Ads

Sabtu, 07 Desember 2019

Pendekar Bongkok Jilid 062

Mendengar ini, Gumo Cali merasa menyesal sekali, akan tetapi juga girang dan menemukan harapan baru. Maka, demi kedua orang anaknya, tanpa ragu-ragu lagi diapun berlutut menghadap ke arah pemuda berpunuk itu.

“Taihiap, maafkan kami. Aku Gumo Cali sebagai kepala dusun mewakili seluruh penghuni mohon maaf kepadamu.”

Lenyaplah sama sekali kemarahan dari hati Sie Liong. Memang dia bukan seorang pemarah. Dia melayang turun bagaikan seekor naga, dipandang oleh semua orang yang menjadi kagum sekali. Dia turun ke depan kepala dusun itu dan sedikitpun kakinya tidak mengeluarkan suara ketika tiba di atas tanah, dan dengan ramah Sie Liong lalu mengangkat bangun kepala dusun itu.

“Namaku Sie Liong dan aku seorang perantau yang kebetulan lewat disini. Tadi aku sudah merasa heran sekali ketika memasuki dusun ini yang cukup besar, akan tetapi mengapa begini sepi. Tidak tahunya ada penjahat yang membikin kacau di dusun ini?”

“Bukan penjahat, taihiap, melainkan.... siluman.... siluman merah!” kata kepala dusun itu dan ketika dia bicara, dia memandang ke kanan kiri kelihatan takut sekali.

“Eh? Siluman?” Sie Liong mengerutkan alisnya. “Dan tentang gadis-gadis tadi? Apakah siluman itu menculik gadis?”

“Taihiap, marilah bicara di dalam. Dan kami perlu mengganti pakaian taihiap yang robek-robek itu.” Gumo Cali mempersilakan Sie Liong masuk ke dalam rumahnya.

Sie Liong mengangguk dan kepala dusun menyuruh semua orang bubaran dan pulang ke rumah masing-masing. Ketika tiba di ruangan depan, Sie Liong merasa heran melihat sebuah peti mati yang depannya masih dipasangi lilin dan alat sembahyang.

“Siapa yang mati?” tanyanya, tidak lupa untuk memberi hormat ke arah peti mati sebagaimana patutnya.

“Itu adalah Bong Sian-jin yang tewas semalam....” kata Gumo Cali dengan suara berbisik, kelihatan ketakutan.

Mendengar nama “Sian-jin”, Sie Liong menjadi agak terkejut juga.
“Siapakah dia dan mengapa tewas disini? Apakah keluargamu?”

“Bukan, dia adalah dukun yang kami undang untuk mengusir siluman dan melindungi dua orang gadis kami, akan tetapi, dia malah terbunuh oleh siluman dan dua orang gadis kami tetap saja diculik....”

Tuan rumah lalu mengajak Sie Liong duduk di ruangan dalam. Setelah berganti pakaian, bukan pemberian tuan tumah, melainkan pakaiannya sendiri yang diambilnya dari buntalan yang dibawa dan diikat di punggungnya, Sie Liong lalu mendengarkan keterangan Gumo Cali tentang segala hal yang telah terjadi semalam.

Isteri tuan rumah ikut mendengarkan sambil menangis. Setelah selesai menceritakan hilangnya dua orang puteri mereka dan tewasnya Bong Sian-jin, suami isteri itu lalu berlutut di depan Sie Liong.

“Taihiap, kasihanilah kami, kasihanilah dua orang puteri kami. Mereka itu masih kanak-kanak, baru berusia empat belas dan enam belas tahun, dapatkanlah kembali mereka, taihiap....”

Suami isteri itu tidak malu-malu menangngis di depan Sie Liong. Pemuda ini mengangkat bangun mereka.

“Harap paman dan bibi suka bersikap tenang. Aku yakin bahwa kejahatan ini bukan perbuatan siluman, melainkan manusia biasa yang menyamar sebagai siluman. Aku mendengar tadi bahwa penjahat itu telah menculik banyak gadis, bukan puteri-puteri paman saja. Benarkah?”

“Memang demikianlah. Sudah kurang lebih dua tiga pekan ini.... siluman.... eh, penjahat itu menculik gadis-gadis cantik. Kabarnya malah dari dusun lain juga ada yang hilang, dan dari dusun sini saja ada enam orang gadis yang sudah diculik.”

“Dan semua juga terjadi seperti yang terjadi disini semalam? Sebelum menculik pada malam hari, pada siang harinya dia memberi tanda dengan olesan darah kepada daun pintu rumah yang ada gadis calon korban?”






Gumo Cali mengangguk.
“Begitulah. Karena siangnya sudah diberi tanda, malamnya kami selalu mengadakan persiapan dan penjagaan. Bahkan beberapa orang jagoan dari para pasukan pengawal barang yang membantu kami, jatuh menjadi korban, terluka dan ada pula yang tewas. Iblis itu amat jahat dan lihai, bukan tandingan manusia. Karena itulah kami mengundang Bong Sian-jin untuk melawannya dengan ilmu sihir. Akan tetapi, ternyata Bong Sian-jin malah tewas dan kedua orang anak kami diculiknya.”

“Hemm, kurasa dia itu bukan iblis bukan siluman, melainkan seorang manusia jahat yang sombong. Aku akan melakukan penyelidikan dan mudah-mudahan saja kesombongannya terulang kembali dan dia akan memberi tanda kepada sebuah rumah yang akan didatanginya, sehingga aku akan siap menghadapinya.”

Sie Liong lalu melakukan penyelidikan ke dalam kamar dua orang gadis puteri kepala dusun. Melihat ember air kembang dan pakaian dua orang gadis itu, dia mengerutkan alisnya dan diam-diam dia merasa curiga kepada dukun Bong. Apalagi ketika mendengar dari Gumo Cali bahwa dukun Bong hendak “membersihkan” hawa siluman dengan memandikan dua orang gadis itu, dalam kamar tanpa disaksikan siapapun, kecurigaannya bertambah.

Dia menduga bahwa dukun Bong tentulah seorang dukun cabul yang mempergunakan kesempatan itu untuk mencabuli dua orang gadis remaja yang cantik. Akan tetapi karena dukun itu sudah berada dalam peti mati tanpa nyawa lagi, diapun tidak dapat menyelidikinya, hanya menduga-duga bagaimana macamnya penjahat tukang menculik gadis yang membunuh dukun cabul itu.

Menurut keterangan kepala dusun, dukun itu dibunuh dengan pedang kayunya sendiri. Kalau penjahat itu mampu menusuk leher dukun Bong dengan pedang kayu sehingga tembus, dapat diketahui bahwa tentu penjahat itu memiliki tenaga sin-kang yang cukup kuat.

Dari dalam kamar, dia membuka jendela dan melompat ke luar, terus melompat ke atas. Gumo Cali memandang dengan penuh kagum dan dia makin girang, makin besar harapannya bahwa pemuda bongkok inilah yang agaknya akan mampu menolong dua orang anaknya.

Sie Liong melakukan penyelidikan ke atas genteng. Ada beberapa buah genteng pecah terinjak. Agaknya ketika penjahat itu memanggul dua orang gadis, maka berat tubuhnya bertambah dan karenanya maka genteng itu pecah terinjak. Dan dari pecahan genteng-genteng itu dia dapat menduga bahwa si penjahat tentu lari menuju ke selatan.

Dari atas genteng itu, dia memandang ke selatan dan nampaklah sebuah bukit kehitaman menjulang tinggi, sebagian tersinar cahaya matahari, namun tetap nampak menghitam tanda bahwa di situ terdapat hutan yang lebat.

“Bukit di selatan itu, bukit apakah?” tanyanya sambil lalu setelah dia melompat turun kembali.

“Bukit yang mana? Ada banyak bukit di selatan....”

“Yang nampak hitam, penuh hutan.”

“Ah, itu bukit Onta namanya. Di bagian tengah ada....”

Kepala dusun tidak melanjutkan kata-katanya dan memandang ke arah punuk di punggung Sie Liong.

“Ada punuknya maksudmu? Hemm, bukit Onta....”

“Ada apakah di sana, taihiap?”

Gumo Cali tidak berani menyebut onta, takut menyinggung hati pendekar bongkok itu yang tadi dimaki siluman onta oleh seorang penduduk dusun.

“Tidak ada apa-apa. Kita tunggu saja sampai ada tanda dari penjahat itu. Sekarang aku akan mencari kamar di rumah penginapan.”

“Taihiap, bermalamlah saja disini. Kamar anak-anak.... bekas kamar merekapun kosong, boleh untuk sementara taihiap tempati....”

Sie Liong maklum bahwa tuan rumah masih panik dan ketakutan, dan dia hendak ditahan untuk meredakan rasa takut mereka. Dia merasa tidak leluasa kalau bermalam di situ, maka dia menggeleng kepala.

“Tidak, sebaiknya kehadiranku tidak terlalu monyolok. Biar aku di rumah penginapan saja,”

“Tunggulah, taihiap. Biar aku menyuruh seseorang untuk memesan kamar terbaik untuk taihiap, sementara itu, mari terimalah hidangan yang kami berikan untuk taihiap, sebagai sarapan pagi.”

Sie Liong merana tidak enak untuk menolak. Mereka lalu bersama-sama makan pagi, dan setelah selesai makan pagi, Sie Liong diantar oleh kepala dusun sendiri pergi ke rumah penginapan dimana telah disediakan kamar terbaik untuknya. Belum juga tengah hari, kepala dusun sudah torgopoh-gopoh datang dan mengetuk daun pintu kamarnya. Sie Liong sedang beristirahat dan dibukanya daun pintu. Dia heran melihat kepala dusun nampak gugup dan mukanya pucat.

“Taihiap.... taihiap.... dia.... dia datang....”

“Datang? Kemana maksudmu, paman?”

“Dia.... memberi tanda darah pada pintu rumah Gulamar, saudagar kaya yang memiliki seorang gadis yang cantik. Sebentar malam....”

“Bagus dan tenanglah, paman. Penjahat itu memang sombong bukan main. Mari kau tunjukkan kepadaku di mana rumah yang mendapat tanda ancaman itu.”

Keluarga Gulamar menyambut kedatangan kepala dusun itu dengan hati cemas dan putus asa. Tidak ada jagoan yang berani menjaga keselamatan puterinya, biar dia berani membayar berapa banyakpun dan biar dia sudah mendengar akan pendekar muda yang bongkok, yang katanya amat lihai dan sanggup melawan siluman merah, namun dia masih ragu-ragu dan bahkan sudah mempersiapkan rombongan onta dan kuda untuk melarikan anaknya mengungsi ke tempat lain. Ketika mendengar keterangan bahwa hartawan itu hendak membawa puterinya pergi mengungsi, Sie Liong menyatakan ketidak-setujuannya.

“Cara itu tidak menjamin keselamatan bahkan berbahaya sekali, paman,” katanya. “Penjahat itu akan lebih mudah menculik puterimu dalam perjalanan mengungsi itu.”

“Tapi dia.... dia siluman, hanya keluar di waktu malam.... kami akan melarikan puteri kami siang ini juga.”

Sie Liong menggeleng kepalanya.
“Bukan, dia bukan siluman, melainkan manusia biasa yang amat jahat. Kalau malam ini dia datang untuk menculik puterimu, aku yang akan menghadapinya.”

Gulamar nampak ragu-ragu dan bingung. Dia memandang kepada kepala dusun Gumo Cali.

“Bagaimana baiknya.... kami khawatir sekali, kalau tidak dilarikan, nanti anakku....”

“Tenangkan hatimu, saudagar Gulamar. Taihiap ini adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan dia sudah berjanji sanggup menalukkan siluman itu. Sebaiknya kalau engkau menurut nasihatnya. Taihiap, bagaimana sebaiknya diatur untuk menghadapi penjahat siluman itu kalau malam nanti dia datang?”

Sie Liong lalu mengadakan perundingan dengan tuan rumah, disaksikan oleh kepala dusun.

“Sembunyikan gadis itu di dalam kamar lain yang dekat dengan kamarnya sendiri agar aku dapat selalu mengamatinya, dan aku sendiri akan tinggal di dalam kamar puterimu menanti munculnya penjahat itu.”

“Taihiap, apakah engkau membutuhkan bantuan?”

Sie Liong mengangguk.
“Mereka yang pagi tadi mengepungku, mereka adalah penduduk yang marah kepada siluman dan mereka penuh keberanian walaupun mungkin tidak memiliki kepandaian. Biarlah mereka itu yang membantuku, mengadakan pengepungan pada rumah ini, akan tetapi bersembunyi dan jangan ada yang keluar sebelum penjahat itu datang dan aku berusaha menangkapnya. Kalau sudah terdengar ribut-ribut atau melihat aku berkelahi melawan penjahat itu, baru mereka boleh keluar dan masing-masing membawa obor untuk menerangi tempat ini.”

Kepala dusun Gumo Cali menyanggupi dan diapun segera pergi melakukan persiapan dan memberitahu kepada penduduk bahwa malam itu, Pendekar Bongkok akan menangkap siluman merah, dan diharap agar penduduk suka membantunya.

Para penduduk yang berhati tabah dan sudah lama merasa penasaran dan marah kepada siluman merah yang mengganggu keamanan di dusun mereka, segera menyambut ajakan ini dengan penuh semangat. Mereka tadi sudah melihat sendiri kelihaian Pendekar Bongkok yang kebal dan dapat “terbang” ke atas genteng.




Pendekar Bongkok Jilid 061
Pendekar Bongkok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar