Seorang diantara dua orang gagah itu, yang tinggi besar, setelah memandang tajam kepada Sie Liong, lalu menegur, suaranya keras dan berwibawa, suara yang gagah.
“Apakah engkau orangnya yang tadi menghalangi pemboyongan pengantin wanita oleh pengantin pria?”
Sie Liong menghadapi mereka dengan tenang. Dia belum mendengar akan kejahatan kepala dusun dan pernikahan itu berjalan seperti lajimnya. Kepala dusun sama sekali tidak memaksakan kehendaknya, karena itu dia tahu bahwa dia bukan menghadapi golongan yang jahat. Semua keributan itu timbul hanya karena salah pengertian, karena kelemahan orang tua Sui Lian.
“Benar sekali, akulah yang tadi menghalangi pemboyongan yang tidak tepat itu.”
Dua orang gagah itu mengerutkan alisnya.
“Pemboyongan tidak tepat? Apanya yang tidak tepat? Dengar, sobat yang sombong. Kami berdua adalah tamu dalam pesta itu dan sudah bertahun-tahun kami mengenal kepala dusun sebagai orang yang berwatak baik. Dia merayakan pernikahan puteranya dengan gadis dusun disini, apa salahnya itu?”
“Mungkin dia tidak bersalah, akan tetapi sayang, yang dilamarnya itu adalah seorang gadis yang sudah mempunyai calon suami dan ikatan jodoh itu sudah berjalan sejak keduanya masih kecil. Tiba-tiba saja ikatan jodoh itu dibatalkan karena anak perempuan itu hendak dikawinkan dengan putera kepala daerah! Nah, bukankah hal itu merupakan suatu paksaan yang merugikan pihak calon suami?”
Kembali dua orang itu saling pandang dan kini si brewok yang berkata dengan suara lantang.
“Semua itu merupakan urusan pribadi keluarga pengantin puteri, dan tidak ada sangkut pautnya dengan keluarga kepala dusun. Pinangan sudah diterima dan pernikahan dilangsungkan, siapapun tidak berhak untuk menghalangi!”
“Maaf, akan tetapi aku berpihak kepada keluarga calon suami yang disia-siakan, maka aku yang menghalangi dilanjutkannya pernikahan paksaan ini. Harap ji-wi suka kembali saja dan minta kepada kepala dusun untuk datang kesini agar urusan ini dapat kita bicarakan dengan penuh kebijakan!”
“Hemm, tidak percuma kalau sahabat kami kepala dusun itu memberi kepercayaan kepada kami untuk menghadapi pengacau! Engkau seorang pengacau, maka mari ikut dengan kami menghadap kepala dusun! Kalau engkau menyerah baik-baik, kami tidak ingin menggunakan kekerasan.” kata si tinggi besar.
“Kalau aku tidak mau?”
“Ji-wi taihiap, biar kami keroyok saja dia!” teriak si kumis melintang yang memimpin para pengawal tadi.
Tujuh orang itu agaknya kini berbesar hati karena hadirnya dua orang gagah itu, lupa bahwa tadi mereka sama sekali tidak berdaya menghadapi si bongkok. Akan tetapi, melihat mereka sudah bergerak hendak mengeroyok, dua orang gagah itu mengembangkan dua lengan dan mencegah mereka maju.
“Jangan kalian bergerak. Biarkan kami yang menghadapinya!” kata si tinggi besar dan tujuh orang pengawal itupun mundur kembali.
Tadi mereka hendak maju hanya untuk menebus rasa malu, sesungguhnya mereka jerih maka kini dilarang maju, mereka diam-diam merasa lega.
“Sute, biarkan aku yang mencoba kelihaian orang sombong ini!” kata si tinggi besar yang segera melangkah maju. “Sobat, engkau sungguh tinggi hati, hendak mencampuri urusan pribadi keluarga orang lain. Agaknya engkau hendak mempergunakan kepandaian untuk melakukan kekerasan dan hendak merampas mempelai wanita itu!”
Sie Liong tersenyum.
“Hemm, kalau aku bermaksud demikian, apa perlunya aku berada disini menanti datangnya jagoan-jagoan dari kepala dusun? Tentu sudah kuculik dan kularikan mempelai wanita. Tidak, dugaanmu itu menyeleweng jauh, sobat. Aku hanya ingin membenarkan yang salah, tidak ada pamrih lain.”
“Dan engkau akan mempertahankan pendirianmu itu dengan kekuatan dan ilmu silatmu?”
“Kalau perlu....”
“Bagus! Ingin kulihat sampai dimana kelihaianmu maka engkau sesombong ini!” bentak si tinggi besar itu dan dia membentak nyaring, “Lihat serangan!”
Sikap itu saja membuktikan bahwa dia memang seorang gagah, seorang pendekar yang memberi peringatan sebelum melakukan serangan. Pukulannya amat kuat, mendatangkan angin pukulan yang menyambar dahsyat, juga datangnya cepat sekali.
Melihat serangan ini, tahulah Sie Liong bahwa dia berhadapan dengan lawan yang “berisi”, bukan sekedar tukang pukul yang besar suaranya saja. Maka, diapun dengan hati-hati mengelak ke kiri, lalu dari kiri tangannya menyambar ke kanan depan, membalas dengan totokan ke arah lambung kanan yang terbuka. Namun, lawannya sudah menarik tangan, menekuk lengan dan memutar tubuh ke kanan sambil menangkis keras. Agaknya, si tinggi besar ini hendak mencoba tenaga lawan, maka ketika menangkis totokan itu, dia mengerahkan sin-kang.
“Dukkk!”
Dua lengan bertemu keras sekali dan akibatnya, si tinggi besar mengeluarkan seruan kaget. Dia merasa betapa lengannya nyeri, tulangnya seperti akan patah dan lengan kanan itu lumpuh dalam satu dua detik. Dia cepat meloncat mundur dan memandang lawan dengan sinar mata tajam, maklum bahwa si bongkok ini benar-benar hebat!
Maka diapun lalu menerjang dengan cepat, bagaikan serangan badai, kaki tangannya bergerak cepat dan setiap pukulan dan tamparannya dilakukan dengan pengerahan tenaga. Namun, dengan tenang Sie Liong selalu manghindarkan diri, dengan langkah-langkahnya yang teratur.
“Hyaattttt....!”
Kini lawannya menyerang dengan lebih dahsyat lagi. Setiap pukulan telapak tangannya mengandung tenaga dahsyat yang panas!
Sie Liong maklum bahwa lawannya mempergunakan semacam sin-kang yang hebat, maka diapun segera mengerahkan sin-kangnya dan memainkan ilmu silat Swat-liong-ciang (Silat Naga Salju).
Ketika tangan mereka bertemu dalam benturan dahsyat, orang tinggi besar itu terhuyung ke belakang dan dia terbelalak, tubuhnya menggigil kedinginan! Memang, Swat-liong-ciang itu merupakan ilmu silat ampuh yang mengeluarkan hawa dingin dan ilmu ini diperoleh Sie Liong dari seorang diantara guru-gurunya, yaitu Swat Hwa Cinjin, seorang diantara Himalaya Sam Lojin.
Melihat suhengnya terhuyung dengan tubuh menggigil dan muka pucat, si brewok menerjang dahsyat sambil membentak,
“Lihat seranganku!”
Kedua tangan itu bergerak cepat, merupakan dua cakar yang mencengkeram ke bagian-bagian lemah dari tubuh Sie Liong. Serangannya bertubi-tubi dan ternyata sang sute ini tidak kalah lihainya dibanding sang suheng!
Sie Liong maklum bahwa ilmu silat yang dimainkan itu semacam ilmu yang meniru gerakan harimau, maka dahsyat sekali dan melihat kuatnya sambaran angin pukulan tentu cakar istimewa dari tangan orang itu, walaupun tidak berkuku panjang, tidak kalah berbahayanya dari pada cakar seekor harimau!
Diapun cepat berloncatan mengelak dan kini dia memainkan ilmu silat Pek-in Sin-ciang (Silat Sakti Awan Putih) dan begitu dia mengerahkan tenaga sin-kang, dari telapak kedua tangannya berkepul uap putih dan semua cakaran lawan dapat ditangkisnya dengan tepat. Diapun membalas dengan dorongan-dorongan telapak tangannya dan akhirnya, lawan yang brewok itupun terhuyung-huyung ke belakang, tidak kuat manahan hawa yang amat kuat menyambar dari kedua tangan Sie Liong.
Kini, dua orang gagah itu meloncat mundur dan mereka berdua mencabut pedang dari punggung! Mereka maklum bahwa dengan tangan kosong mereka tidak akan mampu mengalahkan orang bongkok itu, maka mereka mencabut senjata!
“Sobat, ternyata engkau benar amat lihai. Nah, keluarkan senjatamu, mari kita bermain-main sebentar dengan senjata!” tantang si tinggi besar dengan sikap gagah.
Sie Liong menjura kepada mereka.
“Mana aku berani? Aku tidak pernan bermain-main dengan senjata, dan aku tidak akan pernah mau mangangkat senjata untuk melawan pendekar-pendekar dari Kun-lun-pai yang gagah perkasa, karena aku tahu benar bahwa para pendekar Kun-lun-pai selalu membela yang benar dan tidak pernah melakukan kejahatan!”
Dua orang itu terbelalak.
“Engkau.... mengenal kami? Siapakah engkau sebenarnya?” tanya si tinggi besar.
Mereka memang benar murid-murid Kun-lun-pai, yang tinggi besar bernama Ciang Sun, sedangkan sutenya yang brewokan, bernama Kok Han.
“Tentu saja aku mengenal ji-wi, bahkan kurang lebih tujuh delapan tahun yang lalu kita pernah saling berjumpa. Ketika itu, ji-wi berusaha menolong seorang tosu tua yang diseret oleh dua orang pendeta Lama, akan tetapi ji-wi tertotok roboh. Nah, di tempat itulah kita saling berjumpa!”
“Ahh....!” Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu berseru kemudian saling pandang. “Engkau.... engkau bocah bongkok yang terpukul oleh pendekar Lama itu....? Tapi.... tapi kami sangka engkau sudah mati....!”
Sie Liong tersenyum dan menggeleng kepalanya.
“Tidak mati, aku tertolong oleh Himalaya Sam Lojin yang menjadi guru-guruku....”
“Ahhh....! Kiranya saudara adalah murid lima orang kakek sakti itu? Pantas begini lihai! Akan tetapi, mengapa.... eh, tentang urusan pengantin itu....” Dua prang pendekar Kun-lun-pai itu menjadi gugup karena mereka tadi memandang rendah.
“Harap ji-wi tenang-tenang saja. Sungguh, tentu ji-wi percaya bahwa aku tidak akan melakukan perbuatan yang jahat, bukan? Ketahuilah, aku bertemu dengan pemuda yang sejak kecil menjadi tunangan gadis yang kini menjadi pengantin. Sejak kecil bertunangan lalu tiba-tiba dibikin putus dan tunangannya tahu-tahu akan dinikahkan dengan putera kepala dusun! Bukankah hal itu sama sekali tidak adil? Juga pengantin wanita kulihat sendiri tidak mau dijodohkan dengan anak kepala dusun, akan tetapi kedua orang tuanya yang agaknya mata duitan dan mata kedudukan, memaksanya. Itulah sebabnya aku turun tangan....”
“Ah, kalau begitu, lain lagi urusannya!” kata Kok Han. “Sungguh heran, kenapa bisa terjadi demikian? Padahal kepala dusun itu telah lama kami kenal sebagai orang yang baik dan bijaksana.”
“Mungkin dia tidak tahu,” kata Sie Liong. “Dia hanya tahu meminang, diterina dan merayakan pernikahan puteranya. Karena itu, sebaiknya kalau dia diajak berunding, sukur kalau dia mau datang ke tempat ini agar perundingan dapat diadakan bersama orang tua mempelai puteri. Tentu ji-wi sekarang sudah tahu akan duduknya perkara dan suka membantu agar peristiwa ini dapat diselesaikan dengan baik.”
Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu tentu saja menyetujui usul Sie Liong.
“Baik, kami yang akan menjelaskan kepada keluarga Sun, dan kami akan membujuk kepala dusun Sun agar suka datang kesini.”
“Terima kasih, ji-wi memang bijaksana. Aku menunggu disini,” kata Sie Liong.
Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu segera pergi dan mereka merasa bersukur bahwa mereka tidak usah kehilangan muka, tidak sampai dirobohkan oleh Pendekar Bongkok. Mereka kini tahu bahwa kalau lawan tadi menghendaki, mereka tentu saja sudah roboh, bahkan mungkin tewas. Dan mereka kini tidak ragu-ragu lagi akan kebenaran apa yang dilakukan oleh Pendekar Bongkok.
Benar saja seperti dugaan Sie Liong, kepala dusun Sun tak lama kemudian datang ke rumah calon besan itu, ditemani oleh dua orang pendekar Kun-lun-pai. Mereka lalu disambut dan dipersilakan duduk di ruangan dalam dimana mereka mengadakan pembicaraan. Yang hadir hanyalah suami isteri orang tua Sui Lian, kepala dusun Sun, Sie Liong dan juga dua orang pendekar itu, Ciang Sun dan Kok Han.
Dengan jelas Sie Liong lalu menceritakan tentang pemutusan pertalian jodoh antara Sui Lian dan Un Kiong, yang didengarkan oleh kepala dusun Sun dengan alis berkerut. Sie Liong lalu melanjutkan ceritanya.
“Hendaknya jung-cu (lurah) ketahui bahwa pertunangan kedua orang muda itu sudah diketahui oleh seluruh penduduk dusun ini, dilakukan semenjak keduanya masih kanak-kanak. Kalau tiba-tiba pertunangan itu dibikin putus secara sepihak, kemudian gadis itu dinikahkan dengan anakmu, bukankah penduduk akan menganggap bahwa jung-cu sewenang-wenang, mempergunakan kekuasaannya untuk merampas tunangan orang? Kalau jung-cu ingin disuka oleh seluruh penduduk dusun, ingin menjadi seorang kepala dusun yang bijaksana, kiranya tentu tidak ingin merampas tunangan orang dan memaksa gadis itu menikah dengan puteramu.”
Kepala dusun Sun memandang kepada tuan rumah, yaitu ayah dari Sui Lian.
“Akan tetapi, kalau memang Sui Lian sudah mempunyai tunangan, kenapa pinangan kami diterima?”
“Apakah engkau orangnya yang tadi menghalangi pemboyongan pengantin wanita oleh pengantin pria?”
Sie Liong menghadapi mereka dengan tenang. Dia belum mendengar akan kejahatan kepala dusun dan pernikahan itu berjalan seperti lajimnya. Kepala dusun sama sekali tidak memaksakan kehendaknya, karena itu dia tahu bahwa dia bukan menghadapi golongan yang jahat. Semua keributan itu timbul hanya karena salah pengertian, karena kelemahan orang tua Sui Lian.
“Benar sekali, akulah yang tadi menghalangi pemboyongan yang tidak tepat itu.”
Dua orang gagah itu mengerutkan alisnya.
“Pemboyongan tidak tepat? Apanya yang tidak tepat? Dengar, sobat yang sombong. Kami berdua adalah tamu dalam pesta itu dan sudah bertahun-tahun kami mengenal kepala dusun sebagai orang yang berwatak baik. Dia merayakan pernikahan puteranya dengan gadis dusun disini, apa salahnya itu?”
“Mungkin dia tidak bersalah, akan tetapi sayang, yang dilamarnya itu adalah seorang gadis yang sudah mempunyai calon suami dan ikatan jodoh itu sudah berjalan sejak keduanya masih kecil. Tiba-tiba saja ikatan jodoh itu dibatalkan karena anak perempuan itu hendak dikawinkan dengan putera kepala daerah! Nah, bukankah hal itu merupakan suatu paksaan yang merugikan pihak calon suami?”
Kembali dua orang itu saling pandang dan kini si brewok yang berkata dengan suara lantang.
“Semua itu merupakan urusan pribadi keluarga pengantin puteri, dan tidak ada sangkut pautnya dengan keluarga kepala dusun. Pinangan sudah diterima dan pernikahan dilangsungkan, siapapun tidak berhak untuk menghalangi!”
“Maaf, akan tetapi aku berpihak kepada keluarga calon suami yang disia-siakan, maka aku yang menghalangi dilanjutkannya pernikahan paksaan ini. Harap ji-wi suka kembali saja dan minta kepada kepala dusun untuk datang kesini agar urusan ini dapat kita bicarakan dengan penuh kebijakan!”
“Hemm, tidak percuma kalau sahabat kami kepala dusun itu memberi kepercayaan kepada kami untuk menghadapi pengacau! Engkau seorang pengacau, maka mari ikut dengan kami menghadap kepala dusun! Kalau engkau menyerah baik-baik, kami tidak ingin menggunakan kekerasan.” kata si tinggi besar.
“Kalau aku tidak mau?”
“Ji-wi taihiap, biar kami keroyok saja dia!” teriak si kumis melintang yang memimpin para pengawal tadi.
Tujuh orang itu agaknya kini berbesar hati karena hadirnya dua orang gagah itu, lupa bahwa tadi mereka sama sekali tidak berdaya menghadapi si bongkok. Akan tetapi, melihat mereka sudah bergerak hendak mengeroyok, dua orang gagah itu mengembangkan dua lengan dan mencegah mereka maju.
“Jangan kalian bergerak. Biarkan kami yang menghadapinya!” kata si tinggi besar dan tujuh orang pengawal itupun mundur kembali.
Tadi mereka hendak maju hanya untuk menebus rasa malu, sesungguhnya mereka jerih maka kini dilarang maju, mereka diam-diam merasa lega.
“Sute, biarkan aku yang mencoba kelihaian orang sombong ini!” kata si tinggi besar yang segera melangkah maju. “Sobat, engkau sungguh tinggi hati, hendak mencampuri urusan pribadi keluarga orang lain. Agaknya engkau hendak mempergunakan kepandaian untuk melakukan kekerasan dan hendak merampas mempelai wanita itu!”
Sie Liong tersenyum.
“Hemm, kalau aku bermaksud demikian, apa perlunya aku berada disini menanti datangnya jagoan-jagoan dari kepala dusun? Tentu sudah kuculik dan kularikan mempelai wanita. Tidak, dugaanmu itu menyeleweng jauh, sobat. Aku hanya ingin membenarkan yang salah, tidak ada pamrih lain.”
“Dan engkau akan mempertahankan pendirianmu itu dengan kekuatan dan ilmu silatmu?”
“Kalau perlu....”
“Bagus! Ingin kulihat sampai dimana kelihaianmu maka engkau sesombong ini!” bentak si tinggi besar itu dan dia membentak nyaring, “Lihat serangan!”
Sikap itu saja membuktikan bahwa dia memang seorang gagah, seorang pendekar yang memberi peringatan sebelum melakukan serangan. Pukulannya amat kuat, mendatangkan angin pukulan yang menyambar dahsyat, juga datangnya cepat sekali.
Melihat serangan ini, tahulah Sie Liong bahwa dia berhadapan dengan lawan yang “berisi”, bukan sekedar tukang pukul yang besar suaranya saja. Maka, diapun dengan hati-hati mengelak ke kiri, lalu dari kiri tangannya menyambar ke kanan depan, membalas dengan totokan ke arah lambung kanan yang terbuka. Namun, lawannya sudah menarik tangan, menekuk lengan dan memutar tubuh ke kanan sambil menangkis keras. Agaknya, si tinggi besar ini hendak mencoba tenaga lawan, maka ketika menangkis totokan itu, dia mengerahkan sin-kang.
“Dukkk!”
Dua lengan bertemu keras sekali dan akibatnya, si tinggi besar mengeluarkan seruan kaget. Dia merasa betapa lengannya nyeri, tulangnya seperti akan patah dan lengan kanan itu lumpuh dalam satu dua detik. Dia cepat meloncat mundur dan memandang lawan dengan sinar mata tajam, maklum bahwa si bongkok ini benar-benar hebat!
Maka diapun lalu menerjang dengan cepat, bagaikan serangan badai, kaki tangannya bergerak cepat dan setiap pukulan dan tamparannya dilakukan dengan pengerahan tenaga. Namun, dengan tenang Sie Liong selalu manghindarkan diri, dengan langkah-langkahnya yang teratur.
“Hyaattttt....!”
Kini lawannya menyerang dengan lebih dahsyat lagi. Setiap pukulan telapak tangannya mengandung tenaga dahsyat yang panas!
Sie Liong maklum bahwa lawannya mempergunakan semacam sin-kang yang hebat, maka diapun segera mengerahkan sin-kangnya dan memainkan ilmu silat Swat-liong-ciang (Silat Naga Salju).
Ketika tangan mereka bertemu dalam benturan dahsyat, orang tinggi besar itu terhuyung ke belakang dan dia terbelalak, tubuhnya menggigil kedinginan! Memang, Swat-liong-ciang itu merupakan ilmu silat ampuh yang mengeluarkan hawa dingin dan ilmu ini diperoleh Sie Liong dari seorang diantara guru-gurunya, yaitu Swat Hwa Cinjin, seorang diantara Himalaya Sam Lojin.
Melihat suhengnya terhuyung dengan tubuh menggigil dan muka pucat, si brewok menerjang dahsyat sambil membentak,
“Lihat seranganku!”
Kedua tangan itu bergerak cepat, merupakan dua cakar yang mencengkeram ke bagian-bagian lemah dari tubuh Sie Liong. Serangannya bertubi-tubi dan ternyata sang sute ini tidak kalah lihainya dibanding sang suheng!
Sie Liong maklum bahwa ilmu silat yang dimainkan itu semacam ilmu yang meniru gerakan harimau, maka dahsyat sekali dan melihat kuatnya sambaran angin pukulan tentu cakar istimewa dari tangan orang itu, walaupun tidak berkuku panjang, tidak kalah berbahayanya dari pada cakar seekor harimau!
Diapun cepat berloncatan mengelak dan kini dia memainkan ilmu silat Pek-in Sin-ciang (Silat Sakti Awan Putih) dan begitu dia mengerahkan tenaga sin-kang, dari telapak kedua tangannya berkepul uap putih dan semua cakaran lawan dapat ditangkisnya dengan tepat. Diapun membalas dengan dorongan-dorongan telapak tangannya dan akhirnya, lawan yang brewok itupun terhuyung-huyung ke belakang, tidak kuat manahan hawa yang amat kuat menyambar dari kedua tangan Sie Liong.
Kini, dua orang gagah itu meloncat mundur dan mereka berdua mencabut pedang dari punggung! Mereka maklum bahwa dengan tangan kosong mereka tidak akan mampu mengalahkan orang bongkok itu, maka mereka mencabut senjata!
“Sobat, ternyata engkau benar amat lihai. Nah, keluarkan senjatamu, mari kita bermain-main sebentar dengan senjata!” tantang si tinggi besar dengan sikap gagah.
Sie Liong menjura kepada mereka.
“Mana aku berani? Aku tidak pernan bermain-main dengan senjata, dan aku tidak akan pernah mau mangangkat senjata untuk melawan pendekar-pendekar dari Kun-lun-pai yang gagah perkasa, karena aku tahu benar bahwa para pendekar Kun-lun-pai selalu membela yang benar dan tidak pernah melakukan kejahatan!”
Dua orang itu terbelalak.
“Engkau.... mengenal kami? Siapakah engkau sebenarnya?” tanya si tinggi besar.
Mereka memang benar murid-murid Kun-lun-pai, yang tinggi besar bernama Ciang Sun, sedangkan sutenya yang brewokan, bernama Kok Han.
“Tentu saja aku mengenal ji-wi, bahkan kurang lebih tujuh delapan tahun yang lalu kita pernah saling berjumpa. Ketika itu, ji-wi berusaha menolong seorang tosu tua yang diseret oleh dua orang pendeta Lama, akan tetapi ji-wi tertotok roboh. Nah, di tempat itulah kita saling berjumpa!”
“Ahh....!” Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu berseru kemudian saling pandang. “Engkau.... engkau bocah bongkok yang terpukul oleh pendekar Lama itu....? Tapi.... tapi kami sangka engkau sudah mati....!”
Sie Liong tersenyum dan menggeleng kepalanya.
“Tidak mati, aku tertolong oleh Himalaya Sam Lojin yang menjadi guru-guruku....”
“Ahhh....! Kiranya saudara adalah murid lima orang kakek sakti itu? Pantas begini lihai! Akan tetapi, mengapa.... eh, tentang urusan pengantin itu....” Dua prang pendekar Kun-lun-pai itu menjadi gugup karena mereka tadi memandang rendah.
“Harap ji-wi tenang-tenang saja. Sungguh, tentu ji-wi percaya bahwa aku tidak akan melakukan perbuatan yang jahat, bukan? Ketahuilah, aku bertemu dengan pemuda yang sejak kecil menjadi tunangan gadis yang kini menjadi pengantin. Sejak kecil bertunangan lalu tiba-tiba dibikin putus dan tunangannya tahu-tahu akan dinikahkan dengan putera kepala dusun! Bukankah hal itu sama sekali tidak adil? Juga pengantin wanita kulihat sendiri tidak mau dijodohkan dengan anak kepala dusun, akan tetapi kedua orang tuanya yang agaknya mata duitan dan mata kedudukan, memaksanya. Itulah sebabnya aku turun tangan....”
“Ah, kalau begitu, lain lagi urusannya!” kata Kok Han. “Sungguh heran, kenapa bisa terjadi demikian? Padahal kepala dusun itu telah lama kami kenal sebagai orang yang baik dan bijaksana.”
“Mungkin dia tidak tahu,” kata Sie Liong. “Dia hanya tahu meminang, diterina dan merayakan pernikahan puteranya. Karena itu, sebaiknya kalau dia diajak berunding, sukur kalau dia mau datang ke tempat ini agar perundingan dapat diadakan bersama orang tua mempelai puteri. Tentu ji-wi sekarang sudah tahu akan duduknya perkara dan suka membantu agar peristiwa ini dapat diselesaikan dengan baik.”
Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu tentu saja menyetujui usul Sie Liong.
“Baik, kami yang akan menjelaskan kepada keluarga Sun, dan kami akan membujuk kepala dusun Sun agar suka datang kesini.”
“Terima kasih, ji-wi memang bijaksana. Aku menunggu disini,” kata Sie Liong.
Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu segera pergi dan mereka merasa bersukur bahwa mereka tidak usah kehilangan muka, tidak sampai dirobohkan oleh Pendekar Bongkok. Mereka kini tahu bahwa kalau lawan tadi menghendaki, mereka tentu saja sudah roboh, bahkan mungkin tewas. Dan mereka kini tidak ragu-ragu lagi akan kebenaran apa yang dilakukan oleh Pendekar Bongkok.
Benar saja seperti dugaan Sie Liong, kepala dusun Sun tak lama kemudian datang ke rumah calon besan itu, ditemani oleh dua orang pendekar Kun-lun-pai. Mereka lalu disambut dan dipersilakan duduk di ruangan dalam dimana mereka mengadakan pembicaraan. Yang hadir hanyalah suami isteri orang tua Sui Lian, kepala dusun Sun, Sie Liong dan juga dua orang pendekar itu, Ciang Sun dan Kok Han.
Dengan jelas Sie Liong lalu menceritakan tentang pemutusan pertalian jodoh antara Sui Lian dan Un Kiong, yang didengarkan oleh kepala dusun Sun dengan alis berkerut. Sie Liong lalu melanjutkan ceritanya.
“Hendaknya jung-cu (lurah) ketahui bahwa pertunangan kedua orang muda itu sudah diketahui oleh seluruh penduduk dusun ini, dilakukan semenjak keduanya masih kanak-kanak. Kalau tiba-tiba pertunangan itu dibikin putus secara sepihak, kemudian gadis itu dinikahkan dengan anakmu, bukankah penduduk akan menganggap bahwa jung-cu sewenang-wenang, mempergunakan kekuasaannya untuk merampas tunangan orang? Kalau jung-cu ingin disuka oleh seluruh penduduk dusun, ingin menjadi seorang kepala dusun yang bijaksana, kiranya tentu tidak ingin merampas tunangan orang dan memaksa gadis itu menikah dengan puteramu.”
Kepala dusun Sun memandang kepada tuan rumah, yaitu ayah dari Sui Lian.
“Akan tetapi, kalau memang Sui Lian sudah mempunyai tunangan, kenapa pinangan kami diterima?”
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar