Sie Liong menoleh kepada tuan rumah dan isterinya, lalu berkata dengan tenang,
“Kiranya paman dan bibi ini akan dapat menjawab pertanyaan itu dan sekaranglah saatnya semua orang berterus terang dan meluruskan yang bengkok, membenarkan yang salah!”
Wajah tuan dan nyonya rumah menjadi agak pucat dan dengan suara gemetar, ayah Sui Lian lalu berkata,
“Mohon ampun kepada jung-cu.... ketika jung-cu mengajukan pinangan, kami.... kami merasa terhormat dan berbahagia sekali, kami tidak berani menolak dan tidak berani menceritakan tentang pertunangan itu.... dan kami merasa bangga kalau menjadi besan jung-cu, maka kami diam saja dan....”
“Brakkk!” kepala dusun Sun menggebrak meja dengan kedua tangannya, dan mukanya menjadi merah sekali. “Kalian kira aku ini orang macam apa? Seorang pembesar yang mengandalkan kekuasaannya memaksakan kehendaknya kepada rakyat? Sungguh, itu namanya memandang rendah kepada kami!”
“Ampunkan kami.... jung-cu....!” tuan dan nyonya rumah menjadi ketakutan.
Kepala dusun itu menarik napas panjang.
“Sudahlah, gara-gara sikap kalian yang keliru, yang gila kehormatan dan kedudukan, kalian telah membuat kami sekeluarga menjadi malu saja. Semua tamu sudah datang dan semua peralatan upacara pernikahan telah disiapkan, bagaimana mungkin pernikahan dibatalkan? Kami akan menjadi buah cemoohan dan tertawaan orang saja! Siapa nama tunangan Sui Lian itu?”
“Namanya Un Kiong....”
“Dimana dia? Panggil dia kesini!”
Sie Liong bangkit.
“Biarlah aku yang memanggil dia kesini.”
Dan sekali berkelebat, pemuda bongkok inipun lenyap dari situ. Tak lama kemudian dia sudah datang lagi bersama Un Kiong. Pemuda ini agak pucat. Bagaimanapun juga, dia ketakutan.
Akan tetapi, kepala dusun Sun bersikap tenang.
“Un Kiong, mulai saat ini, engkau kuanggap sebagai anak angkatku dan besok engkau akan kunikahkan dengan Sui Lian. Sukakah engkau?”
Un Kiong menjatuhkan diri berlutut di depan “ayah angkatnya” dan hanya mampu menangis saking gembiranya. Sie Liong bertemu pandang dengan dua orang pendekar Kun-lun-pai dan mereka tersenyum, kagum akan hasil pekerjaan Pendekar Bongkok.
Pada keesokan harinya, pesta pernikahan tetap dirayakan di rumah kepala dusun, hanya saja, yang menikah bukanlah putera kandungnya, melainkan “putera angkatnya”. Puteranya sendiri disuruhnya pergi ke kota di selatan, untuk menghindarkan pergunjingan orang.
Ketika sepasang mempelai dipertemukan, Sie Liong dan dua orang pendekar Kun-lun-pai mendapat kursi kehormatan. Dan dua orang mempelai itu tanpa diperintah, langsung saja menghampiri Sie Liong dan keduanya menjatuhkan dirinya berlutut di depan pemuda bongkok itu.
“Wah.... jangan....! Tidak perlu begini....!” katanya dan sekali berkelebat, Pendekar Bongkok sudah lenyap dari tempat itu, bahkan dari dusun itu yang ditinggalkannya cepat-cepat.
Peristiwa ini bukan hanya menguntungkan dua orang muda yang sudah saling mencinta itu, akan tetapi juga mendatangkan keuntungan besar kepada kepala dusun Sun. Perbuatannya itu mendatangkan perasaan hormat dan suka sekali dalam hati para penduduk dusun itu sehingga dia menjadi seorang kepala dusun yang dihormati, disuka dan ditaati sehingga dia selalu dipilih, menjadi kepala dusun selama hidupnya!
Sie Liong sendiri melanjutkan perjalanan dengan wajah cerah. Mulutnya selalu tersenyum. Girang bukan main rasa hatinya bahwa dia telah berhasil menyambung perjodohan yang putus itu! Dia dapat membayangkan betapa bahagianya sepasang orang muda itu!
Akan tetapi diapun melihat bahwa kesenangan yang dinikmati sepasang orang muda itu tidaklah kekal adanya. Seperti juga keadaan udara, kehidupan manusia tidak selamanya diterangi sinar matahari. Banyak sekali awan hitam berarak di angkasa, sewaktu-waktu dapat mengurangi kecerahan matahari, bahkan menggelapkannya sama sekali. Akan tetapi, itu soal nanti! Yang penting, sekarang mereka berbahagia dan diapun merasa berbahagia karena perbuatannya telah berhasil membahagiakan orang lain!
Dusun Ngomaima biasanya tenteram. Keributan hanya kadang-kadang saja terjadi, itupun kalau dusun itu kedatangan banyak tamu pedagang yang membawa pasukan pengawal masing-masing. Para anggauta pasukan pengawal inilah yang suka membikin ribut. Mereka bermabok-mabokan di dusun itu dan seringkali terjadi pertengkaran diantara para pasukan pengawal. Juga kadang-kadang mereka itu hendak memaksakan kehendak mereka kalau melihat wanita cantik. Akan tetapi, Gumo Cali selalu dapat meredakan keributan yang timbul.
Maka, amatlah aneh rasanya bagi para pendatang ketika selama beberapa pekan, dusun Ngomaima sama sekali berubah keadaannya. Terutama sekali di waktu malam. Dusun itu sunyi sekali, dan hampir semua penghuni tidak berani keluar dari rumah mereka begitu matahari sudah menyelam.
Di sana sini para penghuni pria melakukan penjagaan dan perondaan, dan pekerjaan inipun dilakukan dalam suasana penuh ketakutan. Hal ini amat menarik hati para pendatang dan beberapa orang kepala pasukan pangawal yang merasa diri mereka kuat, bertanya.
Setelah mereka mendapatkan keterangan bahwa dusun itu sejak beberapa pekan telah diganggu oleh munculnya siluman yang pada malam hari menculik gadis-gadis tercantik, mereka lalu bangkit dan mempergunakan pasukan mereka untuk mencoba menangkap siluman. Namun usaha mereka semua gagal, seperti juga usaha Gumo Cali sendiri.
Banyak sudah anak buah Gumo Cali roboh dan menderita luka-luka, juga kini para jagoan dari pasukan pengawal juga banyak yang luka, bahkan ada yang tewas ketika mereka berusaha untuk menangkap “siluman” itu.
Banyak jagoan merasa gentar karena siluman itu kabarnya memiliki kesaktian yang luar biasa, yang tidak mungkin dilawan dengan ilmu silat biasa saja. Maka, setelah banyak jagoan diantara para pengawal mancoba-coba untuk mengadu kepandaian dengan siluman itu dan gagal, bahkan banyak yang roboh terluka, bahkan ada yang tewas, tidak ada lagi yang berani mencoba-coba!
Sudah ada tiga orang gadis cantik yang lenyap tanpa meninggalkan jejak, lenyap begitu saja dari kamar di rumah orang tua mereka! Siluman itu selalu beraksi pada malam hari dan hebatnya, sebelum malam hari dia datang, pada siang harinya dia lebih dahulu memberi tanda cairan merah yang dioleskan pada pintu rumah calon korbannya.
Ketika Gumo Cali sendiri melakukan pemeriksaan, ternyata cairan merah itu adalah darah! Dan malamnya, biarpun sudah dijaga ketat, tetap saja siluman itu datang, merobohkan siapa saja yang mencoba untuk menghalanginya, kemudian menculik gadis yang dipilihnya!
Menurut keterangan mereka yang pernah dirobohkannya, siluman itu datang dan pergi sebagai bayangan saja, tidak kelihatan jelas orangnya kalau memang dia manusia, tidak nampak jelas mukanya, dan bayangannya selalu berwarna merah. Maka, siluman itupun terkenal dengan sebutan siluman merah!
Keadaan dusun Ngomaima menjadi semakin geger ketika pada suatu siang, ada lagi coretan merah pada sebuah daun pintu. Betapa penduduk tidak akan geger kalau coretan itu sekali ini terdapat pada daun pintu rumah Gumo Cali sendiri? Ketua mereka, kepala dusun dan pemimpin mereka, yang ditakuti semua orang, kini hendak diganggu oleh siluman itu!
Dan coretan itu bukan hanya satu, melainkan dua! Ini berarti bahwa yang akan diculik adalah dua orang gadis, dan memang Gumo Cali memiliki dua orang anak perempuan yang cantik manis, berusia empat belas dan enam belas tahun!
Gumo Cali menjadi panik! Usaha penjagaan ketat dengan para jagoan tidak menenteramkan hatinya karena sudah terbukti berulang kali betapa para jagoan itu tidak ada yang mampu menandingi kesaktian siluman itu, maka jalan keduapun diambilnya, jalan dari mereka yang masih tebal kepercayannya akan tahyul, yaitu mengundang seorang dukun!
“Untuk mengusir siluman tidak mungkin dipergunakan kekuatan otot,” demikian katanya kepada isterinya yang terus menerus menangis, juga kedua puterinya yang menangis ketakutan, “akan tetapi harus dengan kekuatan sihir, dan yang akan mampu mengusirnya dan menyelamatkan dua orang anak kita hanyalah seorang dukun.”
Di daerah Ngomaima terdapat seorang dukun yang cukup terkenal. Dia selalu dipanggil kalau ada orang hendak membangun rumah, kalau ada orang mati, bahkan kalau ada yang sakit, diapun diundang untuk mangobati dengan cara yang aneh. Dia juga seorang peranakan Tibet Han, memiliki nama Han yaitu Bong Ciat dan selalu minta disebut Bong Sian-jin, seolah-olah dia adalah seorang manusia dewa!
Bong Sian-jin diundang dan dengan gaya seorang dukun sejati yang penuh dengan ilmu sihir, dukun ini datang dan penampilannya memang mengesankan sekali. Pakaiannyapun aneh, merupakan jubah pendeta yang lebar dan lengannya longgar, akan tetapi kalau jubah pendeta itu biasanya sederhana berwarna polos putih atau kuning, jubah yang dipakai dukun ini kembang-kembang dan berwarna-warni! Juga dia pesolek sekali, karena selain pakaiannya licin dan sepatunya baru, juga rambutnya tersisir licin berminyak, dan hebatnya, kalau orang berada dua tiga meter saja darinya, orang itu akan mencium bau minyak yang sangat wangi!
Usia Bong Sian-jin ini kurang lebih empat puluh tahun, dengan kumis kecil panjang berjuntai ke bawah, bersambung dengan jenggotnya yang juga jarang. Matanya yang amat sipit itu sukar dikatakan melek atau meram, hidungnya besar dan mulutnya kecil selalu tersenyum mengejek.
Di punggungnya terdapat sebatang pedang, tangan kanannya memegang sebuah kebutan berbulu putih dan tangan kirinya memegang sebuah kipas yang dikebut-kebutkan ke arah lehernya ketika dia mamasuki rumah Gumo Cali dengan lenggang dibuat-buat!
Gumo Cali dan isterinya cepat menyambut dengan sikap hormat, dan begitu melihat tuan rumah, tiba-tiba dukun itu berhenti melangkah, hidungnya mengembang-kempis, mendengus dan mencium-cium, matanya yang sipit itu melirik ke kanan kiri, lalu mulutnya mengeluarkan keluhan panjang,
“Hayaaaaaaa....!” dan diapun mengangguk-angguk.
Melihat ini, Gumo Cali cepat memberi hormat dan bertanya,
“Sian-jin, apakah yang engkau ketahui? Katakan kepada kami!”
“Aih, penuh hawa siluman di sini! Harus disingkirkan dulu hawa siluman ini, kalau tidak, akan meracuni semua penghuni rumah!”
Diapun mengeluarkan sebungkus hioswa (dupa biting) dari kantung jubahnya yang lebar, mengeluarkan beberapa batang dupa dan menyalakannya. Asap yang mengeluarkan bau harum segera memenuhi ruangan depan itu. Mulut si dukun berkemak-kemik membaca mantram, kemudian terdengar dia berkata sambil mengacung-acungkan hio itu ke empat penjuru.
“Yang datang dari utara, kembalilah ke utara, yang datang dari timur, kembalilah ke timur, yang datang dari selatan kembalilah ke selatan dan yang datang dari barat kembalilah ke barat. Jangan ganggu rumah ini, melainkan kumpulkan semua kawanmu untuk membantu aku mengusir siluman merah!”
Dia lalu mengeluarkan gerengan-gerengan aneh yang pantasnya hanya keluar dari leher binatang buas. Tentu saja sikap dan perbuatannya yang aneh ini mengesankan sekali dan hati Gumo Cali dan isterinya sudah mulai merasa lega. Tentu dukun sakti ini akan mampu mengusir siluman merah dan menyelamatkan puteri-puteri mereka.
Bagaikan orang yang sedang kemasukan dan bukan kehendaknya sendiri, tanpa permisi lagi Bong Sian-jin memasuki rumah, mengacung-acungkan hio yang masih berasap itu, mengelilingi seluruh ruangan di rumah itu. Kemudian dia bertanya,
“Dimana kamar dua orang gadis itu?”
Diam-diam Gumo Cali menjadi semakin gembira. Kiranya dukun ini sudah tahu bahwa dua orang gadisnya itulah yang diancam oleh siluman merah!
“Disana, Sian-jin, di sudut itu....” jawabnya cepat.
“Bawa aku ke sana, dan suruh dua orang gadismu itu menemuiku, akan kulihat apakah mereka sudah terkena hawa siluman ataukah belum!”
Dengan senang hati ayah dan ibu itu lalu mengajak Bong Sian-jin memasuki sebuah kamar yang cukup besar. Di situ terdapat sebuah pembaringan yang lebar, yaitu pembaringan dari kakak beradik itu.
Mereka yang tadinya bersembunyi di tempat lain, segera dipanggil dan dua orang gadis yang cantik manis itu kini berdiri dengan muka pucat di depan Bong Sian-jin yang memandang kepada mereka dengan mata seperti terpejam! Namun, di balik pelupuk mata yang tertutup itu mengintai sepasang mata yang tajam, sinar mata yang menjelajahi seluruh tubuh kedua orang gadis itu dari kepala sampai ke kaki dan mata itu bersinar gairah!
Tiba-tiba Bong Sian-jin mengeluarkan seruan,
“Uhhhh....!” dan diapun terhuyung ke belakang. “Sungguh celaka....!”
“Kiranya paman dan bibi ini akan dapat menjawab pertanyaan itu dan sekaranglah saatnya semua orang berterus terang dan meluruskan yang bengkok, membenarkan yang salah!”
Wajah tuan dan nyonya rumah menjadi agak pucat dan dengan suara gemetar, ayah Sui Lian lalu berkata,
“Mohon ampun kepada jung-cu.... ketika jung-cu mengajukan pinangan, kami.... kami merasa terhormat dan berbahagia sekali, kami tidak berani menolak dan tidak berani menceritakan tentang pertunangan itu.... dan kami merasa bangga kalau menjadi besan jung-cu, maka kami diam saja dan....”
“Brakkk!” kepala dusun Sun menggebrak meja dengan kedua tangannya, dan mukanya menjadi merah sekali. “Kalian kira aku ini orang macam apa? Seorang pembesar yang mengandalkan kekuasaannya memaksakan kehendaknya kepada rakyat? Sungguh, itu namanya memandang rendah kepada kami!”
“Ampunkan kami.... jung-cu....!” tuan dan nyonya rumah menjadi ketakutan.
Kepala dusun itu menarik napas panjang.
“Sudahlah, gara-gara sikap kalian yang keliru, yang gila kehormatan dan kedudukan, kalian telah membuat kami sekeluarga menjadi malu saja. Semua tamu sudah datang dan semua peralatan upacara pernikahan telah disiapkan, bagaimana mungkin pernikahan dibatalkan? Kami akan menjadi buah cemoohan dan tertawaan orang saja! Siapa nama tunangan Sui Lian itu?”
“Namanya Un Kiong....”
“Dimana dia? Panggil dia kesini!”
Sie Liong bangkit.
“Biarlah aku yang memanggil dia kesini.”
Dan sekali berkelebat, pemuda bongkok inipun lenyap dari situ. Tak lama kemudian dia sudah datang lagi bersama Un Kiong. Pemuda ini agak pucat. Bagaimanapun juga, dia ketakutan.
Akan tetapi, kepala dusun Sun bersikap tenang.
“Un Kiong, mulai saat ini, engkau kuanggap sebagai anak angkatku dan besok engkau akan kunikahkan dengan Sui Lian. Sukakah engkau?”
Un Kiong menjatuhkan diri berlutut di depan “ayah angkatnya” dan hanya mampu menangis saking gembiranya. Sie Liong bertemu pandang dengan dua orang pendekar Kun-lun-pai dan mereka tersenyum, kagum akan hasil pekerjaan Pendekar Bongkok.
Pada keesokan harinya, pesta pernikahan tetap dirayakan di rumah kepala dusun, hanya saja, yang menikah bukanlah putera kandungnya, melainkan “putera angkatnya”. Puteranya sendiri disuruhnya pergi ke kota di selatan, untuk menghindarkan pergunjingan orang.
Ketika sepasang mempelai dipertemukan, Sie Liong dan dua orang pendekar Kun-lun-pai mendapat kursi kehormatan. Dan dua orang mempelai itu tanpa diperintah, langsung saja menghampiri Sie Liong dan keduanya menjatuhkan dirinya berlutut di depan pemuda bongkok itu.
“Wah.... jangan....! Tidak perlu begini....!” katanya dan sekali berkelebat, Pendekar Bongkok sudah lenyap dari tempat itu, bahkan dari dusun itu yang ditinggalkannya cepat-cepat.
Peristiwa ini bukan hanya menguntungkan dua orang muda yang sudah saling mencinta itu, akan tetapi juga mendatangkan keuntungan besar kepada kepala dusun Sun. Perbuatannya itu mendatangkan perasaan hormat dan suka sekali dalam hati para penduduk dusun itu sehingga dia menjadi seorang kepala dusun yang dihormati, disuka dan ditaati sehingga dia selalu dipilih, menjadi kepala dusun selama hidupnya!
Sie Liong sendiri melanjutkan perjalanan dengan wajah cerah. Mulutnya selalu tersenyum. Girang bukan main rasa hatinya bahwa dia telah berhasil menyambung perjodohan yang putus itu! Dia dapat membayangkan betapa bahagianya sepasang orang muda itu!
Akan tetapi diapun melihat bahwa kesenangan yang dinikmati sepasang orang muda itu tidaklah kekal adanya. Seperti juga keadaan udara, kehidupan manusia tidak selamanya diterangi sinar matahari. Banyak sekali awan hitam berarak di angkasa, sewaktu-waktu dapat mengurangi kecerahan matahari, bahkan menggelapkannya sama sekali. Akan tetapi, itu soal nanti! Yang penting, sekarang mereka berbahagia dan diapun merasa berbahagia karena perbuatannya telah berhasil membahagiakan orang lain!
Dusun Ngomaima biasanya tenteram. Keributan hanya kadang-kadang saja terjadi, itupun kalau dusun itu kedatangan banyak tamu pedagang yang membawa pasukan pengawal masing-masing. Para anggauta pasukan pengawal inilah yang suka membikin ribut. Mereka bermabok-mabokan di dusun itu dan seringkali terjadi pertengkaran diantara para pasukan pengawal. Juga kadang-kadang mereka itu hendak memaksakan kehendak mereka kalau melihat wanita cantik. Akan tetapi, Gumo Cali selalu dapat meredakan keributan yang timbul.
Maka, amatlah aneh rasanya bagi para pendatang ketika selama beberapa pekan, dusun Ngomaima sama sekali berubah keadaannya. Terutama sekali di waktu malam. Dusun itu sunyi sekali, dan hampir semua penghuni tidak berani keluar dari rumah mereka begitu matahari sudah menyelam.
Di sana sini para penghuni pria melakukan penjagaan dan perondaan, dan pekerjaan inipun dilakukan dalam suasana penuh ketakutan. Hal ini amat menarik hati para pendatang dan beberapa orang kepala pasukan pangawal yang merasa diri mereka kuat, bertanya.
Setelah mereka mendapatkan keterangan bahwa dusun itu sejak beberapa pekan telah diganggu oleh munculnya siluman yang pada malam hari menculik gadis-gadis tercantik, mereka lalu bangkit dan mempergunakan pasukan mereka untuk mencoba menangkap siluman. Namun usaha mereka semua gagal, seperti juga usaha Gumo Cali sendiri.
Banyak sudah anak buah Gumo Cali roboh dan menderita luka-luka, juga kini para jagoan dari pasukan pengawal juga banyak yang luka, bahkan ada yang tewas ketika mereka berusaha untuk menangkap “siluman” itu.
Banyak jagoan merasa gentar karena siluman itu kabarnya memiliki kesaktian yang luar biasa, yang tidak mungkin dilawan dengan ilmu silat biasa saja. Maka, setelah banyak jagoan diantara para pengawal mancoba-coba untuk mengadu kepandaian dengan siluman itu dan gagal, bahkan banyak yang roboh terluka, bahkan ada yang tewas, tidak ada lagi yang berani mencoba-coba!
Sudah ada tiga orang gadis cantik yang lenyap tanpa meninggalkan jejak, lenyap begitu saja dari kamar di rumah orang tua mereka! Siluman itu selalu beraksi pada malam hari dan hebatnya, sebelum malam hari dia datang, pada siang harinya dia lebih dahulu memberi tanda cairan merah yang dioleskan pada pintu rumah calon korbannya.
Ketika Gumo Cali sendiri melakukan pemeriksaan, ternyata cairan merah itu adalah darah! Dan malamnya, biarpun sudah dijaga ketat, tetap saja siluman itu datang, merobohkan siapa saja yang mencoba untuk menghalanginya, kemudian menculik gadis yang dipilihnya!
Menurut keterangan mereka yang pernah dirobohkannya, siluman itu datang dan pergi sebagai bayangan saja, tidak kelihatan jelas orangnya kalau memang dia manusia, tidak nampak jelas mukanya, dan bayangannya selalu berwarna merah. Maka, siluman itupun terkenal dengan sebutan siluman merah!
Keadaan dusun Ngomaima menjadi semakin geger ketika pada suatu siang, ada lagi coretan merah pada sebuah daun pintu. Betapa penduduk tidak akan geger kalau coretan itu sekali ini terdapat pada daun pintu rumah Gumo Cali sendiri? Ketua mereka, kepala dusun dan pemimpin mereka, yang ditakuti semua orang, kini hendak diganggu oleh siluman itu!
Dan coretan itu bukan hanya satu, melainkan dua! Ini berarti bahwa yang akan diculik adalah dua orang gadis, dan memang Gumo Cali memiliki dua orang anak perempuan yang cantik manis, berusia empat belas dan enam belas tahun!
Gumo Cali menjadi panik! Usaha penjagaan ketat dengan para jagoan tidak menenteramkan hatinya karena sudah terbukti berulang kali betapa para jagoan itu tidak ada yang mampu menandingi kesaktian siluman itu, maka jalan keduapun diambilnya, jalan dari mereka yang masih tebal kepercayannya akan tahyul, yaitu mengundang seorang dukun!
“Untuk mengusir siluman tidak mungkin dipergunakan kekuatan otot,” demikian katanya kepada isterinya yang terus menerus menangis, juga kedua puterinya yang menangis ketakutan, “akan tetapi harus dengan kekuatan sihir, dan yang akan mampu mengusirnya dan menyelamatkan dua orang anak kita hanyalah seorang dukun.”
Di daerah Ngomaima terdapat seorang dukun yang cukup terkenal. Dia selalu dipanggil kalau ada orang hendak membangun rumah, kalau ada orang mati, bahkan kalau ada yang sakit, diapun diundang untuk mangobati dengan cara yang aneh. Dia juga seorang peranakan Tibet Han, memiliki nama Han yaitu Bong Ciat dan selalu minta disebut Bong Sian-jin, seolah-olah dia adalah seorang manusia dewa!
Bong Sian-jin diundang dan dengan gaya seorang dukun sejati yang penuh dengan ilmu sihir, dukun ini datang dan penampilannya memang mengesankan sekali. Pakaiannyapun aneh, merupakan jubah pendeta yang lebar dan lengannya longgar, akan tetapi kalau jubah pendeta itu biasanya sederhana berwarna polos putih atau kuning, jubah yang dipakai dukun ini kembang-kembang dan berwarna-warni! Juga dia pesolek sekali, karena selain pakaiannya licin dan sepatunya baru, juga rambutnya tersisir licin berminyak, dan hebatnya, kalau orang berada dua tiga meter saja darinya, orang itu akan mencium bau minyak yang sangat wangi!
Usia Bong Sian-jin ini kurang lebih empat puluh tahun, dengan kumis kecil panjang berjuntai ke bawah, bersambung dengan jenggotnya yang juga jarang. Matanya yang amat sipit itu sukar dikatakan melek atau meram, hidungnya besar dan mulutnya kecil selalu tersenyum mengejek.
Di punggungnya terdapat sebatang pedang, tangan kanannya memegang sebuah kebutan berbulu putih dan tangan kirinya memegang sebuah kipas yang dikebut-kebutkan ke arah lehernya ketika dia mamasuki rumah Gumo Cali dengan lenggang dibuat-buat!
Gumo Cali dan isterinya cepat menyambut dengan sikap hormat, dan begitu melihat tuan rumah, tiba-tiba dukun itu berhenti melangkah, hidungnya mengembang-kempis, mendengus dan mencium-cium, matanya yang sipit itu melirik ke kanan kiri, lalu mulutnya mengeluarkan keluhan panjang,
“Hayaaaaaaa....!” dan diapun mengangguk-angguk.
Melihat ini, Gumo Cali cepat memberi hormat dan bertanya,
“Sian-jin, apakah yang engkau ketahui? Katakan kepada kami!”
“Aih, penuh hawa siluman di sini! Harus disingkirkan dulu hawa siluman ini, kalau tidak, akan meracuni semua penghuni rumah!”
Diapun mengeluarkan sebungkus hioswa (dupa biting) dari kantung jubahnya yang lebar, mengeluarkan beberapa batang dupa dan menyalakannya. Asap yang mengeluarkan bau harum segera memenuhi ruangan depan itu. Mulut si dukun berkemak-kemik membaca mantram, kemudian terdengar dia berkata sambil mengacung-acungkan hio itu ke empat penjuru.
“Yang datang dari utara, kembalilah ke utara, yang datang dari timur, kembalilah ke timur, yang datang dari selatan kembalilah ke selatan dan yang datang dari barat kembalilah ke barat. Jangan ganggu rumah ini, melainkan kumpulkan semua kawanmu untuk membantu aku mengusir siluman merah!”
Dia lalu mengeluarkan gerengan-gerengan aneh yang pantasnya hanya keluar dari leher binatang buas. Tentu saja sikap dan perbuatannya yang aneh ini mengesankan sekali dan hati Gumo Cali dan isterinya sudah mulai merasa lega. Tentu dukun sakti ini akan mampu mengusir siluman merah dan menyelamatkan puteri-puteri mereka.
Bagaikan orang yang sedang kemasukan dan bukan kehendaknya sendiri, tanpa permisi lagi Bong Sian-jin memasuki rumah, mengacung-acungkan hio yang masih berasap itu, mengelilingi seluruh ruangan di rumah itu. Kemudian dia bertanya,
“Dimana kamar dua orang gadis itu?”
Diam-diam Gumo Cali menjadi semakin gembira. Kiranya dukun ini sudah tahu bahwa dua orang gadisnya itulah yang diancam oleh siluman merah!
“Disana, Sian-jin, di sudut itu....” jawabnya cepat.
“Bawa aku ke sana, dan suruh dua orang gadismu itu menemuiku, akan kulihat apakah mereka sudah terkena hawa siluman ataukah belum!”
Dengan senang hati ayah dan ibu itu lalu mengajak Bong Sian-jin memasuki sebuah kamar yang cukup besar. Di situ terdapat sebuah pembaringan yang lebar, yaitu pembaringan dari kakak beradik itu.
Mereka yang tadinya bersembunyi di tempat lain, segera dipanggil dan dua orang gadis yang cantik manis itu kini berdiri dengan muka pucat di depan Bong Sian-jin yang memandang kepada mereka dengan mata seperti terpejam! Namun, di balik pelupuk mata yang tertutup itu mengintai sepasang mata yang tajam, sinar mata yang menjelajahi seluruh tubuh kedua orang gadis itu dari kepala sampai ke kaki dan mata itu bersinar gairah!
Tiba-tiba Bong Sian-jin mengeluarkan seruan,
“Uhhhh....!” dan diapun terhuyung ke belakang. “Sungguh celaka....!”
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar