Ads

Sabtu, 07 Desember 2019

Pendekar Bongkok Jilid 060

“Ada apakah, Sian-jin....?” tanya Gumo Cali cepat dan wajahnya gelisah sekali.

“Celaka, mereka ini sudah diselubungi hawa siluman yang amat kuat!”

Ibu kedua orang anak itu menjerit ketakutan dan dua orang anak perempuan itupun menangis dan tubuh mereka menggigil.

“Aduh.... lalu bagaimana baiknya, Sian-jin? Tolonglah anak-anakku, tolonglah kami.... apapun yang kau minta akan kami laksanakan untuk membalas budi kebaikanmu.... tolonglah....”

Kata kepala dusun itu cemas dan kelihatan ketakutan, sungguh tidak sesuai dengan kegagahannya sebagai seorang jagoan nomor satu di dusun Ngomaima itu. Ketahyulan dapat membuat orang yang bagaimana perkasapun menjadi seorang pengecut dan penakut.

“Jangan khawatir heh-heh, jangan khawatir. Selama masih ada Bong Sian-jin, jangan khawatir....! Akan tetapi, dua orang nona ini perlu dibersihkan dari hawa siluman. Aku akan membersihkan mereka dan semua orang tidak boleh mendekati kamar ini, karena kalau sampai ada yang terkena hawa siluman, aku akan menjadi repot saja. Biarkan mereka di kamar ini, aku akan membersihkan dan menjaga, kalau siluman datang, akan kuusir dia.... heh-heh, jangan khawatir, ada Bong Sian-jin, heh-heh-heh!”

“Baik, baik.... ah, terima kasih sebelumnya, Sian-jin. Dan apa.... apa syaratnya, apa yang perlu kami persiapkan?”

“Mudah saja. Seember besar air yang diberi air kembang yang harum, dan dupa harum harus dibakar di sudut kamar. Sediakan saja seember air itu, aku sendiri yang akan mempersiapkan segalanya, angkat ember ke dalam kamar ini, lalu tinggalkan kamar ini, jangan ada yang berada di luar kamar. Kalau aku belum memanggil, jangan ada yang berani mendekat kalau ingin selamat dan bebas dari hawa siluman!”

Mendengar ini, seluruh penghuni rumah menjadi ngeri dan ketakutan. Segera seember air harum itu diangkat masuk ke dalam kamar. Ibu kedua orang gadis itu merangkul mereka dan berkata,

“Jangan kalian takut, ada Bong Sian-jin yang sakti disini. Kalian akan dibersihkan dan dibebaskan dari.... siluman....”

Dua orang gadis yang ketakutan itu merasa tidak berdaya dan hanya mengangguk. Bagi mereka, sikap dukun itu saja sudah sama mengerikan seperti berita tentang siluman, terutama sekali sepasang mata yang selalu terpejam akan tetapi ada sinar mata di balik garis mata sipit itu yang memandang kepada mereka secara mengerikan!

Juga mulut kecil yang tersenyum-senyum itu, hidung besar yang cupingnya kembang kempis, sungguh membuat dua orang gadis itu menjadi semakin ketakutan. Akan tetapi, karena dukun ini katanya hendak menyelamatkan mereka dari cengkeraman siluman merah, maka merekapun pasrah!

Setelah melihat betapa dengan penuh semangat kepala dusun Gumo Cali mengusiri semua orang agar menjauhi kamar dan sama sekali tidak boleh mendekat, dan semua orang kini telah pergi, dukun itu lalu menutupkan daun pintu kamar itu, memalangnya dari dalam dan sambil menyeringai diapun menghadapi kedua orang gadis remaja yang masih gemetar ketakutan itu.

Ketahyulan adalah suatu kebodohan. Suatu kepercayaan akan adanya roh jahat atau setan iblis yang suka muncul dan mengganggu manusia secara jasmaniah. Ketahyulan merupakan kebodohan yang amat berbahaya dan muncul karena kekurang-kuatan iman terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa.

Manusia yang sudah menyerahkan seluruh hidupnya, seluruh jiwa raganya kepada Tuhan, tentu tidak akan mudah termakan tahyul, atau dengan lain kata, tentu tidak akan takut terhadap gangguan iblis karena yakin bahwa Tuhan akan melindungi setiap orang manusia yang pasrah kepada Tuhan terhadap segala macam iblis.

Orang yang tahyul bukanlah berarti orang yang tidak percaya akan adanya roh jahat dan iblis. Melainkan orang yang tidak takut terhadap iblis, tidak memuja saking takutnya. Orang yang tahyul condong untuk memuja iblis, setidaknya menghormatinya dan tunduk. Inilah bedanya. Yang tidak takut tahyul menghadapi godaan iblis dengan penyerahan dan iman kepada Tuhan, sebaliknya yang tahyul menghadapi godaan iblis dengan usaha menyenangkan hati iblis agar tidak mengganggunya, dengan memberi persembahan dan sebagainya.

Rasa takut timbul dari pikiran yang membayangkan hal-hal yang belum nyata dan belum ada. Membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang lebih buruk akan menimpa dirinya, maka timbullah rasa takut. Rasa takut timbul dari pikiran yang mengingat pengalaman lampau, masa lalu, dan membayangkan kemungkinan buruk masa depan.






Orang yang hidup disaat ini, dengan penuh kewaspadaan, dilandasi iman dan penyerahan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, tidak pernah merasa takut. Pikiran kita merupakan alat hidup yang teramat penting, yaitu untuk mempergunakan akal budi demi keselamatan dan kesejahteraan kehidupan lahiriah. Sebaliknya akan menjadi suatu kekuasaan yang amat berbahaya kalau kita membiarkan pikiran yang bergeli-mang nafsu itu menguasai jiwa.

Setelah berada bertiga saja dengan dua orang gadis remaja yang cantik, segar dan ranum itu, semakin bergeloralah gairah berahi dalam hati dukun Bong yang sejak tadi telah bangkit begitu dia melihat dua orang gadis remaja yang diserahkan ke dalam kekuasaannya itu.

Dia melihat kesempatan yang amat baik terbuka baginya. Dia memang sudah mendengar akan adanya siluman merah yang suka menculik gadis-gadis cantik. Dan dia tidak takut menghadapi siluman. Sudah dipersiapkannya senjata ampuh untuk melawan setan, yang dibawanya dan disimpannya dalam saku jubahnya, yaitu darah anjing yang sudah dikeringkan dan dijadikan bubuk hitam, dan pedang pusakanya yang sudah diberi mantram, sebatang pedang terbuat dari pada akar kayu pengusir setan.

Dia tidak takut, bahkan dia akan mempergunakan nama iblis itu untuk melaksanakan hasratnya yang berkobar-kobar. Dia akan memetik dua tangkai bunga yang sedang mulai mekar itu, menikmati mereka, dan pertanggungan-jawabnya akan dia timpakan kepada siluman merah! Ya, semua orang akan percaya kepadanya!

“Heh-heh-hah, anak-anak manis, kalian sudah dikotori hawa siluman, tanpa dibersihkan, kalian akan jatuh sakit dan akhirnya mati dalam keadaan tersiksa. Maukah kalian kubersihkan dari hawa siluman?”

“Mau, Sian-jin, tentu saja kami mau....” kata gadis tertua dengan suara gemetar.

“Kalau kalian mau, ingat. Apa yang terjadi disini, jangan sekali-kali kalian ceritakan kepada orang lain, kepada orang tuamupun tidak boleh. Kalau kalian ceritakan, maka hawa siluman itu akan datang menguasai diri kalian kembali. Turut saja apa yang kulakukan terhadap kalian, karena itulah cara pengobatannya. Nah, sekarang, tanggalkan semua pakaian dan kalian akan kumandikan dalam ember ini. Lakukan sekarang!”

Dukun lepus yang menjadi hamba nafsunya sendiri itu kini tersenyum-senyum dan sepasang mata yang tersembunyi di balik pelupuk mata yang sipit itu semakin mencorong penuh nafsu ketika dia melihat dua orang gadis remaja itu, dengan malu-malu dan takut-takut, menanggalkan pakaian mereka satu demi satu di hadapannya sampai mereka telanjang bulat sama sekali.

Kemudian, sambil menyeringai penuh nafsu, dukun itu lalu menuntun mereka berdua masuk ke dalam ember terisi air kembang yang harum, dan dengan nafsu semakin berkobar, kedua tangannya memandikan dua orang gadis remaja itu, jari-jari tangannya dengan penuh nafsu menggerayangi dan meraba-raba, membelai-belai, pura-pura membersihkan tubuh mereka.

Biarpun nafsu berahinya sudah memuncak, namun dukun yang cerdik ini tidak bodoh. Dia cerdik sekali dan dia menahan dirinya agar tidak tergesa-gesa melakukan niatnya yang terakhir terhadap dua orang gadis remaja itu.

Setelah merasa puas membelai tubuh mereka dengan dalih memandikan mereka, diapun menyuruh mereka keluar dari ember mandi, mengeringkan tubuh yang basah itu dengan kain, kemudian memerintahkan mereka berbaring di atas tempat tidur dan menutupi tubuh telanjang mereka dengan selimut. Dia melarang mereka mengenakan pakaian kembali, dengan alasan bahwa semua pakaian mereka sudah ternoda oleh hawa siluman.

Setelah kedua orang gadis itu merebahkan diri bersembunyi ke dalam selimut, Bong Sian-jin lalu duduk bersila dengan santainya di tepi pembaringan, pura-pura bersamadhi sambil menanti datangnya malam.

Hari telah mulai senja dan sebentar lagi malam tiba. Dukun itu hendak menanti datangnya malam agar apa yang akan dilakukannya itu dapat kelak dia timpakan kepada siluman merah! Diapun sudah siap dengan pedang kayu yang sudah diletakkannya di atas pangkuannya, dan mempersiapkan pula bubuk darah anjing di dalam sebuah botol.

Malampun tiba. Dukun Bong menyalakan dua batang lilin di atas meja sehingga dalam kamar itu remang-remang namun cukup terang. Sampai jauh malam, tidak terjadi sesuatu di dalam kamar itu.

Dua orang gadis yang tadinya bicara berbisik-bisik, kini berdiam diri, menanti dengan ketakutan. Setiap ada suara sedikit saja di luar kamar, membuat mereka saling rangkul dengan tubuh gemetar. Namun, hati mereka merasa lega melihat dukun itu masih duduk bersila seperti arca dan mereka yakin bahwa dukun itu tentu akan mampu menolong mereka.

Apa yang dilakukan dukun itu tadi, ketika memandikan mereka membuat mereka merasa kikuk dan malu, akan tetapi mereka tidak menyangka buruk dan menganggap bahwa dukun itu memang sungguh-sungguh “membersihkan” mereka. Mereka masih terlalu hijau untuk berprasangka yang bukan-bukan.

Sementara itu, dukun Bong menjadi tidak sabar lagi. Siluman yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang, sedangkan dia hampir hangus terbakar nafsu berahinya. Kalau siluman itu muncul dan dia sudah mengusirnya, baru dia akan menikmati “imbalan jasanya”. Dia menoleh, memandang kepada dua orang gadis itu. Selimut itu agak tersingkap dan memperlihatkan sebagian dada mereka. Bong Ciat tidak dapat lagi menahan dirinya. Dia menyeringai kepada mereka.

“Kalian takut?”

Ditanya demikian, tentu saja dua orang gadis itu mengangguk membenarkan. Mereka memang merasa takut sekali, bahkan merasa ngeri.

“Heh-heh, jangan takut, ada aku disini. Biar kutemani kalian tidur agar kalian merasa aman dan tidak takut lagi.”

Berkata demikian, dukun yang tak tahu malu itu lalu mulai mencopoti pakaiannya satu demi satu. Melihat ini, dua orang gadis remaja itu tersipu-sipu. Mereka merasa lega karena dukun itu hendak menemani mereka tidur sehingga mereka akan merasa aman sekali, akan tetapi juga mereka merasa malu bukan main melihat betapa Bong Sian-jin menanggalkan pakaiannya. Melihat mereka tersipu-sipu, Bong Sian-jin tersenyum.

“Heh-heh, kalian tidak usah malu-malu....”

Dan diapun membungkuk, mencium pipi mereka bergantian, membuat kedua orang gadis remaja itu menggeliat dan semakin tersipu.

Nafsu berahi sudah memuncak dan Bong Sian-jin sudah tidak kuasa menahan diri lagi. Akan tetapi baru saja dia menyingkap selimut yang menutup tubuh kedua orang gadis remaja untuk menyelinap rebah diantara mereka, tiba-tiba api lilin bergoyang dan dua orang gadis itu menahan jerit mereka.

Bong Sian-jin cepat menoleh, dan sepasang mata yang biasanya sipit itu terbelalak agak lebar. Entah dari mana datangnya, di dalam kamar itu telah berdiri seorang “iblis” yang aneh. Pakaiannya serba merah, dan mukanya mengenakan topeng merah pula. Akan tetapi, dia berdiri disitu, diam seperti patung, tidak bergerak dan tidak mengeluarkan sepatahpun kata atau suara apapun.

Hanya sebentar dukun Bong tertegun. Dia segera ingat akan senjata-senjatanya. Lupa bahwa tubuhnya hampir telanjang bulat, hanya mengenakan cawat saja, dia lalu menyambar pedangnya dan botol atau guci kecil, lalu melompat turun. Pedang kayu itu diangkatnya ke atas, dan dia membuka tutup guci kecil, lalu mulutnya berkemak-kemik membaca mantram, lalu dia berseru.

“Iblis siluman jadi-jadian, pergilah engkau dari sini sebelum aku membinasakanmu!”

Melihat betapa “iblis” itu tidak bergerak dari tempatnya, dan hanya mata di balik kedok itu yang mencorong menyeramkan, Bong Sian-jin lalu menggerakkan tangan kirinya dan debu hitam keluar dari dalam guci, melayang ke arah siluman merah itu.

Namun, siluman merah itu tetap tidak bergerak. Melihat ini, dukun Bong lalu menggerakkan pedang kayunya, dipukulkan ke arah kepala siluman merah itu. Dia penuh keberanian dan keyakinan akan mampu mengalahkan siluman, karena biasanya, bubuk darah anjing dan pedang kayunya, ditambah mantram-matramnya, manjur sekali untuk menakut-nakuti segala macam setan dan siluman.




Pendekar Bongkok Jilid 059
Pendekar Bongkok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar