“Ohh....!”
Dia terkejut, akan tetapi juga girang. Tadi dia sengaja mengeluarkan jurus serangannya yang ampuh untuk menguji kepandaian pemuda aneh yang bersenjata suling emas itu, dan kini ternyata pemuda itu tidak hanya mampu membuyarkan serangannya, bahkan berbalik mengancam kedua lengannya! Dia cepat menarik kembali kedua tangan itu dan mulailah kakek itu berloncatan dan bergerak cepat, melakukan serangan bertubi-tubi kepada Sim Houw.
Sim Houw juga tidak mau berlaku sungkan lagi. Suling emasnya bergerak semakin cepat menghadang setiap serangan sehingga kini kakek itu yang berbalik terserang olehnya.
Beberapa kali kakek itu mengeluarkan seruan kaget. Suling itu berobah menjadi sinar keemasan bergulung-gulung disertai suara melengking-lengking seolah-olah suling itu ditiup dan dimainkan orang. Hal ini membuat Pek-bin Lo-sian kagum bukan main.
Pernah dia mendengar akan nama Pendekar Suling Emas, dan sekarang dia merasa seolah-olah berhadapan dengan pendekar yang pernah terkenal di seluruh dunia persilatan itu! Dia tidak tahu bahwa memang yang dihadapinya adalah murid dari Pendekar Suling Emas Kam Hong. Belum sampai limapuluh jurus, kakek itu sudah terdesak oleh gulungan sinar yang melengking-lengking itu.
Cu Kang Bu dan isterinya yang nonton pertandingan itu, menjadi kagum bukan main. Tak mereka sangka bahwa putera mendiang Sim Hong Bu dan Cu Pek In kini telah menjadi seorang pendekar yang demikian hebat ilmu silatnya.
Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan teriakan mengguntur dan nampak sinar hitam berkelebat, dan tahu-tahu dia telah memegang sebuah pedang yang aneh sekali. Senjata itu disebut pedang, karena dipegang dan dimainkan seperti orang memainkan pedang, akan tetapi bentuknya adalah seekor naga yang merupakan ukiran indah sekali dan warnanya hitam pekat, akan tetapi tubuh pedang berbentuk naga itu terdapat lubang-lubang seperti pada sebuah suling!
Dan ketika kakek itu menggerakkan senjata aneh ini, nampak sinar hitam berkelebat dan terdengar pula suara melengking kacau, sama sekali berbeda dengan lengking suara yang keluar dari suling emas di tangan Sim Houw yang terdengar merdu seperti melagu.
“Cringgg!”
Nampak bunga api berpijar ketika senjata aneh itu bertemu suling emas dan Sim Houw merasa betapa tangannya yang memegang suling tergetar hebat. Akan tetapi pemuda ini tidak menjadi gentar. Cepat dia memindahkan suling emas di tangan kiri dan begitu tangan kanannya bergerak ke bawah jubahnya, nampak sinar berkilat menyeramkan, sinar biru yang menyilaukan mata dan mendengar suara mengaum seperti seekor singa. Itulah Koai-liong Po-kiam (Pedang Pusaka Naga Siluman) peninggalan ayahnya! Dan kini dia menggerakkan pedang di tangan kanan dan suling di tangan kiri.
Bukan main hebatnya karena pedangnya itu memainkan jurus-jurus ampuh dari Koai-liong Kiam-sut sedangkan suling emasnya memainkan jurus-jurus pilihan dari Kim-siauw Kiam-sut! Menghadapi gabungan dua ilmu yang sakti dan ampuh ini, si kakek kembali mengeluarkan suara terkejut bukan main dan dalam beberapa jurus saja dia sudah terdesak hebat.
Kini kakek itu benar-benar kagum bukan main, berkali-kali mengeluarkan seruan memuji, akan tetapi diapun mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk mengalahkan pemuda yang amat menarik perhatiannya itu. Dan memang ilmu silat kakek ini aneh sekali. Beberapa kali hampir saja Sim Houw tertipu dan terpancing, akan tetapi berkat keampuhan dua ilmu silat yang digabung itu, serangan-serangan kakek itu selalu gagal.
Sim Houw diam-diam merasa bingung juga. Dia tidak ingin menanam bibit permusuhan dengan kakek ini, maka tadinya dia hanya ingin menandingi dan kalau mungkin mengalahkan tanpa melukai kakek itu. Akan tetapi, kini ternyata bahwa ilmu kepandaian kakek ini benar-benar hebat sehingga tidak mungkin kiranya tanpa melukai. Bahkan kalau dia terlalu mengalah, jangan-jangan dia sendiri yang akan roboh akhirnya!
Maka, terpaksa diapun lalu mengeluarkan jurus-jurus terampuh yang digabung sehingga keadaan kakek itu benar-benar terkurung oleh sinar keemasan dan sinar biru yang dahsyat. Tiba-tiba sinar biru menyambar dahsyat menyambut pedang naga hitam itu, didukung tenaga sin-kang yang amat kuat.
“Krekkk....!”
Kini patahlah senjata ampuh kakek itu, terbabat Koai-liong Po-kiam yang ampuh dan pada saat itu juga, suling di tangan kiri pemuda itu sudah menotok ke arah tenggorokan dengan kecepatan seperti kilat menyambar.
“Ahhh....!”
Kakek itu terkejut melihat senjatanya patah sehingga kurang waspada dan tahu-tahu ujung suling sudah meluncur ke arah tenggorokannya. Melihat ini, Sim Houw yang tidak ingin membunuh, cepat mengurangi tenaga pada totokannya. Hanya itulah yang mampu dilakukan, karena menarik kembali tidaklah mungkin melihat kedudukannya, karena tangan kiri kakek itu dapat saja melakukan pukulan kalau ia menarik kembali totokan sulingnya. Kakek itupun biar terlambat masih dapat membuang tubuh ke samping.
“Tukk....!”
Tetap saja ujung suling masih menotok pundak kirinya dan kakek itu mengeluh, lalu terpelanting! Bukan main girang kagumnya rasa hati Cu Kang Bu dan isterinya melihat betapa akhirnya cucu keponakan mereka itu berhasil mengalahkan kakek gila yang amat lihai itu.
“Aihh, locianpwe, maafkan saya....!” Sim Houw terkejut dan menyesal, menyimpan sepasang senjatanya dan menjura.
“Sudahlah, aku kalah....” kakek itu mengeluh dan bangkit berdiri, napasnya terengah-engah dan dia menekan pundak kirinya.
Jelas bahwa totokan itu telah mendatangkan luka di dalam dadanya. Sampai beberapa lamanya kakek itu menatap wajah Sim Houw, kemudian dia mengangguk-angguk.
“Ah, tak kusangka bahwa akhirnya Suling Naga bertemu dengan majikannya. Orang muda, engkaulah orangnya yang patut sekali memiliki Liong-siauw-kiam. Engkau memiliki dua ilmu dengan pedang dan suling, dan kalau engkau mempergunakan Liong-siauw-kiam, berarti engkau dapat memainkannya dengan dua ilmu itu. Engkau telah mengalahkan aku, pusaka itu akan kuserahkan kepadamu.”
Dia terkejut, akan tetapi juga girang. Tadi dia sengaja mengeluarkan jurus serangannya yang ampuh untuk menguji kepandaian pemuda aneh yang bersenjata suling emas itu, dan kini ternyata pemuda itu tidak hanya mampu membuyarkan serangannya, bahkan berbalik mengancam kedua lengannya! Dia cepat menarik kembali kedua tangan itu dan mulailah kakek itu berloncatan dan bergerak cepat, melakukan serangan bertubi-tubi kepada Sim Houw.
Sim Houw juga tidak mau berlaku sungkan lagi. Suling emasnya bergerak semakin cepat menghadang setiap serangan sehingga kini kakek itu yang berbalik terserang olehnya.
Beberapa kali kakek itu mengeluarkan seruan kaget. Suling itu berobah menjadi sinar keemasan bergulung-gulung disertai suara melengking-lengking seolah-olah suling itu ditiup dan dimainkan orang. Hal ini membuat Pek-bin Lo-sian kagum bukan main.
Pernah dia mendengar akan nama Pendekar Suling Emas, dan sekarang dia merasa seolah-olah berhadapan dengan pendekar yang pernah terkenal di seluruh dunia persilatan itu! Dia tidak tahu bahwa memang yang dihadapinya adalah murid dari Pendekar Suling Emas Kam Hong. Belum sampai limapuluh jurus, kakek itu sudah terdesak oleh gulungan sinar yang melengking-lengking itu.
Cu Kang Bu dan isterinya yang nonton pertandingan itu, menjadi kagum bukan main. Tak mereka sangka bahwa putera mendiang Sim Hong Bu dan Cu Pek In kini telah menjadi seorang pendekar yang demikian hebat ilmu silatnya.
Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan teriakan mengguntur dan nampak sinar hitam berkelebat, dan tahu-tahu dia telah memegang sebuah pedang yang aneh sekali. Senjata itu disebut pedang, karena dipegang dan dimainkan seperti orang memainkan pedang, akan tetapi bentuknya adalah seekor naga yang merupakan ukiran indah sekali dan warnanya hitam pekat, akan tetapi tubuh pedang berbentuk naga itu terdapat lubang-lubang seperti pada sebuah suling!
Dan ketika kakek itu menggerakkan senjata aneh ini, nampak sinar hitam berkelebat dan terdengar pula suara melengking kacau, sama sekali berbeda dengan lengking suara yang keluar dari suling emas di tangan Sim Houw yang terdengar merdu seperti melagu.
“Cringgg!”
Nampak bunga api berpijar ketika senjata aneh itu bertemu suling emas dan Sim Houw merasa betapa tangannya yang memegang suling tergetar hebat. Akan tetapi pemuda ini tidak menjadi gentar. Cepat dia memindahkan suling emas di tangan kiri dan begitu tangan kanannya bergerak ke bawah jubahnya, nampak sinar berkilat menyeramkan, sinar biru yang menyilaukan mata dan mendengar suara mengaum seperti seekor singa. Itulah Koai-liong Po-kiam (Pedang Pusaka Naga Siluman) peninggalan ayahnya! Dan kini dia menggerakkan pedang di tangan kanan dan suling di tangan kiri.
Bukan main hebatnya karena pedangnya itu memainkan jurus-jurus ampuh dari Koai-liong Kiam-sut sedangkan suling emasnya memainkan jurus-jurus pilihan dari Kim-siauw Kiam-sut! Menghadapi gabungan dua ilmu yang sakti dan ampuh ini, si kakek kembali mengeluarkan suara terkejut bukan main dan dalam beberapa jurus saja dia sudah terdesak hebat.
Kini kakek itu benar-benar kagum bukan main, berkali-kali mengeluarkan seruan memuji, akan tetapi diapun mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk mengalahkan pemuda yang amat menarik perhatiannya itu. Dan memang ilmu silat kakek ini aneh sekali. Beberapa kali hampir saja Sim Houw tertipu dan terpancing, akan tetapi berkat keampuhan dua ilmu silat yang digabung itu, serangan-serangan kakek itu selalu gagal.
Sim Houw diam-diam merasa bingung juga. Dia tidak ingin menanam bibit permusuhan dengan kakek ini, maka tadinya dia hanya ingin menandingi dan kalau mungkin mengalahkan tanpa melukai kakek itu. Akan tetapi, kini ternyata bahwa ilmu kepandaian kakek ini benar-benar hebat sehingga tidak mungkin kiranya tanpa melukai. Bahkan kalau dia terlalu mengalah, jangan-jangan dia sendiri yang akan roboh akhirnya!
Maka, terpaksa diapun lalu mengeluarkan jurus-jurus terampuh yang digabung sehingga keadaan kakek itu benar-benar terkurung oleh sinar keemasan dan sinar biru yang dahsyat. Tiba-tiba sinar biru menyambar dahsyat menyambut pedang naga hitam itu, didukung tenaga sin-kang yang amat kuat.
“Krekkk....!”
Kini patahlah senjata ampuh kakek itu, terbabat Koai-liong Po-kiam yang ampuh dan pada saat itu juga, suling di tangan kiri pemuda itu sudah menotok ke arah tenggorokan dengan kecepatan seperti kilat menyambar.
“Ahhh....!”
Kakek itu terkejut melihat senjatanya patah sehingga kurang waspada dan tahu-tahu ujung suling sudah meluncur ke arah tenggorokannya. Melihat ini, Sim Houw yang tidak ingin membunuh, cepat mengurangi tenaga pada totokannya. Hanya itulah yang mampu dilakukan, karena menarik kembali tidaklah mungkin melihat kedudukannya, karena tangan kiri kakek itu dapat saja melakukan pukulan kalau ia menarik kembali totokan sulingnya. Kakek itupun biar terlambat masih dapat membuang tubuh ke samping.
“Tukk....!”
Tetap saja ujung suling masih menotok pundak kirinya dan kakek itu mengeluh, lalu terpelanting! Bukan main girang kagumnya rasa hati Cu Kang Bu dan isterinya melihat betapa akhirnya cucu keponakan mereka itu berhasil mengalahkan kakek gila yang amat lihai itu.
“Aihh, locianpwe, maafkan saya....!” Sim Houw terkejut dan menyesal, menyimpan sepasang senjatanya dan menjura.
“Sudahlah, aku kalah....” kakek itu mengeluh dan bangkit berdiri, napasnya terengah-engah dan dia menekan pundak kirinya.
Jelas bahwa totokan itu telah mendatangkan luka di dalam dadanya. Sampai beberapa lamanya kakek itu menatap wajah Sim Houw, kemudian dia mengangguk-angguk.
“Ah, tak kusangka bahwa akhirnya Suling Naga bertemu dengan majikannya. Orang muda, engkaulah orangnya yang patut sekali memiliki Liong-siauw-kiam. Engkau memiliki dua ilmu dengan pedang dan suling, dan kalau engkau mempergunakan Liong-siauw-kiam, berarti engkau dapat memainkannya dengan dua ilmu itu. Engkau telah mengalahkan aku, pusaka itu akan kuserahkan kepadamu.”
“Hemmm, kakek jahat. Pusakamu itu telah patah dua, untuk apa diberikan kepada cucu keponakan kami?”
Yu Hwi mencela sambil menuding ke arah senjata hitam yang patah terbabat pedang Koai-liong-po-kiam tadi. Kakek itu tertawa, akan tetapi tiba-tiba menahan ketawanya dan menyeringai kesakitan.
“Locianpwe, engkau telah terluka. Marilah kubantu meringankan penderitaanmu,” kata Sim Houw sambil melangkah maju. Akan tetai kakek itu mundur ke belakang.
“Jangan! Aku sudah terluka dan itu adalah resiko pertandingan. Kalau engkau yang kalah, engkau bukan hanya terluka melainkan mampus, orang muda! Dan siapa bilang bahwa pusaka itu benda yang patah itu? Heh-heh, kau kira aku begitu bodoh membawanya ke mana saja? Memang sama bentuknya, akan tetapi yang ini adalah buatanku sendiri, yang palsu. Yang asli mana mungkin dapat dipatahkan, dengan senjata pusaka yang bagaimana ampuhpun juga? Mari, orang muda, engkau berhak memiliki Liong-siauw-kiam. Mari kau ikut denganku mengambilnya di tempat persembunyianku.”
Sim Houw percaya sepenuhnya kepada kakek aneh yang amat lihai itu, maka diapun mengangguk dan menjawab,
“Baiklah, locianpwe.”
“Sim Houw, jangan mudah percaya omongannya!” Tiba-tiba Yu Hwi berseru. “Orang macam dia ini mana bisa dipercaya? Jangan-jangan engkau dipancing untuk memasuki perangkap!”
Kakek itu memandang kepada Yu Hwi dan mengangguk-angguk sambil tersenyum aneh.
“Nyonya ini memiliki kecerdikan yang boleh juga, heh-heh. Terserah kepadamu, orang muda, apakah engkau berani atau tidak ikut bersamaku. Kalau tidak, sungguh aku akan mati dengan mata terbuka karena kecewa dan penasaran.”
“Biarlah, cek-kong berdua harap jangan khawatir. Saya dapat menjaga diri,” kata Sim Houw dan diapun lalu mengikuti kakek itu yang sudah membalikkan tubuh dan pergi sambil tertawa mengejek.
Cu Kang Bu dan isterinya mengikutinya dengan pandang mata khawatir, akan tetapi Cu Kun Tek berkata dengan kagum.
“Hebat sekali Sim Houw itu. Kalau aku menjadi dia, akupun akan pergi mengambil pusaka yang dijanjikan kakek itu.”
Dua orang itu lalu menyeberangi tambang dan dengan cepat sekali kakek yang mengaku bernama Pek-bin Lo-sian itu lalu berlari seperti terbang. Agaknya dia masih ingin menguji kepandaian Sim Houw. Akan tetapi, setelah berlari secepatnya dan napasnya mulai memburu dia menoleh ke belakang, dia melihat betapa pemuda itu berada tepat di belakangnya, sedikitpun tidak tertinggal, bahkan tidak nampak letih seperti orang berjalan seenaknya saja. Kakek itu kagum sekali dan menahan larinya, menjadi langkah biasa untuk mengatur pernapasannya. Wajahnya menjadi semakin pucat.
“Locianpwe, mengapa tergesa-gesa? Tidak baik untuk kesehatan locianpwe yang menderita luka.”
Sim Houw berkata dengan sungguh-sungguh karena dia tahu bahwa pengerahan tenaga gin-kang tadi memang amat berbahaya bagi kakek yang sudah menderita luka di dalam tubuhnya.
“Marilah, kita sudah dekat....!” kata kakek itu dengan napas terengah-engah dan dia mendaki bukit itu.
Dan karena luka yang diderita oleh Pek-bin Lo-sian semakin parah, kini kakek itu hampir tidak kuat mendaki bukit itu. Melihat ini, Sim Houw berkata,
“Locianpwe terluka, marilah saya membantu locianpwe untuk meringankan penderitaan itu.”
Pemuda ini bermaksud untuk mengobatinya dengan pengerahan sin-kangnya. Akan tetapi kakek itu menggeleng kepala.
“Tidak ada gunanya, hanya menghilangkan nyeri sebentar akan tetapi tidak akan mampu menyembuhkan.”
Sim Houw juga maklum akan hal ini dan dia merasa menyesal sekali.
“Maafkan saya, locianpwe. Bukan maksud saya untuk.... akan tetapi saya terdesak dan terpaksa.”
“Sudahlah, begini lebih baik. Roboh di tangan seorang pemuda seperti engkau tidak membikin hatiku penasaran. Kalau kau mau.... kau gendong saja aku sampai ke puncak, aku khawatir akan putus nyawaku sebelum berhasil menyerahkan pusaka itu”.
Sim Houw tidak ragu-ragu lagi lalu menggendong kakek itu di belakang punggungnya. Baru beberapa langkah dia berjalan, tiba-tiba kakek yang tadinya nampak loyo itu menggerakkan tangan mencengkeram ke arah tengkuk Sim Houw.
“Tolol kau! Mencari mampus sendiri!”
Akan tetapi tiba-tiba kakek itu mengeluarkan teriakan kaget karena tengkuk yang dicengkeramnya itu lemas seperti tidak berotot atau bertulang sehingga cengkeramannya meleset dan tenaga yang dipergunakannya seperti tenggelam ke dalam air saja.
Tahulah dia bahwa pemuda itu tidak setolol seperti yang disangkanya karena diam-diam pemuda itu telah siap melindungi dirinya dengan ilmu I-kiong-hoan-hiat, yaitu Ilmu Memindahkan Jalan Darah yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat! Dan sebelum dia sempat melakukan hal lain lagi, tahu-tahu tubuhnya sudah tak dapat digerakkan karena pemuda itu telah menotoknya dan membuat kaki tangannya lumpuh! Diam-diam dia kagum dan girang sekali.
“Bagus! Baru yakin hatiku bahwa engkau memang paling pantas menjadi pemilik Liong-siauw-kiam, karena selain lihai engkaupun cerdik sekali.”
Dia lalu menunjukkan jalan bagi Sim Houw yang tidak menjawab melainkan berlari dengan cepat mendaki bukit itu sambil menggendong tubuh kakek yang sudah tidak mampu bergerak lagi itu. Setelah kakek itu menyuruhnya berhenti di depan sebuah guha besar, baru Sim Houw menurunkan tubuh kakek itu dari gendongan dan membebaskan totokannya sehingga kakek itu mampu bergerak lagi.
“Maafkan saya yang terpaksa menotokmu, locianpwe,” katanya dengan sikap tetap menghormat.
Pek-bin Lo-sian terkekeh dan mengangguk-angguk.
“Kalau engkau tidak cerdik dan tidak melindungi tubuhmu, tentu cengkeramanku akan mematikanmu. Dan memang lebih baik engkau mati kalau tidak mampu melindungi diri dari ke curangan seperti itu. Musuh-musuhmu yang akan kau hadapi puluhan kali lebih curang dari pada yang kulakukan tadi. Tadi aku memang mengujimu. Kalau kau gagal, kau mampus, dan karena kau lulus, maka aku merasa lebih yakin kau akan mampu mempertahankan Liong-siauw-kiam.” Tiba-tiba kakek itu batuk-batuk dan darah segar keluar dari mulutnya.
“Locianpwe, harap kau beristirahat....!” kata Sim Houw dengan kaget karena muntah darah itu menunjukkan bahwa luka yang diderita kakek itu sudah amat berat.
“Heh-heh-heh....!” Pek-bin Lo-sian mengusap darah dari bibirnya sehingga ujung lengan bajunya menjadi merah semua. “Kau.... kau tunggu.... akan kuambil pusaka itu.“
Dan terhuyung-huyung dia memasuki guha yang lebar dan dalam itu. Sim Houw menanti di luar dengan hati tegang. Hatinya tidak merasa gembira. Tanpa sebab, tanpa permusuhan apapun dia telah menyebabkan seorang kakek yang memiliki kesaktian luar biasa menderita luka parah, luka yang dia tahu akan membawa maut bagi kakek itu. Dan sesungguhnya dia sama sekali tidak menginginkan pusaka orang, walaupan sikap dan kata-kata kakek itu tentang pusaka yang disebut Liong-siauw-kiam menarik perhatiannya.
Tiba-tiba dia melihat kakek itu keluar lagi, dan jalannya semakin terhuyung-huyung, bahkan ketika tiba di depan guha, kakek itu terguling roboh dan kembali muntahkan darah segar.
“Locianpwe....!” Sim Houw meloncat dan berlutut dekat kakek itu.
Akan tetapi kakek itu sudah bangkit duduk bersila, mengusap darah dari bibirnya dan dia mengangkat tinggi sebuah benda hitam yang ternyata sama benar bentuknya dengan senjata kakek itu yang pernah patah oleh pedang Koai-liong Po-kiam.
“Inilah Liong-siauw-kiam, pusaka ampuh itu yang akan kuserahkan kepadamu, Sim Houw.”
Pemuda itu memandang dengan sinar mata ragu. Benda itu serupa benar dengan senjata kakek tadi, dan tentu saja dia meragukan keampuhannya. Hanya sebuah benda sepanjang kurang lebih tiga kaki, terbuat dari kayu hitam yang diukir membentuk seekor naga, dengan ekor meruncing dan tepinya tajam seperti pedang, di tengahnya yang tebal terdapat lubang-lubang seperti suling. Sebatang Pedang Suling Naga? Kalau hanya terbuat dari kayu, mana dapat menjadi senjata yang ampuh? Mana mungkin dapat dibandingkan dengan pedang pusaka Koai-liong Po-kiam?
Agaknya Pek-bin Lo-sian dapat menduga apa yang diragukan pemuda itu.
“Sim Houw, coba keluarkan pedangmu dan kau babatlah pusaka ini untuk membuktikan bahwa pusaka ini tidak kalah dibandingkan dengan pedangmu itu.”
Wajah Sim Houw berobah agak merah karena isi pikirannya ternyata dapat ditebak dengan tepat oleh kakek itu. Dia lalu mengeluarkan Koai-liong Po-kiam dan nampaklah sinar biru berkelebat menyeramkan. Pek-bin Lo-sian sendiri memandang kagum dan mengangguk-angguk.
“Pedang itu memang hebat, akan tetapi cobalah diadu dengan pusaka ini.” Dia lalu mengacungkan Liong-Siauw-kiam itu dan memegang dengan kedua tangannya. “Babatlah dan pergunakan tenagamu. Aku sendiri ingin menguji keampuhan pusaka ini!”
Sim Houw lalu bangkit berdiri, mengerahkan tenaganya dan mengayun pedangnya. Sinar biru berkelebat dan pedang itu membacok Suling Naga itu dengan kuatnya karena didasari tenaga sin-kang.
“Cringggg.!”
Bunga api berpijar keras dan Sim Houw merasa betapa pedangnya bertemu dengan benda seperti baja kerasnya sehingga pedangnya membalik. Akan tetapi karena tenaganya amat besar dan kakek itu sudah lemah, hampir saja pusaka itu terlepas dari kedua tangannya.
Sim Houw memandang dan ternyata benda itu sama sekali tidak rusak, lecetpun tidak! Tentu saja dia menjadi kagum bukan main. Jangankan hanya kayu, biar baja sekalipun, kalau bukan baja terbaik, tentu akan patah terbabat Koai-liong Po-kiam. Akan tetapi suling atau pedang kayu hitam itu sama sekali tidak rusak.
“Heh-heh-heh....!” Pek-bin Lo-sian terkekeh dan mengulurkan tangannya. “Nih, terimalah Liong-siauw-kiam, mulai saat ini menjadi milikmu, Sim Houw.”
Sim Houw menerima benda itu.
“Terima kasih, locianpwe.” Dan ketika menerima pedang dia menyentuh jari-jari tangan kakek itu, dia menjadi terkejut bukan main karena jari-jari tangan itu terasa amat panas seperti api! “Ah, kau.... kenapa locianpwe?”
Kakek itu tidak menjawab dan kembali muntah-muntah darah. Wajahnya pucat bukan main dan ketika Sim Houw hendak menolongnya, dia menolak dengan tangannya.
“Tak perlu ditolong lagi. Kau pergilah, bawalah pusaka yang menjadi milikmu itu, pertahankan dengan nyawamu, dan berhati-hatilah. Ada tiga orang murid keponakanku yang amat lihai mengincar pusaka itu.... kau.... kau harus dapat melawan mereka.”
“Siapakah mereka, locianpwe?”
“Sam-kwi.... mereka.... ah, sudahlah, pergilah dan tinggalkan aku sendiri.”
Pek-bin Lo-sian menggerakkan tangannya mengusir Sim Houw. Terpaksa pemuda itu menjura dan mengucapkan terima kasih sekali lagi, baru dia pergi dengan berlari cepat sekali turun dari bukit itu sambil membawa Liong-siauw-kiam.
Dia adalah seorang pemuda yang berhati-hati sekali karena telah lama merantau di dunia kang-ouw, di mana terdapat banyak sekali kaum sesat yang licik dan curang. Dia dapat menduga bahwa melihat sikap dan perbuatannya, Pek-bin Lo-sian tentulah seorang datuk sesat pula yang mengasingkan diri, maka tadipun dia tidak sampai kena diserang secara menggelap karena dia sudah siap siaga.
Kini pun dia belum mau menelan begitu saja semua keterangan kakek itu dan dia masih memegang pusaka itu dengan hati-hati. Dia sudah mempergunakan kepandaiannya untuk meneliti apakah benda itu dilumuri racun dan setelah mendapat kenyataan bahwa benda itu bersih dari racun, dia tetap masih memegangnya dengan hati-hati, khawatir kalau-kalau di situ tersembunyi senjata rahasia yang akan membahayakan dirinya.
Setelah menuruni bukit itu, barulah Sim Houw memeriksa pusaka yang baru saja diterimanya dari Pek-bin Lo-sian. Dia memeriksa dengan teliti dan merasa kagum sekali. Benda itu benar-benar terbuat dari pada kayu, akan tatapi kayu hitam itu luar biasa keras dan kuatnya, tidak kalah dengan baja asli! Dan ukirannya demikian indah dan halus.
Ketika dia memegang bagian kepala yang menjadi gagang dan mencoba untuk memainkannya, dia terkejut sendiri dan juga girang. Benda itu enak benar dimainkan sebagai pedang, dengan bobot yang tepat dan ketika dia mencoba satu dua jurus, benda itu mengeluarkan suara merdu, tidak kalah oleh suling emasnya! Lalu dia mencoba untuk meniupnya, ternyata benda itu merupakan sebuah suling yang suaranya amat merdu! Dengan hati girang luar biasa Sim Houw lalu kembali ke Lembah Naga Siluman.
Setelah dia menyeberang dan bertemu dengan Cu Kang Bu dan isterinya, dia menceritakan pengalamannya dan memperlihatkan pusaka itu. Suami isteri itu kagum bukan main dan juga merasa amat gembira.
“Ah, engkau sungguh beruntung, Sim Houw,” kata Cu Kang Bu dengan kagum sambil mengembalikan pusaka itu. “Ternyata kakek aneh itu tidak membohongimu dan engkau telah mendapatkan sebuah pusaka yang amat hebat”
“Dengan demikian engkau memiliki tiga buah pusaka ampuh, Sim Houw,” kata Yu Hwi dengan suara yang jelas mengandung iri. “Sebuah suling emas, sebuah pedang pusaka Koai-liong Po-kiam dan sekarang pusaka Liong-siauw-kiam!”
Cu Kang Bu dapat mendengar suara mengandung iri dari isterinya, maka dia cepat berkata dengan suara lantang.
”Tentu saja dan memang dia berhak memiliki semua itu. Suling emasnya adalah tanda bahwa dia murid Pendekar Suling Emas Kam Hong, pedang Koai-liong-kiam adalah warisan ayahnya, sedangkan Pedang Suling Naga ini adalah pemberian Pek-bin Lo-sian setelah Sim Houw berhasil menundukkannya. Semua itu adalah haknya!”
Akan tetapi, sebelum menghadap suami isteri itu, dalam perjalanannya meninggalkan kakek itu, setelah mencoba Liong-siauw-kiam dan tahu benar bahwa pusaka itu memang ampuh, Sim Houw sudah mengambil satu keputusan.
“Cek-kong berdua, Liong-siauw-kiam ini dapat dipergunakan sebagai suling dan juga sebagai pedang. Dengan sendirinya, pusaka ini seperti pengganti suling emas dan Koai-kong Po-kiam menjadi satu. Bahkan penggabungan kedua ilmu dapat lebih mantap kalau dimainkan dengan pusaka ini, hanya tinggal melatih saja. Karena itu Koai-liong Po-kiam dan suling emas akan saya tinggalkan di sini, saya serahkan kepada cek-kong sekeluarga.”
“Ah, apa maksudmu dengan keputusan ini?”
Cu Kang Bu yang berwatak keras dan jujur itu bertanya dengan suara lantang dan sinar matanya menatap wajah Sim Houw penuh selidik.
“Cek-kong Cu Kang Bu, harap jangan salah mengerti. Saya sudah mendengar bahwa lembah ini dahulunya bernama Lembah Suling Emas, dan bahwa pusaka suling emas yang terkenal itu berasal dari tempat ini. Juga sekarang lembah ini di ganti dengan nama Lembah Naga Siluman, dan pedang pusaka Naga Siluman juga berasal dari tempat ini. Biarpun suling emas di tangan saya bukan suling emas yang asli, melainkan hanya tiruan saja, akan tetapi biarlah saya serahkan kepada keluarga Cu berikut pedang pusaka Naga Siluman, dengan demikian terhapuslah sudah, semua rasa penasaran dan kedua pusaka itu kembali ke tempat asalnya.”
“Akan tetapi....” Cu Kang Bu hendak membantah.
“Aih, kenapa engkau hendak menolak niat baik dari Sim Houw? Niatnya itu membuktikan bahwa dia adalah seorang gagah sejati, yang tahu akan jalannya sejarah dan mengenal pula sumbernya. Keluarga Cu adalah keluarga yang tadinya berhak atas kedua pusaka itu. Dan keluarga Cu masih belum habis, masih ada engkau dan sekarang ada pula Cu Kun Tek, puteramu. Tidak pantaskah puteramu kelak mewarisi pusaka-pusaka lembah yang turun-temurun dihuni oleh keluarga Cu ini?” kata Yu Hwi dengan penuh semangat.
Cu Kang Bu masih mengerutkan alisnya yang tebal.
“Sim Houw, apakah tidak ada maksud-maksud tersembunyi di balik niatmu ini? Apakah engkau tidak akan menyesal kelak? Ingat, yang menguasai ilmu Kim-siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut adalah engkau seorang, jadi kedua pusaka itu memang sudah menjadi hakmu.”
Sim Houw mencabut keluar suling emas dari pinggangnya dan meloloskan sabuk pedang Koai-liong Po-kiam dari punggungnya, kemudian menyerahkan kedua pusaka itu kepada Cu Kang Bu dengan sikap hormat dan wajah penuh keramahan.
“Saya menyerahkannya dengan hati ikhlas dan rela, cek kong. Biarlah kedua pusaka ini, walaupun suling emasnya hanya tiruan, menjadi pusaka-pusaka keturunan keluarga Cu.”
“Wah, aku senang sekali kalau punya dua senjata itu!“ Tiba-tiba si kecil Kun Tek berseru girang. “Kelak aku ingin bisa menjadi seperti Sim Houw!”
“Hemm, enak saja kau bicara!” ayahnya menegur, “Tanpa memiliki ilmu-ilmu sakti Kim-siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut, mana bisa seperti Sim Houw?
“Jangan khawatir, Kun Tek.” Ibunya menghibur. “Ayahmu dapat mengajar ilmu dengan suling emas, dan aku akan mengajarkan ilmu pedang padamu.”
Nyonya ini bukan hanya membual. Ia adalah seorang ahli pedang, bahkan ia memiliki Ilmu-ilmu Kiam-to Sin-ciang, yaitu ilmu yang membuat lengannya dapat digerakkan dengan ampuh seperti berobah menjadi pedang dan golok. Di samping ini, juga ia ahli ilmu Pat-hong Sin-kun (Ilmu Silat Depalan Penjuru) dan ilmu ini dapat pula dimainkan dengan pedang menjadi Ilmu Pedang Delapan Penjuru Angin.
Karena melihat kesungguhan hati dan kerelaan Sim Houw, dan mengingat bahwa memang tidak keliru alasan Sim Houw yang mengatakan bahwa kedua pusaka itu berasal dari lembah mereka akhirnya Cu Kang Bu menerima juga penyerahan dua pusaka itu dengan hati girang.
“Aku akan menyimpan benda-benda ini sebagai pusaka-pusaka Lembah Naga Siluman dan mudah-mudahan kami akan mampu menjaganya.” katanya dengan hati lega. “Dan banyak terima kasih kepadamu, Sim Houw. Engkaulah yang telah menyatukan kembali keretakan yang pernah terjadi pada mendiang ayah dan ibumu.”
Setelah tinggal di lembah itu selama tiga hari, Sim Houw lalu berpamit dan diantar oleh keluarga Cu ayah ibu dan anak itu sampai ke tepi jembatan tambang. Dia lalu meninggalkan lembah itu dan mulai dengan perantauannya. Selama tiga tahun ini, banyak sudah dia lakukan demi menegakkan kebenaran dan keadilan sebagai seorang pendekar.
Karena dia tidak pernah meninggalkan nama, atau jarang sekali memperkenalkan diri, akhirnya yang lebih dikenal di dunia kang-ouw hanyalah senjata barunya itu dan mulailah dia dijuluki orang Pendekar Suling Naga.
Demikianlaih peristiwa tiga tahun yang lalu itu, semua terbayang di dalam benaknya ketika Sim Houw beristirahat ditepi Sungai Wu-kiang duduk di atas rumput hijau tebal yang bersih itu. Alam di sekelilingnya amat indahnya dan setelah Sim Houw menghentikan lamunannya, dia mulai masuk ke dalam keheningan yang penuh dan maha luas itu.
Pagi yang indah cerah, sinar matahari kuning emas yang menerobos celah-celah daun dan dahan nampak seperti garis-garis lurus yang amat indah. Sebagian sinar matahari sempat menimpa permukaan air sungai yang membentuk jalan lurus panjang berwarna kuning kemerahan.
Dia merasa betapa kulit pinggul dan belakang pahanya dingin, karena embun yang tadinya menghias ujung rumput yang didudukinya meresap melalui celana dan membasahi kulitnya. Semilir angin pagi yang membuat rambut kepalanya berkibar lembut mendatangkan rasa nyaman seperti membelai-belai leher dan dagunya.
Dengan kesadaran sepenuhnya akan keadaan sekeliling dirinya, Sim Houw melihat keindahan yang tiada taranya. Sukar untuk dapat diceritakan karena kata-kata amatlah terbatas, kata-kata hanya dapat menceritakan hal-hal yang telah lalu saja, tidak mungkin dapat menggambarkan keadaan SAAT INI.
Keindahan dalam keheningan itu hanya dapat dirasakan oleh yang mengalaminya pada saat itu juga. Cerita yang dituturkan kemudian sama sekali berbeda dengan kenyataan pada saat itu. Kenyataan yang demikian indahnya, yang menimbulkan rasa bahagia dan keharuan yang mendalam sehingga tak terasa lagi ada air mata membasahi kedua mata Sim Houw.
Bukan air mata kesenangan atau air mata kesedihan, melainkan air mata yang muncul ketika batinnya yang paling dalam tersentuh oleh sesuatu yang halus, yang mendekatkan batinnya pada HIDUP yang sejati, bukan kehidupan di dunia fana yang penuh dengan permainan emosi ciptaan sang aku.
Sang aku tidak ada pada saat seperti itu, dirinya telah lebur menjadi satu dengan segala sesuatu, dengan alam, dengan keheningan. Berkericiknya air sungai, berkicaunya burung-burung di dalam pohon, semua itu termasuk di dalam keheningan yang maha luas itu.
Hening, tapi bukan kesepian. Keheningan yang nyaman karena tidak adanya pikiran, tidak adanya sang aku, namun bukan pula tidur lelap, bukan pula termenung atau tenggelam ke dalam sesuatu. Sadar sesadar-sadarnya, segalanya terbuka, wajar, tanpa pamrih.
Yu Hwi mencela sambil menuding ke arah senjata hitam yang patah terbabat pedang Koai-liong-po-kiam tadi. Kakek itu tertawa, akan tetapi tiba-tiba menahan ketawanya dan menyeringai kesakitan.
“Locianpwe, engkau telah terluka. Marilah kubantu meringankan penderitaanmu,” kata Sim Houw sambil melangkah maju. Akan tetai kakek itu mundur ke belakang.
“Jangan! Aku sudah terluka dan itu adalah resiko pertandingan. Kalau engkau yang kalah, engkau bukan hanya terluka melainkan mampus, orang muda! Dan siapa bilang bahwa pusaka itu benda yang patah itu? Heh-heh, kau kira aku begitu bodoh membawanya ke mana saja? Memang sama bentuknya, akan tetapi yang ini adalah buatanku sendiri, yang palsu. Yang asli mana mungkin dapat dipatahkan, dengan senjata pusaka yang bagaimana ampuhpun juga? Mari, orang muda, engkau berhak memiliki Liong-siauw-kiam. Mari kau ikut denganku mengambilnya di tempat persembunyianku.”
Sim Houw percaya sepenuhnya kepada kakek aneh yang amat lihai itu, maka diapun mengangguk dan menjawab,
“Baiklah, locianpwe.”
“Sim Houw, jangan mudah percaya omongannya!” Tiba-tiba Yu Hwi berseru. “Orang macam dia ini mana bisa dipercaya? Jangan-jangan engkau dipancing untuk memasuki perangkap!”
Kakek itu memandang kepada Yu Hwi dan mengangguk-angguk sambil tersenyum aneh.
“Nyonya ini memiliki kecerdikan yang boleh juga, heh-heh. Terserah kepadamu, orang muda, apakah engkau berani atau tidak ikut bersamaku. Kalau tidak, sungguh aku akan mati dengan mata terbuka karena kecewa dan penasaran.”
“Biarlah, cek-kong berdua harap jangan khawatir. Saya dapat menjaga diri,” kata Sim Houw dan diapun lalu mengikuti kakek itu yang sudah membalikkan tubuh dan pergi sambil tertawa mengejek.
Cu Kang Bu dan isterinya mengikutinya dengan pandang mata khawatir, akan tetapi Cu Kun Tek berkata dengan kagum.
“Hebat sekali Sim Houw itu. Kalau aku menjadi dia, akupun akan pergi mengambil pusaka yang dijanjikan kakek itu.”
Dua orang itu lalu menyeberangi tambang dan dengan cepat sekali kakek yang mengaku bernama Pek-bin Lo-sian itu lalu berlari seperti terbang. Agaknya dia masih ingin menguji kepandaian Sim Houw. Akan tetapi, setelah berlari secepatnya dan napasnya mulai memburu dia menoleh ke belakang, dia melihat betapa pemuda itu berada tepat di belakangnya, sedikitpun tidak tertinggal, bahkan tidak nampak letih seperti orang berjalan seenaknya saja. Kakek itu kagum sekali dan menahan larinya, menjadi langkah biasa untuk mengatur pernapasannya. Wajahnya menjadi semakin pucat.
“Locianpwe, mengapa tergesa-gesa? Tidak baik untuk kesehatan locianpwe yang menderita luka.”
Sim Houw berkata dengan sungguh-sungguh karena dia tahu bahwa pengerahan tenaga gin-kang tadi memang amat berbahaya bagi kakek yang sudah menderita luka di dalam tubuhnya.
“Marilah, kita sudah dekat....!” kata kakek itu dengan napas terengah-engah dan dia mendaki bukit itu.
Dan karena luka yang diderita oleh Pek-bin Lo-sian semakin parah, kini kakek itu hampir tidak kuat mendaki bukit itu. Melihat ini, Sim Houw berkata,
“Locianpwe terluka, marilah saya membantu locianpwe untuk meringankan penderitaan itu.”
Pemuda ini bermaksud untuk mengobatinya dengan pengerahan sin-kangnya. Akan tetapi kakek itu menggeleng kepala.
“Tidak ada gunanya, hanya menghilangkan nyeri sebentar akan tetapi tidak akan mampu menyembuhkan.”
Sim Houw juga maklum akan hal ini dan dia merasa menyesal sekali.
“Maafkan saya, locianpwe. Bukan maksud saya untuk.... akan tetapi saya terdesak dan terpaksa.”
“Sudahlah, begini lebih baik. Roboh di tangan seorang pemuda seperti engkau tidak membikin hatiku penasaran. Kalau kau mau.... kau gendong saja aku sampai ke puncak, aku khawatir akan putus nyawaku sebelum berhasil menyerahkan pusaka itu”.
Sim Houw tidak ragu-ragu lagi lalu menggendong kakek itu di belakang punggungnya. Baru beberapa langkah dia berjalan, tiba-tiba kakek yang tadinya nampak loyo itu menggerakkan tangan mencengkeram ke arah tengkuk Sim Houw.
“Tolol kau! Mencari mampus sendiri!”
Akan tetapi tiba-tiba kakek itu mengeluarkan teriakan kaget karena tengkuk yang dicengkeramnya itu lemas seperti tidak berotot atau bertulang sehingga cengkeramannya meleset dan tenaga yang dipergunakannya seperti tenggelam ke dalam air saja.
Tahulah dia bahwa pemuda itu tidak setolol seperti yang disangkanya karena diam-diam pemuda itu telah siap melindungi dirinya dengan ilmu I-kiong-hoan-hiat, yaitu Ilmu Memindahkan Jalan Darah yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat! Dan sebelum dia sempat melakukan hal lain lagi, tahu-tahu tubuhnya sudah tak dapat digerakkan karena pemuda itu telah menotoknya dan membuat kaki tangannya lumpuh! Diam-diam dia kagum dan girang sekali.
“Bagus! Baru yakin hatiku bahwa engkau memang paling pantas menjadi pemilik Liong-siauw-kiam, karena selain lihai engkaupun cerdik sekali.”
Dia lalu menunjukkan jalan bagi Sim Houw yang tidak menjawab melainkan berlari dengan cepat mendaki bukit itu sambil menggendong tubuh kakek yang sudah tidak mampu bergerak lagi itu. Setelah kakek itu menyuruhnya berhenti di depan sebuah guha besar, baru Sim Houw menurunkan tubuh kakek itu dari gendongan dan membebaskan totokannya sehingga kakek itu mampu bergerak lagi.
“Maafkan saya yang terpaksa menotokmu, locianpwe,” katanya dengan sikap tetap menghormat.
Pek-bin Lo-sian terkekeh dan mengangguk-angguk.
“Kalau engkau tidak cerdik dan tidak melindungi tubuhmu, tentu cengkeramanku akan mematikanmu. Dan memang lebih baik engkau mati kalau tidak mampu melindungi diri dari ke curangan seperti itu. Musuh-musuhmu yang akan kau hadapi puluhan kali lebih curang dari pada yang kulakukan tadi. Tadi aku memang mengujimu. Kalau kau gagal, kau mampus, dan karena kau lulus, maka aku merasa lebih yakin kau akan mampu mempertahankan Liong-siauw-kiam.” Tiba-tiba kakek itu batuk-batuk dan darah segar keluar dari mulutnya.
“Locianpwe, harap kau beristirahat....!” kata Sim Houw dengan kaget karena muntah darah itu menunjukkan bahwa luka yang diderita kakek itu sudah amat berat.
“Heh-heh-heh....!” Pek-bin Lo-sian mengusap darah dari bibirnya sehingga ujung lengan bajunya menjadi merah semua. “Kau.... kau tunggu.... akan kuambil pusaka itu.“
Dan terhuyung-huyung dia memasuki guha yang lebar dan dalam itu. Sim Houw menanti di luar dengan hati tegang. Hatinya tidak merasa gembira. Tanpa sebab, tanpa permusuhan apapun dia telah menyebabkan seorang kakek yang memiliki kesaktian luar biasa menderita luka parah, luka yang dia tahu akan membawa maut bagi kakek itu. Dan sesungguhnya dia sama sekali tidak menginginkan pusaka orang, walaupan sikap dan kata-kata kakek itu tentang pusaka yang disebut Liong-siauw-kiam menarik perhatiannya.
Tiba-tiba dia melihat kakek itu keluar lagi, dan jalannya semakin terhuyung-huyung, bahkan ketika tiba di depan guha, kakek itu terguling roboh dan kembali muntahkan darah segar.
“Locianpwe....!” Sim Houw meloncat dan berlutut dekat kakek itu.
Akan tetapi kakek itu sudah bangkit duduk bersila, mengusap darah dari bibirnya dan dia mengangkat tinggi sebuah benda hitam yang ternyata sama benar bentuknya dengan senjata kakek itu yang pernah patah oleh pedang Koai-liong Po-kiam.
“Inilah Liong-siauw-kiam, pusaka ampuh itu yang akan kuserahkan kepadamu, Sim Houw.”
Pemuda itu memandang dengan sinar mata ragu. Benda itu serupa benar dengan senjata kakek tadi, dan tentu saja dia meragukan keampuhannya. Hanya sebuah benda sepanjang kurang lebih tiga kaki, terbuat dari kayu hitam yang diukir membentuk seekor naga, dengan ekor meruncing dan tepinya tajam seperti pedang, di tengahnya yang tebal terdapat lubang-lubang seperti suling. Sebatang Pedang Suling Naga? Kalau hanya terbuat dari kayu, mana dapat menjadi senjata yang ampuh? Mana mungkin dapat dibandingkan dengan pedang pusaka Koai-liong Po-kiam?
Agaknya Pek-bin Lo-sian dapat menduga apa yang diragukan pemuda itu.
“Sim Houw, coba keluarkan pedangmu dan kau babatlah pusaka ini untuk membuktikan bahwa pusaka ini tidak kalah dibandingkan dengan pedangmu itu.”
Wajah Sim Houw berobah agak merah karena isi pikirannya ternyata dapat ditebak dengan tepat oleh kakek itu. Dia lalu mengeluarkan Koai-liong Po-kiam dan nampaklah sinar biru berkelebat menyeramkan. Pek-bin Lo-sian sendiri memandang kagum dan mengangguk-angguk.
“Pedang itu memang hebat, akan tetapi cobalah diadu dengan pusaka ini.” Dia lalu mengacungkan Liong-Siauw-kiam itu dan memegang dengan kedua tangannya. “Babatlah dan pergunakan tenagamu. Aku sendiri ingin menguji keampuhan pusaka ini!”
Sim Houw lalu bangkit berdiri, mengerahkan tenaganya dan mengayun pedangnya. Sinar biru berkelebat dan pedang itu membacok Suling Naga itu dengan kuatnya karena didasari tenaga sin-kang.
“Cringggg.!”
Bunga api berpijar keras dan Sim Houw merasa betapa pedangnya bertemu dengan benda seperti baja kerasnya sehingga pedangnya membalik. Akan tetapi karena tenaganya amat besar dan kakek itu sudah lemah, hampir saja pusaka itu terlepas dari kedua tangannya.
Sim Houw memandang dan ternyata benda itu sama sekali tidak rusak, lecetpun tidak! Tentu saja dia menjadi kagum bukan main. Jangankan hanya kayu, biar baja sekalipun, kalau bukan baja terbaik, tentu akan patah terbabat Koai-liong Po-kiam. Akan tetapi suling atau pedang kayu hitam itu sama sekali tidak rusak.
“Heh-heh-heh....!” Pek-bin Lo-sian terkekeh dan mengulurkan tangannya. “Nih, terimalah Liong-siauw-kiam, mulai saat ini menjadi milikmu, Sim Houw.”
Sim Houw menerima benda itu.
“Terima kasih, locianpwe.” Dan ketika menerima pedang dia menyentuh jari-jari tangan kakek itu, dia menjadi terkejut bukan main karena jari-jari tangan itu terasa amat panas seperti api! “Ah, kau.... kenapa locianpwe?”
Kakek itu tidak menjawab dan kembali muntah-muntah darah. Wajahnya pucat bukan main dan ketika Sim Houw hendak menolongnya, dia menolak dengan tangannya.
“Tak perlu ditolong lagi. Kau pergilah, bawalah pusaka yang menjadi milikmu itu, pertahankan dengan nyawamu, dan berhati-hatilah. Ada tiga orang murid keponakanku yang amat lihai mengincar pusaka itu.... kau.... kau harus dapat melawan mereka.”
“Siapakah mereka, locianpwe?”
“Sam-kwi.... mereka.... ah, sudahlah, pergilah dan tinggalkan aku sendiri.”
Pek-bin Lo-sian menggerakkan tangannya mengusir Sim Houw. Terpaksa pemuda itu menjura dan mengucapkan terima kasih sekali lagi, baru dia pergi dengan berlari cepat sekali turun dari bukit itu sambil membawa Liong-siauw-kiam.
Dia adalah seorang pemuda yang berhati-hati sekali karena telah lama merantau di dunia kang-ouw, di mana terdapat banyak sekali kaum sesat yang licik dan curang. Dia dapat menduga bahwa melihat sikap dan perbuatannya, Pek-bin Lo-sian tentulah seorang datuk sesat pula yang mengasingkan diri, maka tadipun dia tidak sampai kena diserang secara menggelap karena dia sudah siap siaga.
Kini pun dia belum mau menelan begitu saja semua keterangan kakek itu dan dia masih memegang pusaka itu dengan hati-hati. Dia sudah mempergunakan kepandaiannya untuk meneliti apakah benda itu dilumuri racun dan setelah mendapat kenyataan bahwa benda itu bersih dari racun, dia tetap masih memegangnya dengan hati-hati, khawatir kalau-kalau di situ tersembunyi senjata rahasia yang akan membahayakan dirinya.
Setelah menuruni bukit itu, barulah Sim Houw memeriksa pusaka yang baru saja diterimanya dari Pek-bin Lo-sian. Dia memeriksa dengan teliti dan merasa kagum sekali. Benda itu benar-benar terbuat dari pada kayu, akan tatapi kayu hitam itu luar biasa keras dan kuatnya, tidak kalah dengan baja asli! Dan ukirannya demikian indah dan halus.
Ketika dia memegang bagian kepala yang menjadi gagang dan mencoba untuk memainkannya, dia terkejut sendiri dan juga girang. Benda itu enak benar dimainkan sebagai pedang, dengan bobot yang tepat dan ketika dia mencoba satu dua jurus, benda itu mengeluarkan suara merdu, tidak kalah oleh suling emasnya! Lalu dia mencoba untuk meniupnya, ternyata benda itu merupakan sebuah suling yang suaranya amat merdu! Dengan hati girang luar biasa Sim Houw lalu kembali ke Lembah Naga Siluman.
Setelah dia menyeberang dan bertemu dengan Cu Kang Bu dan isterinya, dia menceritakan pengalamannya dan memperlihatkan pusaka itu. Suami isteri itu kagum bukan main dan juga merasa amat gembira.
“Ah, engkau sungguh beruntung, Sim Houw,” kata Cu Kang Bu dengan kagum sambil mengembalikan pusaka itu. “Ternyata kakek aneh itu tidak membohongimu dan engkau telah mendapatkan sebuah pusaka yang amat hebat”
“Dengan demikian engkau memiliki tiga buah pusaka ampuh, Sim Houw,” kata Yu Hwi dengan suara yang jelas mengandung iri. “Sebuah suling emas, sebuah pedang pusaka Koai-liong Po-kiam dan sekarang pusaka Liong-siauw-kiam!”
Cu Kang Bu dapat mendengar suara mengandung iri dari isterinya, maka dia cepat berkata dengan suara lantang.
”Tentu saja dan memang dia berhak memiliki semua itu. Suling emasnya adalah tanda bahwa dia murid Pendekar Suling Emas Kam Hong, pedang Koai-liong-kiam adalah warisan ayahnya, sedangkan Pedang Suling Naga ini adalah pemberian Pek-bin Lo-sian setelah Sim Houw berhasil menundukkannya. Semua itu adalah haknya!”
Akan tetapi, sebelum menghadap suami isteri itu, dalam perjalanannya meninggalkan kakek itu, setelah mencoba Liong-siauw-kiam dan tahu benar bahwa pusaka itu memang ampuh, Sim Houw sudah mengambil satu keputusan.
“Cek-kong berdua, Liong-siauw-kiam ini dapat dipergunakan sebagai suling dan juga sebagai pedang. Dengan sendirinya, pusaka ini seperti pengganti suling emas dan Koai-kong Po-kiam menjadi satu. Bahkan penggabungan kedua ilmu dapat lebih mantap kalau dimainkan dengan pusaka ini, hanya tinggal melatih saja. Karena itu Koai-liong Po-kiam dan suling emas akan saya tinggalkan di sini, saya serahkan kepada cek-kong sekeluarga.”
“Ah, apa maksudmu dengan keputusan ini?”
Cu Kang Bu yang berwatak keras dan jujur itu bertanya dengan suara lantang dan sinar matanya menatap wajah Sim Houw penuh selidik.
“Cek-kong Cu Kang Bu, harap jangan salah mengerti. Saya sudah mendengar bahwa lembah ini dahulunya bernama Lembah Suling Emas, dan bahwa pusaka suling emas yang terkenal itu berasal dari tempat ini. Juga sekarang lembah ini di ganti dengan nama Lembah Naga Siluman, dan pedang pusaka Naga Siluman juga berasal dari tempat ini. Biarpun suling emas di tangan saya bukan suling emas yang asli, melainkan hanya tiruan saja, akan tetapi biarlah saya serahkan kepada keluarga Cu berikut pedang pusaka Naga Siluman, dengan demikian terhapuslah sudah, semua rasa penasaran dan kedua pusaka itu kembali ke tempat asalnya.”
“Akan tetapi....” Cu Kang Bu hendak membantah.
“Aih, kenapa engkau hendak menolak niat baik dari Sim Houw? Niatnya itu membuktikan bahwa dia adalah seorang gagah sejati, yang tahu akan jalannya sejarah dan mengenal pula sumbernya. Keluarga Cu adalah keluarga yang tadinya berhak atas kedua pusaka itu. Dan keluarga Cu masih belum habis, masih ada engkau dan sekarang ada pula Cu Kun Tek, puteramu. Tidak pantaskah puteramu kelak mewarisi pusaka-pusaka lembah yang turun-temurun dihuni oleh keluarga Cu ini?” kata Yu Hwi dengan penuh semangat.
Cu Kang Bu masih mengerutkan alisnya yang tebal.
“Sim Houw, apakah tidak ada maksud-maksud tersembunyi di balik niatmu ini? Apakah engkau tidak akan menyesal kelak? Ingat, yang menguasai ilmu Kim-siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut adalah engkau seorang, jadi kedua pusaka itu memang sudah menjadi hakmu.”
Sim Houw mencabut keluar suling emas dari pinggangnya dan meloloskan sabuk pedang Koai-liong Po-kiam dari punggungnya, kemudian menyerahkan kedua pusaka itu kepada Cu Kang Bu dengan sikap hormat dan wajah penuh keramahan.
“Saya menyerahkannya dengan hati ikhlas dan rela, cek kong. Biarlah kedua pusaka ini, walaupun suling emasnya hanya tiruan, menjadi pusaka-pusaka keturunan keluarga Cu.”
“Wah, aku senang sekali kalau punya dua senjata itu!“ Tiba-tiba si kecil Kun Tek berseru girang. “Kelak aku ingin bisa menjadi seperti Sim Houw!”
“Hemm, enak saja kau bicara!” ayahnya menegur, “Tanpa memiliki ilmu-ilmu sakti Kim-siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut, mana bisa seperti Sim Houw?
“Jangan khawatir, Kun Tek.” Ibunya menghibur. “Ayahmu dapat mengajar ilmu dengan suling emas, dan aku akan mengajarkan ilmu pedang padamu.”
Nyonya ini bukan hanya membual. Ia adalah seorang ahli pedang, bahkan ia memiliki Ilmu-ilmu Kiam-to Sin-ciang, yaitu ilmu yang membuat lengannya dapat digerakkan dengan ampuh seperti berobah menjadi pedang dan golok. Di samping ini, juga ia ahli ilmu Pat-hong Sin-kun (Ilmu Silat Depalan Penjuru) dan ilmu ini dapat pula dimainkan dengan pedang menjadi Ilmu Pedang Delapan Penjuru Angin.
Karena melihat kesungguhan hati dan kerelaan Sim Houw, dan mengingat bahwa memang tidak keliru alasan Sim Houw yang mengatakan bahwa kedua pusaka itu berasal dari lembah mereka akhirnya Cu Kang Bu menerima juga penyerahan dua pusaka itu dengan hati girang.
“Aku akan menyimpan benda-benda ini sebagai pusaka-pusaka Lembah Naga Siluman dan mudah-mudahan kami akan mampu menjaganya.” katanya dengan hati lega. “Dan banyak terima kasih kepadamu, Sim Houw. Engkaulah yang telah menyatukan kembali keretakan yang pernah terjadi pada mendiang ayah dan ibumu.”
Setelah tinggal di lembah itu selama tiga hari, Sim Houw lalu berpamit dan diantar oleh keluarga Cu ayah ibu dan anak itu sampai ke tepi jembatan tambang. Dia lalu meninggalkan lembah itu dan mulai dengan perantauannya. Selama tiga tahun ini, banyak sudah dia lakukan demi menegakkan kebenaran dan keadilan sebagai seorang pendekar.
Karena dia tidak pernah meninggalkan nama, atau jarang sekali memperkenalkan diri, akhirnya yang lebih dikenal di dunia kang-ouw hanyalah senjata barunya itu dan mulailah dia dijuluki orang Pendekar Suling Naga.
Demikianlaih peristiwa tiga tahun yang lalu itu, semua terbayang di dalam benaknya ketika Sim Houw beristirahat ditepi Sungai Wu-kiang duduk di atas rumput hijau tebal yang bersih itu. Alam di sekelilingnya amat indahnya dan setelah Sim Houw menghentikan lamunannya, dia mulai masuk ke dalam keheningan yang penuh dan maha luas itu.
Pagi yang indah cerah, sinar matahari kuning emas yang menerobos celah-celah daun dan dahan nampak seperti garis-garis lurus yang amat indah. Sebagian sinar matahari sempat menimpa permukaan air sungai yang membentuk jalan lurus panjang berwarna kuning kemerahan.
Dia merasa betapa kulit pinggul dan belakang pahanya dingin, karena embun yang tadinya menghias ujung rumput yang didudukinya meresap melalui celana dan membasahi kulitnya. Semilir angin pagi yang membuat rambut kepalanya berkibar lembut mendatangkan rasa nyaman seperti membelai-belai leher dan dagunya.
Dengan kesadaran sepenuhnya akan keadaan sekeliling dirinya, Sim Houw melihat keindahan yang tiada taranya. Sukar untuk dapat diceritakan karena kata-kata amatlah terbatas, kata-kata hanya dapat menceritakan hal-hal yang telah lalu saja, tidak mungkin dapat menggambarkan keadaan SAAT INI.
Keindahan dalam keheningan itu hanya dapat dirasakan oleh yang mengalaminya pada saat itu juga. Cerita yang dituturkan kemudian sama sekali berbeda dengan kenyataan pada saat itu. Kenyataan yang demikian indahnya, yang menimbulkan rasa bahagia dan keharuan yang mendalam sehingga tak terasa lagi ada air mata membasahi kedua mata Sim Houw.
Bukan air mata kesenangan atau air mata kesedihan, melainkan air mata yang muncul ketika batinnya yang paling dalam tersentuh oleh sesuatu yang halus, yang mendekatkan batinnya pada HIDUP yang sejati, bukan kehidupan di dunia fana yang penuh dengan permainan emosi ciptaan sang aku.
Sang aku tidak ada pada saat seperti itu, dirinya telah lebur menjadi satu dengan segala sesuatu, dengan alam, dengan keheningan. Berkericiknya air sungai, berkicaunya burung-burung di dalam pohon, semua itu termasuk di dalam keheningan yang maha luas itu.
Hening, tapi bukan kesepian. Keheningan yang nyaman karena tidak adanya pikiran, tidak adanya sang aku, namun bukan pula tidur lelap, bukan pula termenung atau tenggelam ke dalam sesuatu. Sadar sesadar-sadarnya, segalanya terbuka, wajar, tanpa pamrih.