafsu-nafsu adalah ibarat kuda-kuda yang menarik kereta ini!
Jiwa kita seharusnya menjadi Sang Kusir, yang mengendalikan nafsu-nafsu atau kuda-kuda itu agar kereta dapat berjalan dengan baik. Tanpa adanya kuda-kuda itu, kereta tidak akan dapat berjalan atau bergerak maju. Akan tetapi kalau Sang Kusir tidak mampu menguasai kuda-kuda itu, dan sebaliknya kuda-kuda itu yang menguasai kereta, maka tentu kuda-kuda itu menjadi liar dan akan kabur, mungkin saja membawa seluruh kereta berikut Sang Kusir terjun ke dalam jurang!
Demikian pula dengan nafsu. Kalau jiwa tidak tertutup kotoran, kalau jiwa tetap dekat dengan Tuhan, penuh penyerahan diri, penuh ketawakalan dan penuh keikhlasan membiarkan diri dibimbing kekuasaan Tuhan, maka jiwa akan selalu dapat menguasai nafsu-nafsu. Bukan berarti nafsu harus dimatikan, seperti kuda yang dibutuhkan untuk menarik kereta.
Nafsu juga perlu untuk membuat kita hidup. Kita makan karena ada nafsu, kita berpakaian karena ada nafsu, kita melihat, mendengar dan mempergunakan panca indera dan dapat menikmati hidup karena ada nafsu. Nafsu bagaikan api. Kalau dikuasai, dapat amat bermanfaat bagi hidup, akan tetapi sebaliknya kalau menguasai kita, dapat membakar segala-galanya! Nafsu adalah seorang hamba yang amat baik, akan tetapi seorang majikan yang amat jahat!
Melihat Bong Gan bersikap tidak mengenalnya, hanya sebentar Yauw Sun Kok merasa heran. Akan tetapi tak lama kemudian dia sudah tenggelam ke dalam buaian arak dan lewat tengah malam, diapun berjalan pulang terhuyung-huyung dalam keadaan mabok.
Ketika Sun Kok melewati daerah yang sunyi, dimana tidak ada rumah di kanan kiri jalan, tiba-tiba berkelebat bayangan hitam yang langsung menyerangnya dengan kepalan tangan. Serangan itu dahsyat sekali, mendatangkan angin pukulan yang keras.
Bagaimanapun juga, Sun Kok adalah seorang yang sudah lama mempelajari ilmu silat dan tingkat kepandaiannya cukup tinggi. Dia mendengar suara angin serangan ini dan cepat dia mengelak sambil menggerakkan tangan kiri menangkis dan tangan kanannya membalas dengan cengkeraman ke arah pundak penyerangnya! Namun, penyerang itu lihai bukan main karena dengan amat mudahnya dia menghindarkan diri dari cengkeraman itu.
Saat itu dipergunakan Sun Kok yang cepat melompat ke belakang itu untuk mengamati penyerangnya. Cuaca gelap, akan tetapi dia melihat bayangan penyerangnya yang berpunggung bongkok!
"Sie Liong....!" teriaknya dengan suara penuh rasa ngeri.
Memang sejak dahulu dia takut kepada adik isterinya, takut kalau sampai anak itu mengetahui bahwa dialah pembunuh orang tuanya. Kalau saja tidak melihat isterinya, sudah sejak dulu dia membunuh Sie Liong. Dan kini, apa yang ditakutinya terjadi. Sie Liong yang sudah dia bikin bongkok itu, masih berhasil mempelajari ilmu silat tinggi dan malam ini agaknya hendak membalas dendam dan menyerangnya!
Maklum bahwa dia terancam maut, tangan Yauw Sun Kok bergerak dan tiga batang piauw beruntun menyambar ke arah tubuh orang bongkok itu. Namun, dengan sigapnya, lawannya itu berhasil mengelak dengan amat mudah. Sun Kok sudah mencabut pedangnya, pedang pusaka Pek-lian-kiam dan biarpun dia mabok, akan tetapi perasaan takut melenyapkan maboknya dan dia sudan mainkan pedangnya, menyerang dengan gesit.
Namun, sekali ini dia harus mengakui bahwa dia telah berhadapan dengan seorang lawan yang amat tangguh. Biarpun lawannya bertangan kosong, namun serangan-serangan pedangnya tidak pernah mampu menyentuh lawannya yang dapat bergerak secepat burung walet terbang.
Kemudian, ketika dengan gugup dia membalik untuk mencari lawan yang tadi berkelebat lenyap ke arah belakangnya, tiba-tiba tangan kanannya menjadi lumpuh tertotok dan pedangnya berpindah tangan! Sebelum Sun Kok mampu menghindar, sinar pedang berkelebat dan pedang itu telah menembus dada dan jantungnya! Sun Kok roboh terjengkang, seketika tewas dengan dada ditembusi pedangnya sendiri!
Bayangan berpunggung bongkok itu lalu menyambar tubuh yang tak bernyawa lagi itu, menyeretnya menuju ke rumah Yauw Sun Kok. Dengan amat cekatan, dia melompat ke atas genteng dan selanjutnya berlompatan sehingga tidak ada orang melihatnya. Setelah berlompatan dari rumah ke rumah, dia lalu turun ke pekarangan belakang rumah Yauw Sun Kok. Ketika tiba di dekat sebuah jendela kamar di rumah itu, kakinya tersaruk sebuah benda yang mengeluarkan suara keras.
"Siapa itu?" terdengar bentakan suara wanita dari balik jendela.
Bayangan itu tidak menjawab, menyeret mayat itu menjauhi jendela. Akan tetapi dia kurang cepat karena tiba-tiba daun jendela itu terbuka dari dalam dan Bi Sian masih sempat melihat seorang laki-laki berkedok dan berpunggung bongkok menyeret sesosok mayat ke dalam kebun.
"Paman Liong....?"
Dia memanggil akan tetapi bayangan itu sudah lenyap ke dalam kegelapan malam. Bi Sian cepat meloncat keluar dari kamarnya dan melakukan pengejaran ke dalam kebun. Akan tetapi bayangan orang berpunggung bongkok itu lenyap dan ia menemukan sesosok tubuh menggeletak di atas tanah.
Pada waktu itu, kebetulan sekali bulan sepotong yang sejak tadi tertutup awan hitam, terlepas dari cengkeraman awan dan menyinarkan cahayanya yang redup namun cukup terang bagi Bi Sian untuk mengenal wajah orang itu.
"A.... ayahhhhh....!"
Ia menjerit dan cepat berlutut, memeriksa tubuh itu. Ayahnya, benar ayahnya, telah tewas dengan dada ditembusi sebatang pedang yang dikenalnya sebagai pedang pusaka milik ayahnya sendiri, Pek-lian-kiam! Jeritan Bi Sian ini mengejutkan para pengnuni rumah itu. Ibunya terkejut dan berlari keluar.
"Bi Sian, apa yang terjadi....?" tanyanya sambil berlari tersaruk-saruk ke dalam kebun.
"Ibu....! Ayah tewas terbunuh orang....!"
Bi Sian berseru dan iapun melompat lalu berlari mencari-cari ke dalam kebun. Akan tetapi, ia tidak menemukan jejak orang yang tadi menyeret tubuh ayahnya, lalu ia mendekati rumah. Tiba-tiba ia melihat sesuatu. Cepat ia berjongkok den diambilnya benda itu. Sebuah topeng! Topeng yang tadi ia lihat dikenakan pembunuh ayahnya. Topeng hitam!
"Bi Sian, ada apakah ribut-ribut itu?"
Maka, ketika pemuda itu duduk di dalam ruangan makan di depan, segera ada lima orang gadis pelacur menghampirinya, menyapanya dengan ramah dan tanpa diminta mereka segera duduk mengelilingi meja itu. Pakaian mereka yang tipis, muka mereka yang berbedak tebal, tubuh mereka yang menantang dan disiram minyak wangi, membuat pemuda itu tersenyum-senyum gembira.
Pemuda itu bukan lain adalah Bong Gan! Sebetulnya, tidak aneh kalau kini dia kelihatan berada di dalam sebuah rumah pelacuran, walaupun selama ini dia amat pandai menyimpan rahasia. Semenjak dia melakukan perjinahan dengan Pek Lan, selir ayah angkatnya itu, dia sudah menjadi hamba nafsu berahi yang tidak ketulungan lagi!
Akan tetapi, sebagai murid Koay Tojin dan yang selalu dekat dengan Bi Sian, dia pandai sekali menjaga diri sehingga di luarnya dia nampak alim bukan main, sopan dan tidak pernah kurang ajar. Akan tetapi, apabila dia memperoleh kesempatan, yaitu ketika melakukan perjalanan seorang diri untuk berbelanja bumbu atau memburu binatang, dia selalu mempergunakan kepandaiannya untuk memuaskan berahinya yang berkobar-kobar.
Di luar dugaan Bi Sian dan Koay Tojin, setelah dewasa, Bong Gan sering sekali mengganggu wanita. Baik melalui ketampanannya, kepandaiannya, maupun dengan paksa! Banyak sudah isteri atau anak gadis orang menjadi korbannya, namun selalu dapat menjaga diri, menyembunyikan mukanya sehingga tidak ada yang mengenalnya.
Wanita yang dirobohkannya dengan modal ketampannya, selalu adalah isteri orang yang tentu saja tidak akan membongkar rahasia busuknya sendiri. Juga, tempat pelacuran bukan tempat asing bagi Bong Gan karena kalau dia tidak mendapat korban, maka tempat pelacuranlah yang menjadi tempat dia melepaskan semua dorongan nafsu birahinya.
Kini dia berada di rumah pelacuran karena hatinya agak kesal. Dia terpaksa berpisah dari Bi Sian, bermalam di sebuah rumah penginapan dan malam itu, karena iseng, diapun keluar berjalan-jalan dan akhirhya masuk ke dalam sebuah rumah pelesir yang besar di kota Sung-jan.
Bong Gan tidak kekurangan uang. Sebelum memasuki rumah penginapan tadi, dia sudah mempergunakan kepandaiannya untuk memasuki sebuah rumah gedung dan dari dalam rumah itu, tanpa diketahui siapapun, dia telah berhasil mencuri uang emas yang cukup banyak. Dengan kepandaian yang dia miliki, kejahatan seperti itu mudah saja dia lakukan.
Tak lama kemudian, dia sudah masuk ke dalam kamar ditemani oleh tiga orang gadis pelacur! Menjelang tengah malam, baru dia keluar dari dalam kamar itu dan bermaksud untuk kembali ke rumah penginapan. Besok pagi-pagi dia akan berkunjung ke rumah Bi Sian dan dia tidak ingin kurang tidur.
Akan tetapi, baru saja dia keluar digandeng tiga orang gadis pelacur yang kelihatan amat mencintanya. Siapa orangnya takkan mencinta seorang pemuda yang tampan, jantan dan royal dengan uangnya? Apalagi kalau perempuan itu seorang pelacur!
"Heiii, bukankah engkau suheng dari Bi Sian?"
Tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki menegurnya, Song Gan menoleh dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia mengenal pria yang menegurnya itu. Yauw Sun Kok, ayah Bi Sian! Kalau ada kilat menyambar kepalanya, belum tentu Bong Gan sekaget ketika dia bertemu dengan ayah Bi Sian di rumah pelacuran!
Celaka, pikirnya, habislah namanya. Rusaklah dia di mata ayah Bi Sian dan tentu sumoinya itu juga akan mendengar dari ayahnya! Tentu sumoinya itu tidak akan sudi lagi berdekatan dengan dia kalau mendengar bahwa dia dilihat ayahnya di rumah pelacuran, dirangkul tiga orang pelacur. Dia cepat dapat memulihkan sikapnya, berpura-pura tidak mengenal Yauw Sun Kok dan melepaskan diri dari gandengan tiga orang pelacur, dia lalu keluar sambil berkata dengan suara dirobah.
"Anda salah lihat!"
Yaw Sun Kok belum mabok pada saat itu. Dia memang langganan rumah pelacuran ini dan kalau dia tidak berjudi, tentu dia berada disini, main-main dengan gadis pelacur, atau sekedar mabok-mabokan. Ketika melihat pemuda yang digandeng tiga orang pelacur itu, dia segera mengenalnya dan menegurnya. Sebetulnya kekhawatiran Song Gan tidak beralasan. Orang yang sudah menjadi langganan rumah pelacuran seperti Yauw Sun Kok, tentu tidak akan memandang rendah kepada pria lain yang juga datang menghibur diri di tempat itu.
Yauw Sun Kok adalah seorang manusia yang jiwanya lemah, tertutup oleh nafsu-nafsunya sehingga jiwanya menjadi hamba dari nafsunya. Karena sejak kecil hidup sebagai orang sesat, di tengah-tengah orang yang bekerja sebagai perampok, penjudi dan penjahat-penjahat, akhirnya isterinya terbunuh oleh Sie Kian, dia menjadi sakit hati dan setelah memperdalam ilmu-ilmunya, dia berhasil membalas dendam, membasmi keluarga musuh besarnya itu.
Akan tetapi dia tergila-gila kepada Sie Lan Hong dan membawa gadis remaja itu sebagai isterinya, juga membiarkan Sie Liong hidup atas permintaan Sie Lan Hong yang pada waktu itu amat dicintanya. Karena cintanya terhadap isteri yang baru inilah Yauw Sun Kok dapat merobah jalan hidupnya. Dia dapat mengekang nafsu-nafsunya, karena semua nafsunya telah dipuaskan oleh isteri yang dicintanya itu. Apalagi ketika Bi Sian terlahir. Sun Kok bahkan pernah menjadi suami dan ayah yang baik.
Akan tetapi, rasa takutnya akan menerima pembalasan dari Sie Liong membuat sifat jahatnya timbul dan dia bahkan telah membikin cacat adik isterinya itu. Setelah Sie Liong melarikan diri, dan juga puterinya dibawa orang sakti sebagai murid, dalam keadaan kesepian ini, nafsu-nafsu rendah yang tadinya mulai dapat dikekang, bermunculan kembali dan menguasai jiwa raga Sun Kok!
Maka diapun kembali ke jalan lama membiarkan nafsunya meraja lela dan setiap hari hanya mengejar kesenangan belaka. Bahkan muncul pula watak kejamnya sehingga dia tidak segan memukuli isterinya yang dulu pernah amat disayangnya itu kalau isterinya dianggap menghalangi kesenangannya!
Segala macam nafsu tidak terpisahkan dari manusia. Sejak lahir memang kita sudah disertai nafsu-nafsu, karena sesungguhnya nafsu-nafsu merupakan pendorong bagi kita untuk dapat hidup di dunia ini.
Nafsu adalah kemelekatan kita kepada kebutuhan hidup di dunia, kebutuhan badan. Kemelekatan pada benda, pada makanan, dan sebagainya. Akan tetapi, nafsu-nafsu ini setelah merasakan segala macam kesenangan melalui badan manusia, lalu ingin menguasai manusia, mencengkeram dan memperhamba manusia sehingga jiwa manusia yang murni terselubung oleh hawa nafsu, menjadi lemah dan tidak berdaya.
Kalau jiwa yang menjadi penghubung antara manusia dengan Tuhannya itu terselubung, maka Kekuasaan Tuhan yang berada di dalam diri tidak dapat bekerja dengan sempurna. Maka nafsulah yang berkuasa, dan di dalam setiap gerak gerik kita, selalu nafsu yang menjadi pengemudinya!
Kalau keadaan kita manusia ini dapat diumpamakan sebuah kereta, lengkap dengan roda, kerangka, lampu, dan segala perlengkapan sebuah kereta, maka nafsu-nafsu adalah ibarat kuda-kuda yang menarik kereta ini!
Jiwa kita seharusnya menjadi Sang Kusir, yang mengendalikan nafsu-nafsu atau kuda-kuda itu agar kereta dapat berjalan dengan baik. Tanpa adanya kuda-kuda itu, kereta tidak akan dapat berjalan atau bergerak maju. Akan tetapi kalau Sang Kusir tidak mampu menguasai kuda-kuda itu, dan sebaliknya kuda-kuda itu yang menguasai kereta, maka tentu kuda-kuda itu menjadi liar dan akan kabur, mungkin saja membawa seluruh kereta berikut Sang Kusir terjun ke dalam jurang!
Demikian pula dengan nafsu. Kalau jiwa tidak tertutup kotoran, kalau jiwa tetap dekat dengan Tuhan, penuh penyerahan diri, penuh ketawakalan dan penuh keikhlasan membiarkan diri dibimbing kekuasaan Tuhan, maka jiwa akan selalu dapat menguasai nafsu-nafsu. Bukan berarti nafsu harus dimatikan, seperti kuda yang dibutuhkan untuk menarik kereta.
Nafsu juga perlu untuk membuat kita hidup. Kita makan karena ada nafsu, kita berpakaian karena ada nafsu, kita melihat, mendengar dan mempergunakan panca indera dan dapat menikmati hidup karena ada nafsu. Nafsu bagaikan api. Kalau dikuasai, dapat amat bermanfaat bagi hidup, akan tetapi sebaliknya kalau menguasai kita, dapat membakar segala-galanya! Nafsu adalah seorang hamba yang amat baik, akan tetapi seorang majikan yang amat jahat!
Melihat Bong Gan bersikap tidak mengenalnya, hanya sebentar Yauw Sun Kok merasa heran. Akan tetapi tak lama kemudian dia sudah tenggelam ke dalam buaian arak dan lewat tengah malam, diapun berjalan pulang terhuyung-huyung dalam keadaan mabok.
Ketika Sun Kok melewati daerah yang sunyi, dimana tidak ada rumah di kanan kiri jalan, tiba-tiba berkelebat bayangan hitam yang langsung menyerangnya dengan kepalan tangan. Serangan itu dahsyat sekali, mendatangkan angin pukulan yang keras.
Bagaimanapun juga, Sun Kok adalah seorang yang sudah lama mempelajari ilmu silat dan tingkat kepandaiannya cukup tinggi. Dia mendengar suara angin serangan ini dan cepat dia mengelak sambil menggerakkan tangan kiri menangkis dan tangan kanannya membalas dengan cengkeraman ke arah pundak penyerangnya! Namun, penyerang itu lihai bukan main karena dengan amat mudahnya dia menghindarkan diri dari cengkeraman itu.
Saat itu dipergunakan Sun Kok yang cepat melompat ke belakang itu untuk mengamati penyerangnya. Cuaca gelap, akan tetapi dia melihat bayangan penyerangnya yang berpunggung bongkok!
"Sie Liong....!" teriaknya dengan suara penuh rasa ngeri.
Memang sejak dahulu dia takut kepada adik isterinya, takut kalau sampai anak itu mengetahui bahwa dialah pembunuh orang tuanya. Kalau saja tidak melihat isterinya, sudah sejak dulu dia membunuh Sie Liong. Dan kini, apa yang ditakutinya terjadi. Sie Liong yang sudah dia bikin bongkok itu, masih berhasil mempelajari ilmu silat tinggi dan malam ini agaknya hendak membalas dendam dan menyerangnya!
Maklum bahwa dia terancam maut, tangan Yauw Sun Kok bergerak dan tiga batang piauw beruntun menyambar ke arah tubuh orang bongkok itu. Namun, dengan sigapnya, lawannya itu berhasil mengelak dengan amat mudah. Sun Kok sudah mencabut pedangnya, pedang pusaka Pek-lian-kiam dan biarpun dia mabok, akan tetapi perasaan takut melenyapkan maboknya dan dia sudan mainkan pedangnya, menyerang dengan gesit.
Namun, sekali ini dia harus mengakui bahwa dia telah berhadapan dengan seorang lawan yang amat tangguh. Biarpun lawannya bertangan kosong, namun serangan-serangan pedangnya tidak pernah mampu menyentuh lawannya yang dapat bergerak secepat burung walet terbang.
Kemudian, ketika dengan gugup dia membalik untuk mencari lawan yang tadi berkelebat lenyap ke arah belakangnya, tiba-tiba tangan kanannya menjadi lumpuh tertotok dan pedangnya berpindah tangan! Sebelum Sun Kok mampu menghindar, sinar pedang berkelebat dan pedang itu telah menembus dada dan jantungnya! Sun Kok roboh terjengkang, seketika tewas dengan dada ditembusi pedangnya sendiri!
Bayangan berpunggung bongkok itu lalu menyambar tubuh yang tak bernyawa lagi itu, menyeretnya menuju ke rumah Yauw Sun Kok. Dengan amat cekatan, dia melompat ke atas genteng dan selanjutnya berlompatan sehingga tidak ada orang melihatnya. Setelah berlompatan dari rumah ke rumah, dia lalu turun ke pekarangan belakang rumah Yauw Sun Kok. Ketika tiba di dekat sebuah jendela kamar di rumah itu, kakinya tersaruk sebuah benda yang mengeluarkan suara keras.
"Siapa itu?" terdengar bentakan suara wanita dari balik jendela.
Bayangan itu tidak menjawab, menyeret mayat itu menjauhi jendela. Akan tetapi dia kurang cepat karena tiba-tiba daun jendela itu terbuka dari dalam dan Bi Sian masih sempat melihat seorang laki-laki berkedok dan berpunggung bongkok menyeret sesosok mayat ke dalam kebun.
"Paman Liong....?"
Dia memanggil akan tetapi bayangan itu sudah lenyap ke dalam kegelapan malam. Bi Sian cepat meloncat keluar dari kamarnya dan melakukan pengejaran ke dalam kebun. Akan tetapi bayangan orang berpunggung bongkok itu lenyap dan ia menemukan sesosok tubuh menggeletak di atas tanah.
Pada waktu itu, kebetulan sekali bulan sepotong yang sejak tadi tertutup awan hitam, terlepas dari cengkeraman awan dan menyinarkan cahayanya yang redup namun cukup terang bagi Bi Sian untuk mengenal wajah orang itu.
"A.... ayahhhhh....!"
Ia menjerit dan cepat berlutut, memeriksa tubuh itu. Ayahnya, benar ayahnya, telah tewas dengan dada ditembusi sebatang pedang yang dikenalnya sebagai pedang pusaka milik ayahnya sendiri, Pek-lian-kiam! Jeritan Bi Sian ini mengejutkan para pengnuni rumah itu. Ibunya terkejut dan berlari keluar.
"Bi Sian, apa yang terjadi....?" tanyanya sambil berlari tersaruk-saruk ke dalam kebun.
"Ibu....! Ayah tewas terbunuh orang....!"
Bi Sian berseru dan iapun melompat lalu berlari mencari-cari ke dalam kebun. Akan tetapi, ia tidak menemukan jejak orang yang tadi menyeret tubuh ayahnya, lalu ia mendekati rumah. Tiba-tiba ia melihat sesuatu. Cepat ia berjongkok den diambilnya benda itu. Sebuah topeng! Topeng yang tadi ia lihat dikenakan pembunuh ayahnya. Topeng hitam!
"Bi Sian, ada apakah ribut-ribut itu?"
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar