Ads

Sabtu, 07 Desember 2019

Pendekar Bongkok Jilid 061

Akan tetapi, siluman merah itu agaknya lain lagi. Begitu dukun Bong menyerang, diapun sama sekali tidak mengelak sehingga pedang kayu itu tepat mengenai kepalanya.

“Takkk!”

Pedang itu seperti mengenai kepala dari besi saja, dan hampir terlepas dari tangan dukun Bong yang merasa telapak tangannya panas dan nyeri. Sebelum dia sempat berbuat sesuatu, siluman itu telah menggerakkan tangan kanannya dan pedang kayu itu telah dirampasnya! Dukun Bong terbelalak. Tidak percaya dia bahwa ada siluman yang dapat menahan serangan pedang kayunya itu tanpa terluka sedikitpun!

“Kau.... kau.... bukan siluman....!”

Serunya, akan tetapi pada saat itu, siluman merah telah menusukkan pedang kayu yang dirampasnya, mengenai leher dukun Bong dan leher itupun tembus! Tubuh dukun itu terjengkang dan roboh di atas lantai, berkelojotan dan dari lehernya terdengar suara mengorok.

Siluman merah tidak memperdulikannya lagi, menghampiri pembaringan dan memandang ke arah dua orang gadis yang sudah saling berangkulan dengan tubuh menggigil ketakutan itu.

Dia mengangguk-angguk, tangan kirinya bergerak dua kali menotok ke arah tubuh kakak beradik itu yang seketika menjadi lemas dan tidak mampu bergerak lagi. Digulungnya dua tubuh gadis remaja itu ke dalam selimut dan siluman merah itu memanggul gulungan selimut, melompat keluar dari dalam kamar melalui jendela yang dibukanya dan sebentar saja lenyap. Gerakannya gesit bukan main dan ketika dia melompat keluar kamar, dia seperti seekor burung garuda terbang saja.

Dukun Bong yang ditinggal di kamar itu, berusaha menjerit, akan tetapi yang keluar dari mulutnya hanya suara mengorok yang cukup keras. Suara inilah yang memaksa Gumo Cali dan isterinya datang, diikuti para jagoan. Dia memanggil-manggil dari luar pintu, akan tetapi tidak ada jawaban, baik dari kedua orang anaknya maupun dari dukun Bong, dan yang terdengar dari luar hanyalah suara mengorok aneh itu.

Dengan memberanikan hatinya, Gumo Cali lalu mendobrak pintu. Daun pintu roboh dan mereka berhamburan masuk, hanya untuk menemukan dukun Bong berkelojotan sekarat dalan keadaan hampir telanjang bulat dan lehernya tertembus pedang kayunya sendiri, sedangkan dua orang gadis remaja itu lenyap bersama selimut, dan pakaian mereka masih lengkap nampak tertumpuk di atas tempat tidur. Jadi mereka itu telah lenyap dalam keadaan tanpa pakaian sama sekali, mungkin terbungkus selimut yang lenyap.

Gegerlah seisi rumah. Biarpun merasa ketakutan karena siluman merah telah menggondol kedua orang anaknya sedangkan dukun Bong sendiri sekarat hampir tewas, Gumo Cali mengerahkan seluruh pembantunya untuk mencari kedua orang anaknya. Namun, jejak merekapun tidak dapat ditemukan sehingga keluarga kepala dusun itu menjadi panik, bingung dan berduka.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sie Liong memasuki dusun Ngomaima. Dia merasa heran sekali melihat betapa dusun yang nampaknya maju itu, dengan banyak rumah-rumah yang bangunannya sudah kokoh dan ditembok bahkan jalan rayanya juga sudah baik sekali, di kanan kiri jalan raya, terdapat toko-toko, kedai dan bahkan rumah penginapan, pada pagi hari itu nampak sunyi bukan main.

Hampir tidak nampak ada orang di jalan raya, bahkan rumah-rumah masih ditutup pintu dan jendelanya, dan hanya ada satu dua orang laki-laki yang menjengukkan kepalanya keluar jendela atau pintu, akan tetapi cepat lenyap pula begitu melihat dia.

Apakah yang telah terjadi, pikirnya. Apakah orang-orang dusun ini demikian malasnya sehingga pagi hari itu masih enak-enak tidur? Padahal, sinar matahari telah mengusir kegelapan malam. Dia tidak tahu bahwa seluruh penghuni dusun sudah mendengar belaka akan keributan yang terjadi di rumah kepala dusun Gumo Cali, mendengar betapa dukun Bong terbunuh dan dua orang gadis puteri kepala dusun itu diculik siluman merah!

Tentu saja semua orang menjadi ngeri dan pagi itu, dusun Ngomaima seperti dusun mati. Bahkan ada beberapa kelompok keluarga kaya yang malam tadi sudah mempersiapkan segalanya untuk melarikan diri mengungsi jauh dari dusun yang sedang diamuk siluman merah itu.

Melihat betapa orang-orang yang tadinya memandang kepadanya lalu cepat bersembunyi, Si Pendekar Bongkok tersenyum pahit. Semua pengalaman yang telah dirasakannya membuat dia merasa rendah diri dan sikap penghuni dusun itu dianggapnya bahwa mereka takut melihat keadaan dirinya, melihat tubuhnya yang bongkok.






Namun, hanya sebentar saja perasaan pahit itu, karena dia kini sudah mulai terbiasa dan dia menelan kenyataan itu sebagai suatu kenyataan yang tidak dapat dia merobahnya.

Biarlah, dia termenung, aku sadar akan keburukanku. Jauh lebih baik menyadari kekurangan dan keburukan diri sendiri tanpa keluhan dan sakit hati daripada menganggap diri sendiri yang terbaik dan tanpa cacat.

Keadaan dirinya adalah suatu kenyataan, dan menerima kenyataan hidup, betapapun pahitnya si-aku menilai, merupakan suatu kebijaksanaan kalau dia menyerahkan kembali kepada Tuhan karena, bukankah segala kenyataan itu baru dapat terjadi kalau dikehendaki oleh Tuhan? Dan mengapa Tuhan berkehendak demikian, merupakan rahasia yang takkan terjangkau oleh akal pikiran manusia yang selalu mendasarkan penilaian atas untung-rugi yang diperhitungkannya.

Tanpa dia sengaja, ketika Sie Liong melangkah, kakinya membawanya lewat depan rumah kepala dusun Gumo Cali. Maksud hatinya memang hanya ingin melihat-lihat dusun itu sebelum menentukan apakah dia bermalam di situ ataukah melanjutkan perjalanannya ke selatan, menuju ke pegunungan Nyaingentangla sebelah utara Tibet karena menurut pesan Himalaya Sam Lojin dan juga Pek-sim Sian-su, di pegunungan itu dia akan dapat memulai dengan penyelidikannya tentang para pendeta Lama yang memusuhi para tosu dan pertapa yang telah melarikan diri dari pegunungan Himalaya dan masih terus dikejar-kejar.

Menurut penuturan para gurunya itu, Lima Harimau Tibet berasal dari pegunungan Nyaingentangla dimana mereka mempunyai sebuah kuil dan di situ mereka dahulu bertapa.

Ketika dia tiba di depan rumah kepala dusun Gumo Cali, tiba-tiba saja terdengar teriakan-teriakan orang dan bermunculanlah sedikitnya dua puluh orang yang mengepungnya dan dengan senjata di tangan.

“Siluman! Siluman!”

“Hajar dia!”

“Siluman, kembalikan dua orang nona kami!”

“Kepung dia, jangan sampai lolos!”

Dan dua puluh orang lebih itu serentak menyerangnya dengan senjata mereka! Tentu saja Sie Liong terkejut bukan main. Apalagi setelah dia melihat betapa teriakan-teriakan itu sambung menyambung dan sebentar saja pengepungnya mendekati jumlah seratus orang!

“Heii, tahan dulu!” teriaknya dan dia menggunakan kedua lengannya untuk menangkisi semua serangan yang menimpa dirinya.

Karena diantara mereka itu banyak yang mempergunakan senjata tajam, maka biarpun tubuhnya dilindungi kekebalan sehingga kulitnya tidak sampai terobek, namun tentu saja pakaiannya tidak kebal dan mulailah pakaiannya robek-robek.

“Hei, tahan dulu dan mari kita bicara!” bentaknya lagi.

Akan tetapi ketika semua orang melihat betapa senjata mereka tidak dapat melukai orang bongkok itu, dan hanya pakaiannya saja yang robek-robek mereka menjadi semakin yakin bahwa yang mereka keroyok adalah seorang siluman atau iblis, maka semakin ramailah mereka mengeroyok dengan nekat walaupun senjata mereka membalik dan tangan mereka terasa panas dan nyeri.

Melihat kenyataan bahwa semua orang menjadi semakin marah dan semakin nekat menyerangnya, Sie Liong merasa kewalahan. Kalau dilanjutkan, tentu dia akan telanjang bulat karena pakaiannya tentu akan hancur. Dia tidak mau membalas, karena sekali pandang saja dia maklum bahwa mereka yang mengeroyoknya itu bukanlah penjahat, melainkan penduduk dusun yang sedang marah, dan tentu dia disangka orang yang menyebabkan kemarahan mereka itu.

Tadi dia mendengar mereka memakinya sebagai siluman. Tentu para penghuni dusun ini sedang memusuhi siluman dan dialah yang dikira siluman itu! Sungguh sial, sekali ini dia disangka siluman!

Melihat serangan bertubi-tubi, dia lalu melompat dan tubuhnya melayang ke atas genteng rumah kepala dusun Gumo Cali. Melihat ini, semua orang menahan napas dan memandang dengan wajah membayangkan bermacam perasaan. Ada ngeri, ada takut, akan tetapi ada pula kemarahan yang membuat mereka nekat, apalagi karena yang maju ada ratusan orang sehingga mendatangkan keberanian yang besar.

Gumo Cali mendapat hati ketika melihat siluman itu tidak merobohkan seorang diantara mereka, bahkan seperti hendak melarikan diri. Maka diapun menuding ke atas dan membentak dengas suara garang,

“Siluman jahat, hayo kembalikan dua orang anak gadis kami, kalau tidak, sampai ke manapun kaki orang sedusun akan mengejarmu dan membinanakanmu!”

“Nanti dulu!”

Sie Liong berseru dan nada suaranya marah karena hati siapa tidak menjadi dongkol kalau tanpa hujan tanpa angin tiba-tiba saja dia dituduh sebagai siluman yang menculik dua orang gadis orang!

“Kalian ini enak saja menuduh orang yang bukan-bukan! Siapa bilang aku siluman? Apa buktinya bahwa aku ini siluman yang suka nyolong gadis orang?”

Mendengar ini, Gumo Cali tertegun. Sikap orang di atas itu memang bukan seperti siluman! Dia meragu, akan tetapi orang-orang yang berada di bawah itu masih yakin bahwa mereka berhadapan dengan miluman.

“Engkau tidak seperti manusia biasa! Punggungmu berpunuk!”

“Engkau kebal dan tidak terluka oleh hujan senjata kami!”

“Siluman memang bisa pian-hoa (salin rupa)!”

“Dia berpunuk, tentu siluman onta!”

Wajah Sie Liong menjadi merah karena hatinya dongkol bukan main. Dia disangka siluman onta karena berpunuk. Sialan!

“Heii, kalian ini memang orang-orang tolol dan kejam! Andaikata aku siluman sungguh-sungguh, tentu akan kuhajar kalian yang bermulut lancang ini! Aku ini manusia biasa, dan memang aku cacat berpunuk. Tidak bolehkah orang memiliki cacat berpunuk? Andaikata diantara kalian tidak ada yang cacat berpunuk, tentu ada yang memiliki cacat lain, apakah yang pincang, yang buntung, yang buta, yang tuli, mereka itu juga dianggap siluman? Aku manusia biasa dan kalau aku tidak terluka oleh senjata kalian, sungguh untung bahwa aku memiliki sedikit kepandaian, kalau tidak, tentu tubuhku ini sudah menjadi bakso dan yang lebih hebat lagi, kalian menjadi manusia-manusia binatang yang kejam, mengeroyok dan membunuh orang yang tidak bersalah, dan kalian akan dikutuk sampai tujuh turunan!”

Sie Liong bukan orang yang pandai bicara, sekarang ini karena terdorong rasa dongkol, maka dapat juga dia bicara agak panjang.

Melihat sikap dan mendengar ucapan ini, terkejutlah Gumo Cali. Dia sendiri sedikit banyak sudah tahu bahwa di dunia ini terdapat banyak orang yang sakti dan berilmu tinggi, yang memiliki bentuk badan aneh-aneh, dan watak yang aneh-aneh pula.

Timbullah harapannya bahwa mungkin orang muda berpunuk ini adalah seorang pendekar yang melakukan perantauan dan siapa tahu pendekar ini akan dapat menolongnya dan menyelamatkan dua orang anaknya. Oleh karena itu, diapun segera berteriak memberi isarat kepada semua orang untuk tenang.

Setelah semua orang tidak mengeluarkan suara, diapun menghadap ke arah pemuda berpunuk yang masih berdiri di atas genteng itu, lalu memberi hormat dan berkata, suaranya nyaring.

“Kalau memang engkau seorang manusia dan seorang pendekar, harap suka maafkan kami yang sedang panik oleh adanya siluman yang mengacau dusun kami. Akan tetapi, bagaimana kami akan dapat percaya bahwa taihiap bukan siluman? Hanya kalau taihiap sudi membantu kami menangkap siluman atau setidaknya menyelamatkan dua orang gadis kami yang diculik olehnya, kami percaya bahwa taihiap seorang pendekar, bukan siluman!”

“Semua sudah ada enam orang gadis yang diculik!” teriak seseorang yang juga merasa kehilangan seorang anak gadisnya yang lebih dulu diculik siluman.

Biarpun kemarahannya mereda, namun hati Sie Liong masih mendongkol.
“Hemm, kalian tidak berhak untuk menekan aku agar suka menolong kalian. Kalau memang ada kejahatan terjadi disini, tanpa dimintapun aku akan turun tangan menentang kejahatan! Sepatutnya kalian menerima aku sebagai seorang tamu atau sahabat dan kita dapat berunding tentang kejahatan yang terjadi, bukan membabi-buta mengeroyok seorang pendatang yang sama sekali tidak berdosa!”




Pendekar Bongkok Jilid 060
Pendekar Bongkok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar