Marahlah si brewok. Agaknya dia tidak mau turun ke lumpur karena sepatunya masih baru. Dia menengok dan memerintahkan anak buahnya.
"Turun dan seret ia ke mari!"
Seorang diantara mereka, yang termuda, berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun sedangkan yang lain antara empat puluh lima tahun, segera melangkah maju dengan sikap gagah. Orang ini mukanya kecil sempit dan panjang, kepucatan seperti orang berpenyakitan, matanya sipit dan hidungnya pesek. Dia menyeringai ketika dia turun ke ladang menghampiri wanita itu yang bangkit berdiri dan mencoba untuk melarikan diri menjauhi orang itu.
Ia adalah seorang wanita, akan tetapi sejak kecil ia bekerja di sawah ladang. Tubuhnya kuat sekali dan ia sudah terbiasa di lumpur, maka ia dapat berlari cepat. Berbeda dengan laki-laki yang mengejarnya. Biarpun dia seorang kasar yang memiliki kekuatan dan kepandaian, akan tetapi belum pernah dia berjalan di dalam lumpur, apalagi dia bersepatu, tidak seperti wanita petani itu yang bertelanjang kaki. Maka, sukarlah baginya untuk menangkap wanita itu! Kawan-kawannya menjadi gembira dan merekapun mengepung ladang itu, menghadang wanita yang hendak melarikan diri.
Wanita itu menjadi semakin ketakutan. Hanya pinggir yang dihalangi solokan itulah yang tidak dihadang penjahat, maka iapun lari ke situ dan meloncat ke dalam solokan, terus mendaki, dikejar oleh tujuh orang itu yang tertawa-tawa dan membuat gerakan menakut-nakuti. Mereka itu memperoleh hiburan, seperti tujuh ekor kucing mempermainkan seekor tikus sebelum menerkan dan mengganyangnya.
Kebetulan sekali wanita itu melihat Sie Liong yang duduk di bawah pohon, maka iapun lari ke arah pohon itu, lalu menubruk Sie Liong yang masih duduk bersila. Sie Liong merasa betapa wanita itu merangkulnya, dan karena pakaian wanita itu penuh lumpur, maka pakaiannya sendiripun terkena lumpur. Dia merasa betapa dada yang menempel pada pundaknya itu berdebar dan bergelombang, dan betapa napas itu terengah-engah.
"Tolonglah.... tolonglah saya.... aduh, lebih baik saya mati daripada tertawan mereka.... tolonglah saya...."
"Enci yang baik, tenanglah dan duduklah di belakangku. Biar aku yang akan menghadapi mereka." kata Sie Liong.
Kini tujuh orang itu sudah tiba di bawah pohon. Si brewok marah sekali melihat wanita itu berlutut di belakang seorang laki-laki yang duduk bersila. Dia tidak perduli apakah pria itu suami si wanita. Baginya, tidak perduli wanita itu bersuami atau tidak, kalau sudah dikehendakinya, harus diserahkan kepadanya!
"Heiii, siapa engkau?"
Mendengar bentakan yang nadanya amat congkak ini, Sie Liong lalu bangkit berdiri.
"Namaku Sie Liong. Aku melihat betapa kalian mengganggu wanita ini. Apakah kalian tidak malu? Kalian ini tujuh orang laki-laki pengecut yang suka mengganggu wanita yang tak berdaya. Pergilah kalian dari sini sebelum aku muak melihat tingkah kalian yang tidak senonoh seperti binatang itu!" Sie Liong memang marah sekali melihat perbuatan mereka tadi.
Tujuh orang itu terbelalak. Keheranan melampaui kemarahan mereka sehingga mereka saling pandang. Ada seorang pemuda biasa, bongkok pula, berani bicara seperti itu kepada mereka? Sungguh aneh, aneh sekali sehingga mereka lupa akan kemarahan mereka, bahkan mereka mulai tertawa-tawa.
"Heh-heh, apakah engkau seorang pendekar?" tanya si brewok untuk mengejek.
"Seorang pendekar yang bongkok! Pendekar Bongkok! Ha-ha-ha!"
"Awas kau, Pendekar Bongkok. Kupenggal punukmu untuk kubuat menjadi punuk panggang, baru tahu rasa kau!"
Si brewok melangkah maju selangkah.
"Hei, Sie Liong, apakah engkau sudah buta, ataukah memang tuli? Andaikata engkau tidak mengenal kami, tentu sudah mendengar akan nama besar Tiat-jiauw Jit-eng!"
Sie Liong tersenyum.
"Tujuh Garuda Cakar Besi atau Tujuh Garuda Cakar Tahu aku tidak perduli."
"Wah, pemuda bongkok ini memang sudah bosan hidup!"
Kata si brewok sambil memberi isarat kepada anak buahnya yang termuda, yang tadi mengejar-ngejar wanita itu tanpa hasil.
Si mata sipit hidung pesek ini, yang tadi merasa penasaran dan rugi karena tidak mampu menerkam si manis, kini melangkah maju, lenggangnya dibuat-buat seperti seorang jagoan asli yang tidak pernah terkalahkan. Dia melenggang seperti layangan yang tak seimbang, condang ke kanan dan ke kiri, kepalanya ditegakkan, dadanya dibusungkan. Akan tetapi, karena dadanya memang tipis dan perutnya besar, maka yang menjadi busung bukan dadanya melainkan perutnya!
"Heiii, orang muda yang tolol! Engkau ini masih muda, lemah dan bongkok pula, apa engkau tidak tahu diri? Engkau berani menentang kami, hanya untuk membela seorang perempuan dusun? Apamukah perempuan itu?"
Tanyanya dan suaranya dibesar-besarkan agar berwibawa, akan tetapi karena suaranya memang kecil parau seperti suara seorang penderita batuk kering, maka tetap saja suara yang keluar sama sekali tidak berwibawa, malah lucu.
Biarpun di dalam hatinya Sie Liong merasa marah sekali, namun dia tetap tenang dan sabar.
"Enci ini adalah kerabat yang paling dekat karena ia termasuk orang yang lemah tertindas, membutuhkan bantuan. Dan kalian adalah orang-orang jahat, manusia-manusia berwatak iblis yang patut ditentang!"
Si mata sipit hidung pesek mengerutkan alisnya dan membentak marah.
"Wahhh, engkau ini pemuda kurang ajar, aku yang akan menghajarmu, kusiksa sampai mampus!"
Setelah berkata demikian, diapun menyerang. Biarpun tubuhnya kerempeng dan dia kelihatan berpenyakitan, ternyata si mata sipit hidung pesek ini mampu bergerak dengan cepat sekali dan sambaran tangan kanannya ketika menjotos ke arah muka Sie Liong mengandung tenaga yang terlatih.
"Wuuuuuttt....!"
Tonjokan dengan tangan terkepal itu menyambar ke arah pipi kiri Sie Liong. Akan tetapi pemuda bongkok ini tenang saja, seolah-olah tidak tahu bahwa dia diserang dengan tonjokan yang akan dapat membuat pipinya bengkak dan giginya rontok!
Baru setelah kepalan itu hanya terpisah satu sentimeter saja dari pipinya, secepat kilat dia menarik kepala ke belakang, tangan kiri menyambar, menangkap lengan kanan lawan dan diapun mendorong, menambahkan tenaga dorongan pukulan itu dengan tenaganya sendiri sehingga kepalan kanan si sipit pesek itu meluncur terus dan melingkar ke arah pipi kirinya sendiri.
"Desss...! Aughhhh....!"
Beberapa buah gigi berlompatan keluar dari mulutnya yang terbuka, dan hidungnya berdarah karena kepalan tangan kanannya tadi dengan kuat sekali telah menghantam ke arah mukanya sendiri!
"Auhh.... auhh.... auhhh....!"
Dia mengerang kesakitan, tidak mampu berkata "aduh" karena mulutnya terasa seperti remuk. Dia membungkuk-bungkuk dan kedua tangan dengan sibuknya memegang-megang dan meraba-raba mulut dan hidung.
Seorang diantara mereka yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, mukanya hitam dan kulit muka itu kaku seperti punggung buaya, agaknya muka itu memang rusak oleh penyakit kulit yang hebat. Diantara tujuh orang gerombolan itu, dia terkenal sebagai seorang yang memiliki tenaga besar, dan juga wataknya amat sombong karena memang sulit mencari orang yang mampu mengalahkan raksasa muka hitam ini.
Agaknya dia masih terlalu mengandalkan kehebatan diri sendiri sehingga melihat Sie Liong mengalahkan kawannya, dia masih juga memandang rendah pemuda bongkok itu dan agaknya dia menganggap bahwa kekalahan si mata sipit hidung pesek itu tadi hanya karena kebodohannya sendiri, bukan karena kelihaian pemuda bongkok. Bahkan dia merasa terlalu tinggi untuk berkelahi melawan seorang pemuda bongkok, maka dia ingin mengalahkan pemuda itu dengan wibawanya saja.
"Heii, bocah ingusan! Lekas engkau berlutut dan memanggil engkong (kakek) kepadaku, baru aku akan mengampunimu! Cepat....!" Sepasang matanya yang hitam dan mencorong itu melotot galak.
"Engkongku sudah mati, dan seingatku, dia tidak seburuk engkau." kata Sie Liong dengan sikap tenang.
"Kalau begitu, aku akan memaksamu berlutut!"
Bentak si raksasa muka hitam dan diapun sudah menyerang dengan kedua tangannya mencengkeram ke arah kepala dan dada Sie Liong.
Ketika pemuda ini menarik diri ke belakang, tiba-tiba kaki kanan raksasa itu menendang ke arah lututnya. Kalau sasaran tendangan itu terkena, tentu Sie Liong akan benar-benar diharuskan berlutut karena tendangan itu kuat bukan main.
Namun, tentu saja Sie Liong yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi, dapat melihat gerakan serangan ini dengan jelas, maka mudah saja baginya untuk mendahului lawan. Sebelum kaki yang menendang itu sampai ke tubuhnya, dia merendahkan diri, menggeser kaki ke kiri dan dari samping tangannya monotok ke arah lutut kanan itu.
"Tukkk!"
Seketika kaki yang besar itu terasa lumpuh dan tanpa dapat dicegah lagi raksasa muka hitam itu jatuh berlutut di atas kaki kanan dan kebetulan dia jatuh berlutut di depan Sie Liong! Pemuda itu tersenyum dan berkata dengan suara mengejek.
"Aku bukan engkongmu, tidak perlu engkau berlutut memberi hormat!"
Tentu saja ucapannya ini membuat raksasa muka hitam itu menjadi marah sekali. Dia melompat berdiri, akan tetapi kembali terguling karena kakinya masih terasa lumpuh. Melihat ini, kawan-kawannya menjadi marah akan tetapi sekaligus maklum bahwa pemuda bongkok itu benar-benar seorang pendekar yang amat lihai! Maka, tanpa banyak cakap lagi mereka mencabut senjata golok atau pedang dari punggung mereka dan di lain saat, Sie Liong telah dikepung tujuh orang yang memegang senjata tajam. Melihat ini, wanita itu menangis ketakutan.
"Jangan bunuh dia.... ahh, jangan bunuh dia yang tidak berdosa...." ratapnya sambil menangis.
Mendengar ini, si brewok tertawa,
"Ha-ha-ha, jadi engkau mau ikut denganku secara sukarela kalau kami lepaskan bocah bongkok ini?"
"Tidak, tidak.... kalian bunuhlah aku, akan tetapi.... jangan bunuh dia yang tidak berdosa...."
"Enci, tenanglah. Mereka tidak akan mampu membunuhku atau membunuhmu!"
Kata Sie Liong kepada wanita itu, hatinya terasa gembira sekali karena ternyata wanita dusun yang ditolongnya itu adalah seorang wanita yang hebat! Berani mengorbankan nyawa untuk mempertahankan kehormatan, juga amat baik budi sehingga tidak tega melihat dia dikepung dan diancam bunuh oleh para penjahat itu.
Kini tujuh orang penjahat itu sudah menggerakkan senjata mereka dan serentak mereka menyerang. Namun, baru mereka menyerang dua tiga jurus tubuh pemuda bongkok itu sudah lenyap, berubah menjadi bayangan yang dengan cepatnya menyelinap diantara sambaran senjata mereka. Mereka merasa terkejut, akan tetapi juga penasaran dan mereka terus mengarahkan senjata mereka, menyerang bayangan yang amat gesit itu.
Akan tetapi, tiba-tiba bayangan itu lenyap dan tahu-tahu pemuda bongkok itu sudah menyerang dari atas, bagaikan seekor naga dari angkasa saja! Dan sekali kaki tangannya bergerak, empat orang jatuh tersungkur seperti disambar petir dari atas! Tiga orang penjahat lainnya terkejut sekali, namun merekapun hanya diberi kesempatan untuk bengong sejenak karena tiba-tiba saja merekapun terjungkal roboh oleh tamparan-tamparan tangan Sie Liong yang ampuh bukan main itu.
Tujuh orang itu baru sekarang merasa jerih. Mereka bertujuh, yang memegang senjata, roboh dalam beberapa gebrakan saja melawan pemuda bongkok itu! Tamparan yang hanya sekali itu saja sudah membuat mereka roboh dan bagian badan yang dipukul terasa seperti remuk! Si brewok, pimpinan mereka dan merupakan orang yang paling tangguh, dapat lebih dulu bangkit dan dia sudah siap untuk melarikan diri meninggalkan teman-temannya.
Akan tetapi dengan beberapa langkah saja, Sie Liong sudah dapat menangkap pundaknya. Tekanan tangan Sie Liong pada pundak itu membuat si brewok menggigil saking nyerinya dan diapun jatuh berlutut. Pundak yang dicengkeram pemuda bongkok itu seperti dibakar atau dicengkeram kaitan baja membara saja, panas dan perih, nyeri sekali, terasa menusuk-nusuk sampai ke tulang.
“Ampun, taihiap.... ampun, saya mengaku kalah!”
"Turun dan seret ia ke mari!"
Seorang diantara mereka, yang termuda, berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun sedangkan yang lain antara empat puluh lima tahun, segera melangkah maju dengan sikap gagah. Orang ini mukanya kecil sempit dan panjang, kepucatan seperti orang berpenyakitan, matanya sipit dan hidungnya pesek. Dia menyeringai ketika dia turun ke ladang menghampiri wanita itu yang bangkit berdiri dan mencoba untuk melarikan diri menjauhi orang itu.
Ia adalah seorang wanita, akan tetapi sejak kecil ia bekerja di sawah ladang. Tubuhnya kuat sekali dan ia sudah terbiasa di lumpur, maka ia dapat berlari cepat. Berbeda dengan laki-laki yang mengejarnya. Biarpun dia seorang kasar yang memiliki kekuatan dan kepandaian, akan tetapi belum pernah dia berjalan di dalam lumpur, apalagi dia bersepatu, tidak seperti wanita petani itu yang bertelanjang kaki. Maka, sukarlah baginya untuk menangkap wanita itu! Kawan-kawannya menjadi gembira dan merekapun mengepung ladang itu, menghadang wanita yang hendak melarikan diri.
Wanita itu menjadi semakin ketakutan. Hanya pinggir yang dihalangi solokan itulah yang tidak dihadang penjahat, maka iapun lari ke situ dan meloncat ke dalam solokan, terus mendaki, dikejar oleh tujuh orang itu yang tertawa-tawa dan membuat gerakan menakut-nakuti. Mereka itu memperoleh hiburan, seperti tujuh ekor kucing mempermainkan seekor tikus sebelum menerkan dan mengganyangnya.
Kebetulan sekali wanita itu melihat Sie Liong yang duduk di bawah pohon, maka iapun lari ke arah pohon itu, lalu menubruk Sie Liong yang masih duduk bersila. Sie Liong merasa betapa wanita itu merangkulnya, dan karena pakaian wanita itu penuh lumpur, maka pakaiannya sendiripun terkena lumpur. Dia merasa betapa dada yang menempel pada pundaknya itu berdebar dan bergelombang, dan betapa napas itu terengah-engah.
"Tolonglah.... tolonglah saya.... aduh, lebih baik saya mati daripada tertawan mereka.... tolonglah saya...."
"Enci yang baik, tenanglah dan duduklah di belakangku. Biar aku yang akan menghadapi mereka." kata Sie Liong.
Kini tujuh orang itu sudah tiba di bawah pohon. Si brewok marah sekali melihat wanita itu berlutut di belakang seorang laki-laki yang duduk bersila. Dia tidak perduli apakah pria itu suami si wanita. Baginya, tidak perduli wanita itu bersuami atau tidak, kalau sudah dikehendakinya, harus diserahkan kepadanya!
"Heiii, siapa engkau?"
Mendengar bentakan yang nadanya amat congkak ini, Sie Liong lalu bangkit berdiri.
"Namaku Sie Liong. Aku melihat betapa kalian mengganggu wanita ini. Apakah kalian tidak malu? Kalian ini tujuh orang laki-laki pengecut yang suka mengganggu wanita yang tak berdaya. Pergilah kalian dari sini sebelum aku muak melihat tingkah kalian yang tidak senonoh seperti binatang itu!" Sie Liong memang marah sekali melihat perbuatan mereka tadi.
Tujuh orang itu terbelalak. Keheranan melampaui kemarahan mereka sehingga mereka saling pandang. Ada seorang pemuda biasa, bongkok pula, berani bicara seperti itu kepada mereka? Sungguh aneh, aneh sekali sehingga mereka lupa akan kemarahan mereka, bahkan mereka mulai tertawa-tawa.
"Heh-heh, apakah engkau seorang pendekar?" tanya si brewok untuk mengejek.
"Seorang pendekar yang bongkok! Pendekar Bongkok! Ha-ha-ha!"
"Awas kau, Pendekar Bongkok. Kupenggal punukmu untuk kubuat menjadi punuk panggang, baru tahu rasa kau!"
Si brewok melangkah maju selangkah.
"Hei, Sie Liong, apakah engkau sudah buta, ataukah memang tuli? Andaikata engkau tidak mengenal kami, tentu sudah mendengar akan nama besar Tiat-jiauw Jit-eng!"
Sie Liong tersenyum.
"Tujuh Garuda Cakar Besi atau Tujuh Garuda Cakar Tahu aku tidak perduli."
"Wah, pemuda bongkok ini memang sudah bosan hidup!"
Kata si brewok sambil memberi isarat kepada anak buahnya yang termuda, yang tadi mengejar-ngejar wanita itu tanpa hasil.
Si mata sipit hidung pesek ini, yang tadi merasa penasaran dan rugi karena tidak mampu menerkam si manis, kini melangkah maju, lenggangnya dibuat-buat seperti seorang jagoan asli yang tidak pernah terkalahkan. Dia melenggang seperti layangan yang tak seimbang, condang ke kanan dan ke kiri, kepalanya ditegakkan, dadanya dibusungkan. Akan tetapi, karena dadanya memang tipis dan perutnya besar, maka yang menjadi busung bukan dadanya melainkan perutnya!
"Heiii, orang muda yang tolol! Engkau ini masih muda, lemah dan bongkok pula, apa engkau tidak tahu diri? Engkau berani menentang kami, hanya untuk membela seorang perempuan dusun? Apamukah perempuan itu?"
Tanyanya dan suaranya dibesar-besarkan agar berwibawa, akan tetapi karena suaranya memang kecil parau seperti suara seorang penderita batuk kering, maka tetap saja suara yang keluar sama sekali tidak berwibawa, malah lucu.
Biarpun di dalam hatinya Sie Liong merasa marah sekali, namun dia tetap tenang dan sabar.
"Enci ini adalah kerabat yang paling dekat karena ia termasuk orang yang lemah tertindas, membutuhkan bantuan. Dan kalian adalah orang-orang jahat, manusia-manusia berwatak iblis yang patut ditentang!"
Si mata sipit hidung pesek mengerutkan alisnya dan membentak marah.
"Wahhh, engkau ini pemuda kurang ajar, aku yang akan menghajarmu, kusiksa sampai mampus!"
Setelah berkata demikian, diapun menyerang. Biarpun tubuhnya kerempeng dan dia kelihatan berpenyakitan, ternyata si mata sipit hidung pesek ini mampu bergerak dengan cepat sekali dan sambaran tangan kanannya ketika menjotos ke arah muka Sie Liong mengandung tenaga yang terlatih.
"Wuuuuuttt....!"
Tonjokan dengan tangan terkepal itu menyambar ke arah pipi kiri Sie Liong. Akan tetapi pemuda bongkok ini tenang saja, seolah-olah tidak tahu bahwa dia diserang dengan tonjokan yang akan dapat membuat pipinya bengkak dan giginya rontok!
Baru setelah kepalan itu hanya terpisah satu sentimeter saja dari pipinya, secepat kilat dia menarik kepala ke belakang, tangan kiri menyambar, menangkap lengan kanan lawan dan diapun mendorong, menambahkan tenaga dorongan pukulan itu dengan tenaganya sendiri sehingga kepalan kanan si sipit pesek itu meluncur terus dan melingkar ke arah pipi kirinya sendiri.
"Desss...! Aughhhh....!"
Beberapa buah gigi berlompatan keluar dari mulutnya yang terbuka, dan hidungnya berdarah karena kepalan tangan kanannya tadi dengan kuat sekali telah menghantam ke arah mukanya sendiri!
"Auhh.... auhh.... auhhh....!"
Dia mengerang kesakitan, tidak mampu berkata "aduh" karena mulutnya terasa seperti remuk. Dia membungkuk-bungkuk dan kedua tangan dengan sibuknya memegang-megang dan meraba-raba mulut dan hidung.
Seorang diantara mereka yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, mukanya hitam dan kulit muka itu kaku seperti punggung buaya, agaknya muka itu memang rusak oleh penyakit kulit yang hebat. Diantara tujuh orang gerombolan itu, dia terkenal sebagai seorang yang memiliki tenaga besar, dan juga wataknya amat sombong karena memang sulit mencari orang yang mampu mengalahkan raksasa muka hitam ini.
Agaknya dia masih terlalu mengandalkan kehebatan diri sendiri sehingga melihat Sie Liong mengalahkan kawannya, dia masih juga memandang rendah pemuda bongkok itu dan agaknya dia menganggap bahwa kekalahan si mata sipit hidung pesek itu tadi hanya karena kebodohannya sendiri, bukan karena kelihaian pemuda bongkok. Bahkan dia merasa terlalu tinggi untuk berkelahi melawan seorang pemuda bongkok, maka dia ingin mengalahkan pemuda itu dengan wibawanya saja.
"Heii, bocah ingusan! Lekas engkau berlutut dan memanggil engkong (kakek) kepadaku, baru aku akan mengampunimu! Cepat....!" Sepasang matanya yang hitam dan mencorong itu melotot galak.
"Engkongku sudah mati, dan seingatku, dia tidak seburuk engkau." kata Sie Liong dengan sikap tenang.
"Kalau begitu, aku akan memaksamu berlutut!"
Bentak si raksasa muka hitam dan diapun sudah menyerang dengan kedua tangannya mencengkeram ke arah kepala dan dada Sie Liong.
Ketika pemuda ini menarik diri ke belakang, tiba-tiba kaki kanan raksasa itu menendang ke arah lututnya. Kalau sasaran tendangan itu terkena, tentu Sie Liong akan benar-benar diharuskan berlutut karena tendangan itu kuat bukan main.
Namun, tentu saja Sie Liong yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi, dapat melihat gerakan serangan ini dengan jelas, maka mudah saja baginya untuk mendahului lawan. Sebelum kaki yang menendang itu sampai ke tubuhnya, dia merendahkan diri, menggeser kaki ke kiri dan dari samping tangannya monotok ke arah lutut kanan itu.
"Tukkk!"
Seketika kaki yang besar itu terasa lumpuh dan tanpa dapat dicegah lagi raksasa muka hitam itu jatuh berlutut di atas kaki kanan dan kebetulan dia jatuh berlutut di depan Sie Liong! Pemuda itu tersenyum dan berkata dengan suara mengejek.
"Aku bukan engkongmu, tidak perlu engkau berlutut memberi hormat!"
Tentu saja ucapannya ini membuat raksasa muka hitam itu menjadi marah sekali. Dia melompat berdiri, akan tetapi kembali terguling karena kakinya masih terasa lumpuh. Melihat ini, kawan-kawannya menjadi marah akan tetapi sekaligus maklum bahwa pemuda bongkok itu benar-benar seorang pendekar yang amat lihai! Maka, tanpa banyak cakap lagi mereka mencabut senjata golok atau pedang dari punggung mereka dan di lain saat, Sie Liong telah dikepung tujuh orang yang memegang senjata tajam. Melihat ini, wanita itu menangis ketakutan.
"Jangan bunuh dia.... ahh, jangan bunuh dia yang tidak berdosa...." ratapnya sambil menangis.
Mendengar ini, si brewok tertawa,
"Ha-ha-ha, jadi engkau mau ikut denganku secara sukarela kalau kami lepaskan bocah bongkok ini?"
"Tidak, tidak.... kalian bunuhlah aku, akan tetapi.... jangan bunuh dia yang tidak berdosa...."
"Enci, tenanglah. Mereka tidak akan mampu membunuhku atau membunuhmu!"
Kata Sie Liong kepada wanita itu, hatinya terasa gembira sekali karena ternyata wanita dusun yang ditolongnya itu adalah seorang wanita yang hebat! Berani mengorbankan nyawa untuk mempertahankan kehormatan, juga amat baik budi sehingga tidak tega melihat dia dikepung dan diancam bunuh oleh para penjahat itu.
Kini tujuh orang penjahat itu sudah menggerakkan senjata mereka dan serentak mereka menyerang. Namun, baru mereka menyerang dua tiga jurus tubuh pemuda bongkok itu sudah lenyap, berubah menjadi bayangan yang dengan cepatnya menyelinap diantara sambaran senjata mereka. Mereka merasa terkejut, akan tetapi juga penasaran dan mereka terus mengarahkan senjata mereka, menyerang bayangan yang amat gesit itu.
Akan tetapi, tiba-tiba bayangan itu lenyap dan tahu-tahu pemuda bongkok itu sudah menyerang dari atas, bagaikan seekor naga dari angkasa saja! Dan sekali kaki tangannya bergerak, empat orang jatuh tersungkur seperti disambar petir dari atas! Tiga orang penjahat lainnya terkejut sekali, namun merekapun hanya diberi kesempatan untuk bengong sejenak karena tiba-tiba saja merekapun terjungkal roboh oleh tamparan-tamparan tangan Sie Liong yang ampuh bukan main itu.
Tujuh orang itu baru sekarang merasa jerih. Mereka bertujuh, yang memegang senjata, roboh dalam beberapa gebrakan saja melawan pemuda bongkok itu! Tamparan yang hanya sekali itu saja sudah membuat mereka roboh dan bagian badan yang dipukul terasa seperti remuk! Si brewok, pimpinan mereka dan merupakan orang yang paling tangguh, dapat lebih dulu bangkit dan dia sudah siap untuk melarikan diri meninggalkan teman-temannya.
Akan tetapi dengan beberapa langkah saja, Sie Liong sudah dapat menangkap pundaknya. Tekanan tangan Sie Liong pada pundak itu membuat si brewok menggigil saking nyerinya dan diapun jatuh berlutut. Pundak yang dicengkeram pemuda bongkok itu seperti dibakar atau dicengkeram kaitan baja membara saja, panas dan perih, nyeri sekali, terasa menusuk-nusuk sampai ke tulang.
“Ampun, taihiap.... ampun, saya mengaku kalah!”
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar