Hong Beng juga menjenguk dan karena daun pintu terbuka, dia dapat melihat ibunya didorong terhuyung dan disambut oleh Coa Pit Hu dengan rangkulan. Ibunya berwajah pucat dan menangis, pakaiannya tidak karuan. Akan tetapi daun pintu sudah ditutup lagi.
Dia hanya mendengar suara tangis ibunya diseling suara ketawa Coa Pit Hu dan Bong-ciangkun. Melihat kesempatan baik ini, Hong Beng lalu melarikan diri keluar dari tempat itu. Di pintu gerbang depan terdapat perajurit-perajurit yang berjaga, akan tetapi karena dari dalam tidak terdengar perintah apa-apa, mereka mengira bahwa anak itu memang dilepaskan oleh Bong-ciangkun dan merekapun hanya memandang sambil tertawa melihat anak itu berlari keluar sambil menangis.
Hong Beng terus berlari menuju pulang. Ayahnya terkejut bukan main ketika melihat puteranya memasuki rumah sambil menangis. Ada rasa girang melihat puteranya dalam keadaan selamat, akan tetapi melihat anak itu menangis dan pulang tanpa ibunya, dia terkejut.
“Hong Beng....!”
“Ayah.... ayah....!” Anak itu menubruk ayahnya dan menangis.
“Kenapa, Hong Beng? Kenapa? Mana ibumu.?” Hati Gu Hok merasa tidak enak sekali.
“Ibu.... tolonglah ibu, ayah Ibu.... ibu ditahan oleh Bong-ciangkun!”
“Eh? Bong-ciangkun? Kenapa.?”
Tentu saja Gu Hok menjadi bingung karena sama sekali tidak pernah mengira bahwa hilangnya puteranya itu adalah akibat perbuatan seorang pembesar yang berpengaruh itu. Siapa tidak mengenal Bong-ciangkun, komandan pasukan keamanan kota Siang-nam, yang seolah-olah menjadi raja kecil itu?
“Aku.... aku ditangkap orang-orang Bong-ciangkun dan ditahan di sana, malam ini ibu datang bersama penjahat tinggi kurus, lalu ibu ditahan di dalam kamar Bong-ciangkun.... dan kulihat.... ibu setengah telanjang, ibu menangis dan aku lalu lari.”
“Keparat.!”
Gu Hok tentu saja dapat menduga apa yang telah terjadi. Agaknya Bong-ciangkun yang mengatur semua itu untuk memaksa dan menggagahi isterinya! Tukang kayu itu marah sekali dan lupa siapa adanya Bong-ciangkun. Dia mengambil sebuah kapak besar yang biasa untuk menebang pohon, lalu berlari keluar.
“Ayah....!” Hong Beng berteriak dan mengejar ayahnya.
Ayah dan anak berlarian menuju ke gedung keluarga Bong-ciangkun. Karena hari sudah lewat tengah malam, keadaan sunyi sekali dan agaknya tidak ada seorangpun melihat ayah dan anak ini berlari-larian.
Akan tetapi, mereka berdua itu tidak tahu bahwa ada sesosok bayangan hitam berkelebat cepat sekali membayangi mereka. Setelah tiba di depan pintu gerbang gedung Bong-ciangkun, Gu Hok yang diikuti puteranya itu lari masuk. Tentu saja para pengawal segera menghadangnya.
“Heii, berhenti! Mau apa kau?” bentak seorang pengawal sambil melintangkan tombaknya.
“Minggir! Aku mau bertemu Bong-ciangkun!”
Gu Hok membentak dan mengobat-abitkan kapaknya yang besar dan tajam! Pengawal itu terkejut dan melompat-mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Gu Hok untuk menerobos masuk diikuti Hong Beng.
“Heii! Berhenti kau.!”
Para pengawal itu mengejar ayah dan anak ini. Akan tetapi Gu Hok yang sudah nekat itu sudah tiba di depan pintu kamar Bong-ciangkun atas petunjuk anaknya dan segera dia mengayun kapaknya menjebol daun pintu. Dengan suara keras dan pintu itu jebol dihantam kapak dan terbuka. Orang-orang yang berada di dalam kamar itu terkejut dan apa yang dilihat oleh Gu Hok membuat tukang kayu ini menjadi pucat wajahnya dan matanya terbelalak.
Isterinya menjerit, meronta dan terlepas dari rangkulan orang tinggi kurus itu, lalu lari ke arah suaminya dalam keadaan telanjang bulat! Ia menangis sesenggukan menjatuhkan dirinya berlutut di depan suami dan puteranya.
Melihat keadaan isterinya, Gu Hok marah bukan main dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menerjang maju kearah Bong-ciangkun. Akan tetapi, dari samping si tinggi kurus itu menyambutnya dengan sebuah tendangan keras yang membuat tubuh Gu Hok terdorong mundur keluar dari dalam kamar itu. Sekali lagi Coa Pit Hu menendang dan kini tubuh Hong Beng terlempar keluar.
“Ha-ha-ha, bunuh para pengacau itu!” kata Bong-ciangkun kepada para pengawalnya.
Isteri Gu Hok menjerit melihat suami dan anaknya ditendang keluar, dan iapun bangkit, lupa bahwa ia berada dalam keadaan telanjang dan bagaikan seekor harimau betina yang marah, ia menerjang keluar pula untuk melindungi suami dan anaknya. Akan tetapi, seorang pengawal menggerakkan tombaknya.
“Ceppp....!”
Tombak itu menusuk perut menembus punggung wanita yang mengeluarkan suara jerit mengerikan. Tombak dicabut dan wanita itupun roboh terkulai. Melihat ini, Gu Hok meloncat bangun.
“Isteriku....!” teriaknya dan diapun mengamuk dengan kapaknya.
Dia hanya mendengar suara tangis ibunya diseling suara ketawa Coa Pit Hu dan Bong-ciangkun. Melihat kesempatan baik ini, Hong Beng lalu melarikan diri keluar dari tempat itu. Di pintu gerbang depan terdapat perajurit-perajurit yang berjaga, akan tetapi karena dari dalam tidak terdengar perintah apa-apa, mereka mengira bahwa anak itu memang dilepaskan oleh Bong-ciangkun dan merekapun hanya memandang sambil tertawa melihat anak itu berlari keluar sambil menangis.
Hong Beng terus berlari menuju pulang. Ayahnya terkejut bukan main ketika melihat puteranya memasuki rumah sambil menangis. Ada rasa girang melihat puteranya dalam keadaan selamat, akan tetapi melihat anak itu menangis dan pulang tanpa ibunya, dia terkejut.
“Hong Beng....!”
“Ayah.... ayah....!” Anak itu menubruk ayahnya dan menangis.
“Kenapa, Hong Beng? Kenapa? Mana ibumu.?” Hati Gu Hok merasa tidak enak sekali.
“Ibu.... tolonglah ibu, ayah Ibu.... ibu ditahan oleh Bong-ciangkun!”
“Eh? Bong-ciangkun? Kenapa.?”
Tentu saja Gu Hok menjadi bingung karena sama sekali tidak pernah mengira bahwa hilangnya puteranya itu adalah akibat perbuatan seorang pembesar yang berpengaruh itu. Siapa tidak mengenal Bong-ciangkun, komandan pasukan keamanan kota Siang-nam, yang seolah-olah menjadi raja kecil itu?
“Aku.... aku ditangkap orang-orang Bong-ciangkun dan ditahan di sana, malam ini ibu datang bersama penjahat tinggi kurus, lalu ibu ditahan di dalam kamar Bong-ciangkun.... dan kulihat.... ibu setengah telanjang, ibu menangis dan aku lalu lari.”
“Keparat.!”
Gu Hok tentu saja dapat menduga apa yang telah terjadi. Agaknya Bong-ciangkun yang mengatur semua itu untuk memaksa dan menggagahi isterinya! Tukang kayu itu marah sekali dan lupa siapa adanya Bong-ciangkun. Dia mengambil sebuah kapak besar yang biasa untuk menebang pohon, lalu berlari keluar.
“Ayah....!” Hong Beng berteriak dan mengejar ayahnya.
Ayah dan anak berlarian menuju ke gedung keluarga Bong-ciangkun. Karena hari sudah lewat tengah malam, keadaan sunyi sekali dan agaknya tidak ada seorangpun melihat ayah dan anak ini berlari-larian.
Akan tetapi, mereka berdua itu tidak tahu bahwa ada sesosok bayangan hitam berkelebat cepat sekali membayangi mereka. Setelah tiba di depan pintu gerbang gedung Bong-ciangkun, Gu Hok yang diikuti puteranya itu lari masuk. Tentu saja para pengawal segera menghadangnya.
“Heii, berhenti! Mau apa kau?” bentak seorang pengawal sambil melintangkan tombaknya.
“Minggir! Aku mau bertemu Bong-ciangkun!”
Gu Hok membentak dan mengobat-abitkan kapaknya yang besar dan tajam! Pengawal itu terkejut dan melompat-mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Gu Hok untuk menerobos masuk diikuti Hong Beng.
“Heii! Berhenti kau.!”
Para pengawal itu mengejar ayah dan anak ini. Akan tetapi Gu Hok yang sudah nekat itu sudah tiba di depan pintu kamar Bong-ciangkun atas petunjuk anaknya dan segera dia mengayun kapaknya menjebol daun pintu. Dengan suara keras dan pintu itu jebol dihantam kapak dan terbuka. Orang-orang yang berada di dalam kamar itu terkejut dan apa yang dilihat oleh Gu Hok membuat tukang kayu ini menjadi pucat wajahnya dan matanya terbelalak.
Isterinya menjerit, meronta dan terlepas dari rangkulan orang tinggi kurus itu, lalu lari ke arah suaminya dalam keadaan telanjang bulat! Ia menangis sesenggukan menjatuhkan dirinya berlutut di depan suami dan puteranya.
Melihat keadaan isterinya, Gu Hok marah bukan main dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menerjang maju kearah Bong-ciangkun. Akan tetapi, dari samping si tinggi kurus itu menyambutnya dengan sebuah tendangan keras yang membuat tubuh Gu Hok terdorong mundur keluar dari dalam kamar itu. Sekali lagi Coa Pit Hu menendang dan kini tubuh Hong Beng terlempar keluar.
“Ha-ha-ha, bunuh para pengacau itu!” kata Bong-ciangkun kepada para pengawalnya.
Isteri Gu Hok menjerit melihat suami dan anaknya ditendang keluar, dan iapun bangkit, lupa bahwa ia berada dalam keadaan telanjang dan bagaikan seekor harimau betina yang marah, ia menerjang keluar pula untuk melindungi suami dan anaknya. Akan tetapi, seorang pengawal menggerakkan tombaknya.
“Ceppp....!”
Tombak itu menusuk perut menembus punggung wanita yang mengeluarkan suara jerit mengerikan. Tombak dicabut dan wanita itupun roboh terkulai. Melihat ini, Gu Hok meloncat bangun.
“Isteriku....!” teriaknya dan diapun mengamuk dengan kapaknya.
Akan tetapi karena dia hanya seorang tukang kayu biasa saja yang tidak pandai ilmu silat, hanya memiliki tenaga besar saja, mana mungkin dia dapat melawan pengeroyokan para pengawal yang rata-rata memiliki ilmu silat dan mereka itu memegang senjata tombak yang panjang? Dalam beberapa gebrakan saja, tubuhnya tertembus tombak pula dan dia roboh tewas di dekat mayat isterinya.
“Ayahhh....! Ibuuuu.... !”
Hong Beng menjerit dan menangis. Anak ini lalu nekat menyerang para pengawal itu dengan kedua tangan dan kakinya, memukul menendang asal kena saja. Para pengawal itu tertawa, tidak mempergunakan senjata lagi melainkan menghadapi amukan anak kecil itu dengan tamparan-tamparan yang membuat tubuh Hong Beng terpelanting dan terlempar ke sana-sini.
Akan tetapi anak itu bangkit lagi, menyerang lagi untuk disambut tamparan yang membuatnya terpelanting lagi. Dia dipermainkan oleh para pengawal seperti seekor tikus dipermainkan beberapa ekor kucing saja.
Bong-ciangkun dan Coa Pit Hu kini sudah keluar dari dalam kamar. Melihat betapa belasan orang pengawal itu mempermainkan anak laki-laki yang mengamuk seperti gila dan nekat itu, Bong-ciangkun berseru,
“Bunuh saja dia dan lempar tiga mayat mereka!”
Seorang pengawal yang berkumis tebal dan berwatak kejam lalu mengangkat goloknya dan membacok ke arah leher Hong Beng yang kembali sudah terpelanting ke atas lantai.
“Singgg.... tranggg.... aughhhh....!”
Bukan leher Hong Beng yang terpenggal putus, melainkan golok itu terpental dan pemegangnya roboh dengan kepala retak dan tewas seketika. Semua orang terkejut bukan main dan ketika mereka memandang, ternyata di situ telah berdiri seorang laki-laki yang amat gagah perkasa. Laki-laki inilah bayangan yang tadi membayangi Gu Hok dan puteranya.
Dia seorang pria berusia kurang lebih tiga puluh tahun, bentuk mukanya bulat dengan sepasang matanya yang mencorong tajam. Wajah yang tampan itu berkulit agak gelap. Pakaiannya serba indah dan rapi, rambutnya tersisir rapi pula, seorang laki-laki pesolek.
Ketika laki-laki ini memandang ke arah dua buah mayat suami isteri Gu Hok, dan melihat keadaan mayat wanita itu yang telanjang bulat, alisnya berkerut dan sepasang matanya mengeluarkan cahaya berkilat. Pandang mata mencorong itu kini ditujukan kepada Bong-ciangkun dan Coa Pit Hu yang berdiri di depan pintu kamar, kemudian beralih kepada Hong Beng yang sudah bangkit lagi dengan muka matang biru dan hidung berdarah.
“Anak baik, apakah mereka itu ayah ibumu?”
“Benar, dan mereka.... mereka dibunuh.... dua orang jahanam itu dan anak buahnya.”
Laki-laki gagah itu mengangguk-angguk.
“Tidak aneh kalau terjadi pemberontakan di mana-mana. Pejabat-pejabat pemerintah bertindak sewenang-wenang dan berkomplot dengan para penjahat. Manusia-manusia macam ini memang harus dibasmi!”
Coa Pit Hu sudah dapat menenangkan hatinya yang terkejut melihat munculnya orang yang membunuh seorang pengawal itu. Dan menudingkan telunjuknya ke arah muka laki-laki itu dan membentak,
“Kurang ajar! Siapakah engkau berani mengantar nyawa di sini? Hayo mengaku sebelum kupenggal kepalamu!”
Laki-laki itu tersenyum, senyumnya dingin sekali.
“Tidak ada gunanya engkau mengenal namaku karena kalian semua akan mati malam ini!”
“Kurang ajar!”
Coa Pit Hu marah sekali dan dia sudah mencabut sebatang golok lalu menyerang dengan amat ganas. Agaknya dia hendak memenuhi ancamannya tadi, yaitu hendak memenggal kepala orang yang berani menentang dia dan Bong-ciangkun.
“Singgg....!”
Goloknya menyambar ke arah leher laki-laki gagah itu. Laki-laki itu hanya menggerakkan tangan, telapak tangannya sudah menampar dada Coa Pit Hu sebelah kanan.
“Plakkk!”
Coa Pit Hu mengeluarkan teriakan dan tubuhnya terpelanting roboh dan matanya mendelik, dari mulut dan hidungnya mengalir darah dan dia sudah tidak berkutik lagi karena telah tewas seketika. Jantungnya pecah karena getaran pukulan telapak tangan yang amat dahsyat itu!
Melihat ini, Bong-ciangkun memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Akan tetapi dia masih ingat untuk memberi aba-aba,
“Serbu dan bunuh penjahat ini!” Lalu dia sendiri membalikkan tubuhnya hendak lari bersembunyi ke dalam rumahnya.
“Hemm, pembesar lalim jangan harap dapat lolos dari tanganku!”
Laki-laki gagah itu menyambar golok yang tadi terlepas dari tangan Coa Pit Hu dan sekali menyambit, golok itu terbang meluncur.
“Cappp....!”
Pambesar Bong-ciangkun menjerit ketika golok itu menembus punggungnya sampai dada, dan diapun roboh tersungkur, menelungkup di atas lantai. Darah membanjir keluar dari punggung dan dadanya, dan tubuhnya hanya sebentar saja berkelojotan lalu tak bergerak lagi.
Belasan orang pengawal menjadi terkejut dan merekapun lalu mengeroyok kalang kabut. Namun, tubuh pria yang gagah itu berkelebatan ke sana-sini dan setiap kali tangannya bergerak tentu seorang pengeroyok roboh dan tewas. Sebentar saja sepuluh orang telah roboh. Sisanya hendak lari, akan tetapi laki-laki itu tidak mau memberi ampun dan dengan lemparan-lemparan tombak atau golok yang berserakan, dia merobohkan mereka yang melarikan diri sehingga tak seorangpun ketinggalan!
Tempat itu berobah menjadi tempat mengerikan di mana mayat berserakan dan lantai banjir darah! Hong Beng sendiri merasa sakit hati dan mendendam terhadap Bong-ciangkun, kini terbelalak dengan muka pucat menyaksikan pembunuhan yang lebih tepat dinamakan pembantaian yang dilakukan laki-laki gagah perkasa itu. Laki-laki itu lalu berkata kepada Hong Beng yang berdiri di sudut dengan tubuh menggigil dan muka pucat.
“Anak baik, mari kita pergi dari sini.”
“Tapi.... tapi.... aku ingin mengubur jenazah ayah ibuku....”
Laki-laki itu menarik napas panjang.
“Hemm, baiklah!”
Dia lalu mengambil sebatang golok dan dengan golok itu dia memenggal leher Bong-ciangkun dan Coa Pit Hu. Rambut dari dua buah kepala itu dia ikat menjadi satu lalu dia menyerahkan dua kepala itu kepada Hong Beng.
“Kau bawalah dua kepala ini dan aku akan membawa jenazah ayah ibumu.”
Tentu saja Hong Beng terbelalak ngeri. Melihat orang mati saja belum pernah, sekarang setelah menyaksikan belasan orang berserakan menjadi mayat dalam keadaan mandi darah, dia harus membawa dua buah kepala orang! Akan tetapi, karena mendengar bahwa laki-laki perkasa itu akan membawakan dua jenazah ayah ibunya, terpaksa dengan gemetaran dia menerima dua kepala itu, dipegang pada rambut yang diikat menjadi satu dan dibawanya kepala yang lehernya masih meneteskan darah itu.
Laki-laki itu merenggut beberapa helai tirai sutera dari tempat itu, menyelimuti tubuh isteri Gu Hok yang telanjang, kemudian dia mengambil dua mayat itu dengan ringan dan mudah.
“Mari kita pergi,” katanya lagi dan dia membawa dua mayat itu berjalan keluar, diikuti oleh Hong Beng yang membawa dua buah kepala orang!
Setelah dua orang ini pergi, barulah para pelayan rumah pondok yang biasanya dipergunakan Bong-ciangkun untuk menjagal wanita-wanita yang menjadi korbannya itu berani keluar. Melihat betapa mayat-mayat berserakan, diantaranya adalah mayat Bong-ciangkun dan Coa Pit Hu yang sudah tidak berkepala lagi, tentu saja para pelayan itu menjerit-jerit ketakutan, bahkan ada yang roboh pingsan.
Tempat itu segera ramai di datangi orang dan gegerlah kota Siang-nam. Pasukan keamanan datang dan para pembesar di kota ribut-ribut mencari siapa yang telah membunuh Bong-ciangkun dan belasan orang itu. Akan tetapi semua orang yang menjadi saksi telah tewas, sukarlah bagi mereka untuk mencari keterangan siapa pembunuhnya.
Kegemparan itu makin menghebat ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, rakyat yang berdatangan ke pasar menjadi terkejut melihat adanya dua buah kepala digantung di atas pintu gerbang pasar. Itulah kepala Bong-cioangkun dan Coa Pit Hu! Dan di atas tembok pintu gerbang itu terdapat tulisannya, tulisan yang bergaya kuat dan berbentuk indah, ditulis dengan darah yang telah menghitam.
”BONG CIANGKUN BERSEKONGKOL DENGAN PARA PENJAHAT MENINDAS RAKYAT. INILAH HUKUMANNYA AGAR MENJADI CONTOH BAGI PARA PEJABAT LAIN.”
Tentu saja kota Siang-nam menjadi gempar dan semua orang menduga-duga siapa gerangan orang yang begitu berani membunuh seorang komandan pasukan keamanan, bahkan membunuh Coa Pit Hu yang terkenal sebagai pimpinan penjahat di sekitar tempat itu, lalu menggantungkan kepala mereka di atas pintu gerbang pasar tanpa diketahui seorangpun. Kepala daerah, dengan hati kecut dan ketakutan, segera memerintahkan pasukan keamanan untuk menjaga rumahnya dan sebagian ditugaskan untuk mencari pembunuh itu.
Sementara itu, si pembunuh pada keesokan harinya telah berjalan seenaknya di luar kota Yang-nam sambil menggandeng tangan Hong Beng. Dia telah membantu anak itu mengubur jenazah ayah ibu anak itu di luar kota Siang-nam, di sebuah lereng bukit yang sunyi, kemudian mengajak anak itu pergi dari situ.
Siapakah laki-laki gagah perkasa itu? Kalau saja ada yang mengenalnya, tentu kegemparan di Siang-nam bertambah dengan rasa takut dan kagum. Laki-laki itu adalah seorang pendekar sakti yang namanya telah menggemparkan dunia kang-ouw beberapa tahun yang lalu. Dia bernama Suma Ciang Bun. Para pembaca kisah-kisah yang menyangkut keluarga Pulau Es tentu sudah mengenal nama ini. Suma Ciang Bun adalah cucu dari mendiang Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, majikan Pulau Es.
Ayahnya, bernama Suma Kian Lee, putera majikan Pulau Es itu, seorang yang telah mewarisi ilmu-ilmu Pulau Es dan ibunya bernama Kim Hwee Li, juga seorang wanita yang sakti. Ayah ibunya kini sudah tua, sudah sekitar enam puluhan tahun usianya dan mereka bertempat tinggal di Thian-cin, sebuah kota di sebelah selatan kota raja.
Suma Ciang Bun yang kini berusia tigapuluh tahun ini belum menikah. Sejak muda remaja, dia memiliki suatu kelainan yang pernah menyiksa batinnya dengan hebat sekali. Kelainan ini amat aneh, akan tetapi banyak dialami pria di dunia ini, yaitu bahwa gairah kelaminnya tidak seperti pria umumnya, tidak ditujukan terhadap wanita melainkan terhadap sejenis kelaminnya sendiri. Gairahnya timbul bukan terhadap wanita melainkan terhadap pria! Tentu saja kelainan itu menimbulkan peristiwa-peristiwa yang aneh dan yang menyeretnya ke lembah kesengsaraan batin yang hebat.
Tubuhnya saja pria, akan tetapi seleranya seperti wanita. Maka, pernah beberapa kali dia patah hati, mencinta seorang pria, bahkan pernah dia tergila-gila seorang pria, yang ternyata adalah seorang wanita yang menyamar sebagai pria. Hal ini menghancurkan hatinya, apa lagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa dia benar-benar mencinta orang itu, tak perduli orang itu pria maupun wanita. Namun segalanya sudah terlambat. Orang itu telah pergi meninggalkannya karena merasa dihina dan disakitkan hatinya. Hal ini dapat dibaca dalam KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES .
Akan tetapi, pengalaman pahit yang bertubi-tubi dirasakannya, kemudian nasihat-nasihat terutama dari adik misannya sendiri yang bernama Suma Ceng Liong, dan dari kakak perempuannya yang bernama Suma Hui, dia akhirnya dapat mengetahui dirinya sendiri dan dapat melihat bahwa tidak mungkin dia menuruti seleranya yang tidak lumrah itu.
Suma Ciang Bun kini telah sembuh! Tidak lagi timbul gairah berahinya melihat pria tampan, walaupun sampai kini dia belum juga dapat menimbulkan gairah berahinya terhadap wanita. Biarpun sudah sembuh, namun Ciang Bun masih belum dapat melenyapkan sifat-sifatnya yang seperti wanita, yaitu pesolek, rapi dan suka akan kelembutan!
Sudah bertahun-tahun lamanya Suma Ciang Bun meninggalkan rumah orang tuanya di Thian-cin, hidup sebagai seorang pendekar perantau yang tidak tentu tempat tinggalnya.
Di manapun dia berada, pendekar ini selalu mengulurkan tangannya untuk menentang yang jahat dan membela kebenaran dengan gigih. Berkat ilmu kepandaiannya yang hebat, yang membuat dia dapat disebut orang sakti, maka jarang dia menemui lawan yang mampu menandinginya, dan karenanya, namanya amat disegani oleh kawan dan ditakuti oleh lawan.
Banyak orang pernah melihat sepak terjangnya yang amat hebat, akan tetapi karena dia tidak pernah meninggalkan nama, maka orang-orang yang belum pernah melihatnya dan hanya mendengar saja penuturan orang, tidak dapat menduga siapa sebenarnya pendekar sakti itu. Sepasang pedang dengan ronce-ronce biru selalu tersembunyi di balik jubahnya, dari siang-kiam (sepasang pedang) ini jarang sekali dipergunakannya, karena dengan kaki tangannya saja dia sudah sukar dikalahkan lawan.
Setelah matahari naik tinggi, Suma Ciang Bun mengajak Hong Beng berhenti mengaso di bawah sebatang pohon besar di tepi jalan yang sunyi. Anak itu sejak pagi tadi, sejak meninggalkan makam ayah ibunya, tidak pernah bicara, hanya menurut saja ketika tangannya digandeng oleh Ciang Bun dan diajak pergi. Tak pernah bertanya hendak ke mana, tak pernah mengeluh walaupun keringatnya sudah membasahi seluruh pakaiannya dan nampaknya lelah sekali.
Maklumlah, semalam suntuk anak itu tidak pernah tidur, apa lagi mengalami hal-hal yang amat menegangkan dan menekan hatinnya. Melihat betapa dirinya dikurung, lalu muncul ibunya, kemudian melihat betapa ayah ibunya tewas di depan matanya, dan dia sendiri dihajar babak belur dan bengkak-bengkak oleh para pengawal yang terdiri dari anak buah penjahat itu, kemudian melihat pula betapa semua orang itu dibantai oleh penolongnya ini. Ditambah lagi sejak kemarin dia tidak mau makan, perutnya lapar, badannya sakit-sakit, hatinya berduka, namun anak ini sama sekali tidak pernah mengeluh!
Hal ini memang sejak semalam telah diketahui oleh Suma Ciang Bun. Dia datang agak terlambat, yaitu setelah Gu Hok dan isterinya tewas. Dia melihat betapa anak kecil itu mengamuk, nekat dan tidak pernah mengeluh walaupun dijadikan bola oleh para pengawal ini.
Dan kini, setelah mengubur jenazah ayah ibu Hong Beng, dan mengajak anak itu berjalan terus sampai siang, melihat betapa anak itu sebenarnya menderita lahir batin akan tetapi sama sekali tidak mengeluh, Cian Bun merasa semakin kagum. Inilah seorang bocah yang amat hebat, dan pantas menjadi muridnya.
“Kita beristirahat dulu di sini. Duduklah,” katanya dan dia sendiri duduk di atas akar pohon yang menonjol di atas tanah. Hong Beng juga dengan tubuh lemas menjatuhkan diri duduk di atas rumput.
“Kau lelah sekali?” tanya Ciang Bun sambil memandang wajah anak itu.
Seorang anak laki-laki yang berkulit kuning berwajah jernih dan tampan. Anak itu mengangguk tanpa menjawab.
“Muka dan tubuhmu sakit-sakit?” tanya lagi Ciang Bun, menatap muka yang bengkak-bengkak dan matang biru itu. Kembali Hong Beng mengangguk tanpa menjawab.
“Perutmu lapar?” Kembali anak itu mengangguk.
“Hemm, akupun lapar sekali. Tapi di tempat sunyi seperti ini, dari mana kita bisa mendapatkan makanan?”
“Di rumahku ada telur, ada banyak ayam, dan masih ada beras.”
“Rumahmu? Di Siang-nam itu?”
Hong Beng mengangguk.
“Katakan di mana rumahmu.”
“Di jalan kecil belakang pasar, sebelah kiri toko yang berdagang mangkok piring, rumahku bercat kuning.”
“Baik, kau tunggu saja di sini. Aku yang akan mengambil bahan makanan. Kalau kau ikut ke sana, tentu akan timbul keributan karena semua orang mengenalmu.”
Dan sebelum Hong Beng menjawab, sekali berkelebat tubuh Suma Ciang Bun telah berada jauh sekali dari situ, seperti terbang saja dan tak lama kemudianpun lenyap. Tentu saja Hong Beng memandang dengan melongo. Tadipun ketika melihat laki-laki itu mengamuk dan membantai semua orang, dia sudah terheran-heran dan amat kagum.
Akan tetapi karena kedukaan oleh kematian ayah ibunya, dia kurang memperhatikan hal itu. Kini, melihat betapa orang itu seperti terbang saja pergi dari situ, baru dia mengkirik. Ibliskah orang itu? Dia pernah mendengar tentang orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi tidak pernah bertemu dengan orang yang pandai terbang!
Yang pernah dilihatnya hanya orang-orang penjual obat di pasar yang suka bermain silat dan memamerkan kekuatannya, mengangkat besi berat atau bahkan ada yang memukuli dadanya dengan benda keras memamerkan kekebalannya. Tak pernah dia dapat membayangkan ada orang yang demikian lihainya seperti penolongnya itu. Mulailah dia memperhatikan dan diam-diam dia khawatir sekali. Jangan-jangan orang itu pergi meninggalkannya dan tidak akan kembali lagi.
Setelah ditinggal seorang diri, baru Hong Beng teringat bahwa dia sekarang sebatangkara. Dan bahwa keselamatannya terancam di Siang-nam. Dia harus pergi dari tempat tinggalnya. Akan tetapi ke mana? Dan apa yang harus dilakukannya? Satu-satunya harapan baginya adalah ikut bersama orang yang menolongnya tadi. Ah, kenapa tidak? Kalau penolongnya itu mau, dia suka menjadi muridnya, atau jadi pelayannya sekalipun.
Dengan cepat sekali, terlalu cepat bagi Hong Beng sehingga sukar dipercaya, tiba-tiba saja orang itu telah berkelebat dan tahu-tahu telah berada di dekatnya, membawa buntalan yang cukup besar. Ketika Suma Ciang Bun menurunkan buntalan itu ke atas tanah, isi buntalan bergerak dan terdengar suara ayam!
“Nah, ini kubawakan semua keperluan dari rumahmu,” kata Suma Ciang Bun yang sudah duduk kembali.
Hong Beng membuka buntalan itu dan ternyata di dalamnya, selain terdapat belasan butir telur dan dua ayam paling gemuk, juga terdapat beras yang cukup dan juga beberapa potong pakaiannya yang paling baik. Melihat pakaiannya itu, Hong Beng memandang kepada Suma Ciang Bun dengan sinar mata bertanya.
“Kau tentu membutuhkan pakaian pengganti,” kata Ciang Bun. “Apakah kau dapat masak?”
Hong Beng mengangguk.
“Akan tetapi tidak ada tungku dan tidak ada api.”
Ciang Bun tersenyum. Dia sudah berpengalaman hidup merantau di gunung-gunung dan sebentar saja dia sudah dapat membuat api dan membuat tungku dari batu-batu.
“Ayahhh....! Ibuuuu.... !”
Hong Beng menjerit dan menangis. Anak ini lalu nekat menyerang para pengawal itu dengan kedua tangan dan kakinya, memukul menendang asal kena saja. Para pengawal itu tertawa, tidak mempergunakan senjata lagi melainkan menghadapi amukan anak kecil itu dengan tamparan-tamparan yang membuat tubuh Hong Beng terpelanting dan terlempar ke sana-sini.
Akan tetapi anak itu bangkit lagi, menyerang lagi untuk disambut tamparan yang membuatnya terpelanting lagi. Dia dipermainkan oleh para pengawal seperti seekor tikus dipermainkan beberapa ekor kucing saja.
Bong-ciangkun dan Coa Pit Hu kini sudah keluar dari dalam kamar. Melihat betapa belasan orang pengawal itu mempermainkan anak laki-laki yang mengamuk seperti gila dan nekat itu, Bong-ciangkun berseru,
“Bunuh saja dia dan lempar tiga mayat mereka!”
Seorang pengawal yang berkumis tebal dan berwatak kejam lalu mengangkat goloknya dan membacok ke arah leher Hong Beng yang kembali sudah terpelanting ke atas lantai.
“Singgg.... tranggg.... aughhhh....!”
Bukan leher Hong Beng yang terpenggal putus, melainkan golok itu terpental dan pemegangnya roboh dengan kepala retak dan tewas seketika. Semua orang terkejut bukan main dan ketika mereka memandang, ternyata di situ telah berdiri seorang laki-laki yang amat gagah perkasa. Laki-laki inilah bayangan yang tadi membayangi Gu Hok dan puteranya.
Dia seorang pria berusia kurang lebih tiga puluh tahun, bentuk mukanya bulat dengan sepasang matanya yang mencorong tajam. Wajah yang tampan itu berkulit agak gelap. Pakaiannya serba indah dan rapi, rambutnya tersisir rapi pula, seorang laki-laki pesolek.
Ketika laki-laki ini memandang ke arah dua buah mayat suami isteri Gu Hok, dan melihat keadaan mayat wanita itu yang telanjang bulat, alisnya berkerut dan sepasang matanya mengeluarkan cahaya berkilat. Pandang mata mencorong itu kini ditujukan kepada Bong-ciangkun dan Coa Pit Hu yang berdiri di depan pintu kamar, kemudian beralih kepada Hong Beng yang sudah bangkit lagi dengan muka matang biru dan hidung berdarah.
“Anak baik, apakah mereka itu ayah ibumu?”
“Benar, dan mereka.... mereka dibunuh.... dua orang jahanam itu dan anak buahnya.”
Laki-laki gagah itu mengangguk-angguk.
“Tidak aneh kalau terjadi pemberontakan di mana-mana. Pejabat-pejabat pemerintah bertindak sewenang-wenang dan berkomplot dengan para penjahat. Manusia-manusia macam ini memang harus dibasmi!”
Coa Pit Hu sudah dapat menenangkan hatinya yang terkejut melihat munculnya orang yang membunuh seorang pengawal itu. Dan menudingkan telunjuknya ke arah muka laki-laki itu dan membentak,
“Kurang ajar! Siapakah engkau berani mengantar nyawa di sini? Hayo mengaku sebelum kupenggal kepalamu!”
Laki-laki itu tersenyum, senyumnya dingin sekali.
“Tidak ada gunanya engkau mengenal namaku karena kalian semua akan mati malam ini!”
“Kurang ajar!”
Coa Pit Hu marah sekali dan dia sudah mencabut sebatang golok lalu menyerang dengan amat ganas. Agaknya dia hendak memenuhi ancamannya tadi, yaitu hendak memenggal kepala orang yang berani menentang dia dan Bong-ciangkun.
“Singgg....!”
Goloknya menyambar ke arah leher laki-laki gagah itu. Laki-laki itu hanya menggerakkan tangan, telapak tangannya sudah menampar dada Coa Pit Hu sebelah kanan.
“Plakkk!”
Coa Pit Hu mengeluarkan teriakan dan tubuhnya terpelanting roboh dan matanya mendelik, dari mulut dan hidungnya mengalir darah dan dia sudah tidak berkutik lagi karena telah tewas seketika. Jantungnya pecah karena getaran pukulan telapak tangan yang amat dahsyat itu!
Melihat ini, Bong-ciangkun memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Akan tetapi dia masih ingat untuk memberi aba-aba,
“Serbu dan bunuh penjahat ini!” Lalu dia sendiri membalikkan tubuhnya hendak lari bersembunyi ke dalam rumahnya.
“Hemm, pembesar lalim jangan harap dapat lolos dari tanganku!”
Laki-laki gagah itu menyambar golok yang tadi terlepas dari tangan Coa Pit Hu dan sekali menyambit, golok itu terbang meluncur.
“Cappp....!”
Pambesar Bong-ciangkun menjerit ketika golok itu menembus punggungnya sampai dada, dan diapun roboh tersungkur, menelungkup di atas lantai. Darah membanjir keluar dari punggung dan dadanya, dan tubuhnya hanya sebentar saja berkelojotan lalu tak bergerak lagi.
Belasan orang pengawal menjadi terkejut dan merekapun lalu mengeroyok kalang kabut. Namun, tubuh pria yang gagah itu berkelebatan ke sana-sini dan setiap kali tangannya bergerak tentu seorang pengeroyok roboh dan tewas. Sebentar saja sepuluh orang telah roboh. Sisanya hendak lari, akan tetapi laki-laki itu tidak mau memberi ampun dan dengan lemparan-lemparan tombak atau golok yang berserakan, dia merobohkan mereka yang melarikan diri sehingga tak seorangpun ketinggalan!
Tempat itu berobah menjadi tempat mengerikan di mana mayat berserakan dan lantai banjir darah! Hong Beng sendiri merasa sakit hati dan mendendam terhadap Bong-ciangkun, kini terbelalak dengan muka pucat menyaksikan pembunuhan yang lebih tepat dinamakan pembantaian yang dilakukan laki-laki gagah perkasa itu. Laki-laki itu lalu berkata kepada Hong Beng yang berdiri di sudut dengan tubuh menggigil dan muka pucat.
“Anak baik, mari kita pergi dari sini.”
“Tapi.... tapi.... aku ingin mengubur jenazah ayah ibuku....”
Laki-laki itu menarik napas panjang.
“Hemm, baiklah!”
Dia lalu mengambil sebatang golok dan dengan golok itu dia memenggal leher Bong-ciangkun dan Coa Pit Hu. Rambut dari dua buah kepala itu dia ikat menjadi satu lalu dia menyerahkan dua kepala itu kepada Hong Beng.
“Kau bawalah dua kepala ini dan aku akan membawa jenazah ayah ibumu.”
Tentu saja Hong Beng terbelalak ngeri. Melihat orang mati saja belum pernah, sekarang setelah menyaksikan belasan orang berserakan menjadi mayat dalam keadaan mandi darah, dia harus membawa dua buah kepala orang! Akan tetapi, karena mendengar bahwa laki-laki perkasa itu akan membawakan dua jenazah ayah ibunya, terpaksa dengan gemetaran dia menerima dua kepala itu, dipegang pada rambut yang diikat menjadi satu dan dibawanya kepala yang lehernya masih meneteskan darah itu.
Laki-laki itu merenggut beberapa helai tirai sutera dari tempat itu, menyelimuti tubuh isteri Gu Hok yang telanjang, kemudian dia mengambil dua mayat itu dengan ringan dan mudah.
“Mari kita pergi,” katanya lagi dan dia membawa dua mayat itu berjalan keluar, diikuti oleh Hong Beng yang membawa dua buah kepala orang!
Setelah dua orang ini pergi, barulah para pelayan rumah pondok yang biasanya dipergunakan Bong-ciangkun untuk menjagal wanita-wanita yang menjadi korbannya itu berani keluar. Melihat betapa mayat-mayat berserakan, diantaranya adalah mayat Bong-ciangkun dan Coa Pit Hu yang sudah tidak berkepala lagi, tentu saja para pelayan itu menjerit-jerit ketakutan, bahkan ada yang roboh pingsan.
Tempat itu segera ramai di datangi orang dan gegerlah kota Siang-nam. Pasukan keamanan datang dan para pembesar di kota ribut-ribut mencari siapa yang telah membunuh Bong-ciangkun dan belasan orang itu. Akan tetapi semua orang yang menjadi saksi telah tewas, sukarlah bagi mereka untuk mencari keterangan siapa pembunuhnya.
Kegemparan itu makin menghebat ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, rakyat yang berdatangan ke pasar menjadi terkejut melihat adanya dua buah kepala digantung di atas pintu gerbang pasar. Itulah kepala Bong-cioangkun dan Coa Pit Hu! Dan di atas tembok pintu gerbang itu terdapat tulisannya, tulisan yang bergaya kuat dan berbentuk indah, ditulis dengan darah yang telah menghitam.
”BONG CIANGKUN BERSEKONGKOL DENGAN PARA PENJAHAT MENINDAS RAKYAT. INILAH HUKUMANNYA AGAR MENJADI CONTOH BAGI PARA PEJABAT LAIN.”
Tentu saja kota Siang-nam menjadi gempar dan semua orang menduga-duga siapa gerangan orang yang begitu berani membunuh seorang komandan pasukan keamanan, bahkan membunuh Coa Pit Hu yang terkenal sebagai pimpinan penjahat di sekitar tempat itu, lalu menggantungkan kepala mereka di atas pintu gerbang pasar tanpa diketahui seorangpun. Kepala daerah, dengan hati kecut dan ketakutan, segera memerintahkan pasukan keamanan untuk menjaga rumahnya dan sebagian ditugaskan untuk mencari pembunuh itu.
Sementara itu, si pembunuh pada keesokan harinya telah berjalan seenaknya di luar kota Yang-nam sambil menggandeng tangan Hong Beng. Dia telah membantu anak itu mengubur jenazah ayah ibu anak itu di luar kota Siang-nam, di sebuah lereng bukit yang sunyi, kemudian mengajak anak itu pergi dari situ.
Siapakah laki-laki gagah perkasa itu? Kalau saja ada yang mengenalnya, tentu kegemparan di Siang-nam bertambah dengan rasa takut dan kagum. Laki-laki itu adalah seorang pendekar sakti yang namanya telah menggemparkan dunia kang-ouw beberapa tahun yang lalu. Dia bernama Suma Ciang Bun. Para pembaca kisah-kisah yang menyangkut keluarga Pulau Es tentu sudah mengenal nama ini. Suma Ciang Bun adalah cucu dari mendiang Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, majikan Pulau Es.
Ayahnya, bernama Suma Kian Lee, putera majikan Pulau Es itu, seorang yang telah mewarisi ilmu-ilmu Pulau Es dan ibunya bernama Kim Hwee Li, juga seorang wanita yang sakti. Ayah ibunya kini sudah tua, sudah sekitar enam puluhan tahun usianya dan mereka bertempat tinggal di Thian-cin, sebuah kota di sebelah selatan kota raja.
Suma Ciang Bun yang kini berusia tigapuluh tahun ini belum menikah. Sejak muda remaja, dia memiliki suatu kelainan yang pernah menyiksa batinnya dengan hebat sekali. Kelainan ini amat aneh, akan tetapi banyak dialami pria di dunia ini, yaitu bahwa gairah kelaminnya tidak seperti pria umumnya, tidak ditujukan terhadap wanita melainkan terhadap sejenis kelaminnya sendiri. Gairahnya timbul bukan terhadap wanita melainkan terhadap pria! Tentu saja kelainan itu menimbulkan peristiwa-peristiwa yang aneh dan yang menyeretnya ke lembah kesengsaraan batin yang hebat.
Tubuhnya saja pria, akan tetapi seleranya seperti wanita. Maka, pernah beberapa kali dia patah hati, mencinta seorang pria, bahkan pernah dia tergila-gila seorang pria, yang ternyata adalah seorang wanita yang menyamar sebagai pria. Hal ini menghancurkan hatinya, apa lagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa dia benar-benar mencinta orang itu, tak perduli orang itu pria maupun wanita. Namun segalanya sudah terlambat. Orang itu telah pergi meninggalkannya karena merasa dihina dan disakitkan hatinya. Hal ini dapat dibaca dalam KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES .
Akan tetapi, pengalaman pahit yang bertubi-tubi dirasakannya, kemudian nasihat-nasihat terutama dari adik misannya sendiri yang bernama Suma Ceng Liong, dan dari kakak perempuannya yang bernama Suma Hui, dia akhirnya dapat mengetahui dirinya sendiri dan dapat melihat bahwa tidak mungkin dia menuruti seleranya yang tidak lumrah itu.
Suma Ciang Bun kini telah sembuh! Tidak lagi timbul gairah berahinya melihat pria tampan, walaupun sampai kini dia belum juga dapat menimbulkan gairah berahinya terhadap wanita. Biarpun sudah sembuh, namun Ciang Bun masih belum dapat melenyapkan sifat-sifatnya yang seperti wanita, yaitu pesolek, rapi dan suka akan kelembutan!
Sudah bertahun-tahun lamanya Suma Ciang Bun meninggalkan rumah orang tuanya di Thian-cin, hidup sebagai seorang pendekar perantau yang tidak tentu tempat tinggalnya.
Di manapun dia berada, pendekar ini selalu mengulurkan tangannya untuk menentang yang jahat dan membela kebenaran dengan gigih. Berkat ilmu kepandaiannya yang hebat, yang membuat dia dapat disebut orang sakti, maka jarang dia menemui lawan yang mampu menandinginya, dan karenanya, namanya amat disegani oleh kawan dan ditakuti oleh lawan.
Banyak orang pernah melihat sepak terjangnya yang amat hebat, akan tetapi karena dia tidak pernah meninggalkan nama, maka orang-orang yang belum pernah melihatnya dan hanya mendengar saja penuturan orang, tidak dapat menduga siapa sebenarnya pendekar sakti itu. Sepasang pedang dengan ronce-ronce biru selalu tersembunyi di balik jubahnya, dari siang-kiam (sepasang pedang) ini jarang sekali dipergunakannya, karena dengan kaki tangannya saja dia sudah sukar dikalahkan lawan.
Setelah matahari naik tinggi, Suma Ciang Bun mengajak Hong Beng berhenti mengaso di bawah sebatang pohon besar di tepi jalan yang sunyi. Anak itu sejak pagi tadi, sejak meninggalkan makam ayah ibunya, tidak pernah bicara, hanya menurut saja ketika tangannya digandeng oleh Ciang Bun dan diajak pergi. Tak pernah bertanya hendak ke mana, tak pernah mengeluh walaupun keringatnya sudah membasahi seluruh pakaiannya dan nampaknya lelah sekali.
Maklumlah, semalam suntuk anak itu tidak pernah tidur, apa lagi mengalami hal-hal yang amat menegangkan dan menekan hatinnya. Melihat betapa dirinya dikurung, lalu muncul ibunya, kemudian melihat betapa ayah ibunya tewas di depan matanya, dan dia sendiri dihajar babak belur dan bengkak-bengkak oleh para pengawal yang terdiri dari anak buah penjahat itu, kemudian melihat pula betapa semua orang itu dibantai oleh penolongnya ini. Ditambah lagi sejak kemarin dia tidak mau makan, perutnya lapar, badannya sakit-sakit, hatinya berduka, namun anak ini sama sekali tidak pernah mengeluh!
Hal ini memang sejak semalam telah diketahui oleh Suma Ciang Bun. Dia datang agak terlambat, yaitu setelah Gu Hok dan isterinya tewas. Dia melihat betapa anak kecil itu mengamuk, nekat dan tidak pernah mengeluh walaupun dijadikan bola oleh para pengawal ini.
Dan kini, setelah mengubur jenazah ayah ibu Hong Beng, dan mengajak anak itu berjalan terus sampai siang, melihat betapa anak itu sebenarnya menderita lahir batin akan tetapi sama sekali tidak mengeluh, Cian Bun merasa semakin kagum. Inilah seorang bocah yang amat hebat, dan pantas menjadi muridnya.
“Kita beristirahat dulu di sini. Duduklah,” katanya dan dia sendiri duduk di atas akar pohon yang menonjol di atas tanah. Hong Beng juga dengan tubuh lemas menjatuhkan diri duduk di atas rumput.
“Kau lelah sekali?” tanya Ciang Bun sambil memandang wajah anak itu.
Seorang anak laki-laki yang berkulit kuning berwajah jernih dan tampan. Anak itu mengangguk tanpa menjawab.
“Muka dan tubuhmu sakit-sakit?” tanya lagi Ciang Bun, menatap muka yang bengkak-bengkak dan matang biru itu. Kembali Hong Beng mengangguk tanpa menjawab.
“Perutmu lapar?” Kembali anak itu mengangguk.
“Hemm, akupun lapar sekali. Tapi di tempat sunyi seperti ini, dari mana kita bisa mendapatkan makanan?”
“Di rumahku ada telur, ada banyak ayam, dan masih ada beras.”
“Rumahmu? Di Siang-nam itu?”
Hong Beng mengangguk.
“Katakan di mana rumahmu.”
“Di jalan kecil belakang pasar, sebelah kiri toko yang berdagang mangkok piring, rumahku bercat kuning.”
“Baik, kau tunggu saja di sini. Aku yang akan mengambil bahan makanan. Kalau kau ikut ke sana, tentu akan timbul keributan karena semua orang mengenalmu.”
Dan sebelum Hong Beng menjawab, sekali berkelebat tubuh Suma Ciang Bun telah berada jauh sekali dari situ, seperti terbang saja dan tak lama kemudianpun lenyap. Tentu saja Hong Beng memandang dengan melongo. Tadipun ketika melihat laki-laki itu mengamuk dan membantai semua orang, dia sudah terheran-heran dan amat kagum.
Akan tetapi karena kedukaan oleh kematian ayah ibunya, dia kurang memperhatikan hal itu. Kini, melihat betapa orang itu seperti terbang saja pergi dari situ, baru dia mengkirik. Ibliskah orang itu? Dia pernah mendengar tentang orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi tidak pernah bertemu dengan orang yang pandai terbang!
Yang pernah dilihatnya hanya orang-orang penjual obat di pasar yang suka bermain silat dan memamerkan kekuatannya, mengangkat besi berat atau bahkan ada yang memukuli dadanya dengan benda keras memamerkan kekebalannya. Tak pernah dia dapat membayangkan ada orang yang demikian lihainya seperti penolongnya itu. Mulailah dia memperhatikan dan diam-diam dia khawatir sekali. Jangan-jangan orang itu pergi meninggalkannya dan tidak akan kembali lagi.
Setelah ditinggal seorang diri, baru Hong Beng teringat bahwa dia sekarang sebatangkara. Dan bahwa keselamatannya terancam di Siang-nam. Dia harus pergi dari tempat tinggalnya. Akan tetapi ke mana? Dan apa yang harus dilakukannya? Satu-satunya harapan baginya adalah ikut bersama orang yang menolongnya tadi. Ah, kenapa tidak? Kalau penolongnya itu mau, dia suka menjadi muridnya, atau jadi pelayannya sekalipun.
Dengan cepat sekali, terlalu cepat bagi Hong Beng sehingga sukar dipercaya, tiba-tiba saja orang itu telah berkelebat dan tahu-tahu telah berada di dekatnya, membawa buntalan yang cukup besar. Ketika Suma Ciang Bun menurunkan buntalan itu ke atas tanah, isi buntalan bergerak dan terdengar suara ayam!
“Nah, ini kubawakan semua keperluan dari rumahmu,” kata Suma Ciang Bun yang sudah duduk kembali.
Hong Beng membuka buntalan itu dan ternyata di dalamnya, selain terdapat belasan butir telur dan dua ayam paling gemuk, juga terdapat beras yang cukup dan juga beberapa potong pakaiannya yang paling baik. Melihat pakaiannya itu, Hong Beng memandang kepada Suma Ciang Bun dengan sinar mata bertanya.
“Kau tentu membutuhkan pakaian pengganti,” kata Ciang Bun. “Apakah kau dapat masak?”
Hong Beng mengangguk.
“Akan tetapi tidak ada tungku dan tidak ada api.”
Ciang Bun tersenyum. Dia sudah berpengalaman hidup merantau di gunung-gunung dan sebentar saja dia sudah dapat membuat api dan membuat tungku dari batu-batu.