Ads

Jumat, 19 Februari 2016

Kisah si Bangau Putih Jilid 023

Gadis hitam manis itu dengan langkah lebar menuju ke lereng bukit yang mendaki. Ia adalah seorang gadis yang baru tumbuh dewasa, berusia delapan belas tahun, bagaikan setangkai bunga mulai mekar. Tubuhnya yang agak jangkung dengan sepasang kaki panjang itu nampak segar dan tegap berisi, langkahnya lebar dan kuat, pinggangnya ramping dan ketika ia melangkah mendaki bukit, pinggulnya menari-nari.

Gadis itu manis sekali, terutama sekali mulutnya yang bibirnya selalu basah kemerahan, bibir yang penuh dan membuatnya kelihatan berwajah cerah, ramah dan bergairah. Namun, sinar matanya lembut, membayangkan kehalusan dan kesabaran walaupun sinar matanya yang tajam membayangkan keberanian dan kegagahan.

Ia adalah Kwee Ci Hwa, puteri tunggal Kwee Tay Seng yang tinggal di Ban-goan. Perjalanan dari Ban-goan ke Sangcia-kou tidaklah begitu jauh, akan tetapi menempuh perjalanan melalui pegunungan dan tanah tandus, di antara Tembok Besar yang liar.

Akan tetapi, Ci Hwa adalah seorang gadis yang sejak kecil sudah digembleng oleh ayahnya dengan ilmu silat sehingga ia sudah cukup kuat untuk membela diri kalau ada bahaya mengancamnya.

Ia sama sekali tidak tahu bahwa dunia ramai di luar pekarangan rumahnya penuh dengan orang-orang jahat yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan bahwa tingkat kepandaiannya itu, kalau dipergunakan untuk berjaga diri terhadap ancaman orang-orang jahat, sungguh masih jauh daripada mencukupi. Memang, menghadapi gangguan pemuda-pemuda atau pria-pria hidung belang dan mata keranjang biasa saja yang berani mengganggunya, Ci Hwa sudah cukup mampu membela diri dan menghajar mereka. Akan tetapi, ia belum pernah bertemu dengan penjahat yang berilmu tinggi.

Dengan langkah lebar dan gagah ia mendaki bukit itu. Tiat-liong-pang, berada di lereng bukit itu dan sudah nampak pagar temboknya yang tinggi dari bawah. Akan tetapi untuk mencapai lereng itu, ia masih harus melalui beberapa daerah berhutan, dan naik turun beberapa anak bukit. Dan keadaan di situ sunyi sekali, tak nampak seorang pun manusia.

Ia harus mendatangi Tiat-liong-pang. Ia akan menemui pengurus Tiat-liong-pang dan bertanya secara terang-terangan saja mengenai urusan Tiat-liong-pang dengan perusahaan piauwkiok yang dimiliki oleh Tan Piauwsu, ingin bertanya apa hubungan Tiat-liong-pang dengan kematian dan pembunuhan-pembunuhan itu. Ia ingin mencuci nama ayahnya yang tadinya dituduh sebagai pembunuh Tan Piauwsu, dan yang terakhir sekali orang she Lay si gendut itu. Ia harus membersihkan nama ayahnya dari Sin Hong! Pemuda itu amat menarik dan mengagumkan hatinya, dan ia merasa kasihan atas nasib pemuda itu, merasa ikut bertanggung jawab setelah ayahnya dicurigai.

Ketika ia melangkah memasuki hutan pertama yang tidak begitu besar, tiba-tiba saja muncul lima orang laki-laki dari usia tiga puluh sampai empat puluh tahun. Melihat pakaian mereka yang ringkas, dan mereka semua membawa busur dan anak panah, mudah diduga bahwa mereka adalah lima orang pemburu binatang.

Lima orang itu memang merupakan pemburu binatang di daerah itu, dan mereka tentu saja bukanlah orang-orang yang biasa melakukan kejahatan. Akan tetapi, agaknya di dunia ini memang ada suatu kelemahan pada diri semua pria. Pria yang lajim, kalau berada seorang diri saja, memang tidak mempunyai keberanian untuk mengganggu seorang wanita, kecuali kalau memang pria itu berwatak mata keranjang dan memiliki kecondongan sebagai pengganggu wanita yang nekat. Akan tetapi, biarpun pria yang tidak suka mengganggu wanita kalau berada seorang diri, akan timbul kecondongan itu kalau mereka berteman!

Kekurang ajarannya akan menonjol dan akan timbul keberanian bagi mereka untuk melakukan gangguan, mungkin saja karena hati mereka menjadi besar dengan adanya teman-teman, dan mungkin pula karena mereka ingin menonjol dan agar dianggap cukup “jantan”.

Demikian pula dengan lima orang itu, begitu melihat bahwa di tempat sunyi itu muncul seorang gadis yang amat manis seorang diri saja, mereka segera menyeringai dan siap untuk menggoda. Kesunyian tempat itu membuat mereka iseng dan sifat kekurang ajaran pria terhadap wanita pun menonjol sepenuhnya, tidak terbendung lagi oleh perasaan malu dan segan seperti kalau seorang diri saja.

“He, di sini tidak menemukan harimau, yang muncul malah seekor kijang betina muda yang amat cantik!”

“Wah, seekor domba muda yang indah sekali!”

“Tentu lunak sekali dagingnya!”

“Ha-ha-ha, jangan-jangan ia seorang dewi penunggu hutan bukit!”

“Wahai nona manis, dari mana hendak ke mana dan siapa namamu?”

Ci Hwa mengerutkan alisnya ketika lima orang laki-laki itu sudah berdiri menghadang di depannya sambil menyeringai dan jelas sekali betapa pandang mata mereka yang menjelajahi tubuhnya itu amat kurang ajar, seolah-olah hendak menelanjanginya. Namun, ia masih dapat menahan kemarahannya, dan dengan sikap halus ia pun menunduk.

“Aku adalah seorang yang sedang lewat jalan untuk mencari dan mengunjungi Tiat-liong-pang, harap Cu-wi (Tuan sekalian) suka memberi jalan.” katanya halus dan ia pun hendak melangkah maju, mengharapkan lima orang itu akan membuka jalan.

Akan tetapi, lima orang itu sudah melihat betapa gadis ini manis sekali, tubuhnya demikian padat dan ranum, dan terutama mulutnya demikian indah penuh gairah, menjanjikan hal-hal yang amat menyenangkan bagi mereka, maka sedikit pun mereka tidak mau membuka jalan, bahkan tertawa-tawa dan menyeringai dengan pandang mata cabul.

“Aih, mengapa tergesa-gesa, Nona?”

“Mari kita berkenalan lebih dulu.”

“Siapakah nama nona manis?”

“Apakah engkau sudah menikah dengan seorang anggauta Tiat-liong-pang?”






“Hai, nona manis, tahun ini berapa sih usiamu? Tentu kurang lebih tujuh belas tahun, ya?”

Ci Hwa mengerutkah alisnya, maklum bahwa ia berhadapan dengan segerombolan orang yang kurang ajar.

“Aku tidak mengenal kalian, dan tidak mempunyai urusan dengan kalian, kecuali kalau kalian ini anggauta-anggauta Tiat-liong-pang. Apakah kalian anggauta perkumpulan itu?”

Lima orang itu saling pandang dan tertawa-tawa ha-ha-he-he-he, menggeleng kepala. Seorang di antara mereka, yang mukanya penuh cambang bauk, menyeramkan sekali, agaknya menjadi kepala di antara mereka, lalu bertanya,

“Nona manis, apakah engkau isteri seorang di antara orang Tiat-liong-pang?”

“Bukan, akan tetapi aku mempunyai urusan dengan Tiat-liong-pang dan mencari perkumpulan itu.”

“Ha-ha-ha, kalau begitu, mengapa mencari mereka? Sudah ada kami di sini, dan kami tidak kalah gagah oleh mereka, bukan? Nah, engkau agaknya belum ada yang punya, Nona. Mari kau ikut saja dengan kami, kita bersenang-senang!”

Si brewok itu mengulur tangannya hendak meraba dagu Ci Hwa. Gadis itu cepat melangkah mundur mengelak dan ia pun menjadi marah sekali.

“Kalian ini orang-orang kurang ajar! Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian!”

Setelah berkata demikian Ci Hwa lalu melangkah lebar, mengambil jalan mengitari mereka untuk melanjutkan pendakiannya naik ke bukit itu.

Akan tetapi, seorang di antara mereka sudah meloncat dan menghadangnya sambil menyeringai lebar, memperlihatkan gigi yang hitam-hitam menguning karena rusak dan tak pernah dibersihkan.

“He, he, he, jangan pergi dulu, nona manis. Sedikitnya harus memberi tinggalan cium dulu padaku, he, he, he!” Dan dia pun menubruk hendak merangkul dan mencium gadis yang menggiurkan hatinya itu.

Akan tetapi Ci Hwa yang sudah bangkit kemarahannya itu menyambut dengan tendangan yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh penyerang yang bertubuh tinggi kurus itu.

“Dukkk!” Ujung sepatu Ci Hwa mengenai perut orang itu.

“Augkkk.!”

Orang itu membungkuk, memegangi perutnya yang mendadak terasa mulas itu. Mungkin usus buntunya tertendang dan dia pun mengaduh-aduh sambil memegangi perut dan berloncatan seperti seekor monyet menari-nari.

Melihat ini, dua orang temannya menubruk maju untuk menangkap Ci Hwa.
“Wah, galak juga perempuan ini!” kata yang seorang.

“Makin liar semakin menyenangkan, seperti seekor kuda betina yang masih belum jinak, ha-ha-ha!” kata orang kedua.

Ditubruk oleh dua orang dari kanan kiri, Ci Hwa tidak menjadi gentar. Bagaimanapun juga, sejak kecil ia sudah belajar silat dari ayahnya, maka sekali melompat ke belakang, tubrukan itu pun luput dan dari samping kembali kakinya menendang. Sekali ini, tendangannya dapat ditangkis, bahkan orang itu bermaksud menangkap kakinya, Ci Hwa sudah menarik kembali kakinya dan kini ia mendoyongkan tubuh ke kiri dan tangan kirinya diayun keras sekali, menampar orang ke dua.

“Plakkk!” Tamparan itu keras sekali.

“Aduhhh....!” Orang yang menjadi korban kedua itu mendekap mulutnya yang berdarah kembali meludahkan dua buah giginya yang copot akibat tamparan itu. “Bedebah!” Dia membentak dan kini dia pun maju lagi dengan amat marah.

Orang yang tadi kena tendang juga sudah bangkit, dan kini lima orang itu bagaikan lima ekor kucing yang kelaparan, mengurung Ci Hwa dengan sikap mengancam.

“Perempuan liar!” bentak si brewok. “Kita tangkap ia dan kita gilir ia sampai ia minta ampun!”

Kini Ci Hwa terpaksa harus melindungi tubuhnya dengan mengelak, menangkis dan berusaha membalas dengan tendangan dan pukulan. Akan tetapi, lima orang itu ternyata bukan orang lemah sehingga baju Ci Hwa dapat dicengkeram dan sekali tarik, terdengar suara kain robek dan terbukalah bagian dada Ci Hwa, memperlihatkan sedikit bukit dada-nya yang masih tertutup pakaian dalam.

“Hemmm, mulus !”

Mereka berteriak-teriak dan kini Ci Hwa cepat melolos senjatanya, yaitu sebuah sabuk rantai. terbuat dari perak. Senjata ini merupakan andalan ayahnya dan ia pun sudah pernah berlatih dengan senjata ini. Begitu ia menggerakkan tangannya, sabuk terlepas dan menyambar ke depan menjadi gulungan sinar putih. Seorang di antara mereka kurang cepat mengelak.

“Tukkk!”

Ujung sabuk perak yang keras mengenai batok kepalanya dan orang itu pun menjerit kesakitan dan terpelanting, memegangi kepalanya yang mendadak bocor mengeluarkan darah itu sambil mengaduh-aduh dan menyumpah-nyumpah. Melihat ini, empat orang temannya menjadi marah.

“Gadis liar!” bentak si brewok dan mereka lalu mengeluarkan jaring dari punggung masing-masing.

Itulah senjata mereka untuk menangkap binatang buruan di samping busur dan anak panah. Jaring itu kuat sekali, terbuat daripada tali-tali sutera yang tidak mudah putus. Kini mereka mengepung Ci Hwa dengan jaring siap di tangan, mulut mereka menyeringai dengan napas memburu penuh ketegangan karena mereka merasa seolah-olah mereka sedang mengepung seekor harimau betina yang hendak mereka tangkap hidup-hidup!

Ci Hwa menjadi bingung. Selama hidupnya baru ini ia berkelahi dikeroyok banyak orang, dan ia tidak tahu bagaimana harus menghadapi orang-orang yang memegang jaring seperti itu.

Tiba-tiba si brewok membentak, memberi isyarat kepada teman-temannya dan seorang yang berdiri di belakang, sudah melempar jaringnya ke arah Ci Hwa. Melihat ada jaring menyambar ke atas kepalanya dari belakang, Ci Hwa hendak menyambar pula jaring lain yang tahu-tahu telah menutupi tubuhnya!

Ia meronta dan berusaha melepaskan diri, namun sia-sia karena kini jaring-jaring yang lain sudah menyelimutinya. Ia meronta semakin keras, namun makin keras ia meronta, makin terlibat-libatlah tubuhnya dan akhirnya ia pun roboh. Ia merasa menyesal mengapa senjatanya itu bukan golok atau pedang yang tajam untuk dapat membikin putus tali-tali jala itu. Sebatang sabuk rantai yang tidak tajam, tentu saja tidak ada gunanya.

Lima orang itu kini tertawa-tawa mengitarinya dan menggunakan tali-tali jaring untuk mengikat tubuhnya. Ci Hwa yang sudah terlibat jaring-jaring itu tak mampu berkutik lagi kecuali memaki-maki.

“Lepaskan aku! Kalian ini manusia-manusia kurang ajar! Aku tidak bersalah terhadap kalian, kenapa kalian hendak menggangguku? Lepaskan!”

Ia berteriak dan meronta, namun hanya dapat bergerak sedikit saja setelah tali itu membelit-belit tubuhnya.

“Ha-ha-ha, merontalah, Manis. Ha-ha-ha-ha, engkau menjadi santapan sedap kami malam ini, ha-ha-ha!”

Lima orang itu tertawa-tawa bahkan mereka yang tadi terkena tendangan, kena gampar dan terkena hantaman ujung sabuk rantai, sudah melupakan nyerinya dan mereka tertawa-tawa karena membayangkan betapa nanti mereka akan kebagian dan mendapat kesempatan untuk membalas perbuatan gadis itu dengan kesenangan yang berlipat ganda.

Si Brewok lalu mengangkat tubuh yang sudah terbelit-belit jaring itu, dan memanggulnya di atas pundak dan membawanya masuk ke dalam hutan, diikuti oleh empat orang kawannya yang tertawa-tawa. Ci Hwa nampak seperti seekor kijang yang tertangkap dalam jaringan, hanya dapat meronta-ronta sedikit.

Tiba-tiba saja, dari balik semak belukar, muncul dua orang laki-laki bertubuh tinggi besar. Di pinggang mereka tergantung golok besar dan keduanya mengenakan pakaian seperti jagoan silat dan sikap mereka garang sekali. Mereka muncul dan berdiri menghadang di depan lima orang itu yang memandang dengan kaget.

Si brewok, pemimpin lima orang pemburu itu merasa rikuh juga bertemu orang selagi dia dan teman-temannya bukan menangkap binatang buruan melainkan seorang perempuan dalam jaringnya, maka dia yang dapat mengenal orang kang-ouw segera tersenyum ramah.

“Selamat pagi, dua orang sahabat yang gagah! Hendak ke manakah kalian?”

Akan tetapi dua orang laki-laki tinggi besar itu memandang dengan alis berkerut, memandangi wajah mereka satu demi satu, kemudian memandang kepada gadis dalam jaring yang tidak dapat terlihat jelas mukanya karena tali-tali jaring yang rapat.

“Hemmm, kalian berlima ini siapakah?” tanya seorang di antara mereka, yang mukanya hitam, sikapnya garang. “Pakaian kalian menunjukkan bahwa kalian adalah pemburu-pemburu binatang hutan!”

Si brewok masih memperlihatkan senyumnya. Di antara para pemburu binatang dan kaum kang-ouw, para perampok, memang tidak pernah terjadi permusuhan karena jalan hidup mereka memang bersimpangan. Kalau para pemburu memburu binatang untuk dijual kulit dan dagingnya, para perampok memburu manusia yang berharta untuk dirampok hartanya.

“Tidak keliru dugaan Ji-wi (Kalian berdua). Kami memang pemburu-pemburu yang hendak mengadu untung di daerah pegunungan ini, untuk memburu binatang hutan.”

“Dan binatang hutan macam apakah yang kalian tangkap dalam jaring kalian itu?”

Tiba-tiba si muka hitam bertanya, matanya yang lebar memandang kepada tubuh gadis yang dibelit jaring.

“Aih, ini? Ia …ia adalah eh.... tawanan kami, karena berani melawan kami, dan ia.... ia menjadi milik kami....” kata si brewok agak gagap karena merasa rikuh, akan tetapi mengingat bahwa dia berlima sedangkan di depannya hanya terdiri dua orang, maka dia pun menjadi berani. “Kami kira urusan ini tidak ada sangkut pautnya dengan Ji-wi, harap Ji-wi memaklumi kami berlima yang sedang kesepian dan membutuhkan hiburan.” Dia lalu tertawa.

“Diam!” bentak si muka hitam marah yang mengejutkan si brewok. “Atas ijin siapakah kalian berani berkeliaran di sini, menangkap binatang maupun perempuan? Katakan, atas ijin siapa!”

“Kami.... kami memburu di tempat bebas.“

“Butakah matamu? Tulikah telingamu? Di sini adalah wilayah kekuasaan Tiat-liong-pang, dan kalian berani memburu binatang dan perempuan di daerah kami tanpa ijin? Kalian sudah bosan hidup rupanya!”

Si muka hitam sudah menerjang, mengirim pukulan dan tendangan. Serangannya demikian hebat dan cepatnya sehingga si brewok menjadi kalang kabut, untuk menangkis dan mengelak, terpaksa dia melepaskan tubuh Ci Hwa yang dipanggulnya sehingga tubuh gadis dalam selimutan jaring itu pun terbanting ke atas tanah. Kini, lima orang pemburu itu sudah berkelahi mengeroyok dua orang anggauta Tiat-liong-pang yang sudah mencabut golok mereka.

Lima orang pemburu itu mencabut pisau pemburu mereka dan melawan dengan pisau dan jaring. Untuk mempergunakan anak panah, mereka tidak sempat lagi karena mereka berkelahi dari jarak dekat. Akan tetapi sekali ini, mereka kecelik. Dua orang anggauta Tiat-liong-pang itu lihai bukan main dengan golok mereka sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, seorang demi seorang dari lima orang pemburu itu pun roboh mandi darah dan tewas di bawah bacokan dua batang golok dua orang tinggi besar itu!

Setelah lima orang lawannya tewas semua, dua orang itu tertawa dan membersihkan darah di golok mereka pada pakaian para korban. Setelah menyimpan golok mereka, keduanya lalu menghampiri Ci Hwa yang masih rebah dan menonton perkelahian itu dari antara tali-tali jaring. Si muka hitam kini membuka jaring dan membebaskan Ci Hwa.

Gadis ini merasa betapa seluruh tubuhnya pegal-pegal dan ia pun bangkit berdiri dengan susah, agak terhuyung, lalu memandang kepada dua orang laki-laki tinggi besar yang usianya tiga puluh tahun lebih. Ia lalu memberi hormat.

“Terima kasih atas pertolongan Jiwi (Anda berdua),” katanya, tanpa merasa betapa dua orang laki-laki itu kini memandang kepadanya dengan sinar mata yang tidak ada bedanya dengan cara lima orang pemburu tadi memandangnya, bahkan kini pandang mata mereka tak pernah melepaskan bagian baju yang robek terbuka sehingga memperlihatkan bukit dadanya.

Si muka bopeng, orang ke dua, terkekeh.
“Ha-ha-heh-heh-heh, nona yang baik, pantas saja mereka berlima itu tergila-gila. Kiranya engkau memang seorang gadis yang manis sekali!”

Si muka hitam menyambung,
“Kami telah menyelamatkanmu, nona manis, lalu bagaimana engkau hendak membalas budi kami?”

Ci Hwa terkejut. Isi ucapan dan nada suara kedua orang ini sama sekali tidak menyenangkan hatinya, bernada kurang ajar pula. Ketika ia melihat betapa mereka itu memandang ke arah dadanya, cepat ia berusaha menutupi bagian yang robek itu dan melangkah mundur dua langkah, alisnya berkerut dan wajahnya penuh kekhawatiran.

“Aku berterima kasih atas pertolongan Ji-wi, dan aku ingin melanjutkan perjalanan. Eh, bukankah Ji-wi adalah dua orang anggauta Tiat-liong-pang?”

“Benar,” kata si muka hitam. “Ada urusan apa Nona dengan Tiat-liong-pang?”

“Aku… aku ingin bertemu dengan ketuanya.“

Dua orang itu terkejut dan saling pandang, khawatir kalau-kalau gadis yang menarik hati mereka ini kenal dengan ketua mereka. Kalau begitu halnya, jelas bahwa mereka sama sekali takkan berani mengganggunya.

“Apakah Nona mengenal ketua kami?”

Ci Hwa menggeleng kepalanya,
“Sama sekali tidak mengenalnya. Akan tetapi aku ingin bertemu dengan dia dan bertanya tentang urusan yang menyangkut perusahaan piauwkiok di Ban-goan, yaitu tentang kematian piauwsu Tan Hok beberapa tahun yang lalu.”

Kembali kedua orang itu saling pandang,
“Eh? Jadi Nona ini adalah dari Ban-goan?”

“Benar aku adalah puteri dari Kwee Piauwsu, kepala Ban-goan Piauw-kiok dan aku ingin menyelidiki tentang pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan orang terhadap beberapa orang piauwsu di sana.”

Kembali dua orang ini saling pandang, akan tetapi kini mulut mereka menyeringai senang.
“Aha, kiranya Nona ini orang penyelidik! Akan tetapi tadi engkau belum menjawab pertanyaan kami, Nona. Kami telah menyelamatkanmu dari tangan lima orang pemburu ini, lalu dengan cara bagaimana Nona hendak berterima kasih dan membalas budi kepada kami?” Berkata demikian, si muka hitam mendekat, diikuti oleh si muka bopeng yang menyeringai.

Ci Hwa mundur lagi dan alisnya berkerut semakin mendalam.
“Aku.... aku berterima kasih, kalian mau apalagi? Aku tidak mempunyai apa-apa!”

“Heh-heh-heh, engkau memiliki segalanya, nona manis!” kata si bopeng yang tiba-tiba menubruk.

Ci Hwa menahan jeritnya dan mengelak, lalu menendang dari samping. Akan tetapi, si bopeng cukup gesit dan dia menangkis tendangan itu dengan kerasnya sehingga tubuh Ci Hwa terputar. Akan tetapi, gadis ini pun bukan orang lemah. Ia sudah meloncat lagi dengan elakannya ketika si muka hitam mencoba untuk menangkapnya dari samping dengan tubrukannya.

Ci Hwa dikeroyok dua. Gadis ini mencoba untuk mempertahankan diri, mengirim pukulan dan tendangan. Namun, dua orang anggauta Tiat-liong-pang itu adalah anggauta yang tingkatnya sudah agak tinggi, ilmu kepandaian mereka pun sudah cukup kuat. Sedangkan Ci Hwa kehilangan sabuk rantai yang diandalkannya.

“Brettttt!!”

Tiba-tiba cengkeraman tangan si muka hitam dapat menangkap baju Ci Hwa dan baju itu berikut baju dalamnya terlepas dari tubuhnya sehingga tubuh bagian atasnya terbuka dan buah dadanya pun nampak. Hal ini membuat kedua orang itu menjadi semakin gila dan penuh nafsu, sebaliknya Ci Hwa yang dibuat malu dan canggung karena tubuh atasnya telanjang, menjadi kacau gerakannya.

Akhirnya, sebuah tendangan mengenai lututnya dan tubuh Ci Hwa terpelanting. Dua orang itu menubruknya seperti dua ekor harimau menubruk kambing. Ci Hwa berteriak-teriak ketika mereka menggumulinya, mencoba untuk melepaskan semua pakaiannya.

“Tahan!”

Tiba-tiba terdengar bentakan halus. Dua orang itu kelihatan terkejut, cepat melepaskan Ci Hwa dan meloncat berdiri, kini mereka berdiri berjajar, berhadapan dengan seorang pemuda dengan muka pucat dan ditundukkan, kelihatan takut sekali.

“Kiranya Kongcu yang datang.!” kata mereka dan selanjutnya mereka mengambil sikap seperti orang menunggu perintah.

Ci Hwa merasa nyeri-nyeri seluruh tubuhnya karena kedua orang tadi dengan kasar menggumulinya, dan pakaiannya sudah tidak karuan lagi letaknya. Baju atasnya robek dan ia mengeluh, lalu bangkit duduk sambil berusaha menutupi dadanya dengan robekan bajunya, lalu memandang.

Kiranya yang muncul adalah seorang pemuda yang wajahnya tampan, pakaiannya seperti seorang pemuda terpelajar tinggi, pakaian yang bersih dan rapi, wajahnya yang tampan itu pesolek dan gerak-geriknya halus, bahkan dia tidak mau terlalu lama memandang keadaan gadis yang setengah telanjang itu. Sepasang matanya ditujukan kepada lima buah mayat para pemburu, kemudian menatap kedua orang anggauta Tiat-liong-pang yang berdiri di depannya. Suaranya tetap halus, namun penuh teguran dan dari alis matanya yang berkerut itu dapat diduga bahwa hatinya tidak senang.

“Apa yang telah terjadi di sini?” tanyanya, suaranya halus namun keren.

Si muka hitam yang galak tadi kini menjawab dan Ci Hwa merasa heran mendengar betapa suara orang itu gemetar.

“Begini, Kongcu.... mereka itu adalah lima orang pemburu yang tanpa ijin kita berani melakukan perburuan di hutan ini. Mereka menangkap gadis ini dan menculiknya, maka kami turun tangan membunuh mereka berlima.”

“Hemmm, akan tetapi apa yang kalian lakukan tadi terhadap Nona ini?”

Dua orang kasar itu saling pandang dan untuk menyembunyikan rasa takut, mereka tersenyum menyeringai.

“Hemmm, Kongcu setelah kami menolongnya, ia berterima kasih dan hendak membalas budi kami berdua.”

Pemuda itu bukan lain adalah Siangkoan Liong. Biarpun pemuda ini selalu bersikap halus dan jarang mendekati para anggauta Tiat-liong-pang, namun dia lebih ditakuti oleh para anggauta itu daripada terhadap Siangkoan Lohan sendiri karena pemuda ini dapat bertindak tegas dan tak mengenal ampun kepada mereka yang bersalah. Kini, mendengar laporan si muka hitam, pemuda itu menoleh ke arah Ci Hwa, hanya melirik saja.

Ci Hwa tidak tahu siapa pemuda itu, akan tetapi melihat betapa dua orang itu bersikap takut-takut, ia pun dapat menduga bahwa pemuda tampan ini tentulah seorang yang amat berpengaruh di Tiat-liong-pang.

“Mereka bohong!” katanya membantah keterangan si muka hitam. “Memang benar bahwa aku diganggu dan ditawan lima orang pemburu, dan mereka berdua muncul menolongku dan membunuh lima orang itu, dan aku memang berterima kasih, akan tetapi mereka berdua itu tidak ada bedanya dengan lima orang pemburu itu. Mereka hendak memaksaku, menggangguku. Aku terlepas dari cengkeraman lima ekor srigala akan tetapi terjatuh ke cengkeraman dua ekor harimau!”

Gadis yang biasanya berwatak pendiam dan halus ini sekarang bicara berapi-api, penuh kemarahan.

Siangkoan Liong memandang dua orang anak buahnya.
“Benarkah itu?”

Dua orang itu saling lirik, tidak berani berbohong lagi, akan tetapi mereka masih menyeringai.
“Eh.... begini, Kongcu.... eh, kami melihat ia begitu cantik manis wajarlah kalau kami tertarik dan hanya ingin main-main sedikit, bukan mengganggunya “

“Cukup!” Siangkoan Liong membentak. “Cepat kalian bunuh diri sendiri!”

Tentu saja ucapan ini amat mengejutkan. Dua orang itu seketika terbelalak dan wajah mereka pucat sekali. Bahkan Ci Hwa juga kaget bukan main. Begitu mudahnya pemuda ini menjatuhkan hukuman yang luar biasa, menyuruh dua orang itu membunuh diri!

Keduanya saling pandang dengan mata liar dan jelas bahwa mereka amat ketakutan, seperti dua ekor kelinci bertemu harimau.

“Tapi.... tapi....“ kata yang seorang.

“Kita lapor Pangcu (ketua)!” kata yang lain dalam usahanya untuk menyelamatkan diri. Keduanya seperti dikomando tiba-tiba, segera membalikkan tubuh dan melarikan diri.