Mempelai wanita adalah seorang gadis yang rumahnya di sudut dusun, dan pengambilan mempelai itu dilakukan malam hari, diarak dan diikuti rombongan penari dan penabuh gamelan.
Pengantinnya akan naik joli yang digotong empat orang, sedangkan mempelai prianya akan menunggang kuda. Sie Liong mendengar keterangan ini dari pengurus rumah penginapan dan diapun dengan gembira kini berjalan-jalan sebelum nanti ikut nonton arak-arakan pengantin puteri yang diboyong ke rumah mempelai pria.
Tanpa disengaja, Sie Liong berjalan-jalan menuju ke barat dan tak lama kemudian tibalah dia di sudut dusun itu dan berada di luar rumah kediaman pengantin wanita! Rumah itupun dihias meriah, penuh daun-daunan dan bunga-bunga, di antaranya hiasan kertas dan kain berwarna-warni, dan dipasang banyak lampu gantung yang dihias kertas-kertas merah. Suasana di rumah itu meriah sekali, dan nampak banyak orang sedang sibuk mempersiapkan joli dan semua peralatan upacara pernikahan.
Melihat keadaan rumah itu, tanpa diberitahupun Sie Liong dapat menduga bahwa tentu disitu tempat tinggal pengantin wanita. Karena diluar pekarangan rumah itu terdapat banyak orang yang nonton, terutama anak-anak,
Sie Liong menggabung dengan mereka, berdiri diantara para penonton. Sebagian dari para penonton itu berpakaian jembel dan barulah Sie Liong tahu bahwa dia berdiri diantara para pengemis dan kanak-kanak ketika dari dalam keluar seorang yang membawa keranjang berisi makanan lalu orang itu membagi-bagikan makanan kepada mereka.
Karena dia berada diantara mereka, diapun kebagian sepotong kueh mangkok! Hemm, dia disangka seorang jembel pula, pikirnya sambil tersenyum. Dia tidak merasa sakit hati. Memang pakaiannya lusuh, apalagi punggungnya bongkok. Bukankah diantara para pengemis terdapat banyak orang yang cacat dan tidak sempurna keadaan tubuhnya? Disangka pengemis bukanlah suatu hal yang buruk, asal jangan disangka penjahat seperti dialaminya di ladang dusun itu! Maka, seperti yang lain, diapun makan kueh mangkok itu dengan gembira.
Tiba-tiba dia melihat seorang pemuda yang baru datang manyelinap pula diantara para penonton. Dia merasa curiga. Pemuda itu jelas bukan pengemis dan melihat pakaiannya, tentu dia seorang petani. Seorang pemuda tani yang bertubuh sehat dan berwajah jujur, akan tetapi pada saat itu wajahnya membayangkan kemarahan dan penasaran, bahkan masih ada bekas air mata pada kedua pipinya.
Pada saat itu, para penonton di luar halaman itu berdesakan untuk dapat melihat lebih jelas ke dalam rumah karena agaknya ada upacara penghormatan mempelai puteri kepada ayah ibunya sebelum ia diboyong ke rumah calon suaminya. Upacara itu diadakan di ruangan depan, di depan meja sembahyang.
Ketika mempelai wanita yang berpakaian indah meriah itu muncul dari dalam, menuju ke ruangan depan yang nampak dari luar, dituntun oleh dua orang nenek yang agaknya menjadi pengatur upacara itu. Karena pakaian yang longgar dan banyak hiasannya itu, juga karena muka itu tertutup tirai, maka Sie Liong tidak dapat melihat wajah pengantin itu, hanya dapat diduga bahwa ia seorang gadis yang bertubuh ramping.
Ketika gadis yang menjadi pengantin itu dituntun ke depan ayah ibunya yang sudah duduk berjajar di atas kursi, terdengar ia terisak menangis dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki mereka. Dua orang nenek itu terkejut dan hendak menuntunnya agar ia berhati-hati dengan pakaiannya, akan tetapi mereka tidak kuasa menahan gadis pengantin itu yang sudah menangis tersedu-sedu. Terdengar ucapannya diantara sedu sedannya,
“Ayah.... ibu.... aku tidak mau kawin.... aku tidak mau menikah dengan.... anak kepala dusun itu....”
Tentu saja semua orang yang berada di ruangan itu terkejut. Ayah dan ibu mempelai saling pandang dan ibunya lalu merangkulnya, menghiburnya dengan bisikan-bisikan lembut. Akan tetapi, mempelai wanita itu meronta-ronta dan tangisnya semakin menjadi-jadi.
“Lian-ji....! Hentikan tangismu itu! Jangan kau membikin malu orang tuamu!”
Ayahnya menghardik dan bentakan ini membuat pangantin wanita itu berhenti meronta, akan tetapi masih tetap menangis terisak-isak.
“Bawa ia masuk ke dalam kamarnya dan usahakan agar ia tidak menangis lagi! Anak sialan....!”
Sang ayah marah-marah dan dua orang nenek itu lalu membawa pengantin wanita bangkit berdiri untuk membawanya kembali ke kamar.
Pada saat itu, terdengar teriakan dari luar.
“Penasaran....! Sungguh tidak adil dan sewenang-wenang....!”
Dan pemuda petani yang tadi menimbulkan kecurigaan hati Sie Liong, nampak meninggalkan kelompok penonton dan berlari memasuki halaman, terus ke ruangan depan itu. Semua orang terkejut dan juga ayah ibu mempelai wanita memandang dengan mata terbelalak.
“Lian-moi....!” Pemuda itu memanggil.
Mempelai wanita itu meronta dan membalikkan tubuhnya. Melihat pemuda itu, iapun berseru,
“Kiong-koko....!”
Dan iapun menangis, masih berdiri karena dipegang erat-erat kedua lengannya oleh kedua orang nenek itu.
“Un Kiong? Mau apa engkau? Berani engkau datang kesini membikin kacau? Kami tidak mengundangmu!” bentak ayah mempelai wanita itu dengan marah sekali.
“Saya datang untuk mohon keadilan! Sungguh penasaran sekali....!”
Akan tetapi, tuan rumah sudah memerintahkan beberapa orang anggauta keluarga yang hadir dan merasa tidak senang dengan perbuatan pemuda itu, dan mereka kini menyerang pemuda yang tadinya sudah menjatuhkan diri berlutut itu.
“Pergilah! Pergi dan jangan datang lagi!”
Bentak tuan rumah setelah pemuda itu terjengkang dan bergulingan oleh beberapa pukulan dan tendangan. Akan tetapi pemuda bernama Un Kiong itu tetap bangkit dan berlutut lagi.
“Tidak! Aku tidak akan pergi sebelum mendapat keadilan! Biar kalian memukuli aku sampai mati, aku tidak akan pergi!” teriaknya marah. Sementara itu mempelai wanita beberapa kali memanggil namanya.
“Kiong-koko....!” akan tetapi ia sudah ditarik oleh dua orang nenek, dibantu ibu mempelai dan diseret masuk ke dalam kamar.
Mendengar kenekatan pemuda itu, para keluarga laki-laki itu menjadi marah, bahkan kini ayah mempelai ikut pula memukuli pemuda yang masih nekat berlutut. Melihat ini, Sie Liong cepat melompat ke dalam. Begitu dia bergerak menangkis tendangan dan pukulan itu, beberapa orang terjengkang dan roboh sendiri karena serangan mereka tertangkis sedemikian kuatnya, dan Sie Liong sudah mengangkat bangun tubuh pemuda itu yang sudah babak belur dan bengkak matang biru.
Melihat munculnya seorang pemuda bongkok yang membela Un Kiong, semua orang terkejut. Seorang diantara mereka, yang bertubuh tinggi besar dan pandai silat, merasa penasaran dan dia lalu menerjang ke depan, menghantam ke arah dada Sie Liong sambil membentak,
“Mau apa kau mencampuri urusan kami?”
“Dukkk!”
Kepalan tangannya yang besar itu tepat mengenai dada Sie Liong akan tetapi akibatnya sungguh membuat orang terbelalak. Bukan Sie Liong yang roboh melainkan pemukulnya sendiri yang mengaduh-aduh sambil memegangi pergelangan tangannya yang menjadi salah urat!
Dia membungkuk dan menyeringai kesakitan, mengeluh. Melihat itu, tentu saja semua orang menjadi jerih dan tidak ada lagi yang berani menghalangi ketika Sie Liong memapah pemuda itu keluar dari situ. Ketika tiba di luar rumah dan melihat betapa banyak orang mengikutinya, yaitu mereka yang tadi nonton dan agaknya mereka ingin tahu kemana dia membawa pemuda yang dipukuli itu, Sie Liong lalu memanggul pemuda itu dan berlari cepat sehingga sebentar saja dia sudah menghilang dari kejaran para penonton.
Sie Liong membawa pemuda itu ke luar dusun dan dia baru berhenti setelah tiba di tempat sunyi di luar dusun itu. Mereka berdiri di bawah sinar bulan dan berkali-kali pemuda itu menghela napas penuh penyesalan. Dia tahu bahwa pemuda bongkok ini bukan orang sembarangan. Dia melihat ketika pemuda itu membawanya keluar dari dalam rumah mempelai wanita, dan terutama sekali cara pemuda itu memanggulnya dan membawanya lari secepat terbang.
“Taihiap, kenapa engkau monolongku? Mengapa engkau membawaku pergi dari sana?”
Sie Liong tersenyum. Orang ini telah diselamatkan dari keadaan yang lebih parah lagi, mungkin dia akan mati dipukuli orang, dan pemuda ini tidak berterima kasih bahkan menyesal!
“Akan tetapi, kenapa engkau begitu nekat, membiarkan dirimu dipukuli orang? Kalau tidak kularikan, mungkin engkau akan dipukuli sampai mati!”
“Biar saja! Biar aku dipukuli sampai mati agar Lian-moi melihat bukti cintaku kepadanya!”
“Wah, sungguh aneh. Coba ceritakan, apa yang sesungguhnya telah terjadi? Siapa tahu, mungkin saja aku akan dapat menolongmu.”
Pemuda itu menjatuhkan diri duduk di atas tanah berumput. Sie Liong juga duduk dan pemuda itu bercerita. Sejak kecil Un Kiong telah ditunangkan dengan Sui Lian, gadis itu. Bahkan Un Kiong sudah seringkali menyumbangkan tenaganya bekerja di sawah ladang tunangannya.
Pernikahan antara mereka tinggal menanti hari, bulan dan tahun yang baik saja. Akan tetapi, secara tiba-tiba, orang tua Sui Lian mengumumkan bahwa pertunangan itu diputuskan, dibatalkan dan tahu-tahu, sebulan kemudian Sui Lian dinikahkan dengan putera kepala dusun itu!
“Kepala dusun itu orang baru, belum setahun dia diangkat menjadi kepala dusun dan bertugas disini. Jelaslah, dibatalkannya pertunanganku itu disebabkan oleh kehadiran putera kepala dusun itu. Seorang pemuda brengsek, pengejar perempuan, sombong dan tidak ada gunanya! Tadinya aku sudah menerima nasib, aku tidak berdaya. Tadi aku hanya ingin melihat, bersama para penonton, ingin melihat bekas tunanganku yang sejak diputuskannya ikatan jodoh itu tidak pernah kulihat lagi. Akan tetapi, melihat ia menangis, mendengar ucapannya bahwa ia tidak mau dikawinkan dengan orang lain, aku tidak dapat menahan hatiku. Dan ia.... ah, ia masih sempat memanggilku, dan ia.... ia begitu bersedih....! Karena itu, aku ingin mati saja, biar mereka pukuli, biar aku mati di depan Lian-moi untuk membuktikan cinta kasihku kepadanya!”
Sie Liong tersenyum.
“Membuktikan cinta kasih dengan membiarkan diri mati dipukuli orang? Hemm, itu bukan cara membuktikan cinta kasih yang baik! Kalau engkau mati dipukuli, apakah tunanganmu itu akan merasa gembira? Apakah perbuatanmu itu akan dapat membebaskan ia dari cengkeraman orang yang dipaksakan menjadi suminya?”
Un Kiong menjadi bengong, lalu dia berulang-ulang menggeleng kepala dan menghela napas.
“Lalu apa yang dapat kulakukan, taihiap?”
“Engkau pulanglah dan biar aku yang akan membantumu. Aku akan membatalkan pernikahan paksaan itu dan akan mengantarkan mempelai wanita ke rumahmu. Engkau bersiap-siaplah, besok siang mempelai wanita akan kuantarkan ke rumahmu dan harus kau sambut ia sebagai mempelaimu.”
“Tapi.... tapi.... tentu mereka akan marah. Aku akan ditangkap dan bahkan orang tuaku akan masuk tahanan dan dihukum!”
“Jangan khawatir. Aku yang bertanggung jawab, dan jangan takut. Aku akan menangani urusan ini sampai tuntas dan andaikata engkau ditawan, aku yang akan membebaskanmu.”
Karena dia sendiri sudah tak berdaya dan hampir putus asa, Un Kiong menaruhkan seluruh harapannya kepada pendekar yang bongkok itu, maka dia segera menjatuhkan diri berlutut di depan Sie Liong.
“Taihiap, sebelumnya saya menghaturkan terima kasih. Sebelum saya pulang, mohon tahu nama besar taihiap, agar dapat kuceritakan kepada orang-tuaku.”
Sie Liong menggeleng kepala.
“Namaku tidak ada artinya, sobat. Kuberitahupun engkau tidak akan mengenalnya. Aku hanya kebetulan lewat saja disini, dan aku selalu gatal tangan, ingin membereskan sesuatu yang tidak pada tempatnya. Pulanglah dan tunggulah sampai besok.”
Pengantinnya akan naik joli yang digotong empat orang, sedangkan mempelai prianya akan menunggang kuda. Sie Liong mendengar keterangan ini dari pengurus rumah penginapan dan diapun dengan gembira kini berjalan-jalan sebelum nanti ikut nonton arak-arakan pengantin puteri yang diboyong ke rumah mempelai pria.
Tanpa disengaja, Sie Liong berjalan-jalan menuju ke barat dan tak lama kemudian tibalah dia di sudut dusun itu dan berada di luar rumah kediaman pengantin wanita! Rumah itupun dihias meriah, penuh daun-daunan dan bunga-bunga, di antaranya hiasan kertas dan kain berwarna-warni, dan dipasang banyak lampu gantung yang dihias kertas-kertas merah. Suasana di rumah itu meriah sekali, dan nampak banyak orang sedang sibuk mempersiapkan joli dan semua peralatan upacara pernikahan.
Melihat keadaan rumah itu, tanpa diberitahupun Sie Liong dapat menduga bahwa tentu disitu tempat tinggal pengantin wanita. Karena diluar pekarangan rumah itu terdapat banyak orang yang nonton, terutama anak-anak,
Sie Liong menggabung dengan mereka, berdiri diantara para penonton. Sebagian dari para penonton itu berpakaian jembel dan barulah Sie Liong tahu bahwa dia berdiri diantara para pengemis dan kanak-kanak ketika dari dalam keluar seorang yang membawa keranjang berisi makanan lalu orang itu membagi-bagikan makanan kepada mereka.
Karena dia berada diantara mereka, diapun kebagian sepotong kueh mangkok! Hemm, dia disangka seorang jembel pula, pikirnya sambil tersenyum. Dia tidak merasa sakit hati. Memang pakaiannya lusuh, apalagi punggungnya bongkok. Bukankah diantara para pengemis terdapat banyak orang yang cacat dan tidak sempurna keadaan tubuhnya? Disangka pengemis bukanlah suatu hal yang buruk, asal jangan disangka penjahat seperti dialaminya di ladang dusun itu! Maka, seperti yang lain, diapun makan kueh mangkok itu dengan gembira.
Tiba-tiba dia melihat seorang pemuda yang baru datang manyelinap pula diantara para penonton. Dia merasa curiga. Pemuda itu jelas bukan pengemis dan melihat pakaiannya, tentu dia seorang petani. Seorang pemuda tani yang bertubuh sehat dan berwajah jujur, akan tetapi pada saat itu wajahnya membayangkan kemarahan dan penasaran, bahkan masih ada bekas air mata pada kedua pipinya.
Pada saat itu, para penonton di luar halaman itu berdesakan untuk dapat melihat lebih jelas ke dalam rumah karena agaknya ada upacara penghormatan mempelai puteri kepada ayah ibunya sebelum ia diboyong ke rumah calon suaminya. Upacara itu diadakan di ruangan depan, di depan meja sembahyang.
Ketika mempelai wanita yang berpakaian indah meriah itu muncul dari dalam, menuju ke ruangan depan yang nampak dari luar, dituntun oleh dua orang nenek yang agaknya menjadi pengatur upacara itu. Karena pakaian yang longgar dan banyak hiasannya itu, juga karena muka itu tertutup tirai, maka Sie Liong tidak dapat melihat wajah pengantin itu, hanya dapat diduga bahwa ia seorang gadis yang bertubuh ramping.
Ketika gadis yang menjadi pengantin itu dituntun ke depan ayah ibunya yang sudah duduk berjajar di atas kursi, terdengar ia terisak menangis dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki mereka. Dua orang nenek itu terkejut dan hendak menuntunnya agar ia berhati-hati dengan pakaiannya, akan tetapi mereka tidak kuasa menahan gadis pengantin itu yang sudah menangis tersedu-sedu. Terdengar ucapannya diantara sedu sedannya,
“Ayah.... ibu.... aku tidak mau kawin.... aku tidak mau menikah dengan.... anak kepala dusun itu....”
Tentu saja semua orang yang berada di ruangan itu terkejut. Ayah dan ibu mempelai saling pandang dan ibunya lalu merangkulnya, menghiburnya dengan bisikan-bisikan lembut. Akan tetapi, mempelai wanita itu meronta-ronta dan tangisnya semakin menjadi-jadi.
“Lian-ji....! Hentikan tangismu itu! Jangan kau membikin malu orang tuamu!”
Ayahnya menghardik dan bentakan ini membuat pangantin wanita itu berhenti meronta, akan tetapi masih tetap menangis terisak-isak.
“Bawa ia masuk ke dalam kamarnya dan usahakan agar ia tidak menangis lagi! Anak sialan....!”
Sang ayah marah-marah dan dua orang nenek itu lalu membawa pengantin wanita bangkit berdiri untuk membawanya kembali ke kamar.
Pada saat itu, terdengar teriakan dari luar.
“Penasaran....! Sungguh tidak adil dan sewenang-wenang....!”
Dan pemuda petani yang tadi menimbulkan kecurigaan hati Sie Liong, nampak meninggalkan kelompok penonton dan berlari memasuki halaman, terus ke ruangan depan itu. Semua orang terkejut dan juga ayah ibu mempelai wanita memandang dengan mata terbelalak.
“Lian-moi....!” Pemuda itu memanggil.
Mempelai wanita itu meronta dan membalikkan tubuhnya. Melihat pemuda itu, iapun berseru,
“Kiong-koko....!”
Dan iapun menangis, masih berdiri karena dipegang erat-erat kedua lengannya oleh kedua orang nenek itu.
“Un Kiong? Mau apa engkau? Berani engkau datang kesini membikin kacau? Kami tidak mengundangmu!” bentak ayah mempelai wanita itu dengan marah sekali.
“Saya datang untuk mohon keadilan! Sungguh penasaran sekali....!”
Akan tetapi, tuan rumah sudah memerintahkan beberapa orang anggauta keluarga yang hadir dan merasa tidak senang dengan perbuatan pemuda itu, dan mereka kini menyerang pemuda yang tadinya sudah menjatuhkan diri berlutut itu.
“Pergilah! Pergi dan jangan datang lagi!”
Bentak tuan rumah setelah pemuda itu terjengkang dan bergulingan oleh beberapa pukulan dan tendangan. Akan tetapi pemuda bernama Un Kiong itu tetap bangkit dan berlutut lagi.
“Tidak! Aku tidak akan pergi sebelum mendapat keadilan! Biar kalian memukuli aku sampai mati, aku tidak akan pergi!” teriaknya marah. Sementara itu mempelai wanita beberapa kali memanggil namanya.
“Kiong-koko....!” akan tetapi ia sudah ditarik oleh dua orang nenek, dibantu ibu mempelai dan diseret masuk ke dalam kamar.
Mendengar kenekatan pemuda itu, para keluarga laki-laki itu menjadi marah, bahkan kini ayah mempelai ikut pula memukuli pemuda yang masih nekat berlutut. Melihat ini, Sie Liong cepat melompat ke dalam. Begitu dia bergerak menangkis tendangan dan pukulan itu, beberapa orang terjengkang dan roboh sendiri karena serangan mereka tertangkis sedemikian kuatnya, dan Sie Liong sudah mengangkat bangun tubuh pemuda itu yang sudah babak belur dan bengkak matang biru.
Melihat munculnya seorang pemuda bongkok yang membela Un Kiong, semua orang terkejut. Seorang diantara mereka, yang bertubuh tinggi besar dan pandai silat, merasa penasaran dan dia lalu menerjang ke depan, menghantam ke arah dada Sie Liong sambil membentak,
“Mau apa kau mencampuri urusan kami?”
“Dukkk!”
Kepalan tangannya yang besar itu tepat mengenai dada Sie Liong akan tetapi akibatnya sungguh membuat orang terbelalak. Bukan Sie Liong yang roboh melainkan pemukulnya sendiri yang mengaduh-aduh sambil memegangi pergelangan tangannya yang menjadi salah urat!
Dia membungkuk dan menyeringai kesakitan, mengeluh. Melihat itu, tentu saja semua orang menjadi jerih dan tidak ada lagi yang berani menghalangi ketika Sie Liong memapah pemuda itu keluar dari situ. Ketika tiba di luar rumah dan melihat betapa banyak orang mengikutinya, yaitu mereka yang tadi nonton dan agaknya mereka ingin tahu kemana dia membawa pemuda yang dipukuli itu, Sie Liong lalu memanggul pemuda itu dan berlari cepat sehingga sebentar saja dia sudah menghilang dari kejaran para penonton.
Sie Liong membawa pemuda itu ke luar dusun dan dia baru berhenti setelah tiba di tempat sunyi di luar dusun itu. Mereka berdiri di bawah sinar bulan dan berkali-kali pemuda itu menghela napas penuh penyesalan. Dia tahu bahwa pemuda bongkok ini bukan orang sembarangan. Dia melihat ketika pemuda itu membawanya keluar dari dalam rumah mempelai wanita, dan terutama sekali cara pemuda itu memanggulnya dan membawanya lari secepat terbang.
“Taihiap, kenapa engkau monolongku? Mengapa engkau membawaku pergi dari sana?”
Sie Liong tersenyum. Orang ini telah diselamatkan dari keadaan yang lebih parah lagi, mungkin dia akan mati dipukuli orang, dan pemuda ini tidak berterima kasih bahkan menyesal!
“Akan tetapi, kenapa engkau begitu nekat, membiarkan dirimu dipukuli orang? Kalau tidak kularikan, mungkin engkau akan dipukuli sampai mati!”
“Biar saja! Biar aku dipukuli sampai mati agar Lian-moi melihat bukti cintaku kepadanya!”
“Wah, sungguh aneh. Coba ceritakan, apa yang sesungguhnya telah terjadi? Siapa tahu, mungkin saja aku akan dapat menolongmu.”
Pemuda itu menjatuhkan diri duduk di atas tanah berumput. Sie Liong juga duduk dan pemuda itu bercerita. Sejak kecil Un Kiong telah ditunangkan dengan Sui Lian, gadis itu. Bahkan Un Kiong sudah seringkali menyumbangkan tenaganya bekerja di sawah ladang tunangannya.
Pernikahan antara mereka tinggal menanti hari, bulan dan tahun yang baik saja. Akan tetapi, secara tiba-tiba, orang tua Sui Lian mengumumkan bahwa pertunangan itu diputuskan, dibatalkan dan tahu-tahu, sebulan kemudian Sui Lian dinikahkan dengan putera kepala dusun itu!
“Kepala dusun itu orang baru, belum setahun dia diangkat menjadi kepala dusun dan bertugas disini. Jelaslah, dibatalkannya pertunanganku itu disebabkan oleh kehadiran putera kepala dusun itu. Seorang pemuda brengsek, pengejar perempuan, sombong dan tidak ada gunanya! Tadinya aku sudah menerima nasib, aku tidak berdaya. Tadi aku hanya ingin melihat, bersama para penonton, ingin melihat bekas tunanganku yang sejak diputuskannya ikatan jodoh itu tidak pernah kulihat lagi. Akan tetapi, melihat ia menangis, mendengar ucapannya bahwa ia tidak mau dikawinkan dengan orang lain, aku tidak dapat menahan hatiku. Dan ia.... ah, ia masih sempat memanggilku, dan ia.... ia begitu bersedih....! Karena itu, aku ingin mati saja, biar mereka pukuli, biar aku mati di depan Lian-moi untuk membuktikan cinta kasihku kepadanya!”
Sie Liong tersenyum.
“Membuktikan cinta kasih dengan membiarkan diri mati dipukuli orang? Hemm, itu bukan cara membuktikan cinta kasih yang baik! Kalau engkau mati dipukuli, apakah tunanganmu itu akan merasa gembira? Apakah perbuatanmu itu akan dapat membebaskan ia dari cengkeraman orang yang dipaksakan menjadi suminya?”
Un Kiong menjadi bengong, lalu dia berulang-ulang menggeleng kepala dan menghela napas.
“Lalu apa yang dapat kulakukan, taihiap?”
“Engkau pulanglah dan biar aku yang akan membantumu. Aku akan membatalkan pernikahan paksaan itu dan akan mengantarkan mempelai wanita ke rumahmu. Engkau bersiap-siaplah, besok siang mempelai wanita akan kuantarkan ke rumahmu dan harus kau sambut ia sebagai mempelaimu.”
“Tapi.... tapi.... tentu mereka akan marah. Aku akan ditangkap dan bahkan orang tuaku akan masuk tahanan dan dihukum!”
“Jangan khawatir. Aku yang bertanggung jawab, dan jangan takut. Aku akan menangani urusan ini sampai tuntas dan andaikata engkau ditawan, aku yang akan membebaskanmu.”
Karena dia sendiri sudah tak berdaya dan hampir putus asa, Un Kiong menaruhkan seluruh harapannya kepada pendekar yang bongkok itu, maka dia segera menjatuhkan diri berlutut di depan Sie Liong.
“Taihiap, sebelumnya saya menghaturkan terima kasih. Sebelum saya pulang, mohon tahu nama besar taihiap, agar dapat kuceritakan kepada orang-tuaku.”
Sie Liong menggeleng kepala.
“Namaku tidak ada artinya, sobat. Kuberitahupun engkau tidak akan mengenalnya. Aku hanya kebetulan lewat saja disini, dan aku selalu gatal tangan, ingin membereskan sesuatu yang tidak pada tempatnya. Pulanglah dan tunggulah sampai besok.”
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar