Ceng Liong menggeleng kepala.
“Harap locianpwe tidak salah mengerti. Saya tidak bermaksud ikut pibu memperebutkan kedudukan, bahkan saya menentangnya. Bukan berarti saya hendak menentang pribadi locianpwe pribadi, melainkan yang saya tentang adalah cara yang buruk dan hanya yang membuat perpecahan di antara kita itulah.”
“Hemm, orang muda, omonganmu berliku-liku akan tetapi yang jelas, engkau hendak menentang aku! Kalau aku melanjutkan pemilihan pibu ini, apakah engkau berani menentangku?”
“Demi mencegah terjadinya perpecahan, siapapun juga akan saya tentang kalau memaksakan diadakannya pibu,” jawab Ceng Liong tenang.
“Keparat! Engkau berani menentang aku? Orang muda, sebelum engkau kuhajar, katakan dulu siapa namamu?”
“Nama saya Suma Ceng Liong.”
“Suma? Engkau she Suma? Hemm, apakah ada hubungannya dengan keluarga Suma Han Pendekar Super Sakti Pulau Es?” tanya kakek Pat-kwa-pai itu terkejut.
“Saya adalah cucunya,” jawab Ceng Liong singkat, terpaksa tidak dapat merahasiakan lagi keadaan keluarganya.
Pengakuan Ceng Liong itu membuat suasana menjadi semakin tegang karena siapakah yang tidak pernah mendengar tentang keluarga para pendekar Pulau Es? Kini pandang mata mereka terhadap Ceng Liong makin penuh perhatian dan semua orang ingin menyaksikan bagaimana sepak terjang seorang cucu dari Pendekar Super Sakti.
“Ha-ha-ha!” tiba-tiba terdengar suara ketawa lembut disusul suara Ci Hong Tosu, tokoh Pek-lian-pai yang tinggi kurus itu. “Cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, ya? Bagus, siapa tidak tahu bahwa keluarga Pendekar Super Sakti, keluarga Pulau Es adalah keluarga pendukung kaisar, pendukung pemerintah penjajah Mancu? Siapa tidak tahu bahwa isteri Pendekar Super Sakti adalah Puteri Mancu? Ingat nama Puteri Nirahai, isterinya yang menjadi panglima Mancu, dan Puteri Milana, puterinya yang juga menjadi panglima Mancu. Dan sekarang cucunya berada di sini, siapa tahu dia malah menjadi mata-mata Kerajaan Mancu!”
Tentu saja semua orang menjadi tegang mendengar kata-kata ini dan muka Ceng Liong menjadi merah. Dia mengerti bahwa Pek-lian-kauw dengan perkumpulannya, Pek-lian-pai memang sejak dahulu merasa tidak suka kepada keluarga kakeknya, karena memang banyak di antara pimpinan Pek-lian-kauw yang menyeleweng dan pernah dihajar oleh keluarga kakeknya itu.
“Totiang, harap jangan sembarangan membuka mulut menyebar fitnah!” bentaknya.
Akan tetapi Giam San-jin sudah mendapat angin dengan ucapan tokoh Pek-lian-pai tadi. Dia sudah menyambar tongkatnya yang dipegang oleh seorang muridnya, sebuah tongkat baja yang kecil panjang dan kedua ujungnya meruncing. Dia memutar tongkatnya dan berteriak,
“Mata-mata Mancu atau bukan, engkau berani menentang kami dan berarti engkau harus menandingi aku dalam ilmu silat! Orang muda, keluarkan senjatamu, mari kita main-main sebentar!”
Ceng Liong tersenyum pahit. Tak disangkanya bahwa dalam pertemuan antara para pendekar dan patriot itu dia akan bertemu dengan orang-orang macam ini dan mengalami hal sepahit ini. Akan tetapi diapun kini maklum bahwa selama ada orang-orang seperti ini mencampuri perjuangan para patriot, maka perjuangan itu yang tadinya bertujuan mulia untuk membebaskan negara dari tangan penjajah asing, akan diselewengkan menjadi tujuan orang-orang yang berambisi mencari kedudukan dan kemuliaan bagi diri sendiri maupun gerombolannya. Maka, diapun harus memberantasnya!
“Giam San-jin, akupun sudah banyak mendengar bahwa Pat-kwa-pai, apalagi Pek-lian-pai, hanya namanya saja perkumpulan pendekar dan patriot, akan tetapi sesungguhnya banyak hal-hal jahat dan sewenang-wenang telah kalian lakukan. Kalau engkau memaksa perkelahian, baiklah, aku tidak pernah menggunakan senjata. Majulah, bukan pribadimu yang kulawan, melainkan sikap perpecahan yang buruk itu yang kutentang!”
“Bocah sombong! Engkau yang mencari mati sendiri!” bentak Giam San-jin yang menjadi semakin marah karena dia merasa dipandang rendah oleh pemuda itu.
Seorang pemuda remaja berani menantangnya dan kini menghadapinya dengan tangan kosong, padahal dia telah mempergunakan senjatanya yang paling ampuh dan ditakuti, yaitu tongkatnya yang jarang menemui tandingan!
Kini dia menerjang maju, tongkatnya diputar sedemikian rupa sehingga nampaklah gulungan sinar yang mengandung banyak sekali ujung tongkat runcing yang mengeluarkan suara berdengung-dengung dan tiba-tiba saja ujung tongkat itu mencuat dan menyerang ke arah jalan darah di tubuh Ceng Liong secara bertubi-tubi! Serangan itu hebat sekali karena makin dielakkan, makin meningkat bahaya serangannya, makin gencar dan makin kuat!
Akan tetapi sekali ini, tokoh Pat-kwa-pai itu menghadapi Suma Ceng Liong. Biarpun masih muda, akan tetapi Suma Ceng Liong telah mewarisi ilmu-ilmu Pulau Es dan di samping itu dia juga sudah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari Hek-i Mo-ong. Oleh karena itu, menghadapi hujan serangan tongkat yang bergerak dengan amat cepatnya itu dia bersikap tenang saja.
Tubuhnya mengelak berloncatan ke sana-sini dan kadang-kadang kalau dia tidak dapat mengelak lagi, dia hanya menggerakkan tangannya dan jari-jari tangan itu menyentil ke arah ujung tongkat yang menotok. Setiap kali ujung tongkat bertemu dengan jari tangannya, terdengar suara berdencing dan ujung tongkat itupun terpental seperti ditangkis oleh benda yang keras dan kuat sekali! Sampai habis jurus itu dimainkan Giam San-jin, tidak satu kalipun totokan-totokannya menemui sasaran!
Tentu saja hal ini membuat kakek itu menjadi semakin penasaran. Tadinya dia sengaja mengeluarkan jurus simpanan ketika menyerang untuk pertama kalinya. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan keluarga pendekar Pulau Es, maka begitu menyerang dia mengeluarkan jurus simpanannya.
Akan tetapi ternyata bahwa jurus yang ampuh itu dapat disambut dan dihindarkan oleh pemuda itu tanpa banyak kesulitan! Padahal, ilmu serangannya tadi adalah jurus dari Pat-kwa-pai yang ampuh, yang gerakannya didasari perhitungan pat-kwa dan memenuhi delapan penjuru, menutup semua kemungkinan jalan keluar. Namun, lawannya dapat menyelamatkan diri dengan baiknya, seolah-olah sudah tahu akan rahasia pat-kwa.
“Harap locianpwe tidak salah mengerti. Saya tidak bermaksud ikut pibu memperebutkan kedudukan, bahkan saya menentangnya. Bukan berarti saya hendak menentang pribadi locianpwe pribadi, melainkan yang saya tentang adalah cara yang buruk dan hanya yang membuat perpecahan di antara kita itulah.”
“Hemm, orang muda, omonganmu berliku-liku akan tetapi yang jelas, engkau hendak menentang aku! Kalau aku melanjutkan pemilihan pibu ini, apakah engkau berani menentangku?”
“Demi mencegah terjadinya perpecahan, siapapun juga akan saya tentang kalau memaksakan diadakannya pibu,” jawab Ceng Liong tenang.
“Keparat! Engkau berani menentang aku? Orang muda, sebelum engkau kuhajar, katakan dulu siapa namamu?”
“Nama saya Suma Ceng Liong.”
“Suma? Engkau she Suma? Hemm, apakah ada hubungannya dengan keluarga Suma Han Pendekar Super Sakti Pulau Es?” tanya kakek Pat-kwa-pai itu terkejut.
“Saya adalah cucunya,” jawab Ceng Liong singkat, terpaksa tidak dapat merahasiakan lagi keadaan keluarganya.
Pengakuan Ceng Liong itu membuat suasana menjadi semakin tegang karena siapakah yang tidak pernah mendengar tentang keluarga para pendekar Pulau Es? Kini pandang mata mereka terhadap Ceng Liong makin penuh perhatian dan semua orang ingin menyaksikan bagaimana sepak terjang seorang cucu dari Pendekar Super Sakti.
“Ha-ha-ha!” tiba-tiba terdengar suara ketawa lembut disusul suara Ci Hong Tosu, tokoh Pek-lian-pai yang tinggi kurus itu. “Cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, ya? Bagus, siapa tidak tahu bahwa keluarga Pendekar Super Sakti, keluarga Pulau Es adalah keluarga pendukung kaisar, pendukung pemerintah penjajah Mancu? Siapa tidak tahu bahwa isteri Pendekar Super Sakti adalah Puteri Mancu? Ingat nama Puteri Nirahai, isterinya yang menjadi panglima Mancu, dan Puteri Milana, puterinya yang juga menjadi panglima Mancu. Dan sekarang cucunya berada di sini, siapa tahu dia malah menjadi mata-mata Kerajaan Mancu!”
Tentu saja semua orang menjadi tegang mendengar kata-kata ini dan muka Ceng Liong menjadi merah. Dia mengerti bahwa Pek-lian-kauw dengan perkumpulannya, Pek-lian-pai memang sejak dahulu merasa tidak suka kepada keluarga kakeknya, karena memang banyak di antara pimpinan Pek-lian-kauw yang menyeleweng dan pernah dihajar oleh keluarga kakeknya itu.
“Totiang, harap jangan sembarangan membuka mulut menyebar fitnah!” bentaknya.
Akan tetapi Giam San-jin sudah mendapat angin dengan ucapan tokoh Pek-lian-pai tadi. Dia sudah menyambar tongkatnya yang dipegang oleh seorang muridnya, sebuah tongkat baja yang kecil panjang dan kedua ujungnya meruncing. Dia memutar tongkatnya dan berteriak,
“Mata-mata Mancu atau bukan, engkau berani menentang kami dan berarti engkau harus menandingi aku dalam ilmu silat! Orang muda, keluarkan senjatamu, mari kita main-main sebentar!”
Ceng Liong tersenyum pahit. Tak disangkanya bahwa dalam pertemuan antara para pendekar dan patriot itu dia akan bertemu dengan orang-orang macam ini dan mengalami hal sepahit ini. Akan tetapi diapun kini maklum bahwa selama ada orang-orang seperti ini mencampuri perjuangan para patriot, maka perjuangan itu yang tadinya bertujuan mulia untuk membebaskan negara dari tangan penjajah asing, akan diselewengkan menjadi tujuan orang-orang yang berambisi mencari kedudukan dan kemuliaan bagi diri sendiri maupun gerombolannya. Maka, diapun harus memberantasnya!
“Giam San-jin, akupun sudah banyak mendengar bahwa Pat-kwa-pai, apalagi Pek-lian-pai, hanya namanya saja perkumpulan pendekar dan patriot, akan tetapi sesungguhnya banyak hal-hal jahat dan sewenang-wenang telah kalian lakukan. Kalau engkau memaksa perkelahian, baiklah, aku tidak pernah menggunakan senjata. Majulah, bukan pribadimu yang kulawan, melainkan sikap perpecahan yang buruk itu yang kutentang!”
“Bocah sombong! Engkau yang mencari mati sendiri!” bentak Giam San-jin yang menjadi semakin marah karena dia merasa dipandang rendah oleh pemuda itu.
Seorang pemuda remaja berani menantangnya dan kini menghadapinya dengan tangan kosong, padahal dia telah mempergunakan senjatanya yang paling ampuh dan ditakuti, yaitu tongkatnya yang jarang menemui tandingan!
Kini dia menerjang maju, tongkatnya diputar sedemikian rupa sehingga nampaklah gulungan sinar yang mengandung banyak sekali ujung tongkat runcing yang mengeluarkan suara berdengung-dengung dan tiba-tiba saja ujung tongkat itu mencuat dan menyerang ke arah jalan darah di tubuh Ceng Liong secara bertubi-tubi! Serangan itu hebat sekali karena makin dielakkan, makin meningkat bahaya serangannya, makin gencar dan makin kuat!
Akan tetapi sekali ini, tokoh Pat-kwa-pai itu menghadapi Suma Ceng Liong. Biarpun masih muda, akan tetapi Suma Ceng Liong telah mewarisi ilmu-ilmu Pulau Es dan di samping itu dia juga sudah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari Hek-i Mo-ong. Oleh karena itu, menghadapi hujan serangan tongkat yang bergerak dengan amat cepatnya itu dia bersikap tenang saja.
Tubuhnya mengelak berloncatan ke sana-sini dan kadang-kadang kalau dia tidak dapat mengelak lagi, dia hanya menggerakkan tangannya dan jari-jari tangan itu menyentil ke arah ujung tongkat yang menotok. Setiap kali ujung tongkat bertemu dengan jari tangannya, terdengar suara berdencing dan ujung tongkat itupun terpental seperti ditangkis oleh benda yang keras dan kuat sekali! Sampai habis jurus itu dimainkan Giam San-jin, tidak satu kalipun totokan-totokannya menemui sasaran!
Tentu saja hal ini membuat kakek itu menjadi semakin penasaran. Tadinya dia sengaja mengeluarkan jurus simpanan ketika menyerang untuk pertama kalinya. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan keluarga pendekar Pulau Es, maka begitu menyerang dia mengeluarkan jurus simpanannya.
Akan tetapi ternyata bahwa jurus yang ampuh itu dapat disambut dan dihindarkan oleh pemuda itu tanpa banyak kesulitan! Padahal, ilmu serangannya tadi adalah jurus dari Pat-kwa-pai yang ampuh, yang gerakannya didasari perhitungan pat-kwa dan memenuhi delapan penjuru, menutup semua kemungkinan jalan keluar. Namun, lawannya dapat menyelamatkan diri dengan baiknya, seolah-olah sudah tahu akan rahasia pat-kwa.
Dan memang, dia tidak tahu bahwa pemuda ini tentu saja sudah hafal akan rahasia pat-kwa. Di dalam keluarga para pendekar Pulau Es, terdapat ilmu-ilmu Pat-sian-kun (Silat Delapan Dewa) dan Pat-mo-kun (Silat Delapan Iblis) yang kesemuanya berdasarkan garis-garis pat-kwa. Apalagi Ceng Liong, bahkan sudah mempelajari gabungan kedua ilmu itu. Dengan demikian serangannya yang didasari perhitungan pat-kwa tadi baginya seperti permainan kanak-kanak saja.
Dalam kemarahan dan penasarannya, Giam San-jin menghujankan serangan-serangan lain yang kesemuanya merupakan serangan maut yang mengancam nyawa. Ceng Liong sengaja menghadapinya dengan elakan-elakan dan tangkisan-tangkisan saja, bahkan ketika menangkis dia tidak mengerahkan seluruh tenaganya. Dia masih merasa segan untuk mengalahkan kakek ini dalam beberapa gebrakan. Bukan maksudnya untuk membikin malu orang dalam pertemuan itu. Bagaimanapun juga, dia hendak mencegah adanya perasaan dendam agar pertemuan itu dapat berlangsung dengan baik.
Akan tetapi, sikap mengalah Ceng Liong ini disalah artikan oleh Giam San-jin. Biarpun kakek ini terhitung seorang yang berkedudukan tinggi dan memilki tingkat kepandaian tinggi sehingga dia sudah dapat melihat dari gerakan-gerakan lawan bahwa lawannya ini biarpun masih muda akan tetapi lihai bukan main, namun sifatnya yang selalu mengagulkan diri sendiri dan memandang rendah orang lain membuat dia mengira bahwa sikap Ceng Liong yang tidak pernah membalas itu bukan mengalah, melainkan takut! Maka diapun menyerang semakin ganas lagi karena dia berpendapat bahwa lawan yang sudah gentar atau takut akan mudah dirobohkan.
Setelah lewat dua puluh jurus dan lawannya tidak mau tahu bahwa dia sudah banyak mengalah, Ceng Liong menjadi gemas juga. Kakek ini memang tidak tahu diri. Biarpun dia masih segan untuk membikin malu, akan tetapi dia mengambil keputusan untuk merampas tongkat lawan agar terbuka mata lawan bahwa dia akan mudah mengalahkannya kalau memang dia mau. Dua puluh jurus sudah cukup lama baginya untuk melihat bagian-bagian gerakan lawan yang mengandung kelemahan.
Pada saat itu Giam San-jin menggerakkan tongkatnya dengan cepat dan kilat, menyapu ke arah pinggang Ceng Liong. Gerakan ini berbahaya sekali dan karena cepatnya, maka agak sukar bagi pemuda itu untuk mengelak dan kalau ditangkis, diapun akan menghadapi hantaman tongkat yang mengandung pengerahan tenaga sekuatnya dari kakek pertapa itu.
“Hyaaaat....!”
Ceng Liong mengeluarkan suara melengking panjang dan tubuhnya tiba-tiba lenyap dari pandang mata lawan karena dia sudah meloncat ke atas dengan kecepatan seperti seekor burung terbang saja. Tongkat yang menyambar itu lewat di bawah kakinya dan pemuda ini menggunakan kedua tangannya untuk menotok ke arah kedua pundak lawan.
Cepat bukan main gerakannya ini. Giam San-jin terkejut bukan main, akan tetapi diapun bukan seorang lemah. Kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi dan biarpun serangan Ceng Liong yang datangnya tiba-tiba dan tidak terduga-duga itu memang mengejutkan, namun dalam keadaan terancam bahaya itu dia masih mampu menyambut dengan serangan rambut panjang riap-riapan itu ke arah leher Ceng Liong!
Rambut itu bergerak seperti ujung cambuk dan menotok ke arah jalan darah maut di tenggorokan lawan. Ini memang merupakan satu di antara ilmu-ilmu simpanan kakek itu, dan amat berbahaya karena rambut itu tidak kalah ampuhnya dibandingkan dengan senjata lain. Dengan pengerahan sin-kangnya, rambut itu menjadi kaku dan menotok jalan darah seperti ujung tongkat atau jari tangan yang keras.
Akan tetapi Ceng Liong sudah waspada. Dia sudah tahu akan kelihaian lawan, maka menghadapi serangan balasan yang mendadak itu diapun bersikap tenang saja. Tangan kiri yang tadi menotok pundak lawan ditariknya untuk menangkis serangan rambut itu sedangkan tangan kanannya masih meneruskan totokan ke arah pundak kiri lawan.
Giam San-jin miringkan tubuhnya untuk menyelamatkan pundak. Pundaknya memang terhindar dari totokan yang akan melumpuhkan lengan, akan tetapi tangan kanan Ceng Liong itu masih menyerempet pangkal lengan di bawah pundaknya.
“Plakk....!”
Baju di bagian itu robek dan Giam San-jin terhuyung-huyung, mukanya berubah merah sekali.
“Maaf, locianpwe, harap suka menghentikan serangan!”
Ceng Liong berkata sambil menjura dengan harapan kakek itu menyudahi pertandingan yanq tidak diharapkan itu.
Akan tetapi kakek itu sudah memuncak kemarahannya sehingga dia menjadi mata gelap dan dalam keadaan seperti itu dia tidak dapat melihat kenyataan bahwa lawannya jauh lebih unggul dan tangguh. Dia berseru.
“Aku belum kalah!” kemudian dia menyerang lagi dengan tongkatnya.
Dengan cekatan Ceng Liong melompat ke samping, rasa penasaran mulai menyusup ke dalam hatinya. Kakek ini sungguh tidak tahu diri, pikirnya.
Pada saat itu Ceng Liong melihat betapa kakek Ci Hong Tosu, tokoh Pek-lian-kauw itu, bersama kedua orang tosu pembantunya, telah maju pula. Dia mengira bahwa mereka bertiga itu hendak mengeroyoknya. Akan tetapi ternyata mereka bertiga segera duduk bersila dan bersedakap, memejamkan mata.
Pada saat itu Ceng Liong merasakan adanya gelombang getaran aneh yang melanda dirinya. Tahulah dia apa artinya ini. Tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu mempergunakan ilmu sihir untuk membantu Giam San-jin dan menyerangnya! Sebagai cucu Pendekar Super Sakti, putera Pendekar Siluman Kecil dan yang mempunyai ibu seorang ahli sihir, maka tentu saja Ceng Liong tahu apa yang harus dia lakukan. Cepat dia mengerahkan tenaga batinnya.
Pada saat itu Giam San-jin sudah menyerang lagi. Kakek inipun tahu bahwa tokoh Pek-lian-kauw yang menjadi sahabatnya itu telah membantunya dengan ilmu sihir. Giranglah hatinya dan dia menyerang dengan dahsyat. Akan tetapi betapa kaget hatinya ketika pemuda itu menyambut hantaman tongkatnya dengan kedua tangan yang mencengkeram!
“Braaakkkk....!”
Begitu tongkat bertemu kedua tangan Ceng Liong, tokoh Pat-kwa-pai itu merasa tubuhnya tergetar hebat seperti disambar petir dan diapun terpelanting keras sedangkan tongkatnya terampas oleh Ceng Liong. Dia tidak mengenal pukulan pemuda itu dan memang Ceng Liong dalam kemarahannya tadi telah mempergunakan pukulan jari tangan Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) yang dipelajarinya dari Hek-i Mo-ong. Pada saat itu, terdengarlah suara halus.
“Suma Ceng Liong, engkau adalah seekor anjing, hayo cepat merangkak dan menggonggong!”
Suara yang penuh wibawa ini keluar dari mulut Ci Hong Tosu yang masih duduk bersila bersama kedua orang pembantunya.
Mereka bertiga itu menggabungkan tenaga sakti untuk menyihir dan mempengaruhi Ceng Liong, hendak memasukkan dan memaksa keyakinan pemuda itu bahwa dia seekor anjing yang harus merangkak dan menggonggong. Jelaslah betapa kejinya perangai tokoh Pek-lian-kauw ini. Dia hendak membikin malu pemuda itu melalui kekuatan sihirnya agar semua orang melihat pemuda itu merangkak-rangkak dan menggongong-gonggong!
Gelombang tenaga yang amat kuat melanda Ceng Liong dan pemuda ini merasa betapa ada tenaga mujijat yang memaksanya agar mentaati perintah tadi. Akan tetapi, dia tahu apa artinya itu. Tiba-tiba dia melemparkan tongkat rampasannya dan menjatuhkan diri duduk di atas tanah, bukan untuk merangkak melainkan untuk bersila dan diapun menyilangkan kedua lengannya di depan dada dan mengerahkan kekuatan batin untuk melindungi dirinya dari serangan gelombang tenaga yang menyihirnya itu.
Terjadilah pertandingan ilmu sihir yang tidak dapat terlihat orang lain. Akan tetapi mereka yang berada di situ dapat merasakan adanya getaran-getaran aneh yang memenuhi tempat itu dan seolah-olah dua tenaga yang berlawanan saling tarik-menarik dengan kuatnya.
Tiba-tiba terjadilah hal yang amat luar biasa. Terdengar suara seperti anjing-anjing menggonggong dan menyalak. Akan tetapi tidak ada anjing di situ dan suara gonggongan itupun aneh, bukan seperti suara anjing-anjing tulen.
Dan semua orang terbelalak dengan muka pucat ketika mereka melihat tiga orang Pek-lian-pai itu, yang tadinya duduk bersila, kini sudah merangkak-rangkak sambil menggonggong dan menyalak seperti tiga ekor anjing yang kebingungan!
Tentu saja peristiwa luar biasa ini membuat semua orang terkejut dan terheran-heran. Mereka teringat betapa tadi tokoh Pek-lian-kauw itu menyuruh Ceng Liong merangkak dan menggonggong. Kini mereka dapat menduga betapa ilmu sihir yang dipergunakan kakek Pek-lian-kauw itu telah membalik dan terjadi peristiwa senjata makan tuan!
Ceng Liong sendiripun terkejut dan merasa heran. Dia tadi hanya mengerahkan tenaga untuk menolak gelombang tenaga sihir yang menyerangnya dan yang seperti hendak memaksanya mengaku bahwa dia seekor anjing. Akan tetapi kenapa kini mereka bertiga yang tersihir? Apakah kekuatan sihirnya sudah menjadi sedemikian ampuhnya.
Akan tetapi tiba-tiba dia tersenyum dan memandang ke kiri. Dia melihat munculnya ayah dan ibunya dan tahulah dia bahwa ibunya yang tadi turun tangan menghajar tiga orang Pek-lian-kauw yang hendak menghinanya itu!
Kiranya di antara para pendekar yang hadir di tempat itu terdapat pula Suma Kian Bu dan Teng Siang In, isterinya yang ahli dalam hal sihir itu. Pendekar ini walaupun sudah mengutus puteranya untuk mewakili mereka, masih merasa ragu-ragu dan mereka berdua pergi tak lama setelah putera mereka berangkat.
“Bagaimanapun juga, kita tidak boleh sembrono ikut bergerak dengan mereka yang hendak memberontak walaupun pada prinsipnya kita setuju,” antara lain Suma Kian Bu berkata kepada isterinya. “Kita harus menyelidiki dulu dengan seksama akan bersihnya cita-cita itu. Pula, aku harus ingat kepada keluarga Pulau Es dan minta pendapat mereka lebih dulu.”
Isterinya setuju.
“Memang, akupun merasa khawatir dan sangsi. Sebaiknya kalau kita berunding dulu dengan keluargamu, terutama sekali kakakmu Suma Kian Lee, enci Milana dan juga Kao Cin Liong yang mempunyai kedudukan penting sebagai panglima di kota raja.”
Demikianlah, suami isteri pendekar ini lalu melakukan perjalanan ke utara. Mula-mula mereka mengunjungi Suma Kian Lee dan mendengar penuturan adiknya, Suma Kian Lee terkejut sekali.
“Bu-te, masalah ini gawat sekali!” kata Suma Kian Lee. “Memang aku sendiripun dapat mengerti tentang jiwa patriot para pendekar yang tidak suka akan penjajahan Bangsa Mancu. Akan tetapi urusan besar itu tidak dapat dilakukan secara begitu sembrono. Apalagi kita sendiri, keluarga Pulau Es, harus berhati-hati. Betapapun juga, nenek-nenek kita adalah wanita Mancu, walaupun kita tahu bahwa enci Milana dan suaminya juga tidak suka akan penjajahan bahkan enci Milana tidak lagi mau membantu pemerintah dan mengundurkan diri bersama suaminya. Sebaiknya kalau kita bicarakan hal yang amat gawat ini dengan Cin Liong. Engkau mengenal dia. Biarpun dia seorang jenderal dan panglima perang di kota raja, akan tetapi dia adalah seorang pendekar.”
Demikianlah, mereka berempat, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu bersama isteri mereka, berangkat ke kota raja. Kebetulan sekali di kota raja mereka berjumpa dengan Kao Kok Cu Si Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya, bahkan Puteri Milana bersama suaminya, pendekar Gak Bun Beng yang sudah hampir tujuh puluh tahun usianya, berada pula di kota raja dan dapatlah keluarga besar para pendekar Pulau Es itu berkumpul.
Dengan hati-hati Suma Kian Bu mengajak keluarganya berkumpul di rumah gedung Jenderal Kao Cin Liong dan dia menceritakan tentang pertemuan para pendekar di Hutan Cemara untuk merencanakan pemberontakan menggulingkan pemerintah penjajah. Tentu saja berita ini amat mengejutkan hati Gak Bun Beng dan isterinya, terutama sekali amat mengejutkan hati Kao Cin Liong yang menerima berita itu dengan gelisah.
Jenderal muda ini mengangguk-angguk.
“Saya juga dapat mengerti akan jiwa patriot itu bahkan terus terang saja, kadang-kadang ada pula rasa penasaran dalam hati saya melihat adanya penjajahan. Akan tetapi, dengan jalan mengabdi pemerintah dan melakukan tugas dengan adil dan baik berarti ikut mendorong roda pemerintahan ke jalan yang benar dan tidak menindas rakyat. Saya bingung sekali, tidak tahu harus berbuat bagaimana menghadapi berita ini.”
“Biarlah kami pergi ke sana melakukan penyelidikan lebih dahulu,” kata Suma Kian Bu. “Setelah melihat bagaimana keadaan mereka itu, baru kita dapat menentukan sikap apa yang harus kita ambil.”
Puteri Milana yang usianya sudah enam puluh tahun lebih akan tetapi masih nampak segar dan gagah itu lalu bicara, suaranya halus akan tetapi tegas.
“Kita anggauta keluarga Pulau Es harus melihat kenyataan bahwa dari pihak ibu kita, kita juga berdarah Mancu. Akan tetapi dalam urusan ini kita tidak boleh membiarkan diri terbuai oleh keturunan atau bangsa. Yang penting adalah rasa keadilan dan kegagahan, dan harus bertindak bijaksana. Urusan ini bukan urusan yang remeh, melainkan gawat sekali. Kalau sampai terjadi pemberontakan dan perang, hal ini bukan hanya menjadi urusan kita atau para pendekar, melainkan seluruh rakyat akan terguncang dan biasanya dalam perang akan terjatuh banyak korban. Hal ini bukan berarti bahwa aku tidak menyetujui cita-cita membebaskan tanah air daripada penjajahan, hanya caranya harus yang wajar dan hati-hati karena menyangkut kehidupan rakyat jelata.”
Setelah mengadakan perundingan dan mengemukakan kebijaksanaan-kebijaksanaan masing-masing selama hampir samalam suntuk, pada keesokkan harinya, Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee bersama isteri mereka, berangkat menuju ke Hutan Cemara untuk melakukan penyelidikan dan peninjauan tanpa melibatkan diri sebelum mereka melihat sendiri bagaimana keadaan para patriot yang merencanakan pembebasan tanah air dari tangan penjajah Mancu itu.
Demikianlah, dengan jalan menyelinap diantara para pendekar yang memenuhi Hutan Cemara, dua pasang suami isteri pendekar ini dengan diam-diam mengikuti jalannya pertemuan dan mereka menyaksikan terjadinya kekacauan oleh sikap dan ulah para tokoh Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan Thian-li-pang.
Akhirnya, melihat Ceng Liong maju menentang tokoh Pat-kwa-pai yang kemudian dibantu oleh orang-orang Pek-lian-kauw yang menggunakan ilmu sihir, Teng Siang In menjadi marah dan nyonya ini mempergunakan keahlian sihirnya untuk membantu puteranya dan memberi hajaran keras kepada tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu.
Dengan girang Suma Ceng Liong lalu berlari menghampiri ayah bundanya. Akan tetapi sebelum sempat bicara, tiba-tiba mereka dan semua orang yang berada di dalam hutan itu dikejutkan oleh suara terompet dan tambur yang dipukul dan ditiup dengan gencar.
Semua orang memandang ke sekeliling dan dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka melihat bahwa tempat itu sudah dikurung dari jauh oleh banyak sekali pasukan tentara pemerintah! Hutan Cemara itu sudah dikepung, mungkin oleh ribuan orang tentara!
Bagaimanakah tempat itu begitu saja dikurung oleh ribuan orang tentara? Demikian para pendekar bertanya-tanya dan suasana menjadi panik. Beberapa orang pendekar mengenal dua pasang suami isteri Suma yang baru muncul, maka terdengarlah teriakan-teriakan yang dipelopori oleh Ci Hong Tosu yang sudah sadar kembali dari keadaanaya seperti anjing tadi.
“Pengkhianatan! Keluarga Pulau Es yang berkhianat. Mereka yang membawa pasukan untuk mengepung kita!”
Teriakan-teriakan kemarahan terdengar dan semua mata ditujukan kepada Ceng Liong, Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee bersama isteri. Para pendekar tergugah oleh teriakan Ci Hong Tosu tadi dan kini mereka memandang keluarga Pulau Es dengan alis berkerut.
Sebenarnya, apakah yang telah terjadi? Benarkah keluarga Pulau Es yang mengkhianati para pendekar yang sedang berkumpul di tempat itu? Seperti telah kita ketahui, hal itu sama sekali tidak benar. Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu datang bersama isteri mereka saja, dan mereka datang untuk menyelidiki, bukan untuk mengkhianati dan membawa pasukan.
Akan tetapi, bagaimana tiba-tiba pasukan yang besar jumlahnya itu tahu-tahu telah mengepung tempat itu? Apakah Jenderal Kao Cin Liong yang berkhianat? Juga tidak! Biarpun dia merupakan seorang panglima muda yang setia, akan tetapi diapun berjiwa pendekar dan tidak mungkin mau melakukan kecurangan dan pengkhianatan seperti itu terhadap para pendekar.
Lalu siapa pengkhianatnya? Kiranya tidak sukar untuk menebaknya. Tentu saja, yang menjadi pengkhianat adalah Louw Tek Ciang! Seperti telah diceritakan di bagian depan, laki-laki yang berwatak buruk dan kotor ini telah menemukan dan merampas surat dari para pimpinan pendekar dan patriot yang ditujukan kepada Gan-ciangkun, seorang panglima di kota raja yang juga mempunyai ambisi besar untuk bersekutu dengan para pemberontak.
Seperti kita ketahui, Tek Ciang merampas surat itu dari Can Kui Eng, murid Kun-lun-pai yang menerimanya dari kekasihnya, Kwee Cin Koan murid Kong-thong-pai yang juga menjadi anggauta para pendekar yang mempunyai prakarsa atas pertemuan di Hutan Cemara.
Tek Ciang bukan hanya merampas surat, akan tetapi bahkan memperkosa Can Kui Eng dan kemudian dia membunuh pula Pouw Kui Lok yang masih sutenya sendiri itu, kemudian menjatuhkan fitnah kepada Pouw Kui Lok yang dilaporkannya kepada pimpinan Kun-lun-pai sebagai pemerkosa dan pembunuh Can Kui Eng!
Setelah berhasil mengelabuhi para tosu Kun-lun-pai dan mencuri kitab Sin-liong Ho-kang, Tek Ciang lalu menjanjikan untuk mencari kitab itu dan pergilah manusia berhati kejam ini ke kota raja.
Dengan sikapnya yang sopan dan terpelajar, akhirnya Tek Ciang berhasil juga dihadapkan kepada kaisar dan dia melaporkan tentang pemberontakan itu, menyerahkan suratnya kepada kaisar. Tentu saja Kaisar Kian Liong merasa terkejut dan marah bukan main. Dia selalu bersikap baik dan bersahabat kepada para pendekar, maka sungguh tidak disangkanya sama sekali bahwa kini para pendekar sedang mengadakan persekutuan untuk memberontak kepadanya!
Dengan kemarahan memuncak, kaisar itu lalu memerintahkan pengawal pergi menangkap Panglima Gan sekeluarga dan menjebloskan mereka ke dalam penjara. Hari itu juga perintah ini dilaksanakan dan gemparlah kota raja ketika mendengar berita bahwa Panglima Gan ditangkap dan dijebloskan ke dalam tahanan atas perintah kaisar sendiri!
Kaisai lalu memanggil semua menteri dan hulubalangnya. Di depan mereka ini, Tek Ciang mengulang apa yang diketahuinya dan kaisar menyuruh baca surat dari para pendekar yang ditujukan kepada Panglima Gan itu.
“Sekarang juga kita harus mengirim pasukan besar ke Hutan Cemara, menangkapi semua pemberontak laknat itu. Panggil Jenderal Kao, dialah orangnya yang akan memimpin pasukan menangkapi para pemberontak!” bentak kaisar.
“Harap paduka sudi mengampunkan kelancangan hamba, akan tetapi hamba rasa menyuruh jenderal itu memimpin pasukan menyergap para pemberontak tidaklah tepat, sri baginda!”
Tiba-tiba Tek Ciang berkata dan semua pembesar yang berada di situ terkejut. Orang ini sudah bosan hidup, pikir mereka, berani mencela keputusan sri baginda kaisar. Akan tetapi Kaisar Kian Liong yang sudah merasa berterima kasih kepada Tek Ciang, tidak menjadi marah, hanya merasa heran.
“Louw Tek Ciang, apa maksudmu dengan ucapanmu itu? Jenderal Kao Cin Liong adalah seorang panglima cakap, dan juga memiliki ilmu kepandaian tinggi. Hanya dialah yang akan mampu menandingi para pendekar!”
“Ampun, sri baginda. Hamba berani mengemukakan pendapat hamba atas dasar perhitungan yang matang. Hendaknya paduka ketahui bahwa para pemberontak itu terdiri dari para pendekar dan banyak pula keluarga para pendekar Pulau Es hadir di sana. Seperti paduka ketahui, Jenderal Kao Cin Liong adalah mantu dari seorang pendekar Pulau Es. Maka kalau dia yang memimpin pasukan, hamba berani berkeyakinan bahwa usaha penyergapan itu tidak akan berhasil, mungkin malah gagal dan siapa tahu Jenderal Kao itu diam-diam bersekongkol dengan para pemberontak, atau setidaknya merasa simpati kepada mereka. Maka, akan lebih tepatlah kalau paduka memerintahkan seorang panglima lain yang memimpin pasukan untuk menyergap di Hutan Cemara. Adapun mengenai para pendekar di sana, hamba sendiripun sanggup untuk membantu pasukan menghadapi mereka!”
Kaisar Kian Liong mengangguk-angguk dan alisnya berkerut. Dia teringat akan permohonan jenderal Kao Cin Liong untuk mengurdurkan diri. Sudah pernah jenderal muda itu mohon agar diperkenankan mengundurkan diri meninggalkan jabatannya, akan tetapi dia menahannya. Dan sekarang ada pemberontakan para pendekar itu!
“Baiklah, kami akan mengutus Jenderal Cao Hui untuk menyergap para pemberontak itu. Jenderal Cao, bersiaplah dengan lima ribu orang tentara dan sergap hutan itu, tangkap semua pemberontak. Akan tetapi sebelumnya, kau coba dulu Louw Tek Ciang ini apakah cukup tepat untuk membantumu, apakah benar dia ada kepandaian ataukah tidak.”
Jenderal Cao Hui adalah seorang laki-laki tinggi besar berusia empat puluh lima tahun. Selain pandai dalam ilmu perang, dia juga pandai ilmu silat dan mempunyai tenaga besar. Pernah dia belajar ilmu silat pada seorang hwesio Siauw-lim-pai dan karena itu dia cukup lihai. Setelah menerima perintah kaisar, Jenderal Cao Hui bangkit berdiri sesudah memberi hormat kepada kaisar dan menghadapi Louw Tek Ciang yang masih berlutut.
“Louw-sicu, mari kita mentaati perintah sri baginda.”
Tek Ciang berlutut memberi hormat kepada kaisar yang memberi isyarat dengan tangan agar dia bangkit dan menghadapi jenderal itu. Mereka berdua kini sudah berdiri saling berhadapan ditonton oleh kaisar dan para hulubalang.
“Louw-sicu, sambutlah seranganku ini!”
Jenderal Cao Hui menggerakkan kedua tangannya mengirim serangan sambil mengerahkan tenaga. Kaisar memerintahkan agar dia menguji, maka diapun hanya ingin menguji kecepatan dan kekuatan orang yang melapor tentang adanya pemberontakan dan menjanjikan bantuan kepadanya itu.
“Ciangkun, maafkan saya!” jawab Tek Ciang sambil menggerakkan kedua tangan ke depan menyambut serangan panglima itu.
Gerakannya ini cepat bukan main dan ternyata kedua telapak tangannya dengan tepat menerima kedua tangan Cao-goanswe.
“Plakk!”
Dalam kemarahan dan penasarannya, Giam San-jin menghujankan serangan-serangan lain yang kesemuanya merupakan serangan maut yang mengancam nyawa. Ceng Liong sengaja menghadapinya dengan elakan-elakan dan tangkisan-tangkisan saja, bahkan ketika menangkis dia tidak mengerahkan seluruh tenaganya. Dia masih merasa segan untuk mengalahkan kakek ini dalam beberapa gebrakan. Bukan maksudnya untuk membikin malu orang dalam pertemuan itu. Bagaimanapun juga, dia hendak mencegah adanya perasaan dendam agar pertemuan itu dapat berlangsung dengan baik.
Akan tetapi, sikap mengalah Ceng Liong ini disalah artikan oleh Giam San-jin. Biarpun kakek ini terhitung seorang yang berkedudukan tinggi dan memilki tingkat kepandaian tinggi sehingga dia sudah dapat melihat dari gerakan-gerakan lawan bahwa lawannya ini biarpun masih muda akan tetapi lihai bukan main, namun sifatnya yang selalu mengagulkan diri sendiri dan memandang rendah orang lain membuat dia mengira bahwa sikap Ceng Liong yang tidak pernah membalas itu bukan mengalah, melainkan takut! Maka diapun menyerang semakin ganas lagi karena dia berpendapat bahwa lawan yang sudah gentar atau takut akan mudah dirobohkan.
Setelah lewat dua puluh jurus dan lawannya tidak mau tahu bahwa dia sudah banyak mengalah, Ceng Liong menjadi gemas juga. Kakek ini memang tidak tahu diri. Biarpun dia masih segan untuk membikin malu, akan tetapi dia mengambil keputusan untuk merampas tongkat lawan agar terbuka mata lawan bahwa dia akan mudah mengalahkannya kalau memang dia mau. Dua puluh jurus sudah cukup lama baginya untuk melihat bagian-bagian gerakan lawan yang mengandung kelemahan.
Pada saat itu Giam San-jin menggerakkan tongkatnya dengan cepat dan kilat, menyapu ke arah pinggang Ceng Liong. Gerakan ini berbahaya sekali dan karena cepatnya, maka agak sukar bagi pemuda itu untuk mengelak dan kalau ditangkis, diapun akan menghadapi hantaman tongkat yang mengandung pengerahan tenaga sekuatnya dari kakek pertapa itu.
“Hyaaaat....!”
Ceng Liong mengeluarkan suara melengking panjang dan tubuhnya tiba-tiba lenyap dari pandang mata lawan karena dia sudah meloncat ke atas dengan kecepatan seperti seekor burung terbang saja. Tongkat yang menyambar itu lewat di bawah kakinya dan pemuda ini menggunakan kedua tangannya untuk menotok ke arah kedua pundak lawan.
Cepat bukan main gerakannya ini. Giam San-jin terkejut bukan main, akan tetapi diapun bukan seorang lemah. Kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi dan biarpun serangan Ceng Liong yang datangnya tiba-tiba dan tidak terduga-duga itu memang mengejutkan, namun dalam keadaan terancam bahaya itu dia masih mampu menyambut dengan serangan rambut panjang riap-riapan itu ke arah leher Ceng Liong!
Rambut itu bergerak seperti ujung cambuk dan menotok ke arah jalan darah maut di tenggorokan lawan. Ini memang merupakan satu di antara ilmu-ilmu simpanan kakek itu, dan amat berbahaya karena rambut itu tidak kalah ampuhnya dibandingkan dengan senjata lain. Dengan pengerahan sin-kangnya, rambut itu menjadi kaku dan menotok jalan darah seperti ujung tongkat atau jari tangan yang keras.
Akan tetapi Ceng Liong sudah waspada. Dia sudah tahu akan kelihaian lawan, maka menghadapi serangan balasan yang mendadak itu diapun bersikap tenang saja. Tangan kiri yang tadi menotok pundak lawan ditariknya untuk menangkis serangan rambut itu sedangkan tangan kanannya masih meneruskan totokan ke arah pundak kiri lawan.
Giam San-jin miringkan tubuhnya untuk menyelamatkan pundak. Pundaknya memang terhindar dari totokan yang akan melumpuhkan lengan, akan tetapi tangan kanan Ceng Liong itu masih menyerempet pangkal lengan di bawah pundaknya.
“Plakk....!”
Baju di bagian itu robek dan Giam San-jin terhuyung-huyung, mukanya berubah merah sekali.
“Maaf, locianpwe, harap suka menghentikan serangan!”
Ceng Liong berkata sambil menjura dengan harapan kakek itu menyudahi pertandingan yanq tidak diharapkan itu.
Akan tetapi kakek itu sudah memuncak kemarahannya sehingga dia menjadi mata gelap dan dalam keadaan seperti itu dia tidak dapat melihat kenyataan bahwa lawannya jauh lebih unggul dan tangguh. Dia berseru.
“Aku belum kalah!” kemudian dia menyerang lagi dengan tongkatnya.
Dengan cekatan Ceng Liong melompat ke samping, rasa penasaran mulai menyusup ke dalam hatinya. Kakek ini sungguh tidak tahu diri, pikirnya.
Pada saat itu Ceng Liong melihat betapa kakek Ci Hong Tosu, tokoh Pek-lian-kauw itu, bersama kedua orang tosu pembantunya, telah maju pula. Dia mengira bahwa mereka bertiga itu hendak mengeroyoknya. Akan tetapi ternyata mereka bertiga segera duduk bersila dan bersedakap, memejamkan mata.
Pada saat itu Ceng Liong merasakan adanya gelombang getaran aneh yang melanda dirinya. Tahulah dia apa artinya ini. Tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu mempergunakan ilmu sihir untuk membantu Giam San-jin dan menyerangnya! Sebagai cucu Pendekar Super Sakti, putera Pendekar Siluman Kecil dan yang mempunyai ibu seorang ahli sihir, maka tentu saja Ceng Liong tahu apa yang harus dia lakukan. Cepat dia mengerahkan tenaga batinnya.
Pada saat itu Giam San-jin sudah menyerang lagi. Kakek inipun tahu bahwa tokoh Pek-lian-kauw yang menjadi sahabatnya itu telah membantunya dengan ilmu sihir. Giranglah hatinya dan dia menyerang dengan dahsyat. Akan tetapi betapa kaget hatinya ketika pemuda itu menyambut hantaman tongkatnya dengan kedua tangan yang mencengkeram!
“Braaakkkk....!”
Begitu tongkat bertemu kedua tangan Ceng Liong, tokoh Pat-kwa-pai itu merasa tubuhnya tergetar hebat seperti disambar petir dan diapun terpelanting keras sedangkan tongkatnya terampas oleh Ceng Liong. Dia tidak mengenal pukulan pemuda itu dan memang Ceng Liong dalam kemarahannya tadi telah mempergunakan pukulan jari tangan Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) yang dipelajarinya dari Hek-i Mo-ong. Pada saat itu, terdengarlah suara halus.
“Suma Ceng Liong, engkau adalah seekor anjing, hayo cepat merangkak dan menggonggong!”
Suara yang penuh wibawa ini keluar dari mulut Ci Hong Tosu yang masih duduk bersila bersama kedua orang pembantunya.
Mereka bertiga itu menggabungkan tenaga sakti untuk menyihir dan mempengaruhi Ceng Liong, hendak memasukkan dan memaksa keyakinan pemuda itu bahwa dia seekor anjing yang harus merangkak dan menggonggong. Jelaslah betapa kejinya perangai tokoh Pek-lian-kauw ini. Dia hendak membikin malu pemuda itu melalui kekuatan sihirnya agar semua orang melihat pemuda itu merangkak-rangkak dan menggongong-gonggong!
Gelombang tenaga yang amat kuat melanda Ceng Liong dan pemuda ini merasa betapa ada tenaga mujijat yang memaksanya agar mentaati perintah tadi. Akan tetapi, dia tahu apa artinya itu. Tiba-tiba dia melemparkan tongkat rampasannya dan menjatuhkan diri duduk di atas tanah, bukan untuk merangkak melainkan untuk bersila dan diapun menyilangkan kedua lengannya di depan dada dan mengerahkan kekuatan batin untuk melindungi dirinya dari serangan gelombang tenaga yang menyihirnya itu.
Terjadilah pertandingan ilmu sihir yang tidak dapat terlihat orang lain. Akan tetapi mereka yang berada di situ dapat merasakan adanya getaran-getaran aneh yang memenuhi tempat itu dan seolah-olah dua tenaga yang berlawanan saling tarik-menarik dengan kuatnya.
Tiba-tiba terjadilah hal yang amat luar biasa. Terdengar suara seperti anjing-anjing menggonggong dan menyalak. Akan tetapi tidak ada anjing di situ dan suara gonggongan itupun aneh, bukan seperti suara anjing-anjing tulen.
Dan semua orang terbelalak dengan muka pucat ketika mereka melihat tiga orang Pek-lian-pai itu, yang tadinya duduk bersila, kini sudah merangkak-rangkak sambil menggonggong dan menyalak seperti tiga ekor anjing yang kebingungan!
Tentu saja peristiwa luar biasa ini membuat semua orang terkejut dan terheran-heran. Mereka teringat betapa tadi tokoh Pek-lian-kauw itu menyuruh Ceng Liong merangkak dan menggonggong. Kini mereka dapat menduga betapa ilmu sihir yang dipergunakan kakek Pek-lian-kauw itu telah membalik dan terjadi peristiwa senjata makan tuan!
Ceng Liong sendiripun terkejut dan merasa heran. Dia tadi hanya mengerahkan tenaga untuk menolak gelombang tenaga sihir yang menyerangnya dan yang seperti hendak memaksanya mengaku bahwa dia seekor anjing. Akan tetapi kenapa kini mereka bertiga yang tersihir? Apakah kekuatan sihirnya sudah menjadi sedemikian ampuhnya.
Akan tetapi tiba-tiba dia tersenyum dan memandang ke kiri. Dia melihat munculnya ayah dan ibunya dan tahulah dia bahwa ibunya yang tadi turun tangan menghajar tiga orang Pek-lian-kauw yang hendak menghinanya itu!
Kiranya di antara para pendekar yang hadir di tempat itu terdapat pula Suma Kian Bu dan Teng Siang In, isterinya yang ahli dalam hal sihir itu. Pendekar ini walaupun sudah mengutus puteranya untuk mewakili mereka, masih merasa ragu-ragu dan mereka berdua pergi tak lama setelah putera mereka berangkat.
“Bagaimanapun juga, kita tidak boleh sembrono ikut bergerak dengan mereka yang hendak memberontak walaupun pada prinsipnya kita setuju,” antara lain Suma Kian Bu berkata kepada isterinya. “Kita harus menyelidiki dulu dengan seksama akan bersihnya cita-cita itu. Pula, aku harus ingat kepada keluarga Pulau Es dan minta pendapat mereka lebih dulu.”
Isterinya setuju.
“Memang, akupun merasa khawatir dan sangsi. Sebaiknya kalau kita berunding dulu dengan keluargamu, terutama sekali kakakmu Suma Kian Lee, enci Milana dan juga Kao Cin Liong yang mempunyai kedudukan penting sebagai panglima di kota raja.”
Demikianlah, suami isteri pendekar ini lalu melakukan perjalanan ke utara. Mula-mula mereka mengunjungi Suma Kian Lee dan mendengar penuturan adiknya, Suma Kian Lee terkejut sekali.
“Bu-te, masalah ini gawat sekali!” kata Suma Kian Lee. “Memang aku sendiripun dapat mengerti tentang jiwa patriot para pendekar yang tidak suka akan penjajahan Bangsa Mancu. Akan tetapi urusan besar itu tidak dapat dilakukan secara begitu sembrono. Apalagi kita sendiri, keluarga Pulau Es, harus berhati-hati. Betapapun juga, nenek-nenek kita adalah wanita Mancu, walaupun kita tahu bahwa enci Milana dan suaminya juga tidak suka akan penjajahan bahkan enci Milana tidak lagi mau membantu pemerintah dan mengundurkan diri bersama suaminya. Sebaiknya kalau kita bicarakan hal yang amat gawat ini dengan Cin Liong. Engkau mengenal dia. Biarpun dia seorang jenderal dan panglima perang di kota raja, akan tetapi dia adalah seorang pendekar.”
Demikianlah, mereka berempat, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu bersama isteri mereka, berangkat ke kota raja. Kebetulan sekali di kota raja mereka berjumpa dengan Kao Kok Cu Si Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya, bahkan Puteri Milana bersama suaminya, pendekar Gak Bun Beng yang sudah hampir tujuh puluh tahun usianya, berada pula di kota raja dan dapatlah keluarga besar para pendekar Pulau Es itu berkumpul.
Dengan hati-hati Suma Kian Bu mengajak keluarganya berkumpul di rumah gedung Jenderal Kao Cin Liong dan dia menceritakan tentang pertemuan para pendekar di Hutan Cemara untuk merencanakan pemberontakan menggulingkan pemerintah penjajah. Tentu saja berita ini amat mengejutkan hati Gak Bun Beng dan isterinya, terutama sekali amat mengejutkan hati Kao Cin Liong yang menerima berita itu dengan gelisah.
Jenderal muda ini mengangguk-angguk.
“Saya juga dapat mengerti akan jiwa patriot itu bahkan terus terang saja, kadang-kadang ada pula rasa penasaran dalam hati saya melihat adanya penjajahan. Akan tetapi, dengan jalan mengabdi pemerintah dan melakukan tugas dengan adil dan baik berarti ikut mendorong roda pemerintahan ke jalan yang benar dan tidak menindas rakyat. Saya bingung sekali, tidak tahu harus berbuat bagaimana menghadapi berita ini.”
“Biarlah kami pergi ke sana melakukan penyelidikan lebih dahulu,” kata Suma Kian Bu. “Setelah melihat bagaimana keadaan mereka itu, baru kita dapat menentukan sikap apa yang harus kita ambil.”
Puteri Milana yang usianya sudah enam puluh tahun lebih akan tetapi masih nampak segar dan gagah itu lalu bicara, suaranya halus akan tetapi tegas.
“Kita anggauta keluarga Pulau Es harus melihat kenyataan bahwa dari pihak ibu kita, kita juga berdarah Mancu. Akan tetapi dalam urusan ini kita tidak boleh membiarkan diri terbuai oleh keturunan atau bangsa. Yang penting adalah rasa keadilan dan kegagahan, dan harus bertindak bijaksana. Urusan ini bukan urusan yang remeh, melainkan gawat sekali. Kalau sampai terjadi pemberontakan dan perang, hal ini bukan hanya menjadi urusan kita atau para pendekar, melainkan seluruh rakyat akan terguncang dan biasanya dalam perang akan terjatuh banyak korban. Hal ini bukan berarti bahwa aku tidak menyetujui cita-cita membebaskan tanah air daripada penjajahan, hanya caranya harus yang wajar dan hati-hati karena menyangkut kehidupan rakyat jelata.”
Setelah mengadakan perundingan dan mengemukakan kebijaksanaan-kebijaksanaan masing-masing selama hampir samalam suntuk, pada keesokkan harinya, Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee bersama isteri mereka, berangkat menuju ke Hutan Cemara untuk melakukan penyelidikan dan peninjauan tanpa melibatkan diri sebelum mereka melihat sendiri bagaimana keadaan para patriot yang merencanakan pembebasan tanah air dari tangan penjajah Mancu itu.
Demikianlah, dengan jalan menyelinap diantara para pendekar yang memenuhi Hutan Cemara, dua pasang suami isteri pendekar ini dengan diam-diam mengikuti jalannya pertemuan dan mereka menyaksikan terjadinya kekacauan oleh sikap dan ulah para tokoh Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan Thian-li-pang.
Akhirnya, melihat Ceng Liong maju menentang tokoh Pat-kwa-pai yang kemudian dibantu oleh orang-orang Pek-lian-kauw yang menggunakan ilmu sihir, Teng Siang In menjadi marah dan nyonya ini mempergunakan keahlian sihirnya untuk membantu puteranya dan memberi hajaran keras kepada tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu.
Dengan girang Suma Ceng Liong lalu berlari menghampiri ayah bundanya. Akan tetapi sebelum sempat bicara, tiba-tiba mereka dan semua orang yang berada di dalam hutan itu dikejutkan oleh suara terompet dan tambur yang dipukul dan ditiup dengan gencar.
Semua orang memandang ke sekeliling dan dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka melihat bahwa tempat itu sudah dikurung dari jauh oleh banyak sekali pasukan tentara pemerintah! Hutan Cemara itu sudah dikepung, mungkin oleh ribuan orang tentara!
Bagaimanakah tempat itu begitu saja dikurung oleh ribuan orang tentara? Demikian para pendekar bertanya-tanya dan suasana menjadi panik. Beberapa orang pendekar mengenal dua pasang suami isteri Suma yang baru muncul, maka terdengarlah teriakan-teriakan yang dipelopori oleh Ci Hong Tosu yang sudah sadar kembali dari keadaanaya seperti anjing tadi.
“Pengkhianatan! Keluarga Pulau Es yang berkhianat. Mereka yang membawa pasukan untuk mengepung kita!”
Teriakan-teriakan kemarahan terdengar dan semua mata ditujukan kepada Ceng Liong, Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee bersama isteri. Para pendekar tergugah oleh teriakan Ci Hong Tosu tadi dan kini mereka memandang keluarga Pulau Es dengan alis berkerut.
Sebenarnya, apakah yang telah terjadi? Benarkah keluarga Pulau Es yang mengkhianati para pendekar yang sedang berkumpul di tempat itu? Seperti telah kita ketahui, hal itu sama sekali tidak benar. Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu datang bersama isteri mereka saja, dan mereka datang untuk menyelidiki, bukan untuk mengkhianati dan membawa pasukan.
Akan tetapi, bagaimana tiba-tiba pasukan yang besar jumlahnya itu tahu-tahu telah mengepung tempat itu? Apakah Jenderal Kao Cin Liong yang berkhianat? Juga tidak! Biarpun dia merupakan seorang panglima muda yang setia, akan tetapi diapun berjiwa pendekar dan tidak mungkin mau melakukan kecurangan dan pengkhianatan seperti itu terhadap para pendekar.
Lalu siapa pengkhianatnya? Kiranya tidak sukar untuk menebaknya. Tentu saja, yang menjadi pengkhianat adalah Louw Tek Ciang! Seperti telah diceritakan di bagian depan, laki-laki yang berwatak buruk dan kotor ini telah menemukan dan merampas surat dari para pimpinan pendekar dan patriot yang ditujukan kepada Gan-ciangkun, seorang panglima di kota raja yang juga mempunyai ambisi besar untuk bersekutu dengan para pemberontak.
Seperti kita ketahui, Tek Ciang merampas surat itu dari Can Kui Eng, murid Kun-lun-pai yang menerimanya dari kekasihnya, Kwee Cin Koan murid Kong-thong-pai yang juga menjadi anggauta para pendekar yang mempunyai prakarsa atas pertemuan di Hutan Cemara.
Tek Ciang bukan hanya merampas surat, akan tetapi bahkan memperkosa Can Kui Eng dan kemudian dia membunuh pula Pouw Kui Lok yang masih sutenya sendiri itu, kemudian menjatuhkan fitnah kepada Pouw Kui Lok yang dilaporkannya kepada pimpinan Kun-lun-pai sebagai pemerkosa dan pembunuh Can Kui Eng!
Setelah berhasil mengelabuhi para tosu Kun-lun-pai dan mencuri kitab Sin-liong Ho-kang, Tek Ciang lalu menjanjikan untuk mencari kitab itu dan pergilah manusia berhati kejam ini ke kota raja.
Dengan sikapnya yang sopan dan terpelajar, akhirnya Tek Ciang berhasil juga dihadapkan kepada kaisar dan dia melaporkan tentang pemberontakan itu, menyerahkan suratnya kepada kaisar. Tentu saja Kaisar Kian Liong merasa terkejut dan marah bukan main. Dia selalu bersikap baik dan bersahabat kepada para pendekar, maka sungguh tidak disangkanya sama sekali bahwa kini para pendekar sedang mengadakan persekutuan untuk memberontak kepadanya!
Dengan kemarahan memuncak, kaisar itu lalu memerintahkan pengawal pergi menangkap Panglima Gan sekeluarga dan menjebloskan mereka ke dalam penjara. Hari itu juga perintah ini dilaksanakan dan gemparlah kota raja ketika mendengar berita bahwa Panglima Gan ditangkap dan dijebloskan ke dalam tahanan atas perintah kaisar sendiri!
Kaisai lalu memanggil semua menteri dan hulubalangnya. Di depan mereka ini, Tek Ciang mengulang apa yang diketahuinya dan kaisar menyuruh baca surat dari para pendekar yang ditujukan kepada Panglima Gan itu.
“Sekarang juga kita harus mengirim pasukan besar ke Hutan Cemara, menangkapi semua pemberontak laknat itu. Panggil Jenderal Kao, dialah orangnya yang akan memimpin pasukan menangkapi para pemberontak!” bentak kaisar.
“Harap paduka sudi mengampunkan kelancangan hamba, akan tetapi hamba rasa menyuruh jenderal itu memimpin pasukan menyergap para pemberontak tidaklah tepat, sri baginda!”
Tiba-tiba Tek Ciang berkata dan semua pembesar yang berada di situ terkejut. Orang ini sudah bosan hidup, pikir mereka, berani mencela keputusan sri baginda kaisar. Akan tetapi Kaisar Kian Liong yang sudah merasa berterima kasih kepada Tek Ciang, tidak menjadi marah, hanya merasa heran.
“Louw Tek Ciang, apa maksudmu dengan ucapanmu itu? Jenderal Kao Cin Liong adalah seorang panglima cakap, dan juga memiliki ilmu kepandaian tinggi. Hanya dialah yang akan mampu menandingi para pendekar!”
“Ampun, sri baginda. Hamba berani mengemukakan pendapat hamba atas dasar perhitungan yang matang. Hendaknya paduka ketahui bahwa para pemberontak itu terdiri dari para pendekar dan banyak pula keluarga para pendekar Pulau Es hadir di sana. Seperti paduka ketahui, Jenderal Kao Cin Liong adalah mantu dari seorang pendekar Pulau Es. Maka kalau dia yang memimpin pasukan, hamba berani berkeyakinan bahwa usaha penyergapan itu tidak akan berhasil, mungkin malah gagal dan siapa tahu Jenderal Kao itu diam-diam bersekongkol dengan para pemberontak, atau setidaknya merasa simpati kepada mereka. Maka, akan lebih tepatlah kalau paduka memerintahkan seorang panglima lain yang memimpin pasukan untuk menyergap di Hutan Cemara. Adapun mengenai para pendekar di sana, hamba sendiripun sanggup untuk membantu pasukan menghadapi mereka!”
Kaisar Kian Liong mengangguk-angguk dan alisnya berkerut. Dia teringat akan permohonan jenderal Kao Cin Liong untuk mengurdurkan diri. Sudah pernah jenderal muda itu mohon agar diperkenankan mengundurkan diri meninggalkan jabatannya, akan tetapi dia menahannya. Dan sekarang ada pemberontakan para pendekar itu!
“Baiklah, kami akan mengutus Jenderal Cao Hui untuk menyergap para pemberontak itu. Jenderal Cao, bersiaplah dengan lima ribu orang tentara dan sergap hutan itu, tangkap semua pemberontak. Akan tetapi sebelumnya, kau coba dulu Louw Tek Ciang ini apakah cukup tepat untuk membantumu, apakah benar dia ada kepandaian ataukah tidak.”
Jenderal Cao Hui adalah seorang laki-laki tinggi besar berusia empat puluh lima tahun. Selain pandai dalam ilmu perang, dia juga pandai ilmu silat dan mempunyai tenaga besar. Pernah dia belajar ilmu silat pada seorang hwesio Siauw-lim-pai dan karena itu dia cukup lihai. Setelah menerima perintah kaisar, Jenderal Cao Hui bangkit berdiri sesudah memberi hormat kepada kaisar dan menghadapi Louw Tek Ciang yang masih berlutut.
“Louw-sicu, mari kita mentaati perintah sri baginda.”
Tek Ciang berlutut memberi hormat kepada kaisar yang memberi isyarat dengan tangan agar dia bangkit dan menghadapi jenderal itu. Mereka berdua kini sudah berdiri saling berhadapan ditonton oleh kaisar dan para hulubalang.
“Louw-sicu, sambutlah seranganku ini!”
Jenderal Cao Hui menggerakkan kedua tangannya mengirim serangan sambil mengerahkan tenaga. Kaisar memerintahkan agar dia menguji, maka diapun hanya ingin menguji kecepatan dan kekuatan orang yang melapor tentang adanya pemberontakan dan menjanjikan bantuan kepadanya itu.
“Ciangkun, maafkan saya!” jawab Tek Ciang sambil menggerakkan kedua tangan ke depan menyambut serangan panglima itu.
Gerakannya ini cepat bukan main dan ternyata kedua telapak tangannya dengan tepat menerima kedua tangan Cao-goanswe.
“Plakk!”