Un Kiong memberi hormat, lalu dia pun pergi, kembali ke dusun dan pulang ke rumahnya. Dia disambut dengan omelan ayah ibunya yang sudah mendengar beritanya bahwa putera mereka membikin ribut di rumah mempelai wanita sehingga dipukuli keluarga mempelai wanita. Ketika Un Kiong menceritakan tentang Pendekar Bongkok yang menolongaya, dan tentang janji pendekar itu, ayah ibunya menjadi semakin tegang dan gelisah.
Sementara itu, Sui Lan telah dipaksa untuk menerina rombongan pengantin pria yang malam itu datang untuk menjemput mempelai puteri. Mempelai wanita masih menangis terus, akan tetapi karena ia memakai kerudung, dan karena memang sudah lajim mempelai wanita selalu menangis ketika dinikahkan, maka ia tidak menarik banyak perhatian.
Mempelai wanita dituntun naik ke dalam joli yang dihias indah dan dipikul empat orang, sedangkan mempelai prianya menunggang seekor kuda yang besar. Mempelai pria ini nampak tampan dan gagah dalam pakaiannya yang indah dan beraneka warna. Dia tersenyum-senyum penuh lagak ketika menaiki kudanya, dibantu oleh beberapa orang.
Petasan dibakar dan bunyi musik mengiringi pasangan mempelai yang akan meninggalkan rumah mempelai wanita itu. Pada saat itu, muncul seorang pemuda bongkok di depan rombongan yang sudah siap untuk berangkat! Pemuda ini bukan lain adalah Sie Liong, Si Pendekar Bongkok!
“Berhenti!” bentak Sie Liong yang berdiri di tengah jalan. “Pernikahan ini salah tempat! Mempelai prianya bukan orang itu!” Dia menuding ke arah pemuda yang menunggang kuda dengan congkaknya.
Tujuh orang pengawal yang bertugas mengawal mempelai pria menjemput mempelai wanita, segera berlari menghampiri dan mereka memandang kepada Sie Liong dengan alis berkerut dan pandang mata marah.
Akan tetapi, keluarga mempelai wanita yang mengenal pemuda bongkok itu menjadi gelisah. Komandan pasukan pengawal yang hanya tujuh orang itu, seorang berusia empat puluh tahun lebih yang kumisnya melintang kaku, maju dan menghadapi Sie Liong.
“Heii, apakah engkau ini orang gila? Siapakah engkau dan apa artinya perbuatanmu ini?”
Kini semua orang sudah datang ke tempat itu, menonton dari jarak yang aman sedangkan tujuh orang pengawal itu menghadapi Sie Liong yang bersikap tenang saja.
“Aku hanya seorang bongkok yang kebetulan lewat di dusun ini. Aku melihat peristiva yang membuat hatiku penasaran. Mempelai wanita yang bernama Sui Lian ini sudah mempunyai seorang tunangan sejak kecil yang bernana Un Kiong. Seluruh penduduk dusun ini tentu sudah mengetahui akan hal itu. Akan tetapi, secara mendadak partunangan itu dibatalkan sepihak dan Sui Lien dijodohkan dengan putera kepala dusun. Sungguh tidak adil sekali, apalagi karena mempelai wanita tidak suka menjadi isteri putera kepala dusun!”
“Eh, sungguh engkau telah menjadi gila! Pernikahan ini dilangsungkan secara sah dan menurut peraturan yang benar sebagai lanjutan dari pinangan yang diterima. Hayo engkau ini orang bongkok gila pergi dari sini daripada harus kami hajar!”
“Kalianlah yang harus pergi, juga mempelai pria itu. Pulang saja dan katakan kepada kepala dusun bahwa pernikahan ini dibatalkan!”
“Kurang ajar!”
Tujuh orang pengawal itu dengan marah lalu menyerang dari sekeliling Sie Liong. Akan tetapi, sekali menggerakkan tubuhnya berputar, tujuh orang itu disapu roboh semua seperti tujuh helai daun kering saja! Tentu saja mereka terkejut dan mencabut senjata masing-masing.
“Sudahlah. Kalian hanya petugas dan tidak bersalah. Yang bersalah dalam hal ini adalah orang tua mempelai wanita dan juga kepala dusun! Sebaiknya kepala dusun itu disuruh kesini dan kita rundingkan bersama dengan orang tua mempelai wanita. Urusan ini dapat diselesaikan dengan cara damai!” kata Sie Liong yang sabetulnya tidak ingin mempergunakan kekerasan.
“Orang gila ini sungguh kurang ajar! Tangkap dia atau bunuh kalau melawan!” kini mempelai pria yang masih menunggang kuda itu membentak marah.
Tentu saja dia marah dan merasa malu sekali bahwa upacara penjemputan mempelai wanita itu diganggu oleh seorang laki-laki bongkok yang agaknya gila!
Tujuh orang pengawal itu sudah menyerang dengan senjata mereka. Sie Liong hanya mengelak dengan langkah-langkah dan loncatan kecil. Semua sambaran senjata tidak ada yang mampu menyentuh tubuhnya. Dia tidak ingin melukai mereka yang mengeroyoknya karena mereka bukanlah orang-orang jahat melainkan hanya orang-orang yang melaksanakan tugas mengawal mempelai.
Diapun mengeluarkan bentakan nyaring, tangannya bergerak cepat dan mengeluarkan angin pukulan yang dahsyat, dan senjata di tangan tujuh orang itu beterbangan dan terlepas dari tangan para pemegangnya. Tentu saja tujuh orang itu terkejut sekali, juga jerih karena kini baru mereka maklum bahwa mereka menghadapi seorang muda yang aneh dan sakti.
Mempelai pria yang melihat betapa tujuh orang pengawalnya sama sekali tidak berdaya melawan orang bongkok itu, menjadi ketakutan dan diapun melarikan kudanya sambil berteriak,
“Mari kita lapor kepada ayah!” Para pengikutnya lalu malarikan diri meninggalkan tempat itu.
Ayah dari mempelai wanita yang melihat terjadinya peristiwa ini, merasa khawatir, juga penasaran sekali. Akan tetapi diapun sudah maklum akan kehebatan orang bongkok itu, maka dia menghampirl lalu memberi hormat.
“Taihiap, apa maksudnya taihiap melakukan semua ini? Taihiap, hanya akan mendatangkan malapetaka kepada keluarga kami!”
“Hmm, semua ini adalah akibat dari kesalahan keluarga sendiri, paman, Mari kita masuk dan bicara di dalam. Akulah yang bertanggung jawab terhadap akibat dari perbuatanku tadi.”
Joli pengantin diangkut lagi memasuki rumah itu dan para pengiringnya juga masuk. Tidak ada yang berani membantah Pendekar Bongkok, karena mereka kini semakin yakin bahwa pemuda bongkok ini seorang pandekar yang sakti.
Agaknya dari dalam jolinya, Sui Lian mendengarkan semua yang terjadi di luar. Ketika ia dituntun keluar dari joli untuk kembali ke kamarnya, tiba-tiba ia berlutut menghadap Sie Liong dan jelas terdengar suaranya,
“Taihiap, saya berterima kasih sekali kepadamu!” Dua orang nenek dan ibunya, mengangkatnya bangun dan membawanya masuk ke dalam kamar.
Sementara itu, ayah Sui Lian lalu mengajak Sie Liong duduk menghadapi meja. Keluarganya lalu keluar dan minta kepada para penonton untuk pergi dan jangan berkerumun di depan rumah. Para penonton bubaran dan sebentar saja peristiwa itu telah menjadi berita baru yang menegangkan seluruh penduduk dusun itu.
Un Kiong dan orang tuanya mendengar pula dan mereka menanti dengan jantung berdebar tegang. Un Kiong sendiri diam-diam merasa girang dan timbul harapan baru dalam hatinya. Ternyata Pendekar Bongkok tidak membohonginya dan telah mencegah terjadinya pemboyongan pengantin wanita!
Tentu saja semalam itu dia sama sekali tidak dapat tidur sekejap matapun dan kalau saja tidak ingin mentaati perintah Pendekar Bongkok agar dia menanti saja di rumah, ingin dia pergi untuk melihat sendiri apa yang terjadi selanjutnya di rumah Sui Lian, bekas tunangannya.
“Paman, benarkah bahwa sejak kecil puterimu telah dipertunangkan dengan seorang pemuda bernama Un Kiong dari dusun ini juga?”
Sie Liong bertanya dan memandang tajam kepada tuan rumah yang kini didampingi isterinya.
Petani itu mengangguk.
“Benar taihiap. Akan tetapi pertalian jodoh itu telah diputuskan, telah dibatalkan, maka Un Kiong tidak berhak untuk datang kesini dan membikin ribut....”
“Akan tetapi mengapa, paman? Apakah kesalahan Un Kiong maka pertunangan itu dibatalkan? Padahal, pertunangan itu telah berlangsung bertahun-tahun, sejak keduanya masih kanak-kanak!”
Ayah dan ibu Sui Lian saling memandang dan orang tua itu tidak mampu menjawab. Karena memang calon mantunya itu tidak mempunyai kesalahan apapun!
“Hemm, aku tahu, paman. Tentu karena datang pinangan dari kepala dusun. Maka engkau membatalkan ikatan perjodohan itu agar engkau dapat menerima lamaran kepala dusun, bukan?”
Orang tua itu mengangkat muka memandang kepada Pendekar Bongkok, lalu mengangguk membenarkan.
“Nah, aku ingin tahu sekarang. Kenapa kau lakukan hal itu? Kalau puterimu sudah bertunangan dengan Un Kiong, seharusnya kau tolak saja lamaran kepala dusun dan berkata terus terang bahwa puterimu sudah mempunyai calon suami.”
“Ah, taihiap, mana kami berani melakukan hal itu? Kepala dusun itu baru saja menjadi kepala dusun disini. Kami tidak berani menolak pinangan dan selain itu, tentu saja kami lebih suka melihat anak kami menjadi mantu kepala dusun karena ia akan dapat hidup mulia, terhormat, kaya raya dan....”
“Dan yang terpenting, paman dan bibi akan ikut pula naik derajatnya sebagai besan kepala dusun, begitukah?” Sie Liong menyambung dan suami isteri itu tersipu.
“Paman dan bibi, apakah ji-wi (kalian) menyayang puterimu?”
“Tentu saja!” jawab kedua orang tua itu.
“Kalau ji-wi menyayangnya, mengapa ji-wi memperlakukannya sebagai barang dagangan saja? Siapa yang berani menawar lebih tinggi akan mendapatkannya? Ia bukan benda, bukan pula binatang, melainkan seorang manusia yang berperasaan. Ia berhak manentukan pilihannya sendiri. Ji-wi melihat sendiri betapa ia bersedih dan tidak suka menjadi isteri putera kepala dusun, akan tetapi ji-wi memaksanya! Benarkah perbuatan itu?”
Dua orang tua itu menunduk.
“Kami.... kami melakukan hal itu demi kebahagiaannya, taihiap. Ia akan menjadi wanita terhormat di dusun ini dan hidup berkecukupan....”
“Itukah ukuran bahagia? Berbahagiakah seekor burung dalam sangkar, walaupun sangkar itu terbuat dari emas? Ji-wi keliru, seyogianya menanyakan pendapat puteri ji-wi. Sungguh tidak adil kalau membatalkan pertunangan itu begitu saja, secara sepihak, sedangkan kedua orang muda itu sudah saling menyayang.”
“Tapi, tapi kami tidak berani menolak.... dan sekarang.... perjodohan itu sudah ditentukan, dan taihiap.... ah, apa yang harus kami lakukan sekarang? Kami takut akan tindakan kepala dusun yang tentu akan marah sekali....” Suami isteri itu meratap dan ketakutan.
“Itu tanggung jawabku. Yang penting, ji-wi mengakui kesalahan ji-wi dan bersedia untuk menyambung kembali ikatan jodoh antara Sui Lian dan Un Kiong.”
Suami isteri itu saling pandang dan mereka menarik napas panjang.
“Baiklah, taihiap. Kini kami dapat melihat kesalahan kami yang hendak mengorbankan perasaan hati anak kami dengan kemewahan keadaan lahiriah. Kami bersedia menyambung kembali perjodohan itu asal taihiap dapat membereskan urusan kemarahan dari pihak kepala dusun.”
“Jangan khawatir. Nah, itu agaknya mereka datang,” kata Sie Liong dengan hati lega dan diapun bangkit berdiri lalu keluar dari ruangan itu, berdiri di serambi depan.
Masih terdapat penonton, akan tetapi mereka itu berdiri agak jauh, di tempat aman, bukan seperti tadi di luar pintu pagar. Dia melihat munculnya dua orang laki-laki yang sikapnya gagah, yang diiringkan oleh tujuh orang pengawal tadi. Agaknya pihak kepala dusun telah mengutus dua orang jagoan untuk menghadapinya.
Ketika mereka memasuki pekarangan dan langsung menghampiri Sie Liong yang berdiri di kaki tangga serambi depan, Sie Liong mengamati mereka dengan penuh perhatian.
Dua orang yang sikapnya gagah sekali. Yang seorang bertubuh tinggi besar dengan muka persegi, jantan dan gagah, sedangkan orang ke dua bertubuh sedang, mukanya bulat dan muka itu dipenuhi brewok lebat yang rapi. Keduanya berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, dan di balik pundak mereka nampak gagang pedang. Dua orang yang gagah. Sie Liong mengerutkan alisnya karena dia merasa seperti pernah bertemu dengan mereka.
Sementara itu, Sui Lan telah dipaksa untuk menerina rombongan pengantin pria yang malam itu datang untuk menjemput mempelai puteri. Mempelai wanita masih menangis terus, akan tetapi karena ia memakai kerudung, dan karena memang sudah lajim mempelai wanita selalu menangis ketika dinikahkan, maka ia tidak menarik banyak perhatian.
Mempelai wanita dituntun naik ke dalam joli yang dihias indah dan dipikul empat orang, sedangkan mempelai prianya menunggang seekor kuda yang besar. Mempelai pria ini nampak tampan dan gagah dalam pakaiannya yang indah dan beraneka warna. Dia tersenyum-senyum penuh lagak ketika menaiki kudanya, dibantu oleh beberapa orang.
Petasan dibakar dan bunyi musik mengiringi pasangan mempelai yang akan meninggalkan rumah mempelai wanita itu. Pada saat itu, muncul seorang pemuda bongkok di depan rombongan yang sudah siap untuk berangkat! Pemuda ini bukan lain adalah Sie Liong, Si Pendekar Bongkok!
“Berhenti!” bentak Sie Liong yang berdiri di tengah jalan. “Pernikahan ini salah tempat! Mempelai prianya bukan orang itu!” Dia menuding ke arah pemuda yang menunggang kuda dengan congkaknya.
Tujuh orang pengawal yang bertugas mengawal mempelai pria menjemput mempelai wanita, segera berlari menghampiri dan mereka memandang kepada Sie Liong dengan alis berkerut dan pandang mata marah.
Akan tetapi, keluarga mempelai wanita yang mengenal pemuda bongkok itu menjadi gelisah. Komandan pasukan pengawal yang hanya tujuh orang itu, seorang berusia empat puluh tahun lebih yang kumisnya melintang kaku, maju dan menghadapi Sie Liong.
“Heii, apakah engkau ini orang gila? Siapakah engkau dan apa artinya perbuatanmu ini?”
Kini semua orang sudah datang ke tempat itu, menonton dari jarak yang aman sedangkan tujuh orang pengawal itu menghadapi Sie Liong yang bersikap tenang saja.
“Aku hanya seorang bongkok yang kebetulan lewat di dusun ini. Aku melihat peristiva yang membuat hatiku penasaran. Mempelai wanita yang bernama Sui Lian ini sudah mempunyai seorang tunangan sejak kecil yang bernana Un Kiong. Seluruh penduduk dusun ini tentu sudah mengetahui akan hal itu. Akan tetapi, secara mendadak partunangan itu dibatalkan sepihak dan Sui Lien dijodohkan dengan putera kepala dusun. Sungguh tidak adil sekali, apalagi karena mempelai wanita tidak suka menjadi isteri putera kepala dusun!”
“Eh, sungguh engkau telah menjadi gila! Pernikahan ini dilangsungkan secara sah dan menurut peraturan yang benar sebagai lanjutan dari pinangan yang diterima. Hayo engkau ini orang bongkok gila pergi dari sini daripada harus kami hajar!”
“Kalianlah yang harus pergi, juga mempelai pria itu. Pulang saja dan katakan kepada kepala dusun bahwa pernikahan ini dibatalkan!”
“Kurang ajar!”
Tujuh orang pengawal itu dengan marah lalu menyerang dari sekeliling Sie Liong. Akan tetapi, sekali menggerakkan tubuhnya berputar, tujuh orang itu disapu roboh semua seperti tujuh helai daun kering saja! Tentu saja mereka terkejut dan mencabut senjata masing-masing.
“Sudahlah. Kalian hanya petugas dan tidak bersalah. Yang bersalah dalam hal ini adalah orang tua mempelai wanita dan juga kepala dusun! Sebaiknya kepala dusun itu disuruh kesini dan kita rundingkan bersama dengan orang tua mempelai wanita. Urusan ini dapat diselesaikan dengan cara damai!” kata Sie Liong yang sabetulnya tidak ingin mempergunakan kekerasan.
“Orang gila ini sungguh kurang ajar! Tangkap dia atau bunuh kalau melawan!” kini mempelai pria yang masih menunggang kuda itu membentak marah.
Tentu saja dia marah dan merasa malu sekali bahwa upacara penjemputan mempelai wanita itu diganggu oleh seorang laki-laki bongkok yang agaknya gila!
Tujuh orang pengawal itu sudah menyerang dengan senjata mereka. Sie Liong hanya mengelak dengan langkah-langkah dan loncatan kecil. Semua sambaran senjata tidak ada yang mampu menyentuh tubuhnya. Dia tidak ingin melukai mereka yang mengeroyoknya karena mereka bukanlah orang-orang jahat melainkan hanya orang-orang yang melaksanakan tugas mengawal mempelai.
Diapun mengeluarkan bentakan nyaring, tangannya bergerak cepat dan mengeluarkan angin pukulan yang dahsyat, dan senjata di tangan tujuh orang itu beterbangan dan terlepas dari tangan para pemegangnya. Tentu saja tujuh orang itu terkejut sekali, juga jerih karena kini baru mereka maklum bahwa mereka menghadapi seorang muda yang aneh dan sakti.
Mempelai pria yang melihat betapa tujuh orang pengawalnya sama sekali tidak berdaya melawan orang bongkok itu, menjadi ketakutan dan diapun melarikan kudanya sambil berteriak,
“Mari kita lapor kepada ayah!” Para pengikutnya lalu malarikan diri meninggalkan tempat itu.
Ayah dari mempelai wanita yang melihat terjadinya peristiwa ini, merasa khawatir, juga penasaran sekali. Akan tetapi diapun sudah maklum akan kehebatan orang bongkok itu, maka dia menghampirl lalu memberi hormat.
“Taihiap, apa maksudnya taihiap melakukan semua ini? Taihiap, hanya akan mendatangkan malapetaka kepada keluarga kami!”
“Hmm, semua ini adalah akibat dari kesalahan keluarga sendiri, paman, Mari kita masuk dan bicara di dalam. Akulah yang bertanggung jawab terhadap akibat dari perbuatanku tadi.”
Joli pengantin diangkut lagi memasuki rumah itu dan para pengiringnya juga masuk. Tidak ada yang berani membantah Pendekar Bongkok, karena mereka kini semakin yakin bahwa pemuda bongkok ini seorang pandekar yang sakti.
Agaknya dari dalam jolinya, Sui Lian mendengarkan semua yang terjadi di luar. Ketika ia dituntun keluar dari joli untuk kembali ke kamarnya, tiba-tiba ia berlutut menghadap Sie Liong dan jelas terdengar suaranya,
“Taihiap, saya berterima kasih sekali kepadamu!” Dua orang nenek dan ibunya, mengangkatnya bangun dan membawanya masuk ke dalam kamar.
Sementara itu, ayah Sui Lian lalu mengajak Sie Liong duduk menghadapi meja. Keluarganya lalu keluar dan minta kepada para penonton untuk pergi dan jangan berkerumun di depan rumah. Para penonton bubaran dan sebentar saja peristiwa itu telah menjadi berita baru yang menegangkan seluruh penduduk dusun itu.
Un Kiong dan orang tuanya mendengar pula dan mereka menanti dengan jantung berdebar tegang. Un Kiong sendiri diam-diam merasa girang dan timbul harapan baru dalam hatinya. Ternyata Pendekar Bongkok tidak membohonginya dan telah mencegah terjadinya pemboyongan pengantin wanita!
Tentu saja semalam itu dia sama sekali tidak dapat tidur sekejap matapun dan kalau saja tidak ingin mentaati perintah Pendekar Bongkok agar dia menanti saja di rumah, ingin dia pergi untuk melihat sendiri apa yang terjadi selanjutnya di rumah Sui Lian, bekas tunangannya.
“Paman, benarkah bahwa sejak kecil puterimu telah dipertunangkan dengan seorang pemuda bernama Un Kiong dari dusun ini juga?”
Sie Liong bertanya dan memandang tajam kepada tuan rumah yang kini didampingi isterinya.
Petani itu mengangguk.
“Benar taihiap. Akan tetapi pertalian jodoh itu telah diputuskan, telah dibatalkan, maka Un Kiong tidak berhak untuk datang kesini dan membikin ribut....”
“Akan tetapi mengapa, paman? Apakah kesalahan Un Kiong maka pertunangan itu dibatalkan? Padahal, pertunangan itu telah berlangsung bertahun-tahun, sejak keduanya masih kanak-kanak!”
Ayah dan ibu Sui Lian saling memandang dan orang tua itu tidak mampu menjawab. Karena memang calon mantunya itu tidak mempunyai kesalahan apapun!
“Hemm, aku tahu, paman. Tentu karena datang pinangan dari kepala dusun. Maka engkau membatalkan ikatan perjodohan itu agar engkau dapat menerima lamaran kepala dusun, bukan?”
Orang tua itu mengangkat muka memandang kepada Pendekar Bongkok, lalu mengangguk membenarkan.
“Nah, aku ingin tahu sekarang. Kenapa kau lakukan hal itu? Kalau puterimu sudah bertunangan dengan Un Kiong, seharusnya kau tolak saja lamaran kepala dusun dan berkata terus terang bahwa puterimu sudah mempunyai calon suami.”
“Ah, taihiap, mana kami berani melakukan hal itu? Kepala dusun itu baru saja menjadi kepala dusun disini. Kami tidak berani menolak pinangan dan selain itu, tentu saja kami lebih suka melihat anak kami menjadi mantu kepala dusun karena ia akan dapat hidup mulia, terhormat, kaya raya dan....”
“Dan yang terpenting, paman dan bibi akan ikut pula naik derajatnya sebagai besan kepala dusun, begitukah?” Sie Liong menyambung dan suami isteri itu tersipu.
“Paman dan bibi, apakah ji-wi (kalian) menyayang puterimu?”
“Tentu saja!” jawab kedua orang tua itu.
“Kalau ji-wi menyayangnya, mengapa ji-wi memperlakukannya sebagai barang dagangan saja? Siapa yang berani menawar lebih tinggi akan mendapatkannya? Ia bukan benda, bukan pula binatang, melainkan seorang manusia yang berperasaan. Ia berhak manentukan pilihannya sendiri. Ji-wi melihat sendiri betapa ia bersedih dan tidak suka menjadi isteri putera kepala dusun, akan tetapi ji-wi memaksanya! Benarkah perbuatan itu?”
Dua orang tua itu menunduk.
“Kami.... kami melakukan hal itu demi kebahagiaannya, taihiap. Ia akan menjadi wanita terhormat di dusun ini dan hidup berkecukupan....”
“Itukah ukuran bahagia? Berbahagiakah seekor burung dalam sangkar, walaupun sangkar itu terbuat dari emas? Ji-wi keliru, seyogianya menanyakan pendapat puteri ji-wi. Sungguh tidak adil kalau membatalkan pertunangan itu begitu saja, secara sepihak, sedangkan kedua orang muda itu sudah saling menyayang.”
“Tapi, tapi kami tidak berani menolak.... dan sekarang.... perjodohan itu sudah ditentukan, dan taihiap.... ah, apa yang harus kami lakukan sekarang? Kami takut akan tindakan kepala dusun yang tentu akan marah sekali....” Suami isteri itu meratap dan ketakutan.
“Itu tanggung jawabku. Yang penting, ji-wi mengakui kesalahan ji-wi dan bersedia untuk menyambung kembali ikatan jodoh antara Sui Lian dan Un Kiong.”
Suami isteri itu saling pandang dan mereka menarik napas panjang.
“Baiklah, taihiap. Kini kami dapat melihat kesalahan kami yang hendak mengorbankan perasaan hati anak kami dengan kemewahan keadaan lahiriah. Kami bersedia menyambung kembali perjodohan itu asal taihiap dapat membereskan urusan kemarahan dari pihak kepala dusun.”
“Jangan khawatir. Nah, itu agaknya mereka datang,” kata Sie Liong dengan hati lega dan diapun bangkit berdiri lalu keluar dari ruangan itu, berdiri di serambi depan.
Masih terdapat penonton, akan tetapi mereka itu berdiri agak jauh, di tempat aman, bukan seperti tadi di luar pintu pagar. Dia melihat munculnya dua orang laki-laki yang sikapnya gagah, yang diiringkan oleh tujuh orang pengawal tadi. Agaknya pihak kepala dusun telah mengutus dua orang jagoan untuk menghadapinya.
Ketika mereka memasuki pekarangan dan langsung menghampiri Sie Liong yang berdiri di kaki tangga serambi depan, Sie Liong mengamati mereka dengan penuh perhatian.
Dua orang yang sikapnya gagah sekali. Yang seorang bertubuh tinggi besar dengan muka persegi, jantan dan gagah, sedangkan orang ke dua bertubuh sedang, mukanya bulat dan muka itu dipenuhi brewok lebat yang rapi. Keduanya berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, dan di balik pundak mereka nampak gagang pedang. Dua orang yang gagah. Sie Liong mengerutkan alisnya karena dia merasa seperti pernah bertemu dengan mereka.
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar