Ads

Rabu, 04 Desember 2019

Pendekar Bongkok Jilid 054

“Hemm, aku tidak membutuhkan pengakuan kalah darimu! Aku tidak membutuhkan kemenangan. Akan tetapi aku minta agar kalian suka sadar dari kelakuan jahat kalian dan bertobat!”

“Ampun, taihiap,.... saya bertobat....!”

“Hemm, siapa percaya omongan orang jahat macam engkau?”

“Saya bersumpah takkan melakukan kejahatan lagi, taihiap, akan tetapi saya akan bekerja seperti dahulu, yaitu memburu binatang hutan. Dahulunya kami adalah pemburu-pemburu, karena tertarik penghasilan besar lalu mulai merampok orang yang lewat di hutan....”

“Benar, engkau bertobat dan hendak kembali ke jalan benar?” tanya Sie Liong. “Aku tetap tidak percaya kalau engkau dan teman-temanmu tidak memperlihatkan buktinya. Sumpah mulut saja tidak ada artinya.” Dia lalu menggertak, “Atau aku akan membiarkan kalian mati tersiksa dengan memberi pukulan mematikan?”

Kini dia melepaskan cengkeramannya dan seketika si brewok tidak merasa nyeri lagi. Dia makin yakin bahwa pendekar muda yang bongkok itu betul-betul lihai.

“Taihiap, kami bersumpah dan inilah buktinya!”

Dia menyambar goloknya yang tadi terlempar, membuka sepatu kirinya dan sekali bacok, lima buah jari kaki kirinya buntung! Darah mengalir deras dari kaki yang buntung jari-jarinya itu. Diam-diam Sie Liong terkejut, akan tetapi juga girang karena dia maklum bahwa si brewok itu bersungguh-sungguh!

“Hayo kalian buntungi jari kaki kiri masing-masing seperti aku, siapa yang tidak mau, aku yang akan membuntunginya sendiri. Mulai saat ini, kita tidak akan merampok manusia lagi, melainkan memburu binatang seperti dulu lagi!”

Enam orang anak buahnya melihat bahwa pimpinan mereka sungguh-sungguh dan merekapun jerih terhadap Pendekar Bongkok, demikian mereka menyebut Sie Liong, maka merekapun mengambil senjata masing-masing yang tadi terlempar, lalu membabat buntung jari kaki kiri mereka. Melihat ini, wanita dusun itu menutupi muka karena merasa ngeri.

Sie Liong lalu menghampiri mereka seorang demi seorang, menotok kaki kiri mereka di atas bagian yang terluka, mengeluarkan obat bubuk putih yang ditaburkan pada luka di kaki. Seketika, tujuh orang itu merasa betapa kenyerian jari yang dibuntungi itu lenyap, dan luka-luka itupun cepat menjadi kering. Mereka menjadi semakin kagum. Kiranya Pendekar Bongkok ini selain amat lihai ilmu silatnya, juga pandai ilmu pengobatan.

Hal ini sebetulnya tidaklah mengherankan kalau diketahui bahwa seorang diantara orang-orang sakti yang menggembleng Sie Liong adalah Pek-sim Sian-su, seorang sakti yang pandai dalam ilmu pengobatan pula.

“Ingat akan sumpahmu sendiri,” kata Sie Liong ketika mereka semua sudah berdiri dan siap untuk pergi. “Kalau kelak kalian tetap menjadi penjahat dan mengganggu orang lain, dan aku mendengarnya, pasti akan kucari kalian sampai dapat dan bukan hanya jari kaki kalian saja yang harus dipotong. Selain itu, aku akan membangkitkan semangat para penduduk dusun agar mereka bersatu padu dan hendak kulihat, kalau ratusan orang dusun itu bersatu padu melawan kalian, apa yang dapat kalian lakukan terhadap mereka!”

Diam-diam si brewok dan teman-temannya merasa ngeri. Bukan saja mereka ngeri terhadap kesaktian Pendekar Bongkok, akan tetapi juga ngeri kalau benar penduduk dusun sampai bangkit menentang mereka, maka tentu mereka akan dikeroyok ratusan orang dan akan dihancur lumatkan oleh mereka yang mendendam kepada mereka.

Kalau biasanya mereka itu dapat merajalela adalah karena mereka menang gertakan dan para penduduk dusun itu belum apa-apa sudah ketakutan lebih dulu, melarikan diri bersembunyi daripada melakukan perlawanan berpadu.

Tujuh orang itu, dipimpin oleh Si Brewok, menghaturkan terima kasih kepada Sie Liong, kemudian mereka pergi meninggalkan tempat itu, tidak jadi mengganggu wanita petani atau dusun di dekat ladang itu. Setelah mereka pergi, Sie Liong menghampiri wanita dusun itu dan dengan senyum kagum dia berkata sambil berlutut di dekat wanita yang masih duduk di atas rumput dengan wajah masih diliputi ketegangan itu.

“Untung bahwa engkau tabah sekali menghadapi mereka, enci....” katanya.

Wanita iru mengangkat muka, memandang kepadanya dan kembali air matanya menetes-netes turun ke atas pipinya. Mulut wanita itu berkemak-kemik, namun tidak ada suara yang keluar, akhirnya, ia mengeluarkan jerit kecil dan merangkulkan kedua lengannya pada pundak dan leher Sie Liong sambil menangis!






Pemuda bongkok itu terkejut, akan tetapi mendiamkannya saja dan tersenyum ketika dia merasa kehangatan air mata menembus bajunya karena wanita itu menangis di atas dadanya. Bahkan diapun lalu merangkul dan menepuk-nepuk pundak wanita itu dengan lembut.

“Tenanglah, enci, bahaya sudah lewat sekarang,” hiburnya.

Wanita itu bahkan mempererat rangkulannya dan terdengar bisikan dari mulut yang disembunyikan di dadanya itu lirih.

“Adik yang baik, ahh.... taihiap yang gagah perkasa, engkau telah menyelamatkan diriku.... terima kasih, taihiap, terima kasih....”

Suaranya mengandung isak dan tubuhnya gemetar, seolah-olah ia teringat akan peristiwa tadi dan membayangkan betapa akan ngerinya kalau ia sampai terjatuh ke tangan tujuh orang itu.

“Sudahlah, enci. Sudah semestinya aku melindungimu, dan aku kagum sekali melihat ketabahanmu tadi. Lepaskanlah rangkulanmu, lihat disana datang orang-orang dusun.”

Mendengar ini, wanita itu melepaskan rangkulannya dan dengan wajah masih basah air mata, ia menoleh ke kiri dan benar saja, dari arah dusun, datang berlari-larian banyak sekali penduduk dusun ke tempat itu. Dan di tangan mereka terpegang segala macam alat pertanian yang agaknya kini hendak dijadikan senjata.

Sie Liong merasa tegang dan juga malu. Dia tahu bahwa mereka yang berlari dan datang itu tadi melihat betapa dia dan wanita itu berpeluk-pelukan! Untuk menghilangkan rasa sungkan dan tidak enak itu, Sie Liong lalu bangkit dan memunguti potongan jari-jari kaki itu, dan mengumpulkannya di atas sehelai kain saputangan. Melihat ini, wanita dusun itu bergidik.

“Taihiap, untuk apakah kau.... mengumpulkan benda-benda mengerikan itu?”

“Aku akan menguburnya, enci.” kata Sie Liong sambil memunguti terus.

Tak lama kemudian, rombongan orang dusun itu tiba di situ. Seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun yang memegang sebatang tongkat panjang moloncat maju menghampiri wanita itu.

“Kui Hwa, apa yang telah terjadi?” tanyanya, suaranya mengandung kemarahan.

Wanita dusun itu menangis dan lari menghampiri laki-laki itu.
“Aku.... aku hampir saja celaka....!”

Serunya sambil menangis dan ia hendak merangkul laki-laki yang ternyata adalah suaminya itu. Akan tetapi, liki-laki itu mendorongnya sehingga ia terpelanting.

“Jangan sentuh aku! Engkau perempuan tak tahu malu!”

Wanita dusun yang bernama Kui Hwa itu terbelalak. Saking kaget dan herannya, ia tidak merasakan kenyerian punggungnya ketika terpelanting oleh dorongan suaminya.

“Apa.... apa maksudmu....?”

Tanyanya dengan heran, dan lebih heran lagi ia ketika melihat betapa orang-orang lain, para pria di dusunnya, para tetangganya memandang kepadanya dengan sinar mata mencemoohkan dan agaknya membenarkan sikap suaminya itu!

“Maksudku kau tanyakan! Maksudmulah yang ingin sekali kuketahui! Apa yang telah terjadi disini?”

Suaminya itu dengan berang melirik ke arah Sie Liong yang sudah selesai mengumpulkan potongan jari-jari kaki tadi dan kini berdiri disitu dengan muka ditundukkan, potongan jari-jari kaki tadi berada dalam buntalan kain saputangan.

“Suamiku, apakah engkau tidak mendengar dari para tetangga kita tadi? Mereka, Tiat-jiauw Jit-eng itu datang lagi!” kata si isteri yang masih terheran-heran melihat sikap suaminya.

“Tentu saja kami semua mendengar. Lalu dimana mereka dan apa yang telah terjadi disini?” kembali dia menoleh ke arah Sie Liong dengan wajah merah saking marahnya.

“Mereka telah dikalahkan oleh taihiap ini, mereka telah melarikan diri dan aku.... aku diselamatkan oleh taihiap ini!” kata si isteri dengan suara gembira dan bangga.

“Bohong!”

Tiba-tiba sang suami membentak dan isteri itu kembali terkejut sekali, dan kini Sie Liong mengangkat mukanya, memandang kepada suami itu dengan sinar mata mencorong. Akan tetapi, dia bersikap sabar karena dia dapat menduga apa yang menjadi sebab sang suami itu bersikap seburuk itu dan mengapa pula orang-orang dusun itu berdiri saja, agaknya membenarkan sikap suami itu.

“Suamiku, kenapa engkau mengatakan bohong? Pendekar muda ini yang bernama Sie Liong, dia yang telah menyelamatkan aku dari gangguan mereka, bahkan pendekar perkasa ini yang memaksa mereka untuk meninggalkan pekerjaan jahat mereka, dan mereka bersumpah dengan membuntungi jari-jari kaki mereka sebelum pergi dari sini. Aih, suamiku, pendekar muda ini sungguh perkasa dan kita sedusun patut berterima kasih kepadanya....”

“Cukup! Kui Hwa, jangan mengira bahwa kami semua adalah orang-orang buta dan bodoh, mudah saja kau tipu dengan kata-katamu itu! Kami melihat betapa engkau bercumbu dan berjina dengan dia....”

“Diam....!”

Kui Hwa yang lemah lembut itu kini membentak, dan ia berdiri bagaikan seekor singa kelaparan atau seekor betina membela anaknya.

“Jangan engkau berani mengeluarkan ucapan kotor itu! Pendekar ini menyelamatkan aku, bahkan menyelamatkan orang sedusun dan kalian berani menuduhnya berbuat yang bukan-bukan?”

“Phuhh!” Suami itu meludah. “Mataku belum buta, aku melihat betapa kalian tadi berpelukan dan berciuman!”

“Engkau yang bohong! Engkau yang kotor dan memang kalian bodoh! Aku memang merangkulnya sambil menangis, terharu dan menghaturkan terima kasih, dan dia menghiburku, sama sekali kami tidak berciuman.... aihh, agaknya memang matamu telah buta! Taihiap ini menundukkan tujuh orang gerombolan penjahat itu, membuat mereka takluk dan bertobat, bahkan mereka telah membuntungi jari-jari kaki sambil bersumpah dan kalian....”

“Sudah! Siapa percaya obrolanmu? Engkau memang perempuan tak tahu malu, mungkin dia ini anggauta bahkan pemimpin perampok! Dan engkau sudah tergila-gila kepada laki-laki bongkok ini! Sungguh tak tahu malu!”

Berkata demikian, laki-laki yang sedang diamuk cemburu itu lalu mengangkat tongkat kayunya dan menghantamkan tongkat kayunya kepada Sie Liong!

Pendekar ini berdiri bengong. Sungguh tak disangkanya sama sekali bahwa cemburu dapat membuat orang menjadi seperti gila! Saking herannya, ketika suami itu memukul dengan tongkat kayu, diapun diam saja, tidak bergerak seperti patung dan pada saat kayu itu menghantam kepalanya, barulah dia mengerahkan sin-kang untuk melindungi kepala yang dipukul itu.

“Krakkk!” Tongkat kayu itu patah-patah ketika bertemu dengan kepala Sie Liong.

“Ahh....!”

Suami wanita dusun itu terbelalak dan mukanya pucat memandang kepada tongkat yang tinggal sepotong pendek di tangannya, sedangkan tongkat yang kuat itu telah patah menjadi tiga potong! Kepala orang bongkok itu melebihi besi kerasnya!

Sie Liong mengangkat muka memandang kepada suami itu dengan sinar mata mencorong.

“Hemm, engkau memang orang bodoh, keras kepala, dan memang sepatutnya kalau matamu buta! Engkau tidak patut menjadi suami dari seorang isteri yang begini baik hati, tabah dan berani mempertaruhkan nyawa untuk menjaga kehormatannya. Engkau pantasnya menjadi suami seekor kambing atau seekor monyet! Huh, menjemukan sekali!”

Katanya dan diapun melemparkan buntalan itu ke atas tanah, kemudian berpaling kepada wanita dusun sambil memberi hormat.

“Enci, maafkan kalau aku hanya membikin engkau menjadi ribut dengan suamimu. Selamat tinggal, enci, semoga Tuhan akan menyadarkan suamimu ini!”




Pendekar Bongkok Jilid 053
Pendekar Bongkok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar