Akan tetapi, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu pemuda itu sudah meloncat, kedua tangannya bergerak dan tanpa ada suara keluhan apa pun, tubuh dua orang itu pun terjungkal dan tewas seketika?
Melihat ini, Ci Hwa merasa ngeri, juga kagum juga agak takut. Pemuda tampan itu sedemikian lihainya, gerakannya ketika merobohkan orang itu sama sekali tidak dapat diikuti dengan pandang matanya, demikian cepat sehingga dia tidak tahu bagaimana dua orang itu roboh terus mati. Dan pemuda ini memiliki pembawaan yang demikian agung dan berwibawa, halus gerak-gerik dan tutur sapanya, dan demikian tampan memikat, seperti seorang tokoh bangsawan dalam dongeng saja!
Sementara itu, dengan sikap acuh, Siangkoan Liong menghampiri tujuh buah mayat itu dan setiap kali kakinya bergerak, sesosok mayat terlempar ke dalam jurang di samping jalan, jurang yang dalam seperti mulut raksasa terpentang lebar menelan mayat-mayat itu sampai tidak nampak lagi dari atas.
Setelah menendangi tujuh buah mayat itu masuk jurang, Siangkoan Liong melangkah pergi meninggalkan Ci Hwa tanpa menoleh satu kalipun,
Ci Hwa cepat mengejarnya.
“Kongcu.... nanti dulu....!” katanya dan sekaligus bingung juga apa yang harus dikatakan dan mengapa pula ia mengejar pemuda itu.
Siangkoan Liong dengan sikapnya yang halus lembut dan anggun itu menahan langkah dan membalikkan tubuhnya menghadapi Ci Hwa, lalu agaknya baru sekarang ia memperhatikan gadis itu, dari ujung rambut sampai ke kaki dan agaknya harus dia membenarkan pendapat dua orang anak buahnya bahwa gadis ini memang hitam manis dan cantik menarik.
“Ada apa lagikah, Nona! Sudah kusingkirkan para pengganggumu.”
Ci Hwa agak gugup dan mukanya menjadi merah.
“Aku.... aku berterima kasih sekali atas pertolonganmu, Kongcu.”
Siangkoan Liong tersenyum dan Ci Hwa merasa betapa jantungnya seolah-olah berjungkir-balik. Betapa tampannya pemuda itu ketika tersenyum seperti itu. Sepasang matanya yang indah tajam itu seperti menyalakan api, wajahnya nampak ramah dan tampan bukan main.
“Tidak perlu berterima kasih, Nona, dan engkau boleh melanjutkan perjalanan dengan hati tenang sekarang.”
“Akan tetapi.... aku memang sengaja datang hendak berkunjung ke Tiat-liong-pang dan melihat sikap kedua orang Tiat-liong-pang tadi kepadamu, agaknya Kongcu juga dari Tiat-liong-pang. Benarkah itu?”
Siangkoan Liong tertarik dan mengamati lebih tajam. Apa maunya gadis muda ini, pikirnya.
“Siapakah engkau, Nona dan apa keperluanmu berkunjung kepada Tiat-long-pang?"
Ci Hwa mengangkat muka memandang. Sampai lama mereka kini saling pandang dan hati Ci Hwa semakin tertarik. Selama hidupnya, baru sekali ini ia bertemu dengan seorang pemuda yang begini hebat. Wajahnya demikian tampan, anggun dan juga agung, penuh wibawa namun tidak nampak galak, melainkan halus sikapnya lembut dan ramah gerak-geriknya.
Ketampanan itu mengandung kegagahan tersembunyi, sedangkan pakaiannya yang seperti seorang terpelajar tinggi itu rapi, seperti pakaian seorang pemuda bangsawan saja. Ketika ditanya tentang keperluannya hendak mengunjungi Tiat-liong-pang, tentu saja ia merasa rikuh untuk memberitahukan, sebelum ia mengenal benar siapa pemuda ini dan apa hubungannya dengan Tiat-liong-pang. Akan tetapi karena orang ini telah menyelamatkannya dan bersikap baik juga ramah, ia pun segera memberi hormat dan menjawab dengan sikap halus pula.
“Nama saya Kwee Ci Hwa, Kongcu. Saya datang dari dusun Ban-goan. Ayah saya adalah Kwee Tay Seng atau Kwee Pangcu, ketua dari perusahaan Ban-goan Piauw-kiok di kota kami. Adapun keperluan saya mencari Tiat-liong-pang adalah.... akan tetapi aku harus mengetahui dulu siapa Kongcu ini sebelum kuberitahukan kepentinganku.”
Pemuda itu setelah lama saling berpandangan, tidak acuh lagi cara memandangnya seperti tadi, menemukan sesuatu yang amat menarik dalam diri Ci Hwa. Seorang gadis yang memang manis sekali, dengan bentuk tubuh yang menggairahkan, dengan sinar mata yang memancarkan semangat dan keberanian, dengan sebuah mulut yang teramat menarik, mulut yang agaknya memang diciptakan untuk menjadi alat menyampaikan kemesraan yang penuh gairah. Mulailah sinar mata pemuda itu mencorong dan dia pun sudah mengambil keputusan bahwa dia tidak boleh melewatkan seorang gadis semanis ini begitu saja!
Siangkoan Liong bukanlah seorang pemuda yang terlalu mudah jatuh menghadapi kecantikan wanita, akan tetapi, matanya tajam sekali untuk dapat menangkap keindahan yang khas seorang wanita. Terutama sekali setelah di antara semua orang yang bersekutu dengan ayahnya terdapat Sin-kiam Mo-li. Wanita itu, biar usianya sudah mendekati lima puluh tahun, namun masih cantik dan lemah lembut, dan tentu saja amat berpengalaman dalam ilmu menundukkan hati pria.
Dengan keahliannya, ia pun pernah berhasil menundukkan pemuda yang luar biasa itu dan tentu saja dalam hal satu ini, Sin-kiam Mo-li menjadi seorang guru yang teramat pandai dan berpengalaman. Peristiwa yang terjadi dengan Sin-kiam Mo-li itu setelah membangkitkan naga yang tadinya masih tertidur dalam diri Siangkoan Liong, dan sekali naga nafsu itu bangkit maka selalu hendak mencari korban. Dan dalam pandangan pemuda itu, Ci Hwa merupakan calon korban yang amat menarik.
“Aih, kiranya engkau puteri seorang piauwsu, nona Kwee Ci Hwa. Heran sekali, mengapa puteri seorang piauwsu mencari Tiat-liong-pang. Ketahuilah, bahwa ketua Tiat-liong-pang, yaitu Siangkoan Pangcu, adalah ayah kandungku. Ibuku seorang puteri dari istana dan aku masih disebut orang pangeran karena aku putera ibuku. Namaku Siangkoan Liong.”
Ci Hwa semakin kagum. Seorang pangeran? Pantas, begini tampan gagah dan berwibawa. Dan tentang kepandaian silatnya, ia tidak meragukannya lagi, walaupun ia juga bergidik ngeri melihat betapa mudahnya pangeran ini membunuh orang, anak buahnya sendiri malah!
“Aih, kalau begitu aku telah bersikap kurang hormat, Pangeran.“
Melihat ini, Ci Hwa merasa ngeri, juga kagum juga agak takut. Pemuda tampan itu sedemikian lihainya, gerakannya ketika merobohkan orang itu sama sekali tidak dapat diikuti dengan pandang matanya, demikian cepat sehingga dia tidak tahu bagaimana dua orang itu roboh terus mati. Dan pemuda ini memiliki pembawaan yang demikian agung dan berwibawa, halus gerak-gerik dan tutur sapanya, dan demikian tampan memikat, seperti seorang tokoh bangsawan dalam dongeng saja!
Sementara itu, dengan sikap acuh, Siangkoan Liong menghampiri tujuh buah mayat itu dan setiap kali kakinya bergerak, sesosok mayat terlempar ke dalam jurang di samping jalan, jurang yang dalam seperti mulut raksasa terpentang lebar menelan mayat-mayat itu sampai tidak nampak lagi dari atas.
Setelah menendangi tujuh buah mayat itu masuk jurang, Siangkoan Liong melangkah pergi meninggalkan Ci Hwa tanpa menoleh satu kalipun,
Ci Hwa cepat mengejarnya.
“Kongcu.... nanti dulu....!” katanya dan sekaligus bingung juga apa yang harus dikatakan dan mengapa pula ia mengejar pemuda itu.
Siangkoan Liong dengan sikapnya yang halus lembut dan anggun itu menahan langkah dan membalikkan tubuhnya menghadapi Ci Hwa, lalu agaknya baru sekarang ia memperhatikan gadis itu, dari ujung rambut sampai ke kaki dan agaknya harus dia membenarkan pendapat dua orang anak buahnya bahwa gadis ini memang hitam manis dan cantik menarik.
“Ada apa lagikah, Nona! Sudah kusingkirkan para pengganggumu.”
Ci Hwa agak gugup dan mukanya menjadi merah.
“Aku.... aku berterima kasih sekali atas pertolonganmu, Kongcu.”
Siangkoan Liong tersenyum dan Ci Hwa merasa betapa jantungnya seolah-olah berjungkir-balik. Betapa tampannya pemuda itu ketika tersenyum seperti itu. Sepasang matanya yang indah tajam itu seperti menyalakan api, wajahnya nampak ramah dan tampan bukan main.
“Tidak perlu berterima kasih, Nona, dan engkau boleh melanjutkan perjalanan dengan hati tenang sekarang.”
“Akan tetapi.... aku memang sengaja datang hendak berkunjung ke Tiat-liong-pang dan melihat sikap kedua orang Tiat-liong-pang tadi kepadamu, agaknya Kongcu juga dari Tiat-liong-pang. Benarkah itu?”
Siangkoan Liong tertarik dan mengamati lebih tajam. Apa maunya gadis muda ini, pikirnya.
“Siapakah engkau, Nona dan apa keperluanmu berkunjung kepada Tiat-long-pang?"
Ci Hwa mengangkat muka memandang. Sampai lama mereka kini saling pandang dan hati Ci Hwa semakin tertarik. Selama hidupnya, baru sekali ini ia bertemu dengan seorang pemuda yang begini hebat. Wajahnya demikian tampan, anggun dan juga agung, penuh wibawa namun tidak nampak galak, melainkan halus sikapnya lembut dan ramah gerak-geriknya.
Ketampanan itu mengandung kegagahan tersembunyi, sedangkan pakaiannya yang seperti seorang terpelajar tinggi itu rapi, seperti pakaian seorang pemuda bangsawan saja. Ketika ditanya tentang keperluannya hendak mengunjungi Tiat-liong-pang, tentu saja ia merasa rikuh untuk memberitahukan, sebelum ia mengenal benar siapa pemuda ini dan apa hubungannya dengan Tiat-liong-pang. Akan tetapi karena orang ini telah menyelamatkannya dan bersikap baik juga ramah, ia pun segera memberi hormat dan menjawab dengan sikap halus pula.
“Nama saya Kwee Ci Hwa, Kongcu. Saya datang dari dusun Ban-goan. Ayah saya adalah Kwee Tay Seng atau Kwee Pangcu, ketua dari perusahaan Ban-goan Piauw-kiok di kota kami. Adapun keperluan saya mencari Tiat-liong-pang adalah.... akan tetapi aku harus mengetahui dulu siapa Kongcu ini sebelum kuberitahukan kepentinganku.”
Pemuda itu setelah lama saling berpandangan, tidak acuh lagi cara memandangnya seperti tadi, menemukan sesuatu yang amat menarik dalam diri Ci Hwa. Seorang gadis yang memang manis sekali, dengan bentuk tubuh yang menggairahkan, dengan sinar mata yang memancarkan semangat dan keberanian, dengan sebuah mulut yang teramat menarik, mulut yang agaknya memang diciptakan untuk menjadi alat menyampaikan kemesraan yang penuh gairah. Mulailah sinar mata pemuda itu mencorong dan dia pun sudah mengambil keputusan bahwa dia tidak boleh melewatkan seorang gadis semanis ini begitu saja!
Siangkoan Liong bukanlah seorang pemuda yang terlalu mudah jatuh menghadapi kecantikan wanita, akan tetapi, matanya tajam sekali untuk dapat menangkap keindahan yang khas seorang wanita. Terutama sekali setelah di antara semua orang yang bersekutu dengan ayahnya terdapat Sin-kiam Mo-li. Wanita itu, biar usianya sudah mendekati lima puluh tahun, namun masih cantik dan lemah lembut, dan tentu saja amat berpengalaman dalam ilmu menundukkan hati pria.
Dengan keahliannya, ia pun pernah berhasil menundukkan pemuda yang luar biasa itu dan tentu saja dalam hal satu ini, Sin-kiam Mo-li menjadi seorang guru yang teramat pandai dan berpengalaman. Peristiwa yang terjadi dengan Sin-kiam Mo-li itu setelah membangkitkan naga yang tadinya masih tertidur dalam diri Siangkoan Liong, dan sekali naga nafsu itu bangkit maka selalu hendak mencari korban. Dan dalam pandangan pemuda itu, Ci Hwa merupakan calon korban yang amat menarik.
“Aih, kiranya engkau puteri seorang piauwsu, nona Kwee Ci Hwa. Heran sekali, mengapa puteri seorang piauwsu mencari Tiat-liong-pang. Ketahuilah, bahwa ketua Tiat-liong-pang, yaitu Siangkoan Pangcu, adalah ayah kandungku. Ibuku seorang puteri dari istana dan aku masih disebut orang pangeran karena aku putera ibuku. Namaku Siangkoan Liong.”
Ci Hwa semakin kagum. Seorang pangeran? Pantas, begini tampan gagah dan berwibawa. Dan tentang kepandaian silatnya, ia tidak meragukannya lagi, walaupun ia juga bergidik ngeri melihat betapa mudahnya pangeran ini membunuh orang, anak buahnya sendiri malah!
“Aih, kalau begitu aku telah bersikap kurang hormat, Pangeran.“
“Hushhh, jangan sebut pangeran. Kita bukan di istana. Semua orang memanggil aku Siangkoan Kongcu. Nah, nona Ci Hwa, katakan mengapa seorang gadis yang begini muda dan manis seperti engkau ini, puteri seorang piauwsu, jauh-jauh datang untuk mencari Tiat-liong-pang. Ada urusan apakah?”
Hati Ci Hwa sudah jatuh benar sekarang, Siangkoan Liong memperlihatkan sikap manis, kalau bicara dibarengi senyum dan pancaran matanya tidak menyembunyikan kekagumannya, maka gadis itu pun merasa betapa jantungnya berdebar tidak karuan.
Ia pun lalu menceritakan apa maksud kedatangannya itu. Diceritakan betapa di Ban-goan terjadi pembunuhan-pembunuhan, sejak delapan tahun yang lalu ketika Tan Piauwsu dibunuh orang, kemudian juga Tang Piauwsu, dan yang terakhir adalah orang she Lay terbunuh pula oleh orang berkedok.
“Keluarga Tan menuduh ayah sebagai pembunuh itu, Kongcu, dengan alasan bahwa mungkin ayahku membenci karena persaingan dalam perusahaan. Akan tetapi, ayah sama sekali tidak melakukan pembunuhan-pembunuhan itu dan aku merasa penasaran. Aku harus mencari pembunuh itu untuk mencuci nama baik ayahku. Sebelum orang she Lay itu tewas oleh orang berkedok, dia ada menyebutkan nama perkumpulan Tiat-liong-pang dan karena itulah maka aku meninggalkan rumah dan pergi mengunjungi Tiat-liong-pang untuk mencari keterangan. Akan tetapi di hutan tadi aku bertemu dengan lima orang pemburu yang menawanku, kemudian muncul dua orang anggauta Tiat-liong-pang. Untung ada engkau, Kongcu, yang telah menyelamatkan aku.”
Siangkoan Liong tersenyum lebar dan pandang matanya ramah sekali.
“Aih, nona yang baik, kenapa engkau bercuriga kepada Tiat-liong-pang? Perkumpulan kami terlalu besar untuk berurusan dengan segala macam pembunuhan seperti yang terjadi di Ban-goan itu. Perkumpulan kami dekat dengan istana, dan ayahku adalah keluarga istana, mana mungkin memusuhi segala macam perusahaan piauw-kiok? Akan tetapi agar engkau merasa puas, marilah ikut denganku, dan kau lihat sendiri keadaan perkumpulan kami. Kami cukup kaya dan tidak membutuhkan barang orang lain untuk dirampok. Nah, marilah, Nona. Engkau menjadi seorang tamuku, tamu terhormat.”
Tentu saja Ci Hwa merasa girang dan terhormat sekali. Semangatnya untuk menyelidiki Tiat-liong-pang seperti awan tipis tersapu angin, lenyap sudah. Dan kini, ia berjalan di sebelah pemuda itu bukan lagi seperti seorang yang ingin menyelidiki, melainkan sebagai seorang tamu yang merasa gembira bukan main telah dapat menjadi tamu seorang tuan rumah seperti pemuda ini. Kalau saja para gadis lain melihatnya, berjalan berdampingan dengan seorang pangeran yang demikian tampan demikian gagah perkasa, tentu mereka akan merasa iri hati!
Siangkoan Liong membawa Ci Hwa ke rumah gedung keluarganya, akan tetapi ia tidak mengajaknya berjumpa dengan ayahnya. Juga tidak memperkenalkannya kepada semua orang yang terdapat di gedung itu, dan karena dia diam saja, tak seorang pun di antara para anggauta maupun tamu di rumah itu berani bertanya kepadanya siapa gerangan gadis manis yang datang bersamanya itu.
Sedangkan Ci Hwa, melihat betapa semua orang memberi hormat kepada pemuda itu, merasa semakin bangga! Apalagi ketika ia melihat betapa rumah gedung itu memang penuh dengan perabot rumah yang indah, seperti sebuah istana seorang pembesar saja.
Tidak salah. Pemuda yang berdarah pangeran ini memang kaya raya dan tentu saja tidak perlu harus melakukan perampokan terhadap Tan Piauwsu. Ia dibawa ke ruangan-ruangan yang amat indah, dan akhirnya pemuda itu mengajaknya duduk di dalam sebuah ruangan makan yang tidak berapa luas, namun ruangan ini terhias indah dengan lukisan-lukisan, juga amat bersih dan berbau harum.
Sebuah pintu menembus ke sebuah kamar, yaitu kamar pemuda itu, dihiasi tirai sutera dan dua pot bunga tumbuh subur di kanan kiri pintu. Inilah ruangan makan pribadi dari Siangkoan Kongcu. Pemuda ini memang merasa lebih tinggi daripada para sahabat dan anak buah ayahnya, maka dia jarang sekali mau makan bersama teman-teman ayahnya yang dianggapnya orang-orang kasar. Dia lebih suka makan seorang diri saja di ruangan khusus itu, hanya ayahnya saja yang kadang menemaninya kalau tidak sedang menjamu tamu.
“Duduklah, nona Kwee. Hari sudah siang dan aku sudah lapar. Apakah engkau tidak merasa lapar juga?”
Ditanya demikian, Ci Hwa yang berwatak pendiam dan halus itu, merasa sungkan dan hanya menggeleng kepalanya.
“Ah, sekali waktu orang harus menanggalkan rasa rikuh dan bersikap jujur, Nona. Tadi pernah aku mendengar keruyuk perutmu ketika kita jalan bersama, itu tandanya engkau pun lapar seperti aku. Kenapa harus malu mengakuinya?”
Ditegur seperti itu, mau tidak mau Ci Hwa tersenyum dengan kedua pipinya berubah merah, dan tidak dapat menjawab.
“Nah, engkau sebagai tamuku, tamu agung, harap tidak menolak kalau kuajak makan bersama sebelum kita bercakap-cakap lebih lanjut.”
Tanpa menanti persetujuan gadis itu, Siangkoan Liong bertepuk tangan tiga kali dan muncullah dua orang pelayan wanita, gadis-gadis muda yang mulus dan cantik. Mereka memberi hormat dengan sikap lembut.
“Cepat keluarkan hidangan makan siang berikut minumannya yang lengkap untuk menghormati tamu agungku!” perintahnya. Dua orang gadis pelayan itu membungkuk lalu mengundurkan diri dengan cepat. “Silakan duduk, nona Kwee Ci Hwa.”
Terpaksa Ci Hwa mengambil tempat duduk, berhadapan dengan pemuda itu, terhalang sebuah meja yang lebarnya satu meter. Mereka kembali saling pandang dan melihat betapa sinar mata pemuda itu mengamatinya dengan kagum, debar jantung Ci Hwa mengeras dan ia pun menunduk malu-malu.
Tak dibayangkannya semula bahwa ia akan dapat duduk semeja dan menjadi tamu agung putera ketua Tiat-long-pang yang hendak diselidikinya. Ia merasa malu kepada diri sendiri. Bagaimana mungkin ia mencurigai seorang seperti pemuda ini, perkumpulan besar yang kaya raya ini? Tentu orang she Lay itu telah sengaja menyebut nama Tiat-liong-pang untuk menjebak Sin Hong.
“Aih, celaka.!”
Tiba-tiba ia menggumam, suaranya yang timbul dari kekagetan hatinya. Hal ini diketahui oleh Siangkoan Liong yang memandang heran.
“Eh, ada apakah nona Ci Hwa?”
Ci Hwa merasa terkejut dan menyesal sekali mengapa ia tidak mampu menahan gejolak batinnya tadi. Tentu saja ia terkejut teringat akan hal itu karena sudah pasti Sin Hong akan datang pula menyelidiki ke sini dan kalau sampai bentrok dengan orang-orang Tiat-liong-pang yang tidak bersalah, pemuda itu bisa celaka! Padahal ia kagum dan suka sekali kepada Tan Sin Hong! Kini, karena sudah terlanjur bicara dan diketahui Siangkoan Kongcu, terpaksa ia pun menjawab.
“Kongcu, aku teringat akan putera mendiang Tan Piauwsu. Dialah orangnya yang tadinya menjatuhkan tuduhan kepada keluarga kami sebagai pembunuh ayahnya. Dan dia pun mendengar dari orang she Lay itu bahwa yang berdiri di belakang pembunuhan itu adalah Tiat-liong-pang. Tentu dia akan menyerbu ke sini!”
Siangkoan Kongcu hanya tersenyum.
“Biarkanlah kalau dia akan menyerbu. Kami tidak bersalah dan kami tidak takut akan serbuan siapa pun juga.”
“Bukan begitu maksudku, Kongcu. Akan tetapi dia.... Tan Sin Hong itu, dia akan salah serbu dan bahkan tentu akan celaka di sini.“
Sepasang alis yang berbentuk golok dan hitam itu agak berkerut dan sepasang mata yang tajam itu memandang penuh selidik ke arah wajah manis itu.
“Kalau begitu mengapa? Kalau dia menyerbu ke sini dan celaka, bukankah itu salahnya sendiri? Apa hubungannya dengan engkau, Nona? Kenapa engkau mengkhawatirkannya, padahal dia sudah menuduh ayahmu sebagai seorang bersalah?”
Sepasang pipi itu semakin merah. Tentu saja ia tidak dapat menyatakan bahwa ia tertarik dan kagum, bahkan suka sekali kepada Sin Hong!
“Ah, tidak ada hubungan apa pun. Hanya aku kasihan kepadanya karena dia telah kehilangan ayah ibunya, kehilangan perusahaannya, kehilangan segalanya.”
“Jadi karena itu engkau membantunya dan menyelidiki kami? Apakah engkau jatuh cinta padanya, Nona?”
“Ihhh....! kenapa engkau bertanya begitu, Kongcu? Aku menyelidiki untuk menebus nama baik ayahku, bukan untuk membantunya, dan tentang cinta.... ah.... tidak sama sekali!”
Tentu saja ia menyangkal walaupun hatinya penuh tanda tanya dan keraguan karena selama ini ia sendiri pun belum pernah bertanya kepada diri sendiri apakah rasa tertariknya kepada Sin Hong ini karena cinta.
Siangkoan Liong menarik napas lega dan sementara itu hidangan pun tiba.
“Sudahlah, kita bicarakan hal lain saja, Nona. Kalau sampai orang yang bernama Tan Sin Hong itu datang menyerbu, mengingat bahwa dia itu kenalanmu, tentu akan kujaga agar dia jangan sampai celaka.”
“Terima kasih, Kongcu. Engkau memang orang yang baik sekali.”
“Ha-ha-ha, bukan baik, Nona. Akan tetapi menghadapi seorang gadis yang begini cantik manis, begini ramah dan halus budi, juga gagah perkasa seperti engkau, siapa orangnya tidak akan menjadi baik?”
Sudah sejak sejarah dicatat orang, wanita merupakan mahluk yang amat lemah terhadap cumbu rayu dan bujukan. Pujian-pujian merupakan hal yang menyenangkan hati, bahkan didambakan setiap orang wanita. Hanya wanita yang tidak normal saja kiranya yang tidak haus akan pujian dan rayuan. Dan hal ini kiranya bukan karena suara kelemahan batin atau juga karena kekurangannya, melainkan sudah menjadi pembawaan, naluri yang ada pada setiap mahluk betina, termasuk wanita.
Sudah sejak mulanya, wanita atau semua mahluk betina memiliki daya tarik yang amat besar bagi mahluk jantan, seperti juga wanita memiliki segalanya yang amat menarik hati pria. Suaranya yang lembut, rambut panjang halus, kulit mulus, raut wajah yang indah, lekuk lengkung tubuh menggairahkan, pandang mata yang penuh romantika, senyum memadu, leher jenjang, pinggang ramping, dada dan pinggul membukit, kaki yang mungil, pendeknya segala sesuatu pada diri wanita mengandung daya tarik bagi pria.
Wanita menyadari akan hal ini, karena itu berupaya menonjolkan daya tarik itu dan kalau sampai terlontar pujian dari mulut atau mata pria, maka berhasillah ia dan banggalah ia. Sebaliknya, pria yang pandai, yang mengerti akan kelemahan wanita ini sengaja mempergunakan kelemahan itu sebagai umpan untuk memancing dan mendapatkan wanita yang diidamkannya.
Daya tarik kedua pihak, yang menarik satu kepada yang lain, memang pembawaan sejak lahir, mungkin hal itu diperlukan sekali agar ada pendekatan antara keduanya, sebagai sarana perkembangbiakan. Tanpa saling tertarik, mana mungkin ada hasrat pendekatan, dan tanpa pendekatan, bagaimana mungkin terjadi perkembangbiakan?
Di pihak pria, memang ada pula perasaan suka dipuji itu, akan tetapi biasanya, berbeda dengan wanita, pria suka dipuji akan kejantanannya, bukan karena keelokan parasnya.
Siangkoan Liong, biarpun sejak kecil digembleng dengan ilmu silat dan sastra, sebelum Sin-kiam Mo-li menjadi sekutu ayahnya, memang sama sekali tidak berpengalaman dengan wanita. Setelah dia terpikat oleh Sin-kiam Mo-li dan mendapatkan seorang guru baru dalam permainan asmara, dia pun berubah. Walaupun dia masih jual mahal dan tidak sembarangan mau mendekati wanita seperti para gadis pelayannya sendiri, namun dia mulai memperhatikan wanita dan sekali dia menaruh minat, jangan harap wanita itu akan mampu terlepas dari pikatannya yang lihai.
Ci Hwa berkali-kali memerah muka karena pujian-pujian yang dilontarkan tidak secara kasar atau langsung itu. Sambaran-sambaran sinar mata penuh kagum dari pemuda itu lebih membingungkannya daripada kalau ia dirayu. Andaikata Siangkoan Kongcu merayunya dengan kata-kata, apalagi kalau agak kasar, kiranya belum tentu ia akan terpikat. Ia bukan wanita yang mudah jatuh hati oleh ketampanan. Akan tetapi, menghadapi sikap yang demikian lembut, halus dan ramah, pandai membawa diri, bahkan kata-katanya kini mulai indah seperti sajak, dengan kata-kata pilihan, luluhlah hati Ci Hwa.
Melihat betapa calon korbannya itu sudah mulai terpikat, yang dapat diketahuinya dari senyum dikulum, lirikan mata mengandung kegenitan, kedua pipi kemerahan, dada naik turun dan mata yang seperti mengantuk itu, Siangkoan Kongcu lalu memesan anggur merah dari pelayan.
Sebuah guci berlapis emas, dengan ukiran-ukiran sepasang burung Hong sedang bermain asmara, disuguhkan dan diletakan di atas meja. Ketika Siangkoan Liong menuangkan anggurnya, ternyata anggurnya merah dan berbau harum sekali. Diisinya penuh cawan mereka dan Siangkoan Liong mengangkat cawannya yang penuh arak merah itu sambil diacungkannya kepada Ci Hwa sambil berkata dengan senyum ramah dan manis.
“Marilah kita minum anggur ini, Nona!”
Biarpun Ci Hwa tidak asing dengan minuman arak dan anggur karena ayahnya juga seorang peminum yang kuat, namun tadi sambil makan ia telah minum arak cukup banyak. Ia tidak mabuk, akan tetapi ia harus waspada karena berada di tempat asing, apalagi sebagai seorang tamu wanita. Alangkah akan memalukan kalau sampai ia mabuk dan mengeluarkan kata-kata di luar kesadarannya, maka ia pun menggeleng kepala sambil tersenyum.
“Sudah cukup, Kongcu. Sungguh aku sudah kenyang dan sudah banyak minum, rasanya tidak ada tempat lagi untuk ditambah minum anggur. Kebaikanmu sebagai tuan rumah sudah berlimpahan, membuat aku merasa tidak enak saja, dan sebaiknya kalau aku minta diri sebelum berhutang budi terlalu banyak.”
Ci Hwa adalah seorang gadis pendiam dan jarang bicara, akan tetapi sekali ini ia pandai bicara. Hal ini mungkin disebabkan oleh keadaan tempat yang indah itu, oleh kegembiraan berdua dengan Siangkoan Kongcu, atau juga lidahnya agak terlepas karena pengaruh minuman arak yang tua dan baik tadi.
“Ha-ha-ha, nona Ci Hwa yang mulia! Ketahuilah bahwa anggur ini merupakan anggur simpananku yang kuberi nama Anggur Emas. Tidak keras seperti arak, melainkan lezat, manis dan harum, juga mengandung khasiat menyehatkan tubuh dan membangkitkan hawa sakti dalam tubuh. Kalau bukan tamu agung, jangan harap bisa merasakan anggur suguhanku ini. Anggur ini adalah minuman para puteri dan pangeran di istana, Nona. Oleh karena itu, mari kita minum untuk pertemuan kita yang berbahagia ini!”
Betapa Ci Hwa dapat menolak penawaran seperti itu? Tentu saja akan tidak enak sekali dan nampak tidak dapat menerima budi orang kalau ia menolak, maka sambil tersenyum ia pun mengangkat cawan araknya. Senyumnya agak lebar kini, lebih terlepas dan dengan sinar mata kagum Siangkoan Liong melihat deretan gigi yang putih cemerlang seperti mutiara, rapi berjajar dan samar-samar nampak rongga mulut yang merah dengan ujung lidah jambon yang sehat. Keduanya mengangkat cawan, saling mengacungkan cawan sambil berkata lirih “selamat!” dan keduanya minum anggur merah dari cawan itu.
Begitu anggur memasuki mulutnya, Ci Hwa terkejut, heran dan juga kagum! Belum pernah selama hidupnya ia minum-minuman selezat itu! Bagaikan sari buah anggur tulen. Mungkin anggur dengan mutu terbaik diperas dan entah dicampur apa maka dapat sedemikian manisnya dan harumnya. Tentu tidak memabukkan sama sekali, pikirnya dan ia pun menuangkan isi cawan itu seluruhnya ke dalam tenggorokannya. Terasa manis dan hangat memasuki tenggorokan dan perut. Memang ada rasa hangat, akan tetapi tidak panas menyentak seperti kalau minum arak.
Mereka berpandangan dan pemuda itu tersenyum. Nampak lebih cerah dan lebih tampan saja wajah pemuda itu.
“Bagaimana, nona Ci Hwa? Enak tidak?”
“Bukan main!” Ci Hwa memuji. “Engkau sungguh pandai sekali, Kongcu. Selama hidupku, baru sekarang aku merasakan minuman yang begini lezatnya.”
“Ha-ha-ha, pujian seperti itu harus diberi hadiah secawan lagi.” Dia cepat mengisi pula dua cawan arak mereka. “Sekarang mari kita minum untuk persahabatan kita, bukan hanya karena pertemuan antara kita!”
Karena minuman itu bukan arak dan tidak akan memabukkan, Ci Hwa tanpa ragu-ragu minum lagi anggur itu sampai habis. Dan untuk ke tiga kalinya Siangkoan Liong menuangkan isi guci ke dalam cawan mereka.
Ci Hwa merasa sungkan juga, takut dianggap gembul dan murka.
“Cukup, Kongcu. Minuman seperti itu amat berharga dan jangan terlalu banyak dihamburkan untukku!”
“Sama sekali bukan begitu. Memang amat mahal harganya, akan tetapi seguci hanya terisi enam cawan. Dan kiranya tidak ada orang yang lebih patut untuk mendapatkan setengah guci. Engkau tiga cawan dan aku tiga cawan baru puaslah hatiku. Sekali ini kita minum untuk menghormati perasaan suka dan tertarik di antara kita!”
Ci Hwa terkejut dan mukanya menjadi semakin merah, jantung berdebar kuat sekali. Akan tetapi ia tidak marah. Bagaimana ia dapat marah terhadap seorang pemuda seperti ini? Dalam pandangan matanya, pemuda itu nampak terlalu tampan, terlalu halus dan sopan dan memang harus diakuinya bahwa timbul perasaan tertarik dan suka di dalam hatinya. Biarpun agak malu-malu, ia minum juga cawan ke tiga berisi anggur merah yang penuh.
Sekarang barulah terasa olehnya. Ia merasa seperti melayang ke atas, terapung-apung tanpa bobot, dibuai dan ditimang, tubuhnya seperti tidak merasakan apa-apa lagi kecuali kenikmatan yang aneh. Ia membuka matanya dan mendapatkan dirinya masih duduk di depan meja, dan di seberangnya, wajah tampan itu nampak tersenyum ramah.
Ia merasa aneh akan tetapi tidak heran, tidak merasa mabuk, akan tetapi masih agak sadar bahwa terjadi suatu keanehan yang selamanya tak pernah dirasakannya. Lukisan di dinding itu, sebuah lukisan gunung dan awan, nampak demikian indahnya seolah-olah bukan lukisan, melainkan jendela terbuka dari mana ia dapat melihat gunung dan awan yang sungguh-sungguh. Dan lukisan burung merak itu, bukankah burung itu menggerak-gerakkan sayap dan kepalanya?
Dan warna sutera yang menjadi tirai depan pintu kamar itu, warnanya seperti pelangi akan tetapi dalam keadaan yang luar biasa indahnya, bukan sekedar warna biasa, melainkan warna yang demikian jelas, seperti dapat ia mendengar suara beraneka macam itu, dengan suara berbeda, seperti nyanyian, membawakan irama yang demikian halus dan enak sehingga tak terasa lagi Ci Hwa menggerak-gerakkan kepalanya menurutkan irama itu!
Suara ketawa halus dari Siangkoan Liong memasuki telinganya, seperti suara bisikan dari jauh sekali, namun juga jelas sekali.
“Aih, nona Kwee Ci Hwa yang manis, agaknya engkau.... engkau lelah dan mengantuk. Benarkah itu?”
Ci Hwa menggeleng kepala dan menahan ketawanya. Aneh, kenapa ia ingin sekali tertawa, tertawa sepuasnya dan sebebasnya? Tidak ada lagi ikatan malu atau apa saja, yang ada hanya keinginan hati untuk senang!
“Aku tidak lelah, tidak mengantuk, akan tetapi wah, enaknya rasanya.“
“Kalau dipakai beristirahat tentu lebih enak. Mari, Nona, marilah engkau beristirahat.“ Dan tiba-tiba tangan pemuda itu sudah menyentuh tangannya.
Sejenak Ci Hwa seperti orang kaget, akan tetapi lalu tersenyum. Tangan pemuda itu hangat dan halus, dan apa salahnya berpegang tangan? Wajar saja, bukan?
“Ya-ya-ya, istirahat, aku seperti melayang-layang.“ katanya seperti dalam mimpi.
Ia pun sama sekali tidak memiliki daya lawan atau sama sekali tidak ingin menentang ketika Siangkoan Liong memutari meja, menghampirinya dan memegang kedua pundaknya, bahkan lalu membantunya bangkit berdiri.
Ketika Ci Hwa berdiri, ia limbung dan tentu bisa jatuh kalau tidak segera dirangkul Siangkoan Liong pundaknya. Tubuhnya rasanya begitu ringan seperti bola karet penuh angin, kedua kakinya seperti agar-agar saja, dan pikirannya tidak ada! Yang ada hanya perasaan senang, perasaan enak, perasaan bebas dari segala persoalan hidup. Ia bahkan terkekeh sedikit ketika pemuda itu menuntunnya masuk ke dalam kamar yang bertiraikan kain sutera pelangi tadi.
Ci Hwa sama sekali tidak memiliki niat apa-apa, apalagi membantah ketika pemuda itu memondong dan merebahkannya di atas sebuah pembaringan yang tebal, lunak, harum dan indah. Bahkan ia pun tidak membantah ketika pemuda itu melepaskan sepatunya. Ia terlentang dan memandang langit-langit kelambu, lalu menarik napas panjang, penuh kelegaan.
“Aaaahhh.... alangkah senangnya, alangkah enaknya.“
Ia tidak tahu bahwa gelung rambutnya terlepas dan rambutnya yang hitam panjang itu terurai di atas bantal. Juga ia tidak peduli ketika pemuda itu menutupkan daun pintu, bahkan tidak merasa heran atau aneh ketika pemuda itu pun membuka baju luar dan rebah di sampingnya!
Siangkoan Liong yang maklum bahwa calon korbannya sudah terbius oleh obat luar biasa yang terkandung dalam anggur tadi, juga maklum bahwa pada dasarnya gadis itu memang sudah terpikat dan tertarik kepadanya, lalu mulai mencumbunya.
Hanya sekali-kali saja kesadaran seperti hendak menyeret kembali Ci Hwa ke dalam keadaan normal, namun pemuda itu pandai sekali merayu, dengan bisikan-bisikan, dengan sentuhan-sentuhan, dengan dekapan dan ciuman.
Dan akhirnya, api berahi yang ada dalam diri setiap manusia, juga dalam diri Ci Hwa, tersulut dan berkobar. Ia pun membalas belaian dan pelampiasan kemesraan pemuda itu dengan menggebu-gebu, lupa akan segala, yang ada hanyalah keinginan memuaskan hasrat yang berkobar membakar seluruh keadaan dirinya, lahir batin.
Tanpa ada paksaan semua itu terjadi, walaupun Ci Hwa melakukannya dalam keadaan seperempat sadar saja. Berkali-kali ia menyerahkan diri, penuh kerelaan dan keduanya berada di dalam kamar itu sampai keesokan harinya!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Ci Hwa terbangun dari tidurnya. Begitu terbangun, ia merasa betapa seluruh tubuhnya pegal-pegal dan lelah sekali, seolah-olah telah dilolosi semua urat di tubuhnya. Ingin ia memejamkan mata kembali, tidur kembali, akan tetapi ketika tangannya bergerak, ia mendapatkan dirinya tanpa pakaian!
Hati Ci Hwa sudah jatuh benar sekarang, Siangkoan Liong memperlihatkan sikap manis, kalau bicara dibarengi senyum dan pancaran matanya tidak menyembunyikan kekagumannya, maka gadis itu pun merasa betapa jantungnya berdebar tidak karuan.
Ia pun lalu menceritakan apa maksud kedatangannya itu. Diceritakan betapa di Ban-goan terjadi pembunuhan-pembunuhan, sejak delapan tahun yang lalu ketika Tan Piauwsu dibunuh orang, kemudian juga Tang Piauwsu, dan yang terakhir adalah orang she Lay terbunuh pula oleh orang berkedok.
“Keluarga Tan menuduh ayah sebagai pembunuh itu, Kongcu, dengan alasan bahwa mungkin ayahku membenci karena persaingan dalam perusahaan. Akan tetapi, ayah sama sekali tidak melakukan pembunuhan-pembunuhan itu dan aku merasa penasaran. Aku harus mencari pembunuh itu untuk mencuci nama baik ayahku. Sebelum orang she Lay itu tewas oleh orang berkedok, dia ada menyebutkan nama perkumpulan Tiat-liong-pang dan karena itulah maka aku meninggalkan rumah dan pergi mengunjungi Tiat-liong-pang untuk mencari keterangan. Akan tetapi di hutan tadi aku bertemu dengan lima orang pemburu yang menawanku, kemudian muncul dua orang anggauta Tiat-liong-pang. Untung ada engkau, Kongcu, yang telah menyelamatkan aku.”
Siangkoan Liong tersenyum lebar dan pandang matanya ramah sekali.
“Aih, nona yang baik, kenapa engkau bercuriga kepada Tiat-liong-pang? Perkumpulan kami terlalu besar untuk berurusan dengan segala macam pembunuhan seperti yang terjadi di Ban-goan itu. Perkumpulan kami dekat dengan istana, dan ayahku adalah keluarga istana, mana mungkin memusuhi segala macam perusahaan piauw-kiok? Akan tetapi agar engkau merasa puas, marilah ikut denganku, dan kau lihat sendiri keadaan perkumpulan kami. Kami cukup kaya dan tidak membutuhkan barang orang lain untuk dirampok. Nah, marilah, Nona. Engkau menjadi seorang tamuku, tamu terhormat.”
Tentu saja Ci Hwa merasa girang dan terhormat sekali. Semangatnya untuk menyelidiki Tiat-liong-pang seperti awan tipis tersapu angin, lenyap sudah. Dan kini, ia berjalan di sebelah pemuda itu bukan lagi seperti seorang yang ingin menyelidiki, melainkan sebagai seorang tamu yang merasa gembira bukan main telah dapat menjadi tamu seorang tuan rumah seperti pemuda ini. Kalau saja para gadis lain melihatnya, berjalan berdampingan dengan seorang pangeran yang demikian tampan demikian gagah perkasa, tentu mereka akan merasa iri hati!
Siangkoan Liong membawa Ci Hwa ke rumah gedung keluarganya, akan tetapi ia tidak mengajaknya berjumpa dengan ayahnya. Juga tidak memperkenalkannya kepada semua orang yang terdapat di gedung itu, dan karena dia diam saja, tak seorang pun di antara para anggauta maupun tamu di rumah itu berani bertanya kepadanya siapa gerangan gadis manis yang datang bersamanya itu.
Sedangkan Ci Hwa, melihat betapa semua orang memberi hormat kepada pemuda itu, merasa semakin bangga! Apalagi ketika ia melihat betapa rumah gedung itu memang penuh dengan perabot rumah yang indah, seperti sebuah istana seorang pembesar saja.
Tidak salah. Pemuda yang berdarah pangeran ini memang kaya raya dan tentu saja tidak perlu harus melakukan perampokan terhadap Tan Piauwsu. Ia dibawa ke ruangan-ruangan yang amat indah, dan akhirnya pemuda itu mengajaknya duduk di dalam sebuah ruangan makan yang tidak berapa luas, namun ruangan ini terhias indah dengan lukisan-lukisan, juga amat bersih dan berbau harum.
Sebuah pintu menembus ke sebuah kamar, yaitu kamar pemuda itu, dihiasi tirai sutera dan dua pot bunga tumbuh subur di kanan kiri pintu. Inilah ruangan makan pribadi dari Siangkoan Kongcu. Pemuda ini memang merasa lebih tinggi daripada para sahabat dan anak buah ayahnya, maka dia jarang sekali mau makan bersama teman-teman ayahnya yang dianggapnya orang-orang kasar. Dia lebih suka makan seorang diri saja di ruangan khusus itu, hanya ayahnya saja yang kadang menemaninya kalau tidak sedang menjamu tamu.
“Duduklah, nona Kwee. Hari sudah siang dan aku sudah lapar. Apakah engkau tidak merasa lapar juga?”
Ditanya demikian, Ci Hwa yang berwatak pendiam dan halus itu, merasa sungkan dan hanya menggeleng kepalanya.
“Ah, sekali waktu orang harus menanggalkan rasa rikuh dan bersikap jujur, Nona. Tadi pernah aku mendengar keruyuk perutmu ketika kita jalan bersama, itu tandanya engkau pun lapar seperti aku. Kenapa harus malu mengakuinya?”
Ditegur seperti itu, mau tidak mau Ci Hwa tersenyum dengan kedua pipinya berubah merah, dan tidak dapat menjawab.
“Nah, engkau sebagai tamuku, tamu agung, harap tidak menolak kalau kuajak makan bersama sebelum kita bercakap-cakap lebih lanjut.”
Tanpa menanti persetujuan gadis itu, Siangkoan Liong bertepuk tangan tiga kali dan muncullah dua orang pelayan wanita, gadis-gadis muda yang mulus dan cantik. Mereka memberi hormat dengan sikap lembut.
“Cepat keluarkan hidangan makan siang berikut minumannya yang lengkap untuk menghormati tamu agungku!” perintahnya. Dua orang gadis pelayan itu membungkuk lalu mengundurkan diri dengan cepat. “Silakan duduk, nona Kwee Ci Hwa.”
Terpaksa Ci Hwa mengambil tempat duduk, berhadapan dengan pemuda itu, terhalang sebuah meja yang lebarnya satu meter. Mereka kembali saling pandang dan melihat betapa sinar mata pemuda itu mengamatinya dengan kagum, debar jantung Ci Hwa mengeras dan ia pun menunduk malu-malu.
Tak dibayangkannya semula bahwa ia akan dapat duduk semeja dan menjadi tamu agung putera ketua Tiat-long-pang yang hendak diselidikinya. Ia merasa malu kepada diri sendiri. Bagaimana mungkin ia mencurigai seorang seperti pemuda ini, perkumpulan besar yang kaya raya ini? Tentu orang she Lay itu telah sengaja menyebut nama Tiat-liong-pang untuk menjebak Sin Hong.
“Aih, celaka.!”
Tiba-tiba ia menggumam, suaranya yang timbul dari kekagetan hatinya. Hal ini diketahui oleh Siangkoan Liong yang memandang heran.
“Eh, ada apakah nona Ci Hwa?”
Ci Hwa merasa terkejut dan menyesal sekali mengapa ia tidak mampu menahan gejolak batinnya tadi. Tentu saja ia terkejut teringat akan hal itu karena sudah pasti Sin Hong akan datang pula menyelidiki ke sini dan kalau sampai bentrok dengan orang-orang Tiat-liong-pang yang tidak bersalah, pemuda itu bisa celaka! Padahal ia kagum dan suka sekali kepada Tan Sin Hong! Kini, karena sudah terlanjur bicara dan diketahui Siangkoan Kongcu, terpaksa ia pun menjawab.
“Kongcu, aku teringat akan putera mendiang Tan Piauwsu. Dialah orangnya yang tadinya menjatuhkan tuduhan kepada keluarga kami sebagai pembunuh ayahnya. Dan dia pun mendengar dari orang she Lay itu bahwa yang berdiri di belakang pembunuhan itu adalah Tiat-liong-pang. Tentu dia akan menyerbu ke sini!”
Siangkoan Kongcu hanya tersenyum.
“Biarkanlah kalau dia akan menyerbu. Kami tidak bersalah dan kami tidak takut akan serbuan siapa pun juga.”
“Bukan begitu maksudku, Kongcu. Akan tetapi dia.... Tan Sin Hong itu, dia akan salah serbu dan bahkan tentu akan celaka di sini.“
Sepasang alis yang berbentuk golok dan hitam itu agak berkerut dan sepasang mata yang tajam itu memandang penuh selidik ke arah wajah manis itu.
“Kalau begitu mengapa? Kalau dia menyerbu ke sini dan celaka, bukankah itu salahnya sendiri? Apa hubungannya dengan engkau, Nona? Kenapa engkau mengkhawatirkannya, padahal dia sudah menuduh ayahmu sebagai seorang bersalah?”
Sepasang pipi itu semakin merah. Tentu saja ia tidak dapat menyatakan bahwa ia tertarik dan kagum, bahkan suka sekali kepada Sin Hong!
“Ah, tidak ada hubungan apa pun. Hanya aku kasihan kepadanya karena dia telah kehilangan ayah ibunya, kehilangan perusahaannya, kehilangan segalanya.”
“Jadi karena itu engkau membantunya dan menyelidiki kami? Apakah engkau jatuh cinta padanya, Nona?”
“Ihhh....! kenapa engkau bertanya begitu, Kongcu? Aku menyelidiki untuk menebus nama baik ayahku, bukan untuk membantunya, dan tentang cinta.... ah.... tidak sama sekali!”
Tentu saja ia menyangkal walaupun hatinya penuh tanda tanya dan keraguan karena selama ini ia sendiri pun belum pernah bertanya kepada diri sendiri apakah rasa tertariknya kepada Sin Hong ini karena cinta.
Siangkoan Liong menarik napas lega dan sementara itu hidangan pun tiba.
“Sudahlah, kita bicarakan hal lain saja, Nona. Kalau sampai orang yang bernama Tan Sin Hong itu datang menyerbu, mengingat bahwa dia itu kenalanmu, tentu akan kujaga agar dia jangan sampai celaka.”
“Terima kasih, Kongcu. Engkau memang orang yang baik sekali.”
“Ha-ha-ha, bukan baik, Nona. Akan tetapi menghadapi seorang gadis yang begini cantik manis, begini ramah dan halus budi, juga gagah perkasa seperti engkau, siapa orangnya tidak akan menjadi baik?”
Sudah sejak sejarah dicatat orang, wanita merupakan mahluk yang amat lemah terhadap cumbu rayu dan bujukan. Pujian-pujian merupakan hal yang menyenangkan hati, bahkan didambakan setiap orang wanita. Hanya wanita yang tidak normal saja kiranya yang tidak haus akan pujian dan rayuan. Dan hal ini kiranya bukan karena suara kelemahan batin atau juga karena kekurangannya, melainkan sudah menjadi pembawaan, naluri yang ada pada setiap mahluk betina, termasuk wanita.
Sudah sejak mulanya, wanita atau semua mahluk betina memiliki daya tarik yang amat besar bagi mahluk jantan, seperti juga wanita memiliki segalanya yang amat menarik hati pria. Suaranya yang lembut, rambut panjang halus, kulit mulus, raut wajah yang indah, lekuk lengkung tubuh menggairahkan, pandang mata yang penuh romantika, senyum memadu, leher jenjang, pinggang ramping, dada dan pinggul membukit, kaki yang mungil, pendeknya segala sesuatu pada diri wanita mengandung daya tarik bagi pria.
Wanita menyadari akan hal ini, karena itu berupaya menonjolkan daya tarik itu dan kalau sampai terlontar pujian dari mulut atau mata pria, maka berhasillah ia dan banggalah ia. Sebaliknya, pria yang pandai, yang mengerti akan kelemahan wanita ini sengaja mempergunakan kelemahan itu sebagai umpan untuk memancing dan mendapatkan wanita yang diidamkannya.
Daya tarik kedua pihak, yang menarik satu kepada yang lain, memang pembawaan sejak lahir, mungkin hal itu diperlukan sekali agar ada pendekatan antara keduanya, sebagai sarana perkembangbiakan. Tanpa saling tertarik, mana mungkin ada hasrat pendekatan, dan tanpa pendekatan, bagaimana mungkin terjadi perkembangbiakan?
Di pihak pria, memang ada pula perasaan suka dipuji itu, akan tetapi biasanya, berbeda dengan wanita, pria suka dipuji akan kejantanannya, bukan karena keelokan parasnya.
Siangkoan Liong, biarpun sejak kecil digembleng dengan ilmu silat dan sastra, sebelum Sin-kiam Mo-li menjadi sekutu ayahnya, memang sama sekali tidak berpengalaman dengan wanita. Setelah dia terpikat oleh Sin-kiam Mo-li dan mendapatkan seorang guru baru dalam permainan asmara, dia pun berubah. Walaupun dia masih jual mahal dan tidak sembarangan mau mendekati wanita seperti para gadis pelayannya sendiri, namun dia mulai memperhatikan wanita dan sekali dia menaruh minat, jangan harap wanita itu akan mampu terlepas dari pikatannya yang lihai.
Ci Hwa berkali-kali memerah muka karena pujian-pujian yang dilontarkan tidak secara kasar atau langsung itu. Sambaran-sambaran sinar mata penuh kagum dari pemuda itu lebih membingungkannya daripada kalau ia dirayu. Andaikata Siangkoan Kongcu merayunya dengan kata-kata, apalagi kalau agak kasar, kiranya belum tentu ia akan terpikat. Ia bukan wanita yang mudah jatuh hati oleh ketampanan. Akan tetapi, menghadapi sikap yang demikian lembut, halus dan ramah, pandai membawa diri, bahkan kata-katanya kini mulai indah seperti sajak, dengan kata-kata pilihan, luluhlah hati Ci Hwa.
Melihat betapa calon korbannya itu sudah mulai terpikat, yang dapat diketahuinya dari senyum dikulum, lirikan mata mengandung kegenitan, kedua pipi kemerahan, dada naik turun dan mata yang seperti mengantuk itu, Siangkoan Kongcu lalu memesan anggur merah dari pelayan.
Sebuah guci berlapis emas, dengan ukiran-ukiran sepasang burung Hong sedang bermain asmara, disuguhkan dan diletakan di atas meja. Ketika Siangkoan Liong menuangkan anggurnya, ternyata anggurnya merah dan berbau harum sekali. Diisinya penuh cawan mereka dan Siangkoan Liong mengangkat cawannya yang penuh arak merah itu sambil diacungkannya kepada Ci Hwa sambil berkata dengan senyum ramah dan manis.
“Marilah kita minum anggur ini, Nona!”
Biarpun Ci Hwa tidak asing dengan minuman arak dan anggur karena ayahnya juga seorang peminum yang kuat, namun tadi sambil makan ia telah minum arak cukup banyak. Ia tidak mabuk, akan tetapi ia harus waspada karena berada di tempat asing, apalagi sebagai seorang tamu wanita. Alangkah akan memalukan kalau sampai ia mabuk dan mengeluarkan kata-kata di luar kesadarannya, maka ia pun menggeleng kepala sambil tersenyum.
“Sudah cukup, Kongcu. Sungguh aku sudah kenyang dan sudah banyak minum, rasanya tidak ada tempat lagi untuk ditambah minum anggur. Kebaikanmu sebagai tuan rumah sudah berlimpahan, membuat aku merasa tidak enak saja, dan sebaiknya kalau aku minta diri sebelum berhutang budi terlalu banyak.”
Ci Hwa adalah seorang gadis pendiam dan jarang bicara, akan tetapi sekali ini ia pandai bicara. Hal ini mungkin disebabkan oleh keadaan tempat yang indah itu, oleh kegembiraan berdua dengan Siangkoan Kongcu, atau juga lidahnya agak terlepas karena pengaruh minuman arak yang tua dan baik tadi.
“Ha-ha-ha, nona Ci Hwa yang mulia! Ketahuilah bahwa anggur ini merupakan anggur simpananku yang kuberi nama Anggur Emas. Tidak keras seperti arak, melainkan lezat, manis dan harum, juga mengandung khasiat menyehatkan tubuh dan membangkitkan hawa sakti dalam tubuh. Kalau bukan tamu agung, jangan harap bisa merasakan anggur suguhanku ini. Anggur ini adalah minuman para puteri dan pangeran di istana, Nona. Oleh karena itu, mari kita minum untuk pertemuan kita yang berbahagia ini!”
Betapa Ci Hwa dapat menolak penawaran seperti itu? Tentu saja akan tidak enak sekali dan nampak tidak dapat menerima budi orang kalau ia menolak, maka sambil tersenyum ia pun mengangkat cawan araknya. Senyumnya agak lebar kini, lebih terlepas dan dengan sinar mata kagum Siangkoan Liong melihat deretan gigi yang putih cemerlang seperti mutiara, rapi berjajar dan samar-samar nampak rongga mulut yang merah dengan ujung lidah jambon yang sehat. Keduanya mengangkat cawan, saling mengacungkan cawan sambil berkata lirih “selamat!” dan keduanya minum anggur merah dari cawan itu.
Begitu anggur memasuki mulutnya, Ci Hwa terkejut, heran dan juga kagum! Belum pernah selama hidupnya ia minum-minuman selezat itu! Bagaikan sari buah anggur tulen. Mungkin anggur dengan mutu terbaik diperas dan entah dicampur apa maka dapat sedemikian manisnya dan harumnya. Tentu tidak memabukkan sama sekali, pikirnya dan ia pun menuangkan isi cawan itu seluruhnya ke dalam tenggorokannya. Terasa manis dan hangat memasuki tenggorokan dan perut. Memang ada rasa hangat, akan tetapi tidak panas menyentak seperti kalau minum arak.
Mereka berpandangan dan pemuda itu tersenyum. Nampak lebih cerah dan lebih tampan saja wajah pemuda itu.
“Bagaimana, nona Ci Hwa? Enak tidak?”
“Bukan main!” Ci Hwa memuji. “Engkau sungguh pandai sekali, Kongcu. Selama hidupku, baru sekarang aku merasakan minuman yang begini lezatnya.”
“Ha-ha-ha, pujian seperti itu harus diberi hadiah secawan lagi.” Dia cepat mengisi pula dua cawan arak mereka. “Sekarang mari kita minum untuk persahabatan kita, bukan hanya karena pertemuan antara kita!”
Karena minuman itu bukan arak dan tidak akan memabukkan, Ci Hwa tanpa ragu-ragu minum lagi anggur itu sampai habis. Dan untuk ke tiga kalinya Siangkoan Liong menuangkan isi guci ke dalam cawan mereka.
Ci Hwa merasa sungkan juga, takut dianggap gembul dan murka.
“Cukup, Kongcu. Minuman seperti itu amat berharga dan jangan terlalu banyak dihamburkan untukku!”
“Sama sekali bukan begitu. Memang amat mahal harganya, akan tetapi seguci hanya terisi enam cawan. Dan kiranya tidak ada orang yang lebih patut untuk mendapatkan setengah guci. Engkau tiga cawan dan aku tiga cawan baru puaslah hatiku. Sekali ini kita minum untuk menghormati perasaan suka dan tertarik di antara kita!”
Ci Hwa terkejut dan mukanya menjadi semakin merah, jantung berdebar kuat sekali. Akan tetapi ia tidak marah. Bagaimana ia dapat marah terhadap seorang pemuda seperti ini? Dalam pandangan matanya, pemuda itu nampak terlalu tampan, terlalu halus dan sopan dan memang harus diakuinya bahwa timbul perasaan tertarik dan suka di dalam hatinya. Biarpun agak malu-malu, ia minum juga cawan ke tiga berisi anggur merah yang penuh.
Sekarang barulah terasa olehnya. Ia merasa seperti melayang ke atas, terapung-apung tanpa bobot, dibuai dan ditimang, tubuhnya seperti tidak merasakan apa-apa lagi kecuali kenikmatan yang aneh. Ia membuka matanya dan mendapatkan dirinya masih duduk di depan meja, dan di seberangnya, wajah tampan itu nampak tersenyum ramah.
Ia merasa aneh akan tetapi tidak heran, tidak merasa mabuk, akan tetapi masih agak sadar bahwa terjadi suatu keanehan yang selamanya tak pernah dirasakannya. Lukisan di dinding itu, sebuah lukisan gunung dan awan, nampak demikian indahnya seolah-olah bukan lukisan, melainkan jendela terbuka dari mana ia dapat melihat gunung dan awan yang sungguh-sungguh. Dan lukisan burung merak itu, bukankah burung itu menggerak-gerakkan sayap dan kepalanya?
Dan warna sutera yang menjadi tirai depan pintu kamar itu, warnanya seperti pelangi akan tetapi dalam keadaan yang luar biasa indahnya, bukan sekedar warna biasa, melainkan warna yang demikian jelas, seperti dapat ia mendengar suara beraneka macam itu, dengan suara berbeda, seperti nyanyian, membawakan irama yang demikian halus dan enak sehingga tak terasa lagi Ci Hwa menggerak-gerakkan kepalanya menurutkan irama itu!
Suara ketawa halus dari Siangkoan Liong memasuki telinganya, seperti suara bisikan dari jauh sekali, namun juga jelas sekali.
“Aih, nona Kwee Ci Hwa yang manis, agaknya engkau.... engkau lelah dan mengantuk. Benarkah itu?”
Ci Hwa menggeleng kepala dan menahan ketawanya. Aneh, kenapa ia ingin sekali tertawa, tertawa sepuasnya dan sebebasnya? Tidak ada lagi ikatan malu atau apa saja, yang ada hanya keinginan hati untuk senang!
“Aku tidak lelah, tidak mengantuk, akan tetapi wah, enaknya rasanya.“
“Kalau dipakai beristirahat tentu lebih enak. Mari, Nona, marilah engkau beristirahat.“ Dan tiba-tiba tangan pemuda itu sudah menyentuh tangannya.
Sejenak Ci Hwa seperti orang kaget, akan tetapi lalu tersenyum. Tangan pemuda itu hangat dan halus, dan apa salahnya berpegang tangan? Wajar saja, bukan?
“Ya-ya-ya, istirahat, aku seperti melayang-layang.“ katanya seperti dalam mimpi.
Ia pun sama sekali tidak memiliki daya lawan atau sama sekali tidak ingin menentang ketika Siangkoan Liong memutari meja, menghampirinya dan memegang kedua pundaknya, bahkan lalu membantunya bangkit berdiri.
Ketika Ci Hwa berdiri, ia limbung dan tentu bisa jatuh kalau tidak segera dirangkul Siangkoan Liong pundaknya. Tubuhnya rasanya begitu ringan seperti bola karet penuh angin, kedua kakinya seperti agar-agar saja, dan pikirannya tidak ada! Yang ada hanya perasaan senang, perasaan enak, perasaan bebas dari segala persoalan hidup. Ia bahkan terkekeh sedikit ketika pemuda itu menuntunnya masuk ke dalam kamar yang bertiraikan kain sutera pelangi tadi.
Ci Hwa sama sekali tidak memiliki niat apa-apa, apalagi membantah ketika pemuda itu memondong dan merebahkannya di atas sebuah pembaringan yang tebal, lunak, harum dan indah. Bahkan ia pun tidak membantah ketika pemuda itu melepaskan sepatunya. Ia terlentang dan memandang langit-langit kelambu, lalu menarik napas panjang, penuh kelegaan.
“Aaaahhh.... alangkah senangnya, alangkah enaknya.“
Ia tidak tahu bahwa gelung rambutnya terlepas dan rambutnya yang hitam panjang itu terurai di atas bantal. Juga ia tidak peduli ketika pemuda itu menutupkan daun pintu, bahkan tidak merasa heran atau aneh ketika pemuda itu pun membuka baju luar dan rebah di sampingnya!
Siangkoan Liong yang maklum bahwa calon korbannya sudah terbius oleh obat luar biasa yang terkandung dalam anggur tadi, juga maklum bahwa pada dasarnya gadis itu memang sudah terpikat dan tertarik kepadanya, lalu mulai mencumbunya.
Hanya sekali-kali saja kesadaran seperti hendak menyeret kembali Ci Hwa ke dalam keadaan normal, namun pemuda itu pandai sekali merayu, dengan bisikan-bisikan, dengan sentuhan-sentuhan, dengan dekapan dan ciuman.
Dan akhirnya, api berahi yang ada dalam diri setiap manusia, juga dalam diri Ci Hwa, tersulut dan berkobar. Ia pun membalas belaian dan pelampiasan kemesraan pemuda itu dengan menggebu-gebu, lupa akan segala, yang ada hanyalah keinginan memuaskan hasrat yang berkobar membakar seluruh keadaan dirinya, lahir batin.
Tanpa ada paksaan semua itu terjadi, walaupun Ci Hwa melakukannya dalam keadaan seperempat sadar saja. Berkali-kali ia menyerahkan diri, penuh kerelaan dan keduanya berada di dalam kamar itu sampai keesokan harinya!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Ci Hwa terbangun dari tidurnya. Begitu terbangun, ia merasa betapa seluruh tubuhnya pegal-pegal dan lelah sekali, seolah-olah telah dilolosi semua urat di tubuhnya. Ingin ia memejamkan mata kembali, tidur kembali, akan tetapi ketika tangannya bergerak, ia mendapatkan dirinya tanpa pakaian!