Bahkan ada yang berteriak,
“Hidup Pendekar Bongkok!”
Namun sebutan bongkok itu kini nadanya bukan menghina atau mengejek, melainkan memuji. Sie Liong merasa kecewa bahwa dia tidak berhasil menangkap penjahat itu, maka dia mengangkat kedua tangan ke atas dan berkata,
“Harap saudara sekalian pulang ke rumah masing-masing. Ketahuilah bahwa siluman merah itu bukan setan, melainkan seorang manusia yang amat lihai dan ia seorang penjahat wanita. Sayang bahwa aku tidak berhasil menangkapnya dan selama belum tertangkap, bahaya masih selalu ada. Maka harap saudara sekalian suka bekerja sama dan bersatu seperti sekarang ini. Kalau saudara sedusun bersatu melawannya, tentu ia tidak akan dapat mengacau lagi.”
Orang-orang bubaran. Walaupun pendekar itu tidak berhasil menangkap siluman merah, akan tetapi jelas bahwa siluman itu takut kepadanya. Buktinya siluman itu melarikan diri dan sekali ini ia tidak berhasil menculik gadis puteri saudagar Gulamar.
Ada sebuah hal yang sukar dapat mereka percaya. Kalau berita bahwa siluman itu adalah seorang manusia lihai dan jahat, dapat mereka terima. Akan tetapi seorang wanita? Sukar membayangkan seorang wanita selihai itu dan pula apa urusannya wanita menculik gadis-gadis cantik?
Tentu saja Gulamar, isterinya dan puterinya merasa berterima kasih sekali kepada Pendekar Bongkok Sie Liong. Walaupun siluman itu tidak tertangkap, namun gadis itu dapat diselamatkan.
Namun, Sie Liong sama sekali tidak merasa puas. Dia bahkan semakin penasaran. Dia harus dapat membongkar rahasia wanita bertopeng merah itu. Mengapa menculiki gadis-gadis cantik, dan kemana ia membawa gadis-gadis itu? Ia harus dapat menemukan sarangnya, menolong para gadis yang sudah diculik, karena kalau penjahat aneh itu belum dapat dikalahkan, tentu dusun itu masih selalu terancam bahaya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sie Liong sudah keluar dari dusun dan melakukan perjalanan seorang diri menuju ke selatan. Bukit Onta nampak masih menghitam karena sinar matahari pagi itu masih lemah. Dia tahu bahwa ia mencari-cari dalam gelap, hanya menduga bahwa bukit itulah yang sepatutnya menjadi sarang penjahat yang menyamar siluman.
Bukit Onta itu tidak begitu jauh dari dusun Ngomaima, merupakan bukit yang penuh dengan hutan lebat dan menurut keterangan yang diperolehnya, jarang ada pemburu berani memasuki hutan itu yang menurut kabar tahyul merupakan sarang iblis!
Cocok dengan penjahat yang menyamar sebagai siluman. Maka, begitu melihat bukit itu dan mendengar keterangan tentang tempat itu, dia sudah menduga bahwa di situlah tempat siluman itu bersembunyi di waktu siang dan bergerak memasuki dusun di waktu malam.
Dugaan Sie Liong memang tepat sekali. Tidak begitu jauh di lerang bukit itu, dalam sebuah hutan, terdapat bangunan kayu yang masih nampak baru, cukup besar dan bangunan itu tersembunyi diantara pohon-pohon raksasa sehingga tidak akan nampak dari luar hutan. Bangunan itu belum lama didirikan orang-orang secara diam-diam, baru kurang lebih sebulan. Dan semenjak tiga pekan, kadang-kadang terdengar suara isak tangis tertahan disusul hardikan yang menghentikan isak tangis wanita itu dari dalam rumah.
Kiranya hampir setiap malam, siluman merah atau wanita yang memakai pakaian dan topeng merah membawa seorang gadis culikan ke rumah itu dan kini, di rumah itu telah terkumpul sembilan orang gadis-gadis muda dan cantik, diantara mereka terdapat pula dua orang kakak beradik puteri dari Gumo Cali, kepala dusun Ngomaima.
Mereka dikumpulkan dalam sebuah ruangan besar di tengah bangunan itu. Karena mereka selalu dihardik dan diancam kalau menangis maka mereka yang dilanda duka dan ketakutan, hanya terisak kecil saja. Yang lain sudah pasrah, agak besar pula hati mereka melihat banyaknya teman senasib, dan selama mereka ditawan itu, mereka tidak pernah menerima perlakuan buruk, tidak pernah diganggu dan diberi hidangan yang cukup baik. Hanya mereka tidak pernah tahu mengapa mereka diculik dan ditawan di dalam hutan itu.
Pada malam hari tadi, ketika siluman merah gagal menculik puteri saudagar Gulamar karena adanya Pendekar Bongkok, ia langsung saja berlari karena tidak ingin dikejar pendekar yang lihai itu dan biarpun hatinya merasa penasaran sekali karena ia belum merasa kalah dan belum benar-benar mengadu ilmu dengan pemuda bongkok, namun ia tidak berani mengambil resiko melawan pendekar Bongkok yang selain amat lihai, juga dibantu oleh ratusan orang penduduk Ngomaima itu.
Malam itu, ketika ia kembali ke rumah dalam hutan di lereng Bukit Onta dengan tangan kosong, ia disambut teguran tak puas di dalam ruangan di rumah itu. Mereka semua ada lima orang yang duduk mengelilingi sebuah meja.
Seorang kakek yang usianya kurang lebih enam puluh tahun, kepalanya gundul dan wajahnya nampak masih muda, pada jubahnya di bagian dada terdapat sebuah lukisan teratai putih pada dasar hitam. Biarpun dia mengenakan jubah pendeta dan kepalanya dicukur licin, namun sikapnya berbeda dengan para hwesio (pendeta Budha).
Para hwesio bersikap alim dan tenang, sebaliknya kakek ini memiliki sinar mata yang tajam dan liar, wajahnya penuh dengan kelicikan dan mulutnya membayangkan kerakusan dan kekejaman. Namun harus diakui bahwa dia memiliki wajah yang nampak muda dan tampan, tubuhnya tinggi besar dan sikapnya berwibawa.
Di sampingnya duduk pula tiga orang laki-laki yang berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun, semua memakai pakaian ringkas dan di punggung mereka terselip siangto (sepasang golok) yang mengkilap tajam, sikap mereka juga angkuh dan jagoan. Orang ke lima adalah siluman merah sendiri dan kini ia sudah menanggalkan topengnya. Kalau Sie Liong melihatnya, dan juga para penduduk dusun Ngomaima melihatnya, mereka semua tentu akan terkejut dan terheran-heran. Kiranya yang mereka namakan siluman merah itu adalah seorang wanita muda yang cantik jelita dan manis sekali!
Usianya tidak akan lebih dari dua puluh tahun, wajahnya bulat telur dan manis sekali, kulit muka dan lehernya putih mulus. Wanita cantik manis yang amat lihai ini bukan lain adalah Pek Lan!
Seperti kita ketahui, Pek Lan telah berhasil membalas dendamnya terhadap para selir dari Hartawan Coa di kota Ye-ceng dan membawa pula banyak harta milik hartawan Coa. Dengan hati amat puas ia meninggalkan kota Ye-ceng dan bermaksud untuk pulang ke tempat tinggal gurunya, yaitu Hek-in Kui-bo yang kini tinggal di tepi telaga Gose sebagai seorang yang kaya raya.
Akan tetapi setibanya di rumah subonya (ibu gurunya), ternyata Hek-in Kui-bo sedang kedatangan seorang tamu yang oleh subonya diperkenalkan kepadanya sebagai Thai-yang Suhu, seorang tokoh Pek-lian-kauw (Perkumpulan Agama Teratai Putih).
“Pek Lan, Thai-yang Suhu ini adalah seorang sahabat baikku dan dia memiliki ilmu silat yang tinggi dan juga ilmu sihir yang hebat. Thai-yang Suhu, inilah muridku yang kuceritakan kepadamu tadi, namanya Pek Lan.”
Sepasang mata pria berjubah pendeta dan berkepala gundul yang ditutup sebuah topi hwesio itu menjelajahi wajah dan tubuh Pek Lan dengan penuh perhatian, lalu dia mengangguk-angguk.
“Kui-bo, muridmu ini sungguh hebat, cantik manis dan juga lincah. Tidak tahu entah sampai di mana engkau menggemblengnya.”
“Hemm, ia sudah hampir mewarisi seluruh kepandaianku. Engkau cobalah ia, Thai-yang. Pek Lan, jangan sungkan-sungkan, perlihatkan kepandaianmu kepada pamanmu Thai-yang Suhu!”
Wajah dan sikap pria berjubah pendeta itu sudah menarik perhatian Pek Lan, maka mendengar kata-kata subonya, iapun lalu meloncat ke tengah ruangan dan memberi hormat ke arah Thai-yang Suhu.
“Paman, silakan!”
Thai-yang Suhu tertawa bergelak dan ternyata giginya masih berderet rapi.
“Bagus, engkau seorang keponakanku yang mengagumkan.” katanya sambil bangkit pula berdiri, lalu menghampiri Pek Lan. “Pek Lan, aku ingin menguji kepandaianmu, ingin pinceng (aku) melihat apakah benar engkau cukup berharga untuk mewakili subo-mu membantu pekerjaan kami yang besar. Awas serangan!”
Pendeta Pek-lian-kauw itu sudah menyerang, pukulannya mengandung tenaga sin-kang besar dan juga gerakannya cepat sekali. Namun, tidak terlalu cepat bagi Pek Lan yang dengan mudah sudah mengelak ke samping sehingga pukulan itu mengenai tempat kosong.
Thai-yang Suhu menyusulkan serangan yang lebih hebat, dengan tamparan tangan kiri ke arah pelipis kanan gadis itu. Tamparannya mendatangkan angin pukulan yang dahsyat dan serangan ini diikuti pula oleh cengkeraman tangan kanan ke arah dada Pek Lan. Sungguh merupakan serangan yang berbahaya. Namun, dengan tenang saja Pek Lan meloncat ke belakang, kemudian iapun membalas dengan serangan bertubi. Ia mengerahkan tenaga sin-kang yang dipelajarinya dari Hek-in Kui-bo dan dari kedua telapak tangannya mengepul uap hitam!
“Bagus, ia sudah pandai Hek-in Tok-ciang (Tangan Beracun Awan Hitam), ha-ha!”
Kata Thai-yang Suhu, akan tetapi biarpun mulutnya tertawa, dia sibuk sekali menghadapi rangkaian serangan yang hebat dari gadis itu sehingga dia harus melindungi dirinya dengan elakan dan tangkisan karena biarpun yang menyerangnya hanya seorang wanita muda, namun serangan dahsyat itu dapat membahayakan dirinya.
Gadis itupun tidak mau memberi hati dan ia menyerang semakin gencar sehingga pendeta itu harus mengakui akan kelihaian Pek Lan. Dia lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan tiba-tiba saja pendeta itu lenyap dari pandang mata Pek Lan, berubah menjadi asap hitam! Selagi ia kebingungan, pinggulnya ada yang mencolek dari belakang.
“Pek Lan, pinceng disini!”
Pek Lan terkejut dan juga mendongkol atas kegenitan sahabat subonya itu, ia membalik dan kakinya mencuat dalam tendangan kilat. Hampir saja Thai-yang Suhu terkena tendangan itu. Untung dia cepat menarik tangannya dan mengelak dan sebelum Pek Lan melanjutkan serangannya, kembali dia berubah menjadi asap hitam dan lenyap.
“Wah, kalau paman menggunakan ilmu siluman begini, aku mengaku kalah!” teriak Pek Lan yang tidak ingin lagi tangan paman yang nakal itu mencolak-colek tubuhnya.
Asap hitam menghilang dan Thai-yang Suhu kelihatan kembali.
“Ha-ha-ha engkau sungguh hebat, Pek Lan, mampu mendesak pinceng. Akan tetapi, lihat baik-baik, pinceng telah menjadi raksasa, apakah engkau masih berani melawan?”
Pek Lan memandang dan ia terbelalak karena melihat pendeta itu kini benar saja telah berubah menjadi tinggi sekali, sehingga ia sendiri hanya setinggi lututnya! Tentu saja ia menjadi gentar dan ia memberi hormat sambil berkata,
“Aku tidak berani....”
That Yang Suhu tertawa dan dia kembali menjadi normal. Terdengar Hek-in Kui-bo terkekeh.
“Thai-yang, engkau seperti anak kecil saja, menakut-nakuti muridku. Nah, Pek Lan, kau lihat, dia pandai sekali ilmu sihir! Dia datang untuk mohon bantuanku, akan tetapi karena aku sudah tua, aku wakilkan padamu.”
Pek Lan mangerutkan alisnya, menyesal mengapa subonya menyanggupi untuk membantu pendeta ini, bahkan sudah mengambil keputusan untuk menyuruh ia mewakilinya. Kalau subonya yang memerintahkan, tentu saja ia tidak dapat menolak lagi.
“Bantuan yang bagaimana, Subo? Apakah yang harus kulakukan?”
“Ha-ha-ha, tidak berat dan tidak sukar, Pek Lan, apalagi untukmu yang memiliki tenaga hebat, kecepatan kilat dan kepandaian setinggi langit! Bahkan pinceng lihat hanya engkaulah yang akan mampu melaksanakan tugas ini sebaiknya. Tugas yang mudah sekali. Kami dari Pek-lian-kauw membutuhkan penambahan pelayan, yaitu gadis-gadis remaja dari dusun-dusun sebanyak lima belas orang. Kita akan memilih dari dusun-dusun dimana ada gadis remaja yang bersih dan cantik, dan engkau bertugas untuk menculik mereka itu seorang demi seorang.”
Pek Lan mengerutkan alisnya. Memang bukan tugas yang sukar, akan tetapi hatinya merasa tidak puas mengapa ia yang ditunjuk untuk membantu pendeta ini.
“Akan tetapi, mengapa mesti aku....?” bantahnya.
“Pek Lan, aku pernah berhutang budi kepada Thai-yang Suhu ini, dan sekarang ada kesempatan bagiku untuk membalasnya. Aku sudah menyanggupinya dan aku sudah menunjuk engkau untuk mewakili aku. Apakah engkau akan mengatakan bahwa engkau tidak sanggup mewakiliku?”
Guru itu mendesak sedemikian rupa, sehingga tidak ada kesempatan bagi Pek Lan untuk mengelak lagi. Akan tetapi, ia teringat akan ilmu aneh dari pendeta itu tadi. Menghadapi ilmu aneh seperti itu, apa artinya ilmu silatnya? Tiba-tiba ia mendapatkan akal.
“Paman Thai-yang Suhu, aku sanggup untuk membantumu sampai berhasil baik, akan tetapi untuk itu ada syaratnya yang kuharap paman akan dapat memenuhinya.”
“Hidup Pendekar Bongkok!”
Namun sebutan bongkok itu kini nadanya bukan menghina atau mengejek, melainkan memuji. Sie Liong merasa kecewa bahwa dia tidak berhasil menangkap penjahat itu, maka dia mengangkat kedua tangan ke atas dan berkata,
“Harap saudara sekalian pulang ke rumah masing-masing. Ketahuilah bahwa siluman merah itu bukan setan, melainkan seorang manusia yang amat lihai dan ia seorang penjahat wanita. Sayang bahwa aku tidak berhasil menangkapnya dan selama belum tertangkap, bahaya masih selalu ada. Maka harap saudara sekalian suka bekerja sama dan bersatu seperti sekarang ini. Kalau saudara sedusun bersatu melawannya, tentu ia tidak akan dapat mengacau lagi.”
Orang-orang bubaran. Walaupun pendekar itu tidak berhasil menangkap siluman merah, akan tetapi jelas bahwa siluman itu takut kepadanya. Buktinya siluman itu melarikan diri dan sekali ini ia tidak berhasil menculik gadis puteri saudagar Gulamar.
Ada sebuah hal yang sukar dapat mereka percaya. Kalau berita bahwa siluman itu adalah seorang manusia lihai dan jahat, dapat mereka terima. Akan tetapi seorang wanita? Sukar membayangkan seorang wanita selihai itu dan pula apa urusannya wanita menculik gadis-gadis cantik?
Tentu saja Gulamar, isterinya dan puterinya merasa berterima kasih sekali kepada Pendekar Bongkok Sie Liong. Walaupun siluman itu tidak tertangkap, namun gadis itu dapat diselamatkan.
Namun, Sie Liong sama sekali tidak merasa puas. Dia bahkan semakin penasaran. Dia harus dapat membongkar rahasia wanita bertopeng merah itu. Mengapa menculiki gadis-gadis cantik, dan kemana ia membawa gadis-gadis itu? Ia harus dapat menemukan sarangnya, menolong para gadis yang sudah diculik, karena kalau penjahat aneh itu belum dapat dikalahkan, tentu dusun itu masih selalu terancam bahaya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sie Liong sudah keluar dari dusun dan melakukan perjalanan seorang diri menuju ke selatan. Bukit Onta nampak masih menghitam karena sinar matahari pagi itu masih lemah. Dia tahu bahwa ia mencari-cari dalam gelap, hanya menduga bahwa bukit itulah yang sepatutnya menjadi sarang penjahat yang menyamar siluman.
Bukit Onta itu tidak begitu jauh dari dusun Ngomaima, merupakan bukit yang penuh dengan hutan lebat dan menurut keterangan yang diperolehnya, jarang ada pemburu berani memasuki hutan itu yang menurut kabar tahyul merupakan sarang iblis!
Cocok dengan penjahat yang menyamar sebagai siluman. Maka, begitu melihat bukit itu dan mendengar keterangan tentang tempat itu, dia sudah menduga bahwa di situlah tempat siluman itu bersembunyi di waktu siang dan bergerak memasuki dusun di waktu malam.
Dugaan Sie Liong memang tepat sekali. Tidak begitu jauh di lerang bukit itu, dalam sebuah hutan, terdapat bangunan kayu yang masih nampak baru, cukup besar dan bangunan itu tersembunyi diantara pohon-pohon raksasa sehingga tidak akan nampak dari luar hutan. Bangunan itu belum lama didirikan orang-orang secara diam-diam, baru kurang lebih sebulan. Dan semenjak tiga pekan, kadang-kadang terdengar suara isak tangis tertahan disusul hardikan yang menghentikan isak tangis wanita itu dari dalam rumah.
Kiranya hampir setiap malam, siluman merah atau wanita yang memakai pakaian dan topeng merah membawa seorang gadis culikan ke rumah itu dan kini, di rumah itu telah terkumpul sembilan orang gadis-gadis muda dan cantik, diantara mereka terdapat pula dua orang kakak beradik puteri dari Gumo Cali, kepala dusun Ngomaima.
Mereka dikumpulkan dalam sebuah ruangan besar di tengah bangunan itu. Karena mereka selalu dihardik dan diancam kalau menangis maka mereka yang dilanda duka dan ketakutan, hanya terisak kecil saja. Yang lain sudah pasrah, agak besar pula hati mereka melihat banyaknya teman senasib, dan selama mereka ditawan itu, mereka tidak pernah menerima perlakuan buruk, tidak pernah diganggu dan diberi hidangan yang cukup baik. Hanya mereka tidak pernah tahu mengapa mereka diculik dan ditawan di dalam hutan itu.
Pada malam hari tadi, ketika siluman merah gagal menculik puteri saudagar Gulamar karena adanya Pendekar Bongkok, ia langsung saja berlari karena tidak ingin dikejar pendekar yang lihai itu dan biarpun hatinya merasa penasaran sekali karena ia belum merasa kalah dan belum benar-benar mengadu ilmu dengan pemuda bongkok, namun ia tidak berani mengambil resiko melawan pendekar Bongkok yang selain amat lihai, juga dibantu oleh ratusan orang penduduk Ngomaima itu.
Malam itu, ketika ia kembali ke rumah dalam hutan di lereng Bukit Onta dengan tangan kosong, ia disambut teguran tak puas di dalam ruangan di rumah itu. Mereka semua ada lima orang yang duduk mengelilingi sebuah meja.
Seorang kakek yang usianya kurang lebih enam puluh tahun, kepalanya gundul dan wajahnya nampak masih muda, pada jubahnya di bagian dada terdapat sebuah lukisan teratai putih pada dasar hitam. Biarpun dia mengenakan jubah pendeta dan kepalanya dicukur licin, namun sikapnya berbeda dengan para hwesio (pendeta Budha).
Para hwesio bersikap alim dan tenang, sebaliknya kakek ini memiliki sinar mata yang tajam dan liar, wajahnya penuh dengan kelicikan dan mulutnya membayangkan kerakusan dan kekejaman. Namun harus diakui bahwa dia memiliki wajah yang nampak muda dan tampan, tubuhnya tinggi besar dan sikapnya berwibawa.
Di sampingnya duduk pula tiga orang laki-laki yang berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun, semua memakai pakaian ringkas dan di punggung mereka terselip siangto (sepasang golok) yang mengkilap tajam, sikap mereka juga angkuh dan jagoan. Orang ke lima adalah siluman merah sendiri dan kini ia sudah menanggalkan topengnya. Kalau Sie Liong melihatnya, dan juga para penduduk dusun Ngomaima melihatnya, mereka semua tentu akan terkejut dan terheran-heran. Kiranya yang mereka namakan siluman merah itu adalah seorang wanita muda yang cantik jelita dan manis sekali!
Usianya tidak akan lebih dari dua puluh tahun, wajahnya bulat telur dan manis sekali, kulit muka dan lehernya putih mulus. Wanita cantik manis yang amat lihai ini bukan lain adalah Pek Lan!
Seperti kita ketahui, Pek Lan telah berhasil membalas dendamnya terhadap para selir dari Hartawan Coa di kota Ye-ceng dan membawa pula banyak harta milik hartawan Coa. Dengan hati amat puas ia meninggalkan kota Ye-ceng dan bermaksud untuk pulang ke tempat tinggal gurunya, yaitu Hek-in Kui-bo yang kini tinggal di tepi telaga Gose sebagai seorang yang kaya raya.
Akan tetapi setibanya di rumah subonya (ibu gurunya), ternyata Hek-in Kui-bo sedang kedatangan seorang tamu yang oleh subonya diperkenalkan kepadanya sebagai Thai-yang Suhu, seorang tokoh Pek-lian-kauw (Perkumpulan Agama Teratai Putih).
“Pek Lan, Thai-yang Suhu ini adalah seorang sahabat baikku dan dia memiliki ilmu silat yang tinggi dan juga ilmu sihir yang hebat. Thai-yang Suhu, inilah muridku yang kuceritakan kepadamu tadi, namanya Pek Lan.”
Sepasang mata pria berjubah pendeta dan berkepala gundul yang ditutup sebuah topi hwesio itu menjelajahi wajah dan tubuh Pek Lan dengan penuh perhatian, lalu dia mengangguk-angguk.
“Kui-bo, muridmu ini sungguh hebat, cantik manis dan juga lincah. Tidak tahu entah sampai di mana engkau menggemblengnya.”
“Hemm, ia sudah hampir mewarisi seluruh kepandaianku. Engkau cobalah ia, Thai-yang. Pek Lan, jangan sungkan-sungkan, perlihatkan kepandaianmu kepada pamanmu Thai-yang Suhu!”
Wajah dan sikap pria berjubah pendeta itu sudah menarik perhatian Pek Lan, maka mendengar kata-kata subonya, iapun lalu meloncat ke tengah ruangan dan memberi hormat ke arah Thai-yang Suhu.
“Paman, silakan!”
Thai-yang Suhu tertawa bergelak dan ternyata giginya masih berderet rapi.
“Bagus, engkau seorang keponakanku yang mengagumkan.” katanya sambil bangkit pula berdiri, lalu menghampiri Pek Lan. “Pek Lan, aku ingin menguji kepandaianmu, ingin pinceng (aku) melihat apakah benar engkau cukup berharga untuk mewakili subo-mu membantu pekerjaan kami yang besar. Awas serangan!”
Pendeta Pek-lian-kauw itu sudah menyerang, pukulannya mengandung tenaga sin-kang besar dan juga gerakannya cepat sekali. Namun, tidak terlalu cepat bagi Pek Lan yang dengan mudah sudah mengelak ke samping sehingga pukulan itu mengenai tempat kosong.
Thai-yang Suhu menyusulkan serangan yang lebih hebat, dengan tamparan tangan kiri ke arah pelipis kanan gadis itu. Tamparannya mendatangkan angin pukulan yang dahsyat dan serangan ini diikuti pula oleh cengkeraman tangan kanan ke arah dada Pek Lan. Sungguh merupakan serangan yang berbahaya. Namun, dengan tenang saja Pek Lan meloncat ke belakang, kemudian iapun membalas dengan serangan bertubi. Ia mengerahkan tenaga sin-kang yang dipelajarinya dari Hek-in Kui-bo dan dari kedua telapak tangannya mengepul uap hitam!
“Bagus, ia sudah pandai Hek-in Tok-ciang (Tangan Beracun Awan Hitam), ha-ha!”
Kata Thai-yang Suhu, akan tetapi biarpun mulutnya tertawa, dia sibuk sekali menghadapi rangkaian serangan yang hebat dari gadis itu sehingga dia harus melindungi dirinya dengan elakan dan tangkisan karena biarpun yang menyerangnya hanya seorang wanita muda, namun serangan dahsyat itu dapat membahayakan dirinya.
Gadis itupun tidak mau memberi hati dan ia menyerang semakin gencar sehingga pendeta itu harus mengakui akan kelihaian Pek Lan. Dia lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan tiba-tiba saja pendeta itu lenyap dari pandang mata Pek Lan, berubah menjadi asap hitam! Selagi ia kebingungan, pinggulnya ada yang mencolek dari belakang.
“Pek Lan, pinceng disini!”
Pek Lan terkejut dan juga mendongkol atas kegenitan sahabat subonya itu, ia membalik dan kakinya mencuat dalam tendangan kilat. Hampir saja Thai-yang Suhu terkena tendangan itu. Untung dia cepat menarik tangannya dan mengelak dan sebelum Pek Lan melanjutkan serangannya, kembali dia berubah menjadi asap hitam dan lenyap.
“Wah, kalau paman menggunakan ilmu siluman begini, aku mengaku kalah!” teriak Pek Lan yang tidak ingin lagi tangan paman yang nakal itu mencolak-colek tubuhnya.
Asap hitam menghilang dan Thai-yang Suhu kelihatan kembali.
“Ha-ha-ha engkau sungguh hebat, Pek Lan, mampu mendesak pinceng. Akan tetapi, lihat baik-baik, pinceng telah menjadi raksasa, apakah engkau masih berani melawan?”
Pek Lan memandang dan ia terbelalak karena melihat pendeta itu kini benar saja telah berubah menjadi tinggi sekali, sehingga ia sendiri hanya setinggi lututnya! Tentu saja ia menjadi gentar dan ia memberi hormat sambil berkata,
“Aku tidak berani....”
That Yang Suhu tertawa dan dia kembali menjadi normal. Terdengar Hek-in Kui-bo terkekeh.
“Thai-yang, engkau seperti anak kecil saja, menakut-nakuti muridku. Nah, Pek Lan, kau lihat, dia pandai sekali ilmu sihir! Dia datang untuk mohon bantuanku, akan tetapi karena aku sudah tua, aku wakilkan padamu.”
Pek Lan mangerutkan alisnya, menyesal mengapa subonya menyanggupi untuk membantu pendeta ini, bahkan sudah mengambil keputusan untuk menyuruh ia mewakilinya. Kalau subonya yang memerintahkan, tentu saja ia tidak dapat menolak lagi.
“Bantuan yang bagaimana, Subo? Apakah yang harus kulakukan?”
“Ha-ha-ha, tidak berat dan tidak sukar, Pek Lan, apalagi untukmu yang memiliki tenaga hebat, kecepatan kilat dan kepandaian setinggi langit! Bahkan pinceng lihat hanya engkaulah yang akan mampu melaksanakan tugas ini sebaiknya. Tugas yang mudah sekali. Kami dari Pek-lian-kauw membutuhkan penambahan pelayan, yaitu gadis-gadis remaja dari dusun-dusun sebanyak lima belas orang. Kita akan memilih dari dusun-dusun dimana ada gadis remaja yang bersih dan cantik, dan engkau bertugas untuk menculik mereka itu seorang demi seorang.”
Pek Lan mengerutkan alisnya. Memang bukan tugas yang sukar, akan tetapi hatinya merasa tidak puas mengapa ia yang ditunjuk untuk membantu pendeta ini.
“Akan tetapi, mengapa mesti aku....?” bantahnya.
“Pek Lan, aku pernah berhutang budi kepada Thai-yang Suhu ini, dan sekarang ada kesempatan bagiku untuk membalasnya. Aku sudah menyanggupinya dan aku sudah menunjuk engkau untuk mewakili aku. Apakah engkau akan mengatakan bahwa engkau tidak sanggup mewakiliku?”
Guru itu mendesak sedemikian rupa, sehingga tidak ada kesempatan bagi Pek Lan untuk mengelak lagi. Akan tetapi, ia teringat akan ilmu aneh dari pendeta itu tadi. Menghadapi ilmu aneh seperti itu, apa artinya ilmu silatnya? Tiba-tiba ia mendapatkan akal.
“Paman Thai-yang Suhu, aku sanggup untuk membantumu sampai berhasil baik, akan tetapi untuk itu ada syaratnya yang kuharap paman akan dapat memenuhinya.”
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar