Ads

Sabtu, 26 Desember 2015

Suling Naga Jilid 009

Seperti otomatis, Sim Houw mengeluarkan suling naga dari balik jubahnya. Benda ini selalu berada pada dirinya, tersembunyi aman tak nampak dari luar diselipkan di ikat pinggang, tertutup baju. Keharuan selalu timbul dalam keadaan seperti itu, dan selalu mendorongnya untuk meniup suling!

Getaran batin dapat disatukan melalui suara suling yang ditiup. Segera melayanglah suara merdu dari suling itu ketika Sim Houw mulai meniup sulingnya. Pemuda ini memang telah menguasai ilmu-ilmu dari Kam Hong yang pernah menjadi gurunya dan juga bekas calon ayah mertuanya dan bukan hanya pelajaran ilmu kesaktian Kim-siauw Kiam-sut saja yang dipelajarinya, melainkan juga ilmu meniup suling, baik meniup dengan mulut biasa untuk menciptakan lagu maupun tiupan dengan pengerahan khi-kang untuk menyerang lawan yang tangguh.

Suara suling itu mengalun dan kadang-kadang melengking tinggi sekali sampai tidak tertangkap telinga manusia biasa, kemudian merendah dan menggereng sampai lenyap dari pendengaran pula, merdu dan sesuai sekali dengan suara yang ada, dengan gemersik daun-daun yang terhembus angin pagi, dengan kicau burung, dengan gemerciknya air di tepi sungai, dengan detak jantungnya sendiri. Getaran hatinya hanyut dalam aliran suara suling yang merdu.

Demikian asyiknya Sim Houw meniup suling sehingga seluruh keadaan dirinya lahir batin seperti masuk ke dalam suara itu, dia seperti melayang-layang bersama suara sulingnya.

“Heiiii....! Bising sekali suara sulingmu!”

Tiba-tiba terdengar suara orang menegurnya, suaranya berteriak melengking tak kalah nyaringnya menyaingi suara suling.

Sim Houw melihat meluncurnya sebuah perahu di atas air sungai dan di atas perahu itu terdapat seorang wanita muda yang memegang tangkai pancing. Gadis itulah yang berteriak menegurnya. Akan tetapi Sim Houw bersikap tenang, melanjutkan tiupan sulingnya sampai lagunya habis barulah dia menghentikan tiupan sulingnya.

Kini perahu kecil itu sudah berada di tepi sungai di depannya dan seorang gadis yang duduk di dalam perahu sambil memegang tangkai pancing itu memandang kepadanya dengan mata melotot. Lalu gadis itu menuding ke arah Sim Houw dengan tangkai pancingnya sambil berseru marah,

“Kebisingan sulingmu itu menggangguku! Kalau mau menyuling jangan di sini, mengganggu aku yang sedang berlatih!”

Sim Houw memandang gadis itu penuh perhatian. Seorang gadis yang menarik sekali, wajahnya manis sekali, kecantikan yang asli karena gadis itu tidak merias mukanya.

Sikapnya gagah dan rambutnya diikat ke atas dengan pita dan ujungnya digelung secara sederhana. Pakaiannya yang ringkas membayangkan bentuk tubuhnya yang penuh dan padat, di punggungnya tergantung sebatang pedang dengan ronce merah muda.

Melihat keadaan gadis ini, Sim Houw sudah dapat menduga bahwa nona di atas perahu itu adalah seorang gadis ahli silat. Apalagi ketika gadis itu menuding dengan tangkai pancing dan ketika mengangat tangkai itu, ujungnya hanya terdapat sehelai tali tanpa pancing, diapun dapat menduga bahwa gadis itu sebenarnya bukan memancing, melainkan melakukan semacam latihan dengan bantuan tangkai pancing itu. Dan diapun kagum ketika dia menduga bahwa tentu gadis itu sedang berlatih samadhi dengan bantuan tangkai pancing.

Banyak macam orang bersamadhi dengan maksud mengumpulkan konsentrasi pada suatu hal saja dan orang mengggunakan bantuan api lilin yang dipandangnya terus, atau sebuah gambar lingkaran dengan titik di tengah, atau gambar pat-kwa, ada pula yang menggunakan patung dan sebagainya. Semua itu hanya dipergunakan sebagai alat untuk menujukan seluruh perhatian.

Dan gadis ini agaknya menggunakan tangkai pancing dengan tali yang tidak ada pancingnya, melainkan diikatkan ujungnya pada sepotong batu. Dan gadis itu tentu berlatih konsentrasi sambil mencurahkan seluruh perhatiannya pada tangkai pancing yang dipegangnya dan air di mana nampak tali pancing ini tenggelam. Sebuah cara melatih perhatian yang amat aneh akan tetapi juga istimewa.

Teringatlah Sim Houw akan sebuah dongeng tentang Sang Bijaksana Kiang Cu Ge di dalam dongeng Hong-sin-pong, ketika Kiang Cu Ge memancing seperti yang dilakukan gadis itu, dengan sebatang tangkai, sehelai benang dan di ujung benang terdapat pancing yang lurus tanpa umpan! Tentu saja tidak akan mendapatkan ikan!

Cara memancing Kiang Cu Ge itu hanya kiasan saja karena yang dipancing bukan ikan melainkan penguasa-penguasa atau pemimpin-pemimpin rakyat yang bijaksana. Dan tentu saja juga dipergunakan untuk melatih konsentrasi itulah karena pencurahan perhatian amat penting dalam ilmu silat.

“Eih, nona, kenapa di ujung tali itu tidak ada mata pancingnya?” Dia pura-pura tidak mengerti dan bertanya heran.

Gadis itu juga tadi memandang ke arah Sim Houw dengan penuh perhatian. Tadinya ia menyangka bahwa pria yang dapat meniup suling dengan suara menggetar-getar itu tentu bukan orang sembarangan. Akan tetapi hatinya kecewa melihat betapa pria itu nampak sederhana saja, tidak memperlihatkan sifat gagah seorang pendekar dan agaknya hanya seorang dusun yang pandai meniup suling saja.

Juga dari atas perahunya ia tidak melihat sesuatu yang aneh pada suling yang kelihatan hitam itu, hanya sebatang suling yang bentuknya agak aneh, batangnya berlekak-lekuk seperti tubuh ular. Dan pertanyaan pemuda itupun menunjukkan bahwa pemuda itu adalah seorang biasa saja yang tidak tahu apa-apa tentang pancingnya.

“Hemm, kuberitahu juga engkau tidak akan mengerti, Sudahlah, engkau jangan meniup suling itu lagi.”

“Kenapa, nona?”






“Suaranya tidak sedap didengar dan menggangguku! Mengerti? Tidak usah bertanya lagi, sebaiknya kau pergi saja dari sini dan jangan meniup sulingmu karena kalau kau lakukan lagi, aku akan mematahkan sulingmu itu dan membuangnya ke tengah sungai!”

Setelah berkata demikian gadis itu menggunakan sebuah dayung dengan tangan kanannya sedangkan tangan kiri tetap memegang tangkai pancing, dan menggerakkan dayung itu. Hanya dengan sebelah tangan saja ia mendayung, akan tetapi hebatnya, perahu itu meluncur menentang arus dan laju bukan main.

Sim Houw tersenyum seorang diri. Seorang gadis yang cantik manis, gagah perkasa dan agaknya memiliki kepandaian yang lumayan, seorang gadis yang agaknya suka pula akan keheningan dan berada di tempat sunyi dan liar itu seorang diri saja! Sinar mata gadis itu demikian tajamnya dan suaranya demikian merdu! Sim Houw tersenyum dalam renungannya sendiri.

Akan tetapi dia terkejut ketika melihat berkelebatnya lima orang kakek di tepi sungai dan lima orang itu agaknya mengejar ke arah perginya perahu gadis itu tadi. Entah apa sebabnya dia menduga bahwa lima orang itu membayangi gadis di dalam perahu akan tetapi hatinya merasa tidak enak dan diapun cepat bangkit dan berdiri membayangi lima orang kakek itu.

Perahu gadis itu meluncur dengan amat cepatnya, dan lima orang kakek itupun berlari dengan mempergunakan ilmu berlari cepat sehingga Sim Houw menjadi semakin curiga. Akan tetapi, karena tidak mengenal lima orang itu, juga tidak mengenal siapa adanya gadis itu, diapun hanya membayangi dari jauh saja.

Kecurigaan dan kekhawatiran hati yang mendorong Sim Houw untuk membayangi lima orang kakek itu memang tidak sia-sia. Dia melihat betapa gadis itu mendayung perahunya menepi, di seberang sini dan secara lincah sekali ia meloncat ke darat, menyeret perahunya dan mengikatkan tali perahu pada sebatang pohon.

Tepi itu merupakan kaki sebuah bukit kecil dan nun di atas puncak bukit itu nampak sebuah pondok yang terpencil, dikelilingi ladang sayuran dan di sebelah kanan pondok itu tumbuh pohon-pohon buah dengan suburnya. Dan begitu gadis itu selesai mengikatkan perahunya, tiba-tiba saja lima orang kakek itu berloncatan keluar dari balik semak-semak dan mengepung si gadis yang memandang dengan tajam akan tetapi sikapnya tenang, bahkan senyumnya mengejek.

Sim Houw segera mendekam di balik semak belukar untuk nenonton pertemuan antara lima orang kakek dan gadis itu dengan hati tegang. Nampak jelas olehnya betapa sikap lima orang kakek itu membayangkan niat yang tidak baik terhadap si gadis.

Melihat sikap lima orang kakek itu, si gadis mengerutkan alisnya. Lima orang itu membentuk setengah lingkaran menghadapinya, seolah-olah mengurung dan sikap mereka tidak bersahabat, bahkan alis mereka berkerut dan sinar mata mereka mengandung kemarahan dan ancaman.

“Kalian lima orang tua ini siapakah dan mengapa menghadang perjalananku?”

Seorang di antara lima kakek itu, yang berjenggot panjang berwarna putih dan agaknya menjadi orang paling tua di antara mereka, memandang tajam, tangan kiri mengelus jenggot, tangan kanan kini menunjuk ke arah nona itu dan bertanya, suaranya halus namun tegas dan mengandung kemarahan.

“Apakah nona yang bernama Souw Hui Lan?”

“Benar sekali, dan siapa kalian?”

Gadis yang bernama Souw Hui Lan itu menjawab, sikapnya masih angkuh dan seperti orang memandang rendah, membuat lima orang kakek itu saling pandang dan mereka menjadi semakin marah.

“Engkau murid dari Beng-san Siang-eng (Sepasang Garuda Beng-san)?” tanya pula kakek berjenggot.

Kini Hui Lan mengangkat muka dan membusungkan dadanya yang sudah busung itu.
“Kalau sudah tahu kenapa kalian berani menghadang perjalananku? Kalian siapa?”

“Kami adalah Bu-tong Ngo-lo (Lima Kakek Bu-tong-pai).”

Mendengar sebutan Beng-san Siang-eng tadi Sim Houw tidak pernah mendengarnya, akan tetapi mendengar sebutan Bu-tong Ngo-lo, dia terkejut, Lima orang kakek Bu-tong-pai itu pernah terkenal sekali. Mereka adalah tokoh-tokoh Bu-tong-pai yang selain memiliki ilmu silat yang tinggi juga terkenal sebagai pemberantas penjahat-penjahat, bahkan mereka berlima pernah mengobrak-abrik perkumpulan Hui-to-pang (Perkumulan Golok Terbang) yang berkedok sebagai perkumpulan para patriot akan tetapi sesungguhnya adalah perkumpulan orang-orang jahat yang amat kejam.

Karena perbuatannya membongkar keburukan Hui-to-pang dan membasminya, maka nama Bu-tong Ngo-lo ini dipuji dan dikagumi orang-orang di dunia persilatan, terutama di kalangan para pendekar.

Sim Houw sudah banyak mendengar nama lima kakek itu, akan tetapi baru sekarang melihat orang-orangnya dan diapun menjadi semakin ragu-ragu melihat betapa lima orang kakek ini agaknya memusuhi gadis yang bernama begitu indah dan yang katanya murid Sepasang Garuda dari Beng-San.

Sementara itu, mendengar disebutnya nama lima orang kakek itu, si gadis tidak menjadi kaget, bahkan tersenyum mengejek.

“Hemmm, tidak perduli lima kakek dari Bu-tong atau dari Neraka, tanpa ijin kami, tidak boleh sembarangan melanggar wilayah kami. Bu-tong-san amat jauh dari sini dan kami tidak pernah ada urusan dengan Bu-tong-pai, kenapa kalian ini lima kakek dari Bu-tong-pai hari ini menghadang perjalanan orang dan melanggar daerah kami tanpa ijin?”

Sim Houw tercengang. Gadis ini masih muda, paling banyak duapuluh tahun usianya dan melihat sikapnya tentulah seorang yang memiliki ilmu kepandaian, akan tetapi mengapa sikapnya demikian tekebur dan angkuh? Bahkan nama Bu-tong Ngo-lo yang dihormati dan dikagumi para pendekar juga tidak dipandangnya sama sekali.

Mendengar teguran itu, lima orang itu nampak jengah, akan tetapi kakek berjenggot putih panjang segera menudingkan telunjuknya kepada Hui Lan.

“Memang kami melanggar daerah orang tanpa ijin dan ini merupakan suatu kesalahan, akan tetapi semua ini gara-gara engkau, nona jahat. Engkau mengatakan tidak pernah berurusan dengan Bu-tong-pai, akan tetapi tiga bulan yang lalu engkau telah membunuh seorang murid Bu-tong-pai bernama Ji Kang, dan gurumu membunuh seorang tokoh perguruan kami bernama Kui Siok Cu.”

Gadis itu mengerutkan alisnya, mengingat-ingat, lalu mengangguk-angguk.
“Kami memang pernah bertanding dengan dua orang itu, akan tetapi sama sekali tidak ada urusannya dengan Bu-tong-pai. Mereka datang sebagai pelamar yang gagal, sama sekali tidak mewakili Bu-tongpai dan tidak ada urusan dengan perkumpulan itu. Juga kami tidak membunuh siapa-siapa. Kalau mereka kalah, menderita luka-luka dan mungkin kemudian tewas, apakah hal itu lalu menjadi alasan kalian untuk menyalahkan kami? Bagaimana kalau dalam pertandingan waktu itu kami yang kalah, luka-luka lalu mati? Apakah kalian juga akan menyalahkan mereka? Hayo jawab!”

Sim Houw tidak tahu apa urusan yang telah timbul di antara mereka, akan tetapi jawaban gadis itu membuatnya menduga-duga bahwa tentu pernah terjadi masalah pribadi antara murid dan tokoh Bu-tong-pai yang mengakibatkan perkelahian di antara mereka dengan akibat terluka dan tewasnya orang-orang Bu-tong-pai. Dan agaknya kini Bu-tang Ngo-lo datang untuk membalas dendam.

Lima orang kakek itu kembali saling lirik. Jawaban gadis itu agaknya membuat mereka sejenak bingung dan tidak mampu menjawab walaupun tidak mengurangi kemarahan mereka. Akan tetapi akhirnya si jenggot panjang berkata, suaranya tegas sekali.

“Oho, kiranya selain pandai membunuh, engkau pandai pula berdebat! Kami selamanya tidak akan membela yang salah, melainkan selalu menentang yang jahat dan sewenang-wenang. Kami datang bukan hanya untuk menegur, akan tetapi kalau perlu membasmi gadis pembunuh yang berhati kejam, yang telah menewaskan banyak pemuda gagah perkasa dengan kecantikanmu dan dengan pedangmu!”

Gadis itu menjadi marah sekali.
“Ngaco! Enak saja kalian bicara! Kalian kira aku takut kepada nama Bu-tong Ngo-lo? Kalian datang mau membasmi aku? Hemm, majulah, hendak kulihat sampai di mana kehebatan kalian, apakah sepadan dengan kesombongan kalian!”

Hui Lan berkata dengan marah sekali, mukanya merah, alisnya terangkat dan matanya mengeluarkan sinar berapi. Memang, siapakah orangnya yang dapat melihat keangkuhan diri sendiri seperti mudahnya melihat kesombongan orang lain?

Dalam perselisihan ini, Sim Houw yang nonton tanpa berpihak itu memperoleh pelajaran yang amat mengesankan hatinya. Kakek yang lima orang itu, yang namanya sudah terkenal sebagai tokoh-tokoh tua penentang kejahatan, menuduh gadis itu sebagai pembunuh kejam dan mereka datang untuk membunuh gadis itu!

Sebaliknya, si gadis menuduh mereka sombong dengan sikap angkuh pula. Agaknya sukar mencari orang di dunia ini yang mau membuka mata untuk mengenal diri sendiri, sikap dan isi hati dan pikiran sendiri karena mata itu selalu sibuk untuk meneliti orang lain! Meneliti orang lain hanya akan menimbulkan suka atau benci, sedangkan meneliti diri sendiri akan menimbulkan kesadaran.

“Siancai....! Gadis ini adalah setan yang patut dibasmi!” bentak seorang di antara lima orang kakek itu dan orang ini bertubuh tinggi besar dengan muka hitam.

Setelah berkata demikian, dia langsung menerjang dan mengirim pukulan dengan tangan kanan yang dimiringkan ke arah kepala Hui Lan.

“Wuuuutt....!”

Angin pukulan yang amat kuat menyambar. Pukulan itu bukan main-main, melainkan pukulan membacok dengan tangan miring yang dilakukan dengan tenaga sin-kang amat kuatnya.

Diam-diam Sim Houw terkejut juga dan merasa khawatir terhadap gadis yang masih muda itu. Dia mengira bahwa gadis itu tentu akan mengelak, karena dari gerak-geriknya dia dapat menduga bahwa gadis itu tentu memiliki gerakan yang gesit sekali. Akan tetapi, heranlah dia ketika melihat betapa gadis itu menggerakkan kedua tangannya, yang kiri menangkis dan yang kanan membalas dengan totokan ke arah pangkal leher.

“Dukkk....!”

Pukulan tangan kakek itu kena ditangkis dan agaknya gadis itupun sama sekali tidak terguncang, tangkisannya mantap dan kuat sehingga dua lengan yang bertemu itu saling terpental, akan tetapi jari tangan kanan gadis itu meluncur ke arah leher dengan kecepatan kilat.

“Ihhhh....!” kini kakek bermuka hitam itu yang terkejut dan cepat dia melempar tubuh ke belakang lalu berjungkir balik.

Hanya dengan cara beginilah dia dapat menghindarkan totokan pada pangkal lehernya tadi yang amat berbahaya dan merupakan serangan maut. Dia terhindar dari malapetaka, akan tetapi segebrakan ini saja sudah senunjukkan betapa dia terdesak.

“Wuuuttt....!”

Angin pukulan menerjang Hui Lan dari kanan dan kakek ke dua sudah menyerang Hui Lan dengan cengkeraman ke arah lambung dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan kakek itu juga mencengkeram ke arah kepala. Serangan berganda yang dilakukan dengan kedua tangan membentuk cakar harimau, amat berbahaya karena jari-jari tangan itu sudah terlatih, kini penuh dengan tenaga sin-kang dan dapat mencakar hancur batu karang sekalipun!

Namun, Hui Lan tidak menjadi gentar atau gugup menghadapi serangan berbahaya itu. Sekali ini ia tidak menangkis, akan tetapi tubuhnya meliuk dengan lemas dan cepatnya, tubuh bawah ke kiri dan tubuh atas ke kanan, tubuhnya melipat dengan amat lemasnya sehingga dua serangan itu pun luput, akan tetapi seperti juga tadi, Hui Lan membarengi gerakan mendadak itu dengan gerakan menyerang pula, yaitu dengan kedua tangannya yang kanan menusuk ke arah mata, yang kiri menotok ke arah jalan darah di ulu hati!

Kakek ke dua itu terkejut dan terpaksa harus meloncat beberapa langkah ke belakang karena sama sekali dia tidak menduga bahwa orang yang menyerangnya itu berbalik menyerang pada saat yang sama atau hanya satu dua detik berikutnya!

Dan kini Sim Houw memandang kagum. Gadis ini benar-benar hebat, pikirnya, memiliki tingkat kepandaian yang sama sekali tidak pernah diduganya. Yang amat mengagumkan adalah caranya berkelahi, menangkis atau mengelak sambil sekaligus menyerang, bahkan membalas kontan serangan lawan. Hal ini merupakan cara berkelahi yang membutuhkan pencurahan perhatian, membutuhkan gin-kang yang amat cepat dan juga membutuhkan kesempurnaan gerakan.

Serangan yang dilakukan sambil menangkis atau mengelak itu memang amat berbahaya. Orang yang menyerang tentu saja agak lemah daya tahannya, karena pencurahan perhatiannya ditujukan pada serangannya sehingga kalau tiba-tiba yang diserang membarengi dengan serangan, tentu saja dia terkejut dan kedudukannya menjadi lemah.

Akan tetapi kini kakek ke tiga sudah menerjang lagi sebagai lanjutan serangan kakek ke dua. Ketika Hui Lan juga berhasil mengelak dan balas menyerang yang membuat kakek ini terdesak, kakek ke empat lalu menyerang, disusul kakek ke lima. Kiranya lima orang kakek itu walaupun tidak mengeroyok secara berbareng telah maju semua secara beruntun!

Dan melihat betapa gadis itu terlampau kuat kalau dilawan satu demi satu akhirnya mereka mengurung dan mengeroyok Hui Lan dengan serangan-serangan mereka yang penuh!

Agaknya lima orang kakek itu sudah tidak lagi melihat kenyataan bahwa mereka adalah tokoh-tokoh tua Bu-tong-pai dan yang mereka hadapi hanyalah seorang gadis berusia duapuluh tahun. Dalam keadaan biasa, andaikata mereka melakukan pibu (pertandingan silat) tentu mereka tidak akan mau melakukan pengeroyokan, karena hal itu akan memalukan sekali.

Akan tetapi kini mereka datang dengan niat membasmi gadis yang mereka anggap jahat dan berbahaya, maka mereka tidak lagi memakai banyak pertimbangan atau aturan lagi. Mereka datang untuk membunuh dan mengenyahkan kejahatan dari muka bumi, bukan untuk mengadu ilmu dan gadis itu ternyata memang lihai bukan main sehingga perlu dikeroyok oleh mereka berlima.

“Hemm, tidak mudah mengambil nyawaku, tuabangka-tuabangka tak tahu malu!”

Hui Lan membentak dan nampaklah sinar terang berkilauan ketika ia telah mencabut pedang dari punggungnya.

“Sing-sing....!” Sinar pedangnya menyambar-nyambar, membuyarkan pengepungan lima orang kakek itu.

“Siancai....! Inilah pedang yang sudah membunuh banyak orang itu. Terpaksa kami menggunakan senjata pula!”

Kata kakek yang berjenggot panjang dan lima orang kakek itu meraba ke bawah jubah mereka dan nampaklah senjata berkilauan di tangan. Tiga orang di antara mereka memegang pedang dan yang dua orang lagi masing-masing memegang sebuah rantai baja yang panjangnya ada enam kaki. Rantai itu tadinya menjadi ikat pinggang, sedangkan pedang para tosu Bu-tong-pai itu tadi tersembunyi di balik jubah mereka. Lima orang kakek itu adalah pendeta-pendeta tosu dari Bu-tong-pai.

Walaupun mereka bukan para pimpinan Bu-tong-pai, namun mereka adalah murid-murid Bu-tong-pai dan di perkumpulan persilatan yang besar itu mereka termasuk tokoh-tokoh besar.

Hui Lan tidak mau banyak cakap lagi. Melihat betapa lima orang kakek itu benar-benar lihai dan kini mereka semua memegang senjata, iapun lalu mengeluarkan teriakan nyaring melengking dan tubuhnya sudah berkelebat ke depan, didahului sinar pedangnya yang bergulung-gulung.

Kembali Sim Houw tertegun kagum. Gadis itu benar-benar lihai. Kini setelah memegang pedang, ternyata gadis itu lebih hebat pula. Ilmu pedangnya aneh dan amat cepat gerakannya, lebih lihai dibandingkan ilmu silat tangan kosongnya tadi. Sim Houw berusaha untuk mengenal ilmu pedang ini seperti tadi dia berusaha mengenal ilmu silat gadis itu, namun kembali dia gagal.

Dia merasa seperti pernah melihat corak ilmu silat dengan gaya seperti yang dimainkan gadis itu, namun dia lupa lagi di mana dia pernah bertemu ilmu silat seperti itu, dan dia sama sekali tidak mengenalnya. Kalau ilmu silat tangan kosong dan ilmu pedang lima orang kakek itu tidak asing baginya. Dia sudah mengenal ilmu silat dari Bu-tong-pai, dan karena dia tahu betapa indah dan lihainya ilmu pedang dari perkumpulan itu, yaitu Bu-tong Kiam-hoat (Ilmu Pedang Bu-tong-pai), walaupun hatinya merasa semakin tegang, dia memperhatikan dengan penuh perhatian.

Ilmu pedang Bu-tong-pai memang hebat, apalagi dimainkan oleh lima orang ahli yang tingkatnya sudah tinggi. Perlahan-lahan gadis itu mulai terdesak dan kini ia hanya dapat memutar pedangnya menjadi gulungan sinar yang melindungi seluruh tubuhnya saja.

Andaikata gadis itu disiram air, atau hujan turun, tentu ia tidak akan basah karena tubuh itu terlindung oleh benteng sinar pedang! Hebatnya, ketika seorang di antara lawannya lengah, yaitu kakek muka hitam, tangan kiri gadis itu mencuat keluar dari gulungan sinar pedangnya dan tangan yang kecil nampak lunak itu menampar ke arah kepala kakek ini.

Si kakek muka hitam terkejut bukan main karena tidak menyangka gadis yang sudah didesak hebat itu akan mampu melakukan serangan yang demikian tiba-tiba. Tamparan ke arah kepalanya itu berbahaya, maka dia cepat mengelak.

“Plakkk!”

Tetap saja telapak tangan kiri Hui Lan menyentuh pundak si kakek muka hitam dan dia menggigil seperti orang kedinginan, lalu cepat-cepat dia berhenti berdiri dan menghimpun tenaga dalam untuk melawan hawa dingin menusuk yang timbul ketika pundaknya kena ditampar tadi.

Melihat ini, tiba-tiba saja Sim Houw teringat dan hampir dia meloncat ke luar dari balik semak-semak. Benar! Hanya ada satu cabang persilatan saja di dunia ini yang dapat memainkan ilmu silat yang sekaligus dapat mengerahkan sin-kang keras dan lunak, panas dan dingin, Yang-kang dan Im-kang dan satu-satunya itu adalah persilatan keluarga Pulau Es!

Dia pernah melihat pendekar-pendekar keluarga Pulau Es dan kini dia ingat benar bahwa corak ilmu silat dan ilmu pedang yang dimainkan gadis bernama Souw Hui Lan ini mengandung sifat-sifat dari ilmu silat keluarga Pulau Es. Dia hampir yakin akan hal ini walaupun dia sendiri tentu saja tidak mengenal ilmu silat keluarga itu secara mendalam. Akan tetapi, setiap cabang ilmu silat mempunyai ciri-ciri khas tertentu dan di antara ciri khas ilmu keluarga para pendekar Pulau Es adalah penggunaan sin-kang yang saling berlawanan itu.

Betapapun lihainya Hui Lan dengan pedangnya, karena dikeroyok lima orang tokoh besar Bu-tong-pai, akhirnya ia kewalahan juga. Si muka hitam tadi sudah pulih kembali dan kini, sudah maju mengeroyok dengan sikap lebih hati-hati. Gadis itu sama sekali tidak memperoleh kesempatan untuk membalas lagi dan repot menghadapi hujan serangan dari lima orang lawannya.

Tentu saja memutar terus senjatanya untuk melindungi tubuhnya memeras tenaganya sehingga makin lama ia menjadi semakin lelah dan putaran pedangnya makin berkurang kecepatannya. Akhirnya sebuah sabetan rantai baja menyerempet paha Hui Lan. Kain celana paha kiri itu terobek, nampak kulit paha yang putih itu terhias jalur merah ketika terkena sabetan rantai baja.

Walaupun gadis itu telah dapat melindungi pahanya dengan sin-kang sehingga tidak terluka, namun ia terhuyung dan pada saat itu, sebatang pedang menyambar dari belakangnya, membabat ke arah lehernya, dan sebatang pedang lain menusuk dari kiri ke arah dadanya.