“Ayah....!” Sim Houw mengeluh dengan sedih. Ayahnya terluka berat dan hampir kehabisan darah karena luka-lukanya. Kini dia meletakkan tubuh ayahnya di bawah pohon dan dia sendiri berlutut di dekat ayahnya. Dia berhasil melarikan ayahnya dari hutan di mana terjadi pertempuran dan kini berada di tempat aman, di sebuah hutan di balik bukit yang penuh hutan. “Ayah, bagaimana keadaanmu?”
Sim Hong Bu membuka matanya dan memandang kepada puteranya. Mukanya pucat sekali, sepasang mata itupun sudah kehilangan sinarnya. Dia menggerakkan tangannya dan Sim Houw mendekatkan mukanya. Hatinya seperti diremas melihat ayahnya yang sudah demikian payah keadaannya. Ayahnya menggerakkan bibir dan dia mendengar bisikan-bisikan ayahnya.
“Houw-ji, kau.... kau melihat.... Bi Eng.?”
Sim Houw mengerutkan alisnya, teringat betapa Bi Eng membela pemuda yang dia tahu adalah seorang anggauta keluarga Pulau Es.
“Tadi aku tahu, ayah, akan tetapi ia pergi, entah ke mana.” Hatinya tidak senang. Mengapa ayahnya yang keadaannya separah itu bicara tentang gadis itu?
“Houw-ji.... kau melihat Suma Ceng Liong.?”
“Siapa dia, ayah? Aku tidak tahu.”
“Dia.... dia cucu Pendekar Super Sakti...., dia.... dia saling mencinta dengan Bi Eng.... ahh, aku menyesal sekali.... mengapa dahulu mengikatkan perjodohan antara kalian.”
“Ayah, perlu apa bicara tentang hal itu? Aku sama sekali tidak memikirkan tentang perjodohan itu!”
“Benarkah....? Benarkah itu, anakku? Benarkah bahwa engkau.... engkau tidak mencinta Bi Eng.?”
Sim Houw menjadi semakin heran. Dia mengerutkan alisnya. Apakah karena luka-lukanya yang parah membuat ayahnya berobah pikiran? Kalau tidak demikian, kenapa ayahnya menanyakan hal yang bukan-bukan?
“Ayah, kami belum sempat bergaul dan saling mengenal. Biarpun kami sudah saling bertunangan, akan tetapi tanpa saling mengenal mana mungkin ada cinta?”
Anehnya mendengar ucapan, itu wajah orang tua itu nampak girang!
“Bagus, bagus.... ah, senang hatiku mendengar ini.... Houw-ji, engkau.... engkau pergilah menemui pendekar Kam Hong dan.... terus terang saja.... kau putuskan tali perjodohan itu dengan resmi.”
Sim Houw membelalakkan matanya.
“Ayah, apa.... apa maksudmu?”
Dia masih bingung dan heran, tidak tahu sama sekali mengapa ayahnya membicarakan hal perjodohan yang harus dia putuskan itu. Ayahnya yang sudah payah keadaannya itu memegang lengan puteranya dengan kuat untuk beberapa detik lamanya, lalu pegangannya mengendur.
“Dengar baik-baik.... Bi Eng saling mencinta dengan Suma Ceng Liong.... aku melihat dan mendengarnya sendiri.... dan aku tidak menghendaki engkau mengalami nasib yang sama dengan ayahmu.... ingatlah, nak.... aku dan ibumu.... juga menikah tanpa rasa cinta.... dan akibatnya kau tahu sendiri kami berpisah.... sebelum terlambat, putuskan tali perjodohan itu dan.... dan jangan sekali-kali.... menanamkan permusuhan dengan.... keluarga Suma.” Kakek itu tidak kuat lagi, terkulai lemas.
“Ayaaaahhh....!”
Sim Houw menjerit dan merangkul ayahnya yang sudah tidak bernapas lagi itu. Baru detik inilah pemuda itu merasakan kedukaan yang hebat, rasa kesepian dan sendirian ditinggalkan pergi satu-satunya orang yang amat dicintanya. Ibunya tidak pernah memperdulikannya, bahkan terlalu galak terhadap dirinya dan semenjak ayah dan ibunya berpisah seperti yang didengarnya dari ayahnya, diam-diam dia merasa tidak senang kepada ibunya yang membiarkan ayahnya terbuang dari Lembah Naga Siluman.
Sim Hong Bu membuka matanya dan memandang kepada puteranya. Mukanya pucat sekali, sepasang mata itupun sudah kehilangan sinarnya. Dia menggerakkan tangannya dan Sim Houw mendekatkan mukanya. Hatinya seperti diremas melihat ayahnya yang sudah demikian payah keadaannya. Ayahnya menggerakkan bibir dan dia mendengar bisikan-bisikan ayahnya.
“Houw-ji, kau.... kau melihat.... Bi Eng.?”
Sim Houw mengerutkan alisnya, teringat betapa Bi Eng membela pemuda yang dia tahu adalah seorang anggauta keluarga Pulau Es.
“Tadi aku tahu, ayah, akan tetapi ia pergi, entah ke mana.” Hatinya tidak senang. Mengapa ayahnya yang keadaannya separah itu bicara tentang gadis itu?
“Houw-ji.... kau melihat Suma Ceng Liong.?”
“Siapa dia, ayah? Aku tidak tahu.”
“Dia.... dia cucu Pendekar Super Sakti...., dia.... dia saling mencinta dengan Bi Eng.... ahh, aku menyesal sekali.... mengapa dahulu mengikatkan perjodohan antara kalian.”
“Ayah, perlu apa bicara tentang hal itu? Aku sama sekali tidak memikirkan tentang perjodohan itu!”
“Benarkah....? Benarkah itu, anakku? Benarkah bahwa engkau.... engkau tidak mencinta Bi Eng.?”
Sim Houw menjadi semakin heran. Dia mengerutkan alisnya. Apakah karena luka-lukanya yang parah membuat ayahnya berobah pikiran? Kalau tidak demikian, kenapa ayahnya menanyakan hal yang bukan-bukan?
“Ayah, kami belum sempat bergaul dan saling mengenal. Biarpun kami sudah saling bertunangan, akan tetapi tanpa saling mengenal mana mungkin ada cinta?”
Anehnya mendengar ucapan, itu wajah orang tua itu nampak girang!
“Bagus, bagus.... ah, senang hatiku mendengar ini.... Houw-ji, engkau.... engkau pergilah menemui pendekar Kam Hong dan.... terus terang saja.... kau putuskan tali perjodohan itu dengan resmi.”
Sim Houw membelalakkan matanya.
“Ayah, apa.... apa maksudmu?”
Dia masih bingung dan heran, tidak tahu sama sekali mengapa ayahnya membicarakan hal perjodohan yang harus dia putuskan itu. Ayahnya yang sudah payah keadaannya itu memegang lengan puteranya dengan kuat untuk beberapa detik lamanya, lalu pegangannya mengendur.
“Dengar baik-baik.... Bi Eng saling mencinta dengan Suma Ceng Liong.... aku melihat dan mendengarnya sendiri.... dan aku tidak menghendaki engkau mengalami nasib yang sama dengan ayahmu.... ingatlah, nak.... aku dan ibumu.... juga menikah tanpa rasa cinta.... dan akibatnya kau tahu sendiri kami berpisah.... sebelum terlambat, putuskan tali perjodohan itu dan.... dan jangan sekali-kali.... menanamkan permusuhan dengan.... keluarga Suma.” Kakek itu tidak kuat lagi, terkulai lemas.
“Ayaaaahhh....!”
Sim Houw menjerit dan merangkul ayahnya yang sudah tidak bernapas lagi itu. Baru detik inilah pemuda itu merasakan kedukaan yang hebat, rasa kesepian dan sendirian ditinggalkan pergi satu-satunya orang yang amat dicintanya. Ibunya tidak pernah memperdulikannya, bahkan terlalu galak terhadap dirinya dan semenjak ayah dan ibunya berpisah seperti yang didengarnya dari ayahnya, diam-diam dia merasa tidak senang kepada ibunya yang membiarkan ayahnya terbuang dari Lembah Naga Siluman.
Dan kini ayahnya meninggalkannya untuk selamanya, bahkan meninggalkan pesan yang juga menyakitkan hatinya itu. Dia harus melepaskan ikatan jodohnya dengan puteri gurunya! Memang, dia belum pernah jatuh cinta, dan terhadap Bi Eng dia hanya merasa kagum saja, apalagi karena tadinya menganggap gadis itu sebagai calon isterinya. Akan tetapi, dia belum pernah merasa jatuh cinta kepada gadis itu.
“Ayah....!”
Kembali dia mengeluh dan menggerakkan jari-jari tangannya, dengan lembut merapatkan mata dan mulut jenazah ayahnya yang masih hangat.
Pada saat itu teringatlah Sim Houw akan sikap Bi Eng dalam hutan cemara itu. Dan sikap pemuda yang diserangnya. Kini dia dapat menduga bahwa tentu pemuda Pulau Es yang dibela oleh Bi Eng itulah pemuda yang bernama Suma Ceng Liong dan oleh ayahnya dikatakan saling mencinta dengan Bi Eng. Mengertilah dia akan sikap Bi Eng sekarang.
Tentu tunangannya itu dibujuk oleh pemuda Pulau Es untuk tidak melawan pasukan dan gadis itu berada dalam bingung dan ragu.
“Suhu....!”
Sim Houw menengok kaget. Karena duka dan tenggelam dalam renungan sendiri, pemuda yang lihai itu sampai tidak tahu bahwa ada dua orang menghampirinya. Kiranya Bi Eng dan Ceng Liong sudah berdiri di belakangnya, dalam jarak lima meter. Sim Houw merasa betapa seluruh tubuhnya gemetar. Rasa duka yang amat hebat bergelombang menerjang hatinya dan diapun memejamkan hatinya, lalu menunduk dan memegangi pundak ayahnya, menahan air matanya yang akan tumpah lagi.
“Suhu....!”
Sekali lagi Bi Eng berseru dan kini gadis itupun lari menghampiri, lalu menjatuhkan diri berlutut di dekat jenazah gurunya, tak dapat menahan air matanya yang menetes-netes turun membasahi pipinya. Sejenak ia terisak. Gurunya adalah seorang yang amat sayang kepadanya, maka kini melihat gurunya rebah menjadi mayat, tentu saja hal ini amat mengejutkan dan menyedihkan hatinya. Setelah tangisnya mereda, Bi Eng memandang kepada Sim Houw dengan mata basah.
“Apakah yang telah terjadi? Mengapa.... suhu....”
“Tenangkan hatimu, sumoi. Ayah telah tewas sebagai seorang patriot yang berjiwa besar, tewas dalam membela tanah air dan bangsa dari tangan penjajah!”
Ucapan Sim Houw itu lantang dan memang dia sengaja bicara keras agar terdengar oleh Suma Ceng Lioug. Sebetulnya, tak perlu dia bicara keras karena sejak tadi Ceng Liong berada di situ, bahkan kini pemuda itu berlutut pula tak jauh dari jenazah itu.
“Sim-locianpwe tewas sebagai orang besar yang gagah perkasa, sungguh makin besar rasa kagum dan hormatku kepadanya,” kata Suma Ceng Liong seperti bicara kepada diri sendiri.
Sim Houw menoleh dan melihat pemuda itu dia bangkit berdiri dan bertanya kepada Bi Eng yang masih berlutut,
“Kam-sumoi, aku melihat dia ini yang kau bela di Hutan Cemara. Siapakah dia? Maukah engkau memperkenalkan aku dengannya?”
Wajah gadis itu berobah menjadi merah sekali. Akan tetapi Bi Eng adalah seorang gadis yang memang memiliki dasar watak yang amat gagah dan tabah. Ia berani berbuat dan berani bertanggung jawab, apapun resikonya ia berani menghadapinya. Maka iapun bangkit dan sejenak ia memandang kepada Ceng Liong, kemudian menghadapi Sim Houw. Ia tidak tahu mengapa Sim Houw yang biasanya menyebutnya siocia (nona) itu kini berubah menjadi sumoi (adik seperguruan), maka iapun menyebut suheng kepadanya.
“Sim-suheng, dia ini adalah.... Suma Ceng Liong, dia dan aku adalah.... sahabat baik.”
Sim Houw memandang kepada Ceng Liong. Keduanya saling pandang dan kini Ceng Liong juga sudah bangkit berdiri. Sinar mata Sim Houw penuh selidik, sedangkan sinar mata Ceng Liong menunduk seperti orang yang merasa bersalah.
“Kam-sumoi, bagaimanapun juga, kita berdua oleh orang tua kita masing-masing telah ditunangkan dan sebagai orang yang dicalonkan sebagai suamimu tentu saja aku berhak mengetahui keadaan sebenarnya dari perasaan hatimu, bukan?”
“Sim-suheng, apa maksudmu?” Bi Eng bertanya, memandang tajam.
“Sumoi, katakanlah terus terang. Apakah engkau mencinta saudara Suma Ceng Liong ini?”
Tentu saja pertanyaan yang merupakan serangan langsung ini amat mengejutkan Bi Eng. Tak disangka tunangannya itu akan mengajukan pertanyaan seperti itu, dan karena datangnya pertanyaan begitu tiba-tiba dan tak tersangka-sangka, ia menjadi terkejut dan sejenak ia bungkam tak mampu mengeluarkan jawaban!
“Sumoi, aku berhak mengetahui, bukan?” Sim Houw mendesak, penasaran.
Bi Eng sudah dapat menguasai lagi hatinya dan ia mengangguk.
“Benar, suheng,” jawabnya kemudian dengan suara tegas sehingga Ceng Liong merasa terharu bukan main.
Kini Sim Houw membalikkan tubuh menghadapinya. Ceng Liong sudah siap untuk menghadapi serangan karena dia tahu bahwa pemuda ini merupakan lawan yang tangguh.
Akan tetapi Sim Houw tidak membuat gerakan menyerangnya, melainkan bertanya, suaranya tetap tenang dan tegas.
“Saudara Suma Ceng Liong, apakah engkau mencinta sumoi Kam Bi Eng?”
Ceng Liong mengangguk perlahan.
“Saudara Sim, terus terang saja, dahulu, di waktu remaja kami pernah saling bertemu dan berkenalan. Baru dalam Hutan Cemara kami saling jumpa lagi dan.... dan kami saling jatuh cinta. Ya, aku memang mencintanya, saudara Sim.”
Sim Houw menarik napas panjang.
“Bagus, aku hargai kejujuran kalian berdua. Sekarang bereslah sudah.” dan diapun berlutut kembali dekat jenazah ayahnya.
“Sim-suheng.... kau.... kau maafkan aku....” Bi Eng mendekati dan berkata lirih dengan hati kasihan.
Akan tetapi Sim Houw menoleh kepadanya dan terseyum, lalu menggeleng kepala.
“Sumoi, tidak ada apa-apa yang perlu dirisaukan atau dimaafkan. Akupun harus jujur kepadamu. Sesungguhnya, pertalian antara kita hanya dibuat oleh orang tua kita, sedangkan di antara kita sendiri tidak pernah ada apa-apa. Kita bahkan belum pernah berkenalan atau bergaul, jadi.... bagiku tidak mengapalah kalau diputuskan juga. Akan tetapi, karena hal ini menyangkut nama orang tua, yang memutuskannya haruslah orang tua pula. Maka, aku akan mengurus jenazah ayah, setelah itu aku akan menghadap suhu atau ayahmu dan minta diputuskannya tali perjadohan antara kita.”
Bi Eng dan Ceng Liong menjadi girang sekali.
“Suheng, betapa bijaksana hatimu.”
Kembali Sim Houw tersenyum pahit dan menggeleng kepala.
“Aku bertindak biasa saja, sesuai dengan pesan terakhir ayahku.”
“Suhu....?” Bi Eng bertanya kaget.
“Dia melihat dan mendengar percakapan kalian, dialah yang memberi tahu kepadaku dalam pesan terakhir bahwa kalian saling mencinta dan dia pula yang menyuruh aku memutuskan tali perjodohan.”
“Ah, suhu.... suhu.... sebelum meninggal.... dia marah kepadaku, suheng?” tanya Bi Eng cemas.
Gurunya amat sayang kepadanya dan hatinya akan merasa menyesal sekali kalau sebelum meninggal dunia gurunya itu mengandung hati marah dan menyesal kepadanya.
Akan tetapi, legalah hatinya ketika pemuda itu menggelengkan kepalanya.
“Tidak, sumoi. Ayah adalah orang yang sudah mengalami penderitaan pahit dalam pernikahannya dan karena itu dia menjadi bijaksana. Dia tahu bahwa pernikahan tanpa cinta kasih kedua pihak takkan mendatangkan kebahagiaan, oleh karena itu bahkan ayah yang menganjurkan agar aku membatalkan ikatan perjodohan ini secara resmi.”
“Ah, suhu sungguh bijaksana, semoga arwahnya diterima oleh Thian.” kata Bi Eng terharu sekali, akan tetapi juga girang dan berterima kasih kepada mendiang suhunya.
“Nah, pergilah, sumoi. Pergilah lebih dulu ke rumah orang tuamu, aku akan menyusul kemudian setelah selesai mengurus jenazah ayah.”
“Tidak, suheng. Aku akan membantumu mengurus jenazah suhu.”
“Jangan, sumoi. Pergilah dan tinggalkan aku sendiri bersama ayah.... ahh, tinggalkan aku.... sendirian bersama ayah.!”
Pemuda itu menutupi kedua mukanya. Agaknya kedukaan yang mencekam hatinya sudah memuncak membuat pemuda itu tidak kuat bertahan lagi. Melihat ini, Ceng Liong menyentuh lengan kekasihnya dan memberi isyarat untuk pergi dari situ.
Hidup manusia akan selalu bergelimang duka apabila batin tidak bebas seluruhnya daripada ikatan-ikatan. Ikatan dengan orang lain seperti isteri, anak-anak, keluarga. Ikatan dengan benda, kekayaan, kepandaian, kedudukan, nama dan sebagainya. Selama batin terikat, maka sekali terjadi perpisahan akan timbullah duka. Dan perpisahan ini pasti terjadi, baik dengan jalan orang atau benda yang terikat di batin kita itu mati atau hilang, atau sebaliknya kita sendiri yang meninggalkan mereka ketika kita mati. Dan mati berarti perpisahan, dari semuanya. Maka, apabila batin terikat, kita takut menghadapi kematian, takut akan kehilangan semua itu, takut kehilangan ketenteraman yang kita dambakan.
Cinta bukan berarti pengikatan batin. Cinta tidak akan menimbulkan duka. Pengikatan batin timbul karena nafsu, karena si aku yang ingin memiliki segala yang menyenangkan dan membuang segala yang tidak menyenangkan.
Kebebasan batin dari ikatan bukanlah berarti bahwa kita menjadi tidak perduli terhadap keluarga kita, terhadap orang-orang lain, terhadap pekerjaan, harta milik, nama dan sebagainya itu. Bukan berarti kita tidak acuh terhadap kewajiban-kewajiban kita sebagai seorang manusia yang hidup bermasyarakat, berkeluarga di dunia ramai ini. Sama sekali tidak demikian. Kebebasan batin berarti batin yang tidak terikat oleh ikatan-ikatan lahiriah itu karena kewaspadaan melihat bahwa ikatan-ikatan ini hanya akan menimbulkan duka, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.
“Ayah....!”
Kembali dia mengeluh dan menggerakkan jari-jari tangannya, dengan lembut merapatkan mata dan mulut jenazah ayahnya yang masih hangat.
Pada saat itu teringatlah Sim Houw akan sikap Bi Eng dalam hutan cemara itu. Dan sikap pemuda yang diserangnya. Kini dia dapat menduga bahwa tentu pemuda Pulau Es yang dibela oleh Bi Eng itulah pemuda yang bernama Suma Ceng Liong dan oleh ayahnya dikatakan saling mencinta dengan Bi Eng. Mengertilah dia akan sikap Bi Eng sekarang.
Tentu tunangannya itu dibujuk oleh pemuda Pulau Es untuk tidak melawan pasukan dan gadis itu berada dalam bingung dan ragu.
“Suhu....!”
Sim Houw menengok kaget. Karena duka dan tenggelam dalam renungan sendiri, pemuda yang lihai itu sampai tidak tahu bahwa ada dua orang menghampirinya. Kiranya Bi Eng dan Ceng Liong sudah berdiri di belakangnya, dalam jarak lima meter. Sim Houw merasa betapa seluruh tubuhnya gemetar. Rasa duka yang amat hebat bergelombang menerjang hatinya dan diapun memejamkan hatinya, lalu menunduk dan memegangi pundak ayahnya, menahan air matanya yang akan tumpah lagi.
“Suhu....!”
Sekali lagi Bi Eng berseru dan kini gadis itupun lari menghampiri, lalu menjatuhkan diri berlutut di dekat jenazah gurunya, tak dapat menahan air matanya yang menetes-netes turun membasahi pipinya. Sejenak ia terisak. Gurunya adalah seorang yang amat sayang kepadanya, maka kini melihat gurunya rebah menjadi mayat, tentu saja hal ini amat mengejutkan dan menyedihkan hatinya. Setelah tangisnya mereda, Bi Eng memandang kepada Sim Houw dengan mata basah.
“Apakah yang telah terjadi? Mengapa.... suhu....”
“Tenangkan hatimu, sumoi. Ayah telah tewas sebagai seorang patriot yang berjiwa besar, tewas dalam membela tanah air dan bangsa dari tangan penjajah!”
Ucapan Sim Houw itu lantang dan memang dia sengaja bicara keras agar terdengar oleh Suma Ceng Lioug. Sebetulnya, tak perlu dia bicara keras karena sejak tadi Ceng Liong berada di situ, bahkan kini pemuda itu berlutut pula tak jauh dari jenazah itu.
“Sim-locianpwe tewas sebagai orang besar yang gagah perkasa, sungguh makin besar rasa kagum dan hormatku kepadanya,” kata Suma Ceng Liong seperti bicara kepada diri sendiri.
Sim Houw menoleh dan melihat pemuda itu dia bangkit berdiri dan bertanya kepada Bi Eng yang masih berlutut,
“Kam-sumoi, aku melihat dia ini yang kau bela di Hutan Cemara. Siapakah dia? Maukah engkau memperkenalkan aku dengannya?”
Wajah gadis itu berobah menjadi merah sekali. Akan tetapi Bi Eng adalah seorang gadis yang memang memiliki dasar watak yang amat gagah dan tabah. Ia berani berbuat dan berani bertanggung jawab, apapun resikonya ia berani menghadapinya. Maka iapun bangkit dan sejenak ia memandang kepada Ceng Liong, kemudian menghadapi Sim Houw. Ia tidak tahu mengapa Sim Houw yang biasanya menyebutnya siocia (nona) itu kini berubah menjadi sumoi (adik seperguruan), maka iapun menyebut suheng kepadanya.
“Sim-suheng, dia ini adalah.... Suma Ceng Liong, dia dan aku adalah.... sahabat baik.”
Sim Houw memandang kepada Ceng Liong. Keduanya saling pandang dan kini Ceng Liong juga sudah bangkit berdiri. Sinar mata Sim Houw penuh selidik, sedangkan sinar mata Ceng Liong menunduk seperti orang yang merasa bersalah.
“Kam-sumoi, bagaimanapun juga, kita berdua oleh orang tua kita masing-masing telah ditunangkan dan sebagai orang yang dicalonkan sebagai suamimu tentu saja aku berhak mengetahui keadaan sebenarnya dari perasaan hatimu, bukan?”
“Sim-suheng, apa maksudmu?” Bi Eng bertanya, memandang tajam.
“Sumoi, katakanlah terus terang. Apakah engkau mencinta saudara Suma Ceng Liong ini?”
Tentu saja pertanyaan yang merupakan serangan langsung ini amat mengejutkan Bi Eng. Tak disangka tunangannya itu akan mengajukan pertanyaan seperti itu, dan karena datangnya pertanyaan begitu tiba-tiba dan tak tersangka-sangka, ia menjadi terkejut dan sejenak ia bungkam tak mampu mengeluarkan jawaban!
“Sumoi, aku berhak mengetahui, bukan?” Sim Houw mendesak, penasaran.
Bi Eng sudah dapat menguasai lagi hatinya dan ia mengangguk.
“Benar, suheng,” jawabnya kemudian dengan suara tegas sehingga Ceng Liong merasa terharu bukan main.
Kini Sim Houw membalikkan tubuh menghadapinya. Ceng Liong sudah siap untuk menghadapi serangan karena dia tahu bahwa pemuda ini merupakan lawan yang tangguh.
Akan tetapi Sim Houw tidak membuat gerakan menyerangnya, melainkan bertanya, suaranya tetap tenang dan tegas.
“Saudara Suma Ceng Liong, apakah engkau mencinta sumoi Kam Bi Eng?”
Ceng Liong mengangguk perlahan.
“Saudara Sim, terus terang saja, dahulu, di waktu remaja kami pernah saling bertemu dan berkenalan. Baru dalam Hutan Cemara kami saling jumpa lagi dan.... dan kami saling jatuh cinta. Ya, aku memang mencintanya, saudara Sim.”
Sim Houw menarik napas panjang.
“Bagus, aku hargai kejujuran kalian berdua. Sekarang bereslah sudah.” dan diapun berlutut kembali dekat jenazah ayahnya.
“Sim-suheng.... kau.... kau maafkan aku....” Bi Eng mendekati dan berkata lirih dengan hati kasihan.
Akan tetapi Sim Houw menoleh kepadanya dan terseyum, lalu menggeleng kepala.
“Sumoi, tidak ada apa-apa yang perlu dirisaukan atau dimaafkan. Akupun harus jujur kepadamu. Sesungguhnya, pertalian antara kita hanya dibuat oleh orang tua kita, sedangkan di antara kita sendiri tidak pernah ada apa-apa. Kita bahkan belum pernah berkenalan atau bergaul, jadi.... bagiku tidak mengapalah kalau diputuskan juga. Akan tetapi, karena hal ini menyangkut nama orang tua, yang memutuskannya haruslah orang tua pula. Maka, aku akan mengurus jenazah ayah, setelah itu aku akan menghadap suhu atau ayahmu dan minta diputuskannya tali perjadohan antara kita.”
Bi Eng dan Ceng Liong menjadi girang sekali.
“Suheng, betapa bijaksana hatimu.”
Kembali Sim Houw tersenyum pahit dan menggeleng kepala.
“Aku bertindak biasa saja, sesuai dengan pesan terakhir ayahku.”
“Suhu....?” Bi Eng bertanya kaget.
“Dia melihat dan mendengar percakapan kalian, dialah yang memberi tahu kepadaku dalam pesan terakhir bahwa kalian saling mencinta dan dia pula yang menyuruh aku memutuskan tali perjodohan.”
“Ah, suhu.... suhu.... sebelum meninggal.... dia marah kepadaku, suheng?” tanya Bi Eng cemas.
Gurunya amat sayang kepadanya dan hatinya akan merasa menyesal sekali kalau sebelum meninggal dunia gurunya itu mengandung hati marah dan menyesal kepadanya.
Akan tetapi, legalah hatinya ketika pemuda itu menggelengkan kepalanya.
“Tidak, sumoi. Ayah adalah orang yang sudah mengalami penderitaan pahit dalam pernikahannya dan karena itu dia menjadi bijaksana. Dia tahu bahwa pernikahan tanpa cinta kasih kedua pihak takkan mendatangkan kebahagiaan, oleh karena itu bahkan ayah yang menganjurkan agar aku membatalkan ikatan perjodohan ini secara resmi.”
“Ah, suhu sungguh bijaksana, semoga arwahnya diterima oleh Thian.” kata Bi Eng terharu sekali, akan tetapi juga girang dan berterima kasih kepada mendiang suhunya.
“Nah, pergilah, sumoi. Pergilah lebih dulu ke rumah orang tuamu, aku akan menyusul kemudian setelah selesai mengurus jenazah ayah.”
“Tidak, suheng. Aku akan membantumu mengurus jenazah suhu.”
“Jangan, sumoi. Pergilah dan tinggalkan aku sendiri bersama ayah.... ahh, tinggalkan aku.... sendirian bersama ayah.!”
Pemuda itu menutupi kedua mukanya. Agaknya kedukaan yang mencekam hatinya sudah memuncak membuat pemuda itu tidak kuat bertahan lagi. Melihat ini, Ceng Liong menyentuh lengan kekasihnya dan memberi isyarat untuk pergi dari situ.
Hidup manusia akan selalu bergelimang duka apabila batin tidak bebas seluruhnya daripada ikatan-ikatan. Ikatan dengan orang lain seperti isteri, anak-anak, keluarga. Ikatan dengan benda, kekayaan, kepandaian, kedudukan, nama dan sebagainya. Selama batin terikat, maka sekali terjadi perpisahan akan timbullah duka. Dan perpisahan ini pasti terjadi, baik dengan jalan orang atau benda yang terikat di batin kita itu mati atau hilang, atau sebaliknya kita sendiri yang meninggalkan mereka ketika kita mati. Dan mati berarti perpisahan, dari semuanya. Maka, apabila batin terikat, kita takut menghadapi kematian, takut akan kehilangan semua itu, takut kehilangan ketenteraman yang kita dambakan.
Cinta bukan berarti pengikatan batin. Cinta tidak akan menimbulkan duka. Pengikatan batin timbul karena nafsu, karena si aku yang ingin memiliki segala yang menyenangkan dan membuang segala yang tidak menyenangkan.
Kebebasan batin dari ikatan bukanlah berarti bahwa kita menjadi tidak perduli terhadap keluarga kita, terhadap orang-orang lain, terhadap pekerjaan, harta milik, nama dan sebagainya itu. Bukan berarti kita tidak acuh terhadap kewajiban-kewajiban kita sebagai seorang manusia yang hidup bermasyarakat, berkeluarga di dunia ramai ini. Sama sekali tidak demikian. Kebebasan batin berarti batin yang tidak terikat oleh ikatan-ikatan lahiriah itu karena kewaspadaan melihat bahwa ikatan-ikatan ini hanya akan menimbulkan duka, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.
**** 107 ****
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================