Sim Houw terkejut sekali. Sejak tadi dia bingung tidak tahu harus berbuat apa. Dia tidak tahu benar apa yang menyebabkan permusuhan di antara gadis dan lima orang kakek Bu-tong-pai itu sehingga merasa tidak enak untuk mencampuri perkelahian mereka.
Akan tetapi kini melihat nyawa gadis itu terancam maut, tubuhnya sudah menjadi tegang dan hampir dia bergerak meloncat untuk mencegah pembunuhan. Akan tetapi tiba-tiba nampak dua bayangan orang berkelebat. Bagaikan dua ekor burung raksasa saja dua bayangan itu meluncur dari atas, menyambar ke arah perkelahian itu.
“Tring! Tranggg....!”
Dua orang kakek yang sudah menyerang Hui Lan dengan pedangnya, terpental ke belakang dan mereka terkejut sekali. Ketika lima orang kakek itu memandang, ternyata di situ telah berdiri dua orang laki-laki yang nampak gagah perkasa dan sejenak mereka tertegun karena melihat bahwa dua orang pria itu mempunyai wajah yang serupa.
Usia mereka antara empatpuluh tahun, dengan pakaian ringkas dan sikap gagah. Mudah diduga bahwa kedua orang pria ini adalah sepasang orang kembar. Tidak hanya wajah dan bentuk badan mereka yang serupa, juga pakaian yang mereka pakai, dari potongannya sampai warna dan corak pakaiannya, semua sama!
Keduanya menyarungkan kembali pedang yang tadi mereka pakai untuk menolong Hui Lan menangkis dua batang pedang yang mengancam nyawa gadis itu. Hui Lan agak terpincang ketika menghampiri dua orang pria itu. Dengan nada suara manja ia berkata,
“Suhu, mereka ini adalah Bu-tong Ngo-lo yang tidak tahu malu mengeroyokku.”
“Kami mengerti, mundurlah kau,” kata seorang di antara dua pria kembar itu.
Hui Lan melangkah mundur sambil menyimpan pedangnya dan ia mengusap keringat yang sudah membasahi dahi dan leher, bahkan pakaiannya juga kusut dan basah oleh keringat. Perkelahian tadi amat melelahkan tubuhnya dan hantaman pada paha kirinya tadi juga menyakitkan. Robek pada celananya tidak diperdulikan dan kini dengan penuh perhatian Hui Lan nonton dua orang suhunya yang berhadapan dengan Bu-tong Ngo-lo. Kalian akan mampus, demikian agaknya ia berpikir di balik senyumnya yang mengejek.
Dua orang pria kembar itu kini melangkah maju dan memandang kepada lima orang kakek itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. Lalu seorang di antara mereka bertanya, suaranya tegas dan mantap, namun halus,
“Bu-tong Ngo-lo adalah lima orang tokoh Bu-tong-pai, patutkah mengeroyok seorang wanita muda seperti murid kami? Apa maksud pengeroyokan yang tidak pantas ini?”
Lima orang kakek itu saling pandang dan muka mereka menjadi merah. Bagaimanapun juga, mereka merasa malu karena telah maju mengeroyok seorang gadis semuda itu yang pantasnya menjadi cucu murid mereka, dan yang lebih memalukan lagi, biar mengeroyok, mereka ternyata tidak berhasil merobohkannya! Kakek berjenggot panjang lalu menjawab dengan sikap galak,
“Apakah kalian ini yang berjuluk Beng-san Siang-eng, Sepasang Garuda dari Beng-san?”
Dua orang kakek itu mengangguk.
“Bagus!” kata kakek berjenggot panjang. “Kami datang untuk membunuh kalian guru dan murid agar tidak jatuh lagi korban orang-orang tidak berdosa. Kalian adalah orang-orang kejam yang sudah melakukan banyak dosa dan harus dienyahkan dari permukaan bumi ini!”
Seorang di antara dua pria kembar itu tersenyum.
“Hemm, katakan saja bahwa kalian datang untuk membalas dendam, ataukah kalian datang dengan maksud yang sama seperti orang-orang Bu-tong-pai itu?”
“Tidak! Kami datang sengaja untuk mencari kalian guru dan murid yang berdosa, untuk menghukum dan membunuh kalian!”
Bentak kakek berjenggot panjang dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menerjang maju bersama empat orang saudaranya, menyerang dengan senjata mereka dengan dahsyat.
Akan tetapi sekali ini lima orang kakek Bu-tong-pai itu berhadapan dengan dua orang lawan yang jauh lebih lihai dibandingkan dengan Hui Lan tadi. Dua orang pria kembar itu menghadapi lima orang pengeroyoknya dengan tangan kosong saja, walaupun tadi ketika menyelamatkan Hui Lan, mereka menggunakan pedang.
Akan tetapi, walaupun tanpa senjata, keduanya dapat bergerak dengan bebas dan lincah sekali. Gerakan mereka memang cepat dan pantas mereka dijuluki Sepasang Garuda. Tubuh mereka berloncatan ke atas dan menyelinap di antara sinar senjata lawan dan mereka juga sempat membalas dengan serangan-serangan mereka yang biarpun hanya dilakukan dengan tangan dan kaki, namun tidak kalah dahsyatnya dari senjata lawan.
Terjadi perkelahian yang amat seru dan Sim Houw yang nonton perkelahian itu kini merasa yakin benar bahwa sepasang pria kembar itu memang ahli dalam ilmu silat keluarga para pendekar Pulau Es. Begitu melihat gerakan dua orang laki-laki kembar itu, Sim Houw maklum bahwa tingkat kepandaian mereka masih lebih tinggi dari pada tingkat Bu-tong Ngo-lo dan biarpun dua orang kembar itu tidak memegang senjata, namun mereka tidak akan kalah.
Keduannya menguasai gin-kang dan sin-kang yang amat tinggi, bahkan kadang-kadang mereka berani menangkis pedang dan rantai baja dengan tangan kosong saja! Makin besar keyakinan hatinya bahwa dua orang kembar itu tentu murid para pendekar Pulau Es dan telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari Pulau Es.
Dugaan Sim Houw ini memang tidak meleset. Dua orang kembar itu masih cucu luar dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Mendiang Pendekar Super Sakti Suma Han mempunyai seorang puteri dari isterinya yang bernama Puteri Nirahai dan puteri ini diberi nama Puteri Milana yang kemudian menjadi isteri seorang pendekar sakti bernama Gak Bun Beng. Mereka berdua kini telah tua sekali dan tinggal di puncak Pegunungan Beng-san, hidup sebagai petani-petani sederhana. Mereka mempunyai sepasang anak kembar yang mereka beri nama Gak jit Kong dan Gak Goat Kong, yaitu dua orang pria inilah.
Akan tetapi kini melihat nyawa gadis itu terancam maut, tubuhnya sudah menjadi tegang dan hampir dia bergerak meloncat untuk mencegah pembunuhan. Akan tetapi tiba-tiba nampak dua bayangan orang berkelebat. Bagaikan dua ekor burung raksasa saja dua bayangan itu meluncur dari atas, menyambar ke arah perkelahian itu.
“Tring! Tranggg....!”
Dua orang kakek yang sudah menyerang Hui Lan dengan pedangnya, terpental ke belakang dan mereka terkejut sekali. Ketika lima orang kakek itu memandang, ternyata di situ telah berdiri dua orang laki-laki yang nampak gagah perkasa dan sejenak mereka tertegun karena melihat bahwa dua orang pria itu mempunyai wajah yang serupa.
Usia mereka antara empatpuluh tahun, dengan pakaian ringkas dan sikap gagah. Mudah diduga bahwa kedua orang pria ini adalah sepasang orang kembar. Tidak hanya wajah dan bentuk badan mereka yang serupa, juga pakaian yang mereka pakai, dari potongannya sampai warna dan corak pakaiannya, semua sama!
Keduanya menyarungkan kembali pedang yang tadi mereka pakai untuk menolong Hui Lan menangkis dua batang pedang yang mengancam nyawa gadis itu. Hui Lan agak terpincang ketika menghampiri dua orang pria itu. Dengan nada suara manja ia berkata,
“Suhu, mereka ini adalah Bu-tong Ngo-lo yang tidak tahu malu mengeroyokku.”
“Kami mengerti, mundurlah kau,” kata seorang di antara dua pria kembar itu.
Hui Lan melangkah mundur sambil menyimpan pedangnya dan ia mengusap keringat yang sudah membasahi dahi dan leher, bahkan pakaiannya juga kusut dan basah oleh keringat. Perkelahian tadi amat melelahkan tubuhnya dan hantaman pada paha kirinya tadi juga menyakitkan. Robek pada celananya tidak diperdulikan dan kini dengan penuh perhatian Hui Lan nonton dua orang suhunya yang berhadapan dengan Bu-tong Ngo-lo. Kalian akan mampus, demikian agaknya ia berpikir di balik senyumnya yang mengejek.
Dua orang pria kembar itu kini melangkah maju dan memandang kepada lima orang kakek itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. Lalu seorang di antara mereka bertanya, suaranya tegas dan mantap, namun halus,
“Bu-tong Ngo-lo adalah lima orang tokoh Bu-tong-pai, patutkah mengeroyok seorang wanita muda seperti murid kami? Apa maksud pengeroyokan yang tidak pantas ini?”
Lima orang kakek itu saling pandang dan muka mereka menjadi merah. Bagaimanapun juga, mereka merasa malu karena telah maju mengeroyok seorang gadis semuda itu yang pantasnya menjadi cucu murid mereka, dan yang lebih memalukan lagi, biar mengeroyok, mereka ternyata tidak berhasil merobohkannya! Kakek berjenggot panjang lalu menjawab dengan sikap galak,
“Apakah kalian ini yang berjuluk Beng-san Siang-eng, Sepasang Garuda dari Beng-san?”
Dua orang kakek itu mengangguk.
“Bagus!” kata kakek berjenggot panjang. “Kami datang untuk membunuh kalian guru dan murid agar tidak jatuh lagi korban orang-orang tidak berdosa. Kalian adalah orang-orang kejam yang sudah melakukan banyak dosa dan harus dienyahkan dari permukaan bumi ini!”
Seorang di antara dua pria kembar itu tersenyum.
“Hemm, katakan saja bahwa kalian datang untuk membalas dendam, ataukah kalian datang dengan maksud yang sama seperti orang-orang Bu-tong-pai itu?”
“Tidak! Kami datang sengaja untuk mencari kalian guru dan murid yang berdosa, untuk menghukum dan membunuh kalian!”
Bentak kakek berjenggot panjang dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menerjang maju bersama empat orang saudaranya, menyerang dengan senjata mereka dengan dahsyat.
Akan tetapi sekali ini lima orang kakek Bu-tong-pai itu berhadapan dengan dua orang lawan yang jauh lebih lihai dibandingkan dengan Hui Lan tadi. Dua orang pria kembar itu menghadapi lima orang pengeroyoknya dengan tangan kosong saja, walaupun tadi ketika menyelamatkan Hui Lan, mereka menggunakan pedang.
Akan tetapi, walaupun tanpa senjata, keduanya dapat bergerak dengan bebas dan lincah sekali. Gerakan mereka memang cepat dan pantas mereka dijuluki Sepasang Garuda. Tubuh mereka berloncatan ke atas dan menyelinap di antara sinar senjata lawan dan mereka juga sempat membalas dengan serangan-serangan mereka yang biarpun hanya dilakukan dengan tangan dan kaki, namun tidak kalah dahsyatnya dari senjata lawan.
Terjadi perkelahian yang amat seru dan Sim Houw yang nonton perkelahian itu kini merasa yakin benar bahwa sepasang pria kembar itu memang ahli dalam ilmu silat keluarga para pendekar Pulau Es. Begitu melihat gerakan dua orang laki-laki kembar itu, Sim Houw maklum bahwa tingkat kepandaian mereka masih lebih tinggi dari pada tingkat Bu-tong Ngo-lo dan biarpun dua orang kembar itu tidak memegang senjata, namun mereka tidak akan kalah.
Keduannya menguasai gin-kang dan sin-kang yang amat tinggi, bahkan kadang-kadang mereka berani menangkis pedang dan rantai baja dengan tangan kosong saja! Makin besar keyakinan hatinya bahwa dua orang kembar itu tentu murid para pendekar Pulau Es dan telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari Pulau Es.
Dugaan Sim Houw ini memang tidak meleset. Dua orang kembar itu masih cucu luar dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Mendiang Pendekar Super Sakti Suma Han mempunyai seorang puteri dari isterinya yang bernama Puteri Nirahai dan puteri ini diberi nama Puteri Milana yang kemudian menjadi isteri seorang pendekar sakti bernama Gak Bun Beng. Mereka berdua kini telah tua sekali dan tinggal di puncak Pegunungan Beng-san, hidup sebagai petani-petani sederhana. Mereka mempunyai sepasang anak kembar yang mereka beri nama Gak jit Kong dan Gak Goat Kong, yaitu dua orang pria inilah.
Gak Bun Beng adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi, gagah perkasa dan juga memiliki jiwa patriot. Akan tetapi dia saling jatuh cinta dengan Milana yang mempunyai ibu puteri Mancu. Milana sendiri, sebagai puteri Pendekar Super Sakti, tahu bahwa ia mempunyai ibu puteri Mancu bahkan karena tertarik oleh ibunya, ia pernah beberapa kali membantu pemerintah Mancu memimpin barisan dan menjadi panglima untuk membasmi pemberontakan.
Setelah semakin tua ia dapat melihat bahwa suaminya mulai diasingkan dan dipandang sebagai musuh oleh banyak orang gagah di dunia sebagai seorang pendekar yang berpihak kepada pemerintah penjajah Mancu! Padahal, Milana tahu benar bahwa suaminya sama sekali tidak berpihak kepada pemerintah Mancu. Ia melihat betapa terjepitnya kedudukan suaminya yang oleh para pendekar dan patriot dianggap sebagai seorang pengkhianat atau antek penjajah. Oleh karena itulah, maka iapun menyetujui keputusan suaminya untuk menyembunyikan diri menjadi setengah pertapa, di puncak Beng-san dia tidak mencampuri lagi urusan dunia.
Karena itulah, maka kehidupan suami isteri ini menjadi terasing dan nama mereka seperti terhapus di duna kang-ouw dan tidak ada orang mengetahui bagaimana dengan keadaan mereka.
Suami isteri Gak Bun Beng dan Puteri Milana ini, tentu saja mendidik anak kembar mereka dengan tekun. Akan tetapi, keduanya yang memiliki tingkat kepandaian tinggi itu dapat melihat bahwa bakat anak kembar mereka dalam ilmu silat tidaklah menonjol, betapapun juga karena ketekunan mereka menggembleng putera-putera mereka, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong dapat juga menguasai sebagian dari ilmu-ilmu ayah bunda mereka dan menjadi orang-orang yang dapat dibilang memiliki ilmu silat yang tinggi dan sukar dicari tandingan mereka.
Akan tetapi, setelah sepasang bocah kembar itu menjadi dewasa, Gak Bun Beng dan Milana mengalami kekecewaan yang amat besar. Dua orang pemuda Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong itu tidak mau menikah! Mereka bahkan marah-marah kalau orang tua mereka mengajak mereka bicara tentang pernikahan! Di antara mereka, terdapat hubungan batin yang aneh sekali, yang menimbulkan perasaan iri hati dan cemburu satu kepada yang lain dalam segala hal.
Pakaianpun harus diberi yang serupa dan mereka tidak boleh dibeda-bedakan karena hal ini akan menimbulkan perasaan iri yang membuat mereka marah. Juga dalam perjodohan. Yang seorang akan menjadi iri hati dan cemburu kalau yang lain dijodohkan dengan seorang gadis. Karena inilah, maka kedua orang pria kembar ini tidak pernah menikah.
Pendekar sakti Gak Bun Beng dan isterinya akhirya putus asa dan setelah capai membujuk tanpa hasil, akhirnya merekapun diam saja dan lebih banyak menyepi di dalam pondok mereka di puncak Beng-san.
Betapapun juga, akhirnya orang mengenal kelihaian dua saudara kembar itu ketika beberapa kali terjadi peristiwa di mana dua saudara kembar itu terpaksa memperlihatkan kelihaian mereka. Bahkan orang tua merekapun membujuk mereka untuk sering melakukan perantauan untuk memperluas pengalaman. Akhirnya, orang mengenal mereka sebagai Sepasang Garuda dari Beng-san!
Ketika mereka berusia duapuluh empat tahun, mereka melakukan perjalanan ke selatan di mana terjadi pemberontakan. Mereka, sesuai dengan pesan ayah ibunda mereka, tidak diperbolehkan mencampuri urusan pemberontakan, tidak boleh membantu pemberontakan juga tidak boleh membantu pemerintah. Mereka melihat pemberontakan dengan sikap pasif saja, hanya mereka turun tangan menolong mereka yang lelah dan pantas diselamatkan.
Ketika mereka melihat sebuah keluarga dirampok dan dibunuh oleh gerombolan pemberontak, mereka turun tangan membela. Namun dua orang saudara kembar ini agak terlambat dan hanya berhasil menyelamatkan seorang anak perempuan keluarga Souw itu, sedangkan keluarga itu selebihnya terbasmi dan terbunuh oleh gerombolan perampok.
Anak perempuan she Souw itu berusia empat tahun dan semenjak itu, Souw Hui Lan, anak yang sudah yatim piatu dan tidak mempunyai sanak keluarga lainnya, dibawa oleh Beng-san Siang-eng dan menjadi murid mereka berdua! Bahkan dalam mengajarkan ilmu kepada Hui Lan merekapun bersaing dan mereka berdua amat menyayang anak ini sehingga memperlakukannya tidak hanya sebagai murid, bahkan sebagai adik atau puteri mereka sendiri.
Tentu saja hal ini membuat Hui Lan menjadi lihai sekali, akan tetapi juga amat manja! Baru lima tahun mereka meninggalkan Beng-san dan akhirnya menetap di bukit di tepi Sungai Wu-kiang itu, tempat yang sunyi terpencil dan amat indah pemandangannya.
Beberapa tahun kemudian, setelah Hui Lan berusia tujuhbelas tahun, mulailah datang godaan-godaan. Gadis itu menjadi seorang dara yang cantik manis dan gagah perkasa sehingga tentu saja, bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar mengharum dan mengandung madu yang amat manis, mengundang datangnya kumbang-kumbang berupa pemuda-pemuda yang gagah perkasa dan yang menginginkan jodoh seorang dara perkasa pula. Mulailah berdatangan lamaran-lamaran yang diajukan oleh tokoh-tokoh persilatan terhadap dara itu, baik untuk murid atau anak mereka sendiri.
Dan begitu muncul pinangan-pinangan ini, dua orang guru dan seorang muridnya itu lalu menentukan syarat yang amat berat, yaitu calon jodoh Hui Lan harus seorang pemuda yang mampu mengalahkan Hui Lan, dan selain syarat berat ini, ditambah syarat yang lebih berat lagi yakni bahwa pemuda calon jodoh Hui Lan itu harus mengajukan guru atau orang tuanya yang mampu mengalahkan Beng-san Siang-eng!
Orang yang tergila-gila kepada seorang wanita biasanya suka melakukan apapun juga, siap untuk berkorban. Demikianlah, banyak pemuda gagah perkasa berdatangan, hanya untuk dikalahkan oleh Hui Lan, dan guru atau orang tua jagoan mereka tidak ada seorangpun mampu mengalahkan dua orang pria kembar itu.
Dan yang mengejutkan, guru dan murid ini agaknya berdarah panas sehingga dalam setiap pertandingan untuk memenuhi syarat itu, mereka menjatuhkan para peminang dengan pukulan-pukulan maut sehingga banyak di antara para peminang yang kalah dengan membawa luka-luka parah, bahkan ada pula yang sampai tewas!
Seorang pemuda Bu-tong-pai yang pandai, maju pula bersama seorang susioknya, dan dia dikalahkan oleh Hui Lan, juga tosu yang menjadi susioknya dan merupakan tokoh Bu-tong-pai, juga terluka hebat oleh Beng-san Siang-eng. Mereka berdua meninggalkan tempat itu sebagai penderita kekalahan, membawa luka dalam yang berat dan akhirnya keduanya tewas setelah menderita sakit beberapa pekan lamanya! Selama tiga tahun kurang lebih, sudah puluhan kali murid itu mengalahkan pelamar dan sudah belasan orang tewas di tangan mereka!
Demikian sedikit catatan tentang Beng-san Siang-eng yang bernama Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong itu, dan karena itu pula pada hari itu muncul Bu-tong Ngo-lo yang berniat membunuh guru dan murid yang dianggap kejam dan jahat itu. Lima orang tokoh Bu-tong ini memang bukan hanya datang untuk membalas kematian dua orang Bu-tong-pai itu, akan tetapi juga untuk mengenyahkan guru dan murid yang dianggap jahat itu agar tidak jatuh korban lagi.
Sim Houw mengikuti jalannya perkelahian itu penuh perhatian. Hatinya merasa semakin tegang lagi. Perkelahian itu adalah perkelahian mati-matian di mana Bu-tong Ngo-lo makin lama makin terdesak hebat oleh dua orang pria kembar itu. Mereka berkelahi untuk saling bunuh, bukan sekedar mengalahkan lawan. Jurus-jurus maut dikerahkan dan diam-diam dia merasa khawatir sekali.
Mereka adalah orang-orang gagah, orang-orang berilmu yang agaknya tentu saja bukan termasuk kaum sesat. Dua orang pria kembar itu memainkan ilmu silat Pulau Es, tentu bukan penjahat dan lima orang kakek Bu-tong-pai itu tentu juga bukan orang-orang sesat. Kini mereka berkelahi mati-matian untuk saling bunuh. Dia sendiri tidak dapat berpihak, karena dia tidak tahu siapa diantara mereka yang bersalah. Akan tetapi, membiarkan saja mereka berkelahi, hatinya merasa tidak tega karena dia tahu bahwa satu pihak tentu akan roboh, terluka parah dan mungkin saja tewas.
Tiba-tiba dua orang kembar itu mengeluarkan teriakan nyaring melengking panjang, disusul bentakan seorang di antara mereka,
“Bu-tong Ngo-lo, rebahlah kalian!”
Hebat bukan main serangan dua orang itu. Biarpun lima orang lawan mereka sudah bersiap siaga, tetap saja terjangan mereka yang dahsyat itu membuat mereka berlima terdorong dan terjengkang, senjata mereka terlempar dan mereka terbanting keras ke atas tanah dalam keadaan terlentang! Dan dua orang kembar itu melangkah maju, agaknya siap untuk menurunkan pukulan terakhir, pukulan maut.
Tiba-tiba terdengar suara melengking yang aneh, suara suling yang ditiup secara aneh dan suaranya begitu mengandung wibawa yang amat kuat sehingga dua orang pria kembar itu sendiri tertegun dan menghentikan langkah mereka lalu menengok seperti orang yang terpesona. Mereka berdiri ternganga memandang ke arah seorang pemuda yang tiba tiba saja muncul di situ sambil meniup sebatang suling.
Sim Houw yang tadi melihat betapa nyawa lima orang kakek Bu-tong-pai itu terancam maut, cepat meniup sulingnya dan keluar dari tempat persembunyiannya sambil terus meniup sulingnya.
Tiupan pertama tadi dilakukan dengan pengerahan khi-kang dari Ilmu Kim-siauw Kiam-sut sehingga suling itu mengeluarkan suara yang mengandung pengaruh dan wibawa amat kuatnya! Dua orang cucu dari Pendekar Super Sakti itu sendiri sampai terpesona dan tertahan dari niat mereka membunuh lima orang Bu-tong-pai yang sudah tidak mampu melindungi diri sendiri itu.
Kini Sim Houw sudah berjalan menghadapi dua orang saudara Gak itu, menghalang di antara mereka dan lima orang kakek Bu-tong-pai yang sudah merangkak bangun dengan muka pucat. Lalu Sim Houw menghentikan tiupan sulingnya dan menjura ke arah dua orang pria kembar. Begitu suara suling berhenti, semua orang merasa seolah-olah terlepas dari himpitan yang membuat mereka seperti tidak mampu bergerak tadi.
“Ji-wi locianpwe harap jangan menyiksa lima orang kakek ini lebih lanjut. Kasihanilah mereka dan kalau mereka telah melakukan kesalahan, biarlah saya yang mintakan ampun untuk mereka.”
Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban dua orang pria kembar itu, Sim Houw cepat membalikkan tubuhnya menghadapi Bu-tong Ngo-lo,
“Kalian berlima telah diampuni oleh dua orang locianpwe ini, tidak lekas pergi apakah yang ditunggu lagi?”
Berkata demikian Sim Houw mengedipkan matanya dan lima orang kakek itu yang sudah maklum bahwa mereka tidak akan mampu menang, apalagi kini sudah menderita luka dalam yang dirasakan di dalam dada, rasa yang dingin sekali, tanpa banyak cakap lagi mereka lalu memungut senjata masing-masing dan pergi meninggalkan tempat itu tanpa pamit!
“Kalian hendak lari ke mana?” Tiba-tiba Hui Lan membentak marah dan siap mengejar.
Akan tetapi Sim Houw sudah berdiri di depannya dan mengembangkan kedua lengannya.
“Nona, ji-wi locianpwe ini sudah memberi ampun, jangan kejar mereka!”
Hui Lau melihat betapa pemuda itu mengembangkan lengan seperti hendak memeluknya, menjadi marah. Apalagi ketika dara ini mengenal Sim Houw sebagai penyuling yang tadi dianggap mengganggu ketenangannya, ia menjadi semakin marah.
“Enyahlah kau!“ bentaknya sambil menampar kepala pemuda itu.
“Wuuuttt....!” Tamparan tangan halus ini dapat meremukkan batu karang, apalagi kepala manusia.
“Eh, eh.... jangan pukul....!”
Sim Houw berseru gugup dan mengangkat sebelah lengannya seperti melindungi kepalanya dengan gerakan amat kaku, sama sekali bukan gerakan silat.
“Plakk!”
Akibat tamparan tangan yang mengenai pangkal lengannya itu membuat Sim Houw terlempar dan jatuh bergulingan. Akan tetapi dia bergulingan memotong jalan sehingga gadis itu tidak dapat melakukan pengejaran terhadap lima orang kakek Bu-tong-pai yang sudah melarikan diri.
“Keparat, engkau selalu menggangguku!” Hui Lan meloncat dan hendak menendang tubuh Sim Houw yang masih bergulingan.
“Hui Lan, jangan pukul dia!” tiba-tiba terdengar suara Gak Jit Kong dan gadis itupun menahan gerakan kakinya sehingga Sim Houw terhindar dari tendangan maut.
Sim Houw melirik ke arah lima orang kakek Bu-tong-pai dan merasa lega melihat bahwa lima orang kakek itu telah melarikan diri dengan cepat dan lenyap dari situ. Dia lalu bangkit berdiri, mengebut-ngebutkan bajunya yang kotor terkena debu.
Hui Lan biarpun memiliki kepandaian tinggi, namun ia belum berpengalaman dan gadis yang berwatak manja ini memang tidak pernah menghargai orang lain, maka iapun tidak sadar betapa tamparannya yang amat kuat tadi dapat ditangkis oleh pemuda penyuling ini! Padahal, kalau ia teringat, tentu ia akan terkejut melihat kenyataan betapa tamparannya itu tidak meremukkan tulang pangkal lengan pemuda itu.
Beng-san Siang-eng mengira bahwa murid mereka tidak menyerang dengan sungguh-sungguh kepada pemuda yang kelihatannya tidak memiliki kepandaian silat ini dilihat dari gerak-geriknya dan Gak Jit Kong lalu bertanya,
“Orang muda, kenapa engkau mencampuri urusan kami dan menghalangi kami membunuh lima orang musuh tadi?”
Sim Houw kembali menjura dengan sikap hormat. Sulingnya sudah sejak tadi diamankannya di balik bajunya, terselip di pinggang.
“Ji-wi locianpwe, saya pernah mendengar, kata orang bahwa seorang gagah tidak akan menyerang orang yang tidak melawan dan tidak membunuh orang yang sudah tidak berdaya. Dan saya melihat bahwa mereka itu tadi sudah tak berdaya.“
“Omong kosong!“ bentak Hui Lan. “Kalau kalah, mereka tentu akan membunuh kami. Suhu, tidak perlu kiranya berdebat dengan pengacau ini!”
Akan tetapi Gak Jit Kong agaknya tertarik.
“Orang muda, tahukah engkau bahwa seandainya kami kalah, lima orang Bu-tong Ngo-lo itu akan membunuh kami tanpa ragu lagi?”
“Ji-wi locianpwe, haruskah orang membalas pembunuhan dengan pembunuhan, membalas kejahatan dengan kejahatan pula? Kalau begitu, apa bedanya antara kita dengan si penjahat?”
“Jadi sudah sejak tadi engkau melihat perkelahian antara kami dan mereka?” tanya pula Gak Jit Kong, memandang penuh selidik.
“Saya kebetulan berada disini, karena ketakutan melihat perkelahian lalu saya bersembunyi di dalam semak belukar, nonton perkelahian. Melihat mereka sudah tidak berdaya dan khawatir ji-wi membunuh mereka, maka saya keluar.“
“Kenapa membunyikan suling?” kini Gak Goat Kong mendesak.
“Saya tidak tahu harus berbuat bagaimana untuk mencegah dilanjutkannya perkelahian itu, dan karena saya hanya bisa meniup suling, maka dalam kegugupan saya lalu meniup suling saya untuk menarik perhatian. Syukur saya berhasil.“
“Siapakah namamu dan engkau dari perguruan silat mana?” Gak Jit Kong bertanya lagi.
“Nama saya Sim Houw dan bukan dari perguruan silat, saya hanya bisa meniup suling, tidak bisa apa apa selain itu, locianpwe.”
“Bohong! Engkau selalu mengacau dengan suara sulingmu, tentu engkau mengerti sedikit ilmu silat. Biar kuselidiki dia datang dari perguruan silat mana suhu!” kata Hui Lan dan gadis itu sudah meloncat ke depan dan tangan kirinya menyambar, jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri itu menotok ke arah pundak kanan Sim Houw.
Sim Houw tahu bahwa jalan darah Kian-keng-hiat-to di pundaknya akan ditotok dan akibatnya amat hebat karena jalan darah itu merupakan satu di antara jalan darah besar. Akan tetapi dia diam saja sedikitpun tidak berkutik, tidak mengelak atau menangkis, seolah-olah dia tidak tahu bahwa nyawanya terancam oleh serangan itu.
“Hui Lan, jangan!”
Gak Goat Kong berseru kaget melihat betapa muridnya hendak membunuh pemuda yang agaknya memang tidak menyadari akan bahaya itu. Tentu saja Sim Houw sadar sepenuhnya, bahkan dia tahu bahwa tidak ada bahaya yang mengancam dirinya. Gadis itu hanya menggertaknya saja dan sama sekali tidak berniat melakukan totokan secara sungguh-sungguh, dan andaikata demikian, diapun dapat menyelamatkan dirinya dengan ilmu memindahkan jalan darah!
Dan benar saja dugaannya, tanpa dicegah oleh gurunya sekalipun, Hui Lan memang tidak mau membunuhnya. Gadis itu hanya ingin memaksanya mengeluarkan ilmu silatnya untuk membela diri agar ia dapat mengenal ilmu silatnya. Melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak tahu bahwa dia diserang dengan totokan maut, gadis itu merasa sebal dan totokannya berobah menjadi dorongan atau tamparan pada pundak pemuda itu.
“Plakkk....!”
Dan tubuh Sim Houw terpelanting! Namun, Hui Lan juga terkejut dan heran sekali, menahan rasa nyeri pada telapak tangannya. Ia tadi merasa seperti menampar benda yang lunak sekali akan tetapi dari dalam kelunakan itu muncul tenaga yang membuat tenaga tamparannya membalik sehingga ia terpukul tenaga tamparannya sendiri yang menimbulkan rasa nyeri. Akan tetapi buktinya, pemuda itu terpelanting keras oleh tamparannya! Sebelum Hui Lan sempat menyatakan keheranannya, tiba-tiba dua orang gurunya berseru.
“Hui Lan, hati-hati! Banyak musuh datang!”
Gadis itu cepat menggerakkan tubuh menoleh Dan benar saja. Sedikitnya duapuluh orang yang dipimpin oleh seorang wanita cantik berloncatan dengan cepat sekali menuju ke tempat itu. Sim Houw juga sudah bangkit berdiri, mengebut-ngebutkan pakaiannya yang kotor dan berdiri di belakang tiga orang itu. Diam-diam dia merasa mendongkol juga karena gadis itu sungguh sama sekali tidak memandang sebelah mata kepadanya. Seorang gadis yang selain cantik manis dan gagah perkasa, juga manja, angkuh dan ringan tangan!
Duapuluh empat orang itu semua berpakaian serba merah sehingga amat menyolok sekali. Mereka terdiri dari laki-laki yang usianya antara tigapuluh sampai limapuluh tahun, dipimpin seorang kakek berusia limapuluh tahun yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat. Laki-laki ini berada di depan bersama seorang wanita yang lebih menarik perhatian lagi. Wanita ini cantik dan berpakaian merah, bukan serba merah seperti yang lain. Memiliki sepasang mata yang amat tajam dan gerak-geriknya lincah. Sebatang pedang tergantung di punggungnya.
Sim Houw tidak mengenal semua orang itu. Juga agaknya Beng san Siang-eng dan murid mereka tidak mengenal wanita cantik yang usianya kurang lebih duapuluh lima tahun itu, apa lagi duapuluh empat orang yang berpakaian serba merah. Wanita itupun agaknya belum mengenal pihak tuan rumah, karena begitu berhadapan, ia sudah bertanya dengan suara lantang
”Siapakah di antara kalian yang berjuluk Pendekar Suling Naga?”
Sepasang Garuda Beng-san itu saling pandang dengan murid mereka. Hui Lan menggerakkan pundak dan gadis ini sudah marah sekali melihat sikap wanita yang datang bersama segerembolan orang berpakaian serba merah itu dan ia sudah menudingkan telunjuk kanannya sambil membentak,
“Dari mana datangnya perempuan liar yang membawa gerombolan bajak atau rampok ini?”
Akan tetapi, wanita cantik itu hanya mengeluarkan senyum mengejek, agaknya tidak memperhatikan kemarahan Hui Lan. Sekali lagi ia bertanya,
“Siapakah Pendekar Suling Naga?”
Dan kini pandang matanya ditujukan kepada Sim Houw dan ditatapnya wajah pemuda itu penuh selidik. Juga duapuluh empat orang berpakaian serba merah itu memandang kepada empat orang itu bergantian dengan sinar mata mengancam.
Wanita cantik itu bukan sembarang orang. Ia bukan lain adalah Giong Siu Kwi yang berjuluk Bi-kwi (Iblis Cantik), murid pertama Sam Kwi (Tiga Iblis). Seperti telah diceritakan di bagian depan Siu Kwi atau Bi-kwi dengan cara kasar minta pusaka itu dari seorang gadis yang lihai bukan main, telah mewarisi semua ilmu kesaktian dari ketiga gurunya.
Ketika ia pulang menjumpai guru-gurunya, ia melaporkan akan kegagalan dua macam tugas yang dipikulnya. Pertama, ia telah gagal mencari Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es karena pendekar sakti itu telah tewas, kemudian tugas ke dua, yaitu mencari Pek-bin Lo-sian untuk minta senjata pusaka Liong-siauw-kiam juga gagal.
Ketika wanita itu menghadap Pek-bin Lo-sian yang menjadi paman guru dari ketiga Sam-kwi, ia mendapatkan kakek tua renta itu dalam keadaan sakit berat dan napasnya tinggal satu-satu! Siu Kwi atau Bi Kwi dengan cara kasar minta pusaka itu dari Pek-bin Lo-sian yang dijawab oleh Pek-bin Lo-sian bahwa pusaka itu telah dia berikan kepada orang lain karena dia tidak suka kalau pusaka itu terjatuh ke tangan Sam Kwi, tiga orang keponakan seperguruannya sendiri yang jahat!
Mendengar jawaban ini. Bi-kwi memaksa kakek tua renta itu untuk menunjukkan siapa orang yang diserahi pusaka itu. Namun kakek yang sudah menderita penyakit berat itu hanya tersenyum mengejek, tidak mengaku. Bi-kwi marah, lalu menggunakan kekerasan terhadap kakek itu yang sebenarnya masih susiok-kongnya sendiri.
Disiksanya kakek itu, akan tetapi Pek-bin Lo-sian tetap tidak mau mengaku. Tubuhnya yang sudah tua dan menderita penyakit berat itu tidak dapat menahan siksaan yang dilakukan Bi-kwi dan kakek itupun tewas tanpa menyebut nama Sim Houw yang telah diserahi pusaka Suling Naga atau Siauw-liong-kiam.
Seperti kita ketahui, Bi-kwi pulang dengan hati mengkal dan uring-uringan karena ia pulang dengan tangan kosong. Akan tetapi ia mendengar berita akan munculnya seorang pendekar yang berjuluk Pendekar Suling Naga. Sebelum pulang menyampaikan laporan kepada tiga orang gurunya, lebih dulu ia menemui perkumpulan Ang-i-mo (Setan Berbaju Merah), yaitu perkumpulan sesat yang telah ditaklukkannya.
Setelah semakin tua ia dapat melihat bahwa suaminya mulai diasingkan dan dipandang sebagai musuh oleh banyak orang gagah di dunia sebagai seorang pendekar yang berpihak kepada pemerintah penjajah Mancu! Padahal, Milana tahu benar bahwa suaminya sama sekali tidak berpihak kepada pemerintah Mancu. Ia melihat betapa terjepitnya kedudukan suaminya yang oleh para pendekar dan patriot dianggap sebagai seorang pengkhianat atau antek penjajah. Oleh karena itulah, maka iapun menyetujui keputusan suaminya untuk menyembunyikan diri menjadi setengah pertapa, di puncak Beng-san dia tidak mencampuri lagi urusan dunia.
Karena itulah, maka kehidupan suami isteri ini menjadi terasing dan nama mereka seperti terhapus di duna kang-ouw dan tidak ada orang mengetahui bagaimana dengan keadaan mereka.
Suami isteri Gak Bun Beng dan Puteri Milana ini, tentu saja mendidik anak kembar mereka dengan tekun. Akan tetapi, keduanya yang memiliki tingkat kepandaian tinggi itu dapat melihat bahwa bakat anak kembar mereka dalam ilmu silat tidaklah menonjol, betapapun juga karena ketekunan mereka menggembleng putera-putera mereka, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong dapat juga menguasai sebagian dari ilmu-ilmu ayah bunda mereka dan menjadi orang-orang yang dapat dibilang memiliki ilmu silat yang tinggi dan sukar dicari tandingan mereka.
Akan tetapi, setelah sepasang bocah kembar itu menjadi dewasa, Gak Bun Beng dan Milana mengalami kekecewaan yang amat besar. Dua orang pemuda Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong itu tidak mau menikah! Mereka bahkan marah-marah kalau orang tua mereka mengajak mereka bicara tentang pernikahan! Di antara mereka, terdapat hubungan batin yang aneh sekali, yang menimbulkan perasaan iri hati dan cemburu satu kepada yang lain dalam segala hal.
Pakaianpun harus diberi yang serupa dan mereka tidak boleh dibeda-bedakan karena hal ini akan menimbulkan perasaan iri yang membuat mereka marah. Juga dalam perjodohan. Yang seorang akan menjadi iri hati dan cemburu kalau yang lain dijodohkan dengan seorang gadis. Karena inilah, maka kedua orang pria kembar ini tidak pernah menikah.
Pendekar sakti Gak Bun Beng dan isterinya akhirya putus asa dan setelah capai membujuk tanpa hasil, akhirnya merekapun diam saja dan lebih banyak menyepi di dalam pondok mereka di puncak Beng-san.
Betapapun juga, akhirnya orang mengenal kelihaian dua saudara kembar itu ketika beberapa kali terjadi peristiwa di mana dua saudara kembar itu terpaksa memperlihatkan kelihaian mereka. Bahkan orang tua merekapun membujuk mereka untuk sering melakukan perantauan untuk memperluas pengalaman. Akhirnya, orang mengenal mereka sebagai Sepasang Garuda dari Beng-san!
Ketika mereka berusia duapuluh empat tahun, mereka melakukan perjalanan ke selatan di mana terjadi pemberontakan. Mereka, sesuai dengan pesan ayah ibunda mereka, tidak diperbolehkan mencampuri urusan pemberontakan, tidak boleh membantu pemberontakan juga tidak boleh membantu pemerintah. Mereka melihat pemberontakan dengan sikap pasif saja, hanya mereka turun tangan menolong mereka yang lelah dan pantas diselamatkan.
Ketika mereka melihat sebuah keluarga dirampok dan dibunuh oleh gerombolan pemberontak, mereka turun tangan membela. Namun dua orang saudara kembar ini agak terlambat dan hanya berhasil menyelamatkan seorang anak perempuan keluarga Souw itu, sedangkan keluarga itu selebihnya terbasmi dan terbunuh oleh gerombolan perampok.
Anak perempuan she Souw itu berusia empat tahun dan semenjak itu, Souw Hui Lan, anak yang sudah yatim piatu dan tidak mempunyai sanak keluarga lainnya, dibawa oleh Beng-san Siang-eng dan menjadi murid mereka berdua! Bahkan dalam mengajarkan ilmu kepada Hui Lan merekapun bersaing dan mereka berdua amat menyayang anak ini sehingga memperlakukannya tidak hanya sebagai murid, bahkan sebagai adik atau puteri mereka sendiri.
Tentu saja hal ini membuat Hui Lan menjadi lihai sekali, akan tetapi juga amat manja! Baru lima tahun mereka meninggalkan Beng-san dan akhirnya menetap di bukit di tepi Sungai Wu-kiang itu, tempat yang sunyi terpencil dan amat indah pemandangannya.
Beberapa tahun kemudian, setelah Hui Lan berusia tujuhbelas tahun, mulailah datang godaan-godaan. Gadis itu menjadi seorang dara yang cantik manis dan gagah perkasa sehingga tentu saja, bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar mengharum dan mengandung madu yang amat manis, mengundang datangnya kumbang-kumbang berupa pemuda-pemuda yang gagah perkasa dan yang menginginkan jodoh seorang dara perkasa pula. Mulailah berdatangan lamaran-lamaran yang diajukan oleh tokoh-tokoh persilatan terhadap dara itu, baik untuk murid atau anak mereka sendiri.
Dan begitu muncul pinangan-pinangan ini, dua orang guru dan seorang muridnya itu lalu menentukan syarat yang amat berat, yaitu calon jodoh Hui Lan harus seorang pemuda yang mampu mengalahkan Hui Lan, dan selain syarat berat ini, ditambah syarat yang lebih berat lagi yakni bahwa pemuda calon jodoh Hui Lan itu harus mengajukan guru atau orang tuanya yang mampu mengalahkan Beng-san Siang-eng!
Orang yang tergila-gila kepada seorang wanita biasanya suka melakukan apapun juga, siap untuk berkorban. Demikianlah, banyak pemuda gagah perkasa berdatangan, hanya untuk dikalahkan oleh Hui Lan, dan guru atau orang tua jagoan mereka tidak ada seorangpun mampu mengalahkan dua orang pria kembar itu.
Dan yang mengejutkan, guru dan murid ini agaknya berdarah panas sehingga dalam setiap pertandingan untuk memenuhi syarat itu, mereka menjatuhkan para peminang dengan pukulan-pukulan maut sehingga banyak di antara para peminang yang kalah dengan membawa luka-luka parah, bahkan ada pula yang sampai tewas!
Seorang pemuda Bu-tong-pai yang pandai, maju pula bersama seorang susioknya, dan dia dikalahkan oleh Hui Lan, juga tosu yang menjadi susioknya dan merupakan tokoh Bu-tong-pai, juga terluka hebat oleh Beng-san Siang-eng. Mereka berdua meninggalkan tempat itu sebagai penderita kekalahan, membawa luka dalam yang berat dan akhirnya keduanya tewas setelah menderita sakit beberapa pekan lamanya! Selama tiga tahun kurang lebih, sudah puluhan kali murid itu mengalahkan pelamar dan sudah belasan orang tewas di tangan mereka!
Demikian sedikit catatan tentang Beng-san Siang-eng yang bernama Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong itu, dan karena itu pula pada hari itu muncul Bu-tong Ngo-lo yang berniat membunuh guru dan murid yang dianggap kejam dan jahat itu. Lima orang tokoh Bu-tong ini memang bukan hanya datang untuk membalas kematian dua orang Bu-tong-pai itu, akan tetapi juga untuk mengenyahkan guru dan murid yang dianggap jahat itu agar tidak jatuh korban lagi.
Sim Houw mengikuti jalannya perkelahian itu penuh perhatian. Hatinya merasa semakin tegang lagi. Perkelahian itu adalah perkelahian mati-matian di mana Bu-tong Ngo-lo makin lama makin terdesak hebat oleh dua orang pria kembar itu. Mereka berkelahi untuk saling bunuh, bukan sekedar mengalahkan lawan. Jurus-jurus maut dikerahkan dan diam-diam dia merasa khawatir sekali.
Mereka adalah orang-orang gagah, orang-orang berilmu yang agaknya tentu saja bukan termasuk kaum sesat. Dua orang pria kembar itu memainkan ilmu silat Pulau Es, tentu bukan penjahat dan lima orang kakek Bu-tong-pai itu tentu juga bukan orang-orang sesat. Kini mereka berkelahi mati-matian untuk saling bunuh. Dia sendiri tidak dapat berpihak, karena dia tidak tahu siapa diantara mereka yang bersalah. Akan tetapi, membiarkan saja mereka berkelahi, hatinya merasa tidak tega karena dia tahu bahwa satu pihak tentu akan roboh, terluka parah dan mungkin saja tewas.
Tiba-tiba dua orang kembar itu mengeluarkan teriakan nyaring melengking panjang, disusul bentakan seorang di antara mereka,
“Bu-tong Ngo-lo, rebahlah kalian!”
Hebat bukan main serangan dua orang itu. Biarpun lima orang lawan mereka sudah bersiap siaga, tetap saja terjangan mereka yang dahsyat itu membuat mereka berlima terdorong dan terjengkang, senjata mereka terlempar dan mereka terbanting keras ke atas tanah dalam keadaan terlentang! Dan dua orang kembar itu melangkah maju, agaknya siap untuk menurunkan pukulan terakhir, pukulan maut.
Tiba-tiba terdengar suara melengking yang aneh, suara suling yang ditiup secara aneh dan suaranya begitu mengandung wibawa yang amat kuat sehingga dua orang pria kembar itu sendiri tertegun dan menghentikan langkah mereka lalu menengok seperti orang yang terpesona. Mereka berdiri ternganga memandang ke arah seorang pemuda yang tiba tiba saja muncul di situ sambil meniup sebatang suling.
Sim Houw yang tadi melihat betapa nyawa lima orang kakek Bu-tong-pai itu terancam maut, cepat meniup sulingnya dan keluar dari tempat persembunyiannya sambil terus meniup sulingnya.
Tiupan pertama tadi dilakukan dengan pengerahan khi-kang dari Ilmu Kim-siauw Kiam-sut sehingga suling itu mengeluarkan suara yang mengandung pengaruh dan wibawa amat kuatnya! Dua orang cucu dari Pendekar Super Sakti itu sendiri sampai terpesona dan tertahan dari niat mereka membunuh lima orang Bu-tong-pai yang sudah tidak mampu melindungi diri sendiri itu.
Kini Sim Houw sudah berjalan menghadapi dua orang saudara Gak itu, menghalang di antara mereka dan lima orang kakek Bu-tong-pai yang sudah merangkak bangun dengan muka pucat. Lalu Sim Houw menghentikan tiupan sulingnya dan menjura ke arah dua orang pria kembar. Begitu suara suling berhenti, semua orang merasa seolah-olah terlepas dari himpitan yang membuat mereka seperti tidak mampu bergerak tadi.
“Ji-wi locianpwe harap jangan menyiksa lima orang kakek ini lebih lanjut. Kasihanilah mereka dan kalau mereka telah melakukan kesalahan, biarlah saya yang mintakan ampun untuk mereka.”
Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban dua orang pria kembar itu, Sim Houw cepat membalikkan tubuhnya menghadapi Bu-tong Ngo-lo,
“Kalian berlima telah diampuni oleh dua orang locianpwe ini, tidak lekas pergi apakah yang ditunggu lagi?”
Berkata demikian Sim Houw mengedipkan matanya dan lima orang kakek itu yang sudah maklum bahwa mereka tidak akan mampu menang, apalagi kini sudah menderita luka dalam yang dirasakan di dalam dada, rasa yang dingin sekali, tanpa banyak cakap lagi mereka lalu memungut senjata masing-masing dan pergi meninggalkan tempat itu tanpa pamit!
“Kalian hendak lari ke mana?” Tiba-tiba Hui Lan membentak marah dan siap mengejar.
Akan tetapi Sim Houw sudah berdiri di depannya dan mengembangkan kedua lengannya.
“Nona, ji-wi locianpwe ini sudah memberi ampun, jangan kejar mereka!”
Hui Lau melihat betapa pemuda itu mengembangkan lengan seperti hendak memeluknya, menjadi marah. Apalagi ketika dara ini mengenal Sim Houw sebagai penyuling yang tadi dianggap mengganggu ketenangannya, ia menjadi semakin marah.
“Enyahlah kau!“ bentaknya sambil menampar kepala pemuda itu.
“Wuuuttt....!” Tamparan tangan halus ini dapat meremukkan batu karang, apalagi kepala manusia.
“Eh, eh.... jangan pukul....!”
Sim Houw berseru gugup dan mengangkat sebelah lengannya seperti melindungi kepalanya dengan gerakan amat kaku, sama sekali bukan gerakan silat.
“Plakk!”
Akibat tamparan tangan yang mengenai pangkal lengannya itu membuat Sim Houw terlempar dan jatuh bergulingan. Akan tetapi dia bergulingan memotong jalan sehingga gadis itu tidak dapat melakukan pengejaran terhadap lima orang kakek Bu-tong-pai yang sudah melarikan diri.
“Keparat, engkau selalu menggangguku!” Hui Lan meloncat dan hendak menendang tubuh Sim Houw yang masih bergulingan.
“Hui Lan, jangan pukul dia!” tiba-tiba terdengar suara Gak Jit Kong dan gadis itupun menahan gerakan kakinya sehingga Sim Houw terhindar dari tendangan maut.
Sim Houw melirik ke arah lima orang kakek Bu-tong-pai dan merasa lega melihat bahwa lima orang kakek itu telah melarikan diri dengan cepat dan lenyap dari situ. Dia lalu bangkit berdiri, mengebut-ngebutkan bajunya yang kotor terkena debu.
Hui Lan biarpun memiliki kepandaian tinggi, namun ia belum berpengalaman dan gadis yang berwatak manja ini memang tidak pernah menghargai orang lain, maka iapun tidak sadar betapa tamparannya yang amat kuat tadi dapat ditangkis oleh pemuda penyuling ini! Padahal, kalau ia teringat, tentu ia akan terkejut melihat kenyataan betapa tamparannya itu tidak meremukkan tulang pangkal lengan pemuda itu.
Beng-san Siang-eng mengira bahwa murid mereka tidak menyerang dengan sungguh-sungguh kepada pemuda yang kelihatannya tidak memiliki kepandaian silat ini dilihat dari gerak-geriknya dan Gak Jit Kong lalu bertanya,
“Orang muda, kenapa engkau mencampuri urusan kami dan menghalangi kami membunuh lima orang musuh tadi?”
Sim Houw kembali menjura dengan sikap hormat. Sulingnya sudah sejak tadi diamankannya di balik bajunya, terselip di pinggang.
“Ji-wi locianpwe, saya pernah mendengar, kata orang bahwa seorang gagah tidak akan menyerang orang yang tidak melawan dan tidak membunuh orang yang sudah tidak berdaya. Dan saya melihat bahwa mereka itu tadi sudah tak berdaya.“
“Omong kosong!“ bentak Hui Lan. “Kalau kalah, mereka tentu akan membunuh kami. Suhu, tidak perlu kiranya berdebat dengan pengacau ini!”
Akan tetapi Gak Jit Kong agaknya tertarik.
“Orang muda, tahukah engkau bahwa seandainya kami kalah, lima orang Bu-tong Ngo-lo itu akan membunuh kami tanpa ragu lagi?”
“Ji-wi locianpwe, haruskah orang membalas pembunuhan dengan pembunuhan, membalas kejahatan dengan kejahatan pula? Kalau begitu, apa bedanya antara kita dengan si penjahat?”
“Jadi sudah sejak tadi engkau melihat perkelahian antara kami dan mereka?” tanya pula Gak Jit Kong, memandang penuh selidik.
“Saya kebetulan berada disini, karena ketakutan melihat perkelahian lalu saya bersembunyi di dalam semak belukar, nonton perkelahian. Melihat mereka sudah tidak berdaya dan khawatir ji-wi membunuh mereka, maka saya keluar.“
“Kenapa membunyikan suling?” kini Gak Goat Kong mendesak.
“Saya tidak tahu harus berbuat bagaimana untuk mencegah dilanjutkannya perkelahian itu, dan karena saya hanya bisa meniup suling, maka dalam kegugupan saya lalu meniup suling saya untuk menarik perhatian. Syukur saya berhasil.“
“Siapakah namamu dan engkau dari perguruan silat mana?” Gak Jit Kong bertanya lagi.
“Nama saya Sim Houw dan bukan dari perguruan silat, saya hanya bisa meniup suling, tidak bisa apa apa selain itu, locianpwe.”
“Bohong! Engkau selalu mengacau dengan suara sulingmu, tentu engkau mengerti sedikit ilmu silat. Biar kuselidiki dia datang dari perguruan silat mana suhu!” kata Hui Lan dan gadis itu sudah meloncat ke depan dan tangan kirinya menyambar, jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri itu menotok ke arah pundak kanan Sim Houw.
Sim Houw tahu bahwa jalan darah Kian-keng-hiat-to di pundaknya akan ditotok dan akibatnya amat hebat karena jalan darah itu merupakan satu di antara jalan darah besar. Akan tetapi dia diam saja sedikitpun tidak berkutik, tidak mengelak atau menangkis, seolah-olah dia tidak tahu bahwa nyawanya terancam oleh serangan itu.
“Hui Lan, jangan!”
Gak Goat Kong berseru kaget melihat betapa muridnya hendak membunuh pemuda yang agaknya memang tidak menyadari akan bahaya itu. Tentu saja Sim Houw sadar sepenuhnya, bahkan dia tahu bahwa tidak ada bahaya yang mengancam dirinya. Gadis itu hanya menggertaknya saja dan sama sekali tidak berniat melakukan totokan secara sungguh-sungguh, dan andaikata demikian, diapun dapat menyelamatkan dirinya dengan ilmu memindahkan jalan darah!
Dan benar saja dugaannya, tanpa dicegah oleh gurunya sekalipun, Hui Lan memang tidak mau membunuhnya. Gadis itu hanya ingin memaksanya mengeluarkan ilmu silatnya untuk membela diri agar ia dapat mengenal ilmu silatnya. Melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak tahu bahwa dia diserang dengan totokan maut, gadis itu merasa sebal dan totokannya berobah menjadi dorongan atau tamparan pada pundak pemuda itu.
“Plakkk....!”
Dan tubuh Sim Houw terpelanting! Namun, Hui Lan juga terkejut dan heran sekali, menahan rasa nyeri pada telapak tangannya. Ia tadi merasa seperti menampar benda yang lunak sekali akan tetapi dari dalam kelunakan itu muncul tenaga yang membuat tenaga tamparannya membalik sehingga ia terpukul tenaga tamparannya sendiri yang menimbulkan rasa nyeri. Akan tetapi buktinya, pemuda itu terpelanting keras oleh tamparannya! Sebelum Hui Lan sempat menyatakan keheranannya, tiba-tiba dua orang gurunya berseru.
“Hui Lan, hati-hati! Banyak musuh datang!”
Gadis itu cepat menggerakkan tubuh menoleh Dan benar saja. Sedikitnya duapuluh orang yang dipimpin oleh seorang wanita cantik berloncatan dengan cepat sekali menuju ke tempat itu. Sim Houw juga sudah bangkit berdiri, mengebut-ngebutkan pakaiannya yang kotor dan berdiri di belakang tiga orang itu. Diam-diam dia merasa mendongkol juga karena gadis itu sungguh sama sekali tidak memandang sebelah mata kepadanya. Seorang gadis yang selain cantik manis dan gagah perkasa, juga manja, angkuh dan ringan tangan!
Duapuluh empat orang itu semua berpakaian serba merah sehingga amat menyolok sekali. Mereka terdiri dari laki-laki yang usianya antara tigapuluh sampai limapuluh tahun, dipimpin seorang kakek berusia limapuluh tahun yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat. Laki-laki ini berada di depan bersama seorang wanita yang lebih menarik perhatian lagi. Wanita ini cantik dan berpakaian merah, bukan serba merah seperti yang lain. Memiliki sepasang mata yang amat tajam dan gerak-geriknya lincah. Sebatang pedang tergantung di punggungnya.
Sim Houw tidak mengenal semua orang itu. Juga agaknya Beng san Siang-eng dan murid mereka tidak mengenal wanita cantik yang usianya kurang lebih duapuluh lima tahun itu, apa lagi duapuluh empat orang yang berpakaian serba merah. Wanita itupun agaknya belum mengenal pihak tuan rumah, karena begitu berhadapan, ia sudah bertanya dengan suara lantang
”Siapakah di antara kalian yang berjuluk Pendekar Suling Naga?”
Sepasang Garuda Beng-san itu saling pandang dengan murid mereka. Hui Lan menggerakkan pundak dan gadis ini sudah marah sekali melihat sikap wanita yang datang bersama segerembolan orang berpakaian serba merah itu dan ia sudah menudingkan telunjuk kanannya sambil membentak,
“Dari mana datangnya perempuan liar yang membawa gerombolan bajak atau rampok ini?”
Akan tetapi, wanita cantik itu hanya mengeluarkan senyum mengejek, agaknya tidak memperhatikan kemarahan Hui Lan. Sekali lagi ia bertanya,
“Siapakah Pendekar Suling Naga?”
Dan kini pandang matanya ditujukan kepada Sim Houw dan ditatapnya wajah pemuda itu penuh selidik. Juga duapuluh empat orang berpakaian serba merah itu memandang kepada empat orang itu bergantian dengan sinar mata mengancam.
Wanita cantik itu bukan sembarang orang. Ia bukan lain adalah Giong Siu Kwi yang berjuluk Bi-kwi (Iblis Cantik), murid pertama Sam Kwi (Tiga Iblis). Seperti telah diceritakan di bagian depan Siu Kwi atau Bi-kwi dengan cara kasar minta pusaka itu dari seorang gadis yang lihai bukan main, telah mewarisi semua ilmu kesaktian dari ketiga gurunya.
Ketika ia pulang menjumpai guru-gurunya, ia melaporkan akan kegagalan dua macam tugas yang dipikulnya. Pertama, ia telah gagal mencari Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es karena pendekar sakti itu telah tewas, kemudian tugas ke dua, yaitu mencari Pek-bin Lo-sian untuk minta senjata pusaka Liong-siauw-kiam juga gagal.
Ketika wanita itu menghadap Pek-bin Lo-sian yang menjadi paman guru dari ketiga Sam-kwi, ia mendapatkan kakek tua renta itu dalam keadaan sakit berat dan napasnya tinggal satu-satu! Siu Kwi atau Bi Kwi dengan cara kasar minta pusaka itu dari Pek-bin Lo-sian yang dijawab oleh Pek-bin Lo-sian bahwa pusaka itu telah dia berikan kepada orang lain karena dia tidak suka kalau pusaka itu terjatuh ke tangan Sam Kwi, tiga orang keponakan seperguruannya sendiri yang jahat!
Mendengar jawaban ini. Bi-kwi memaksa kakek tua renta itu untuk menunjukkan siapa orang yang diserahi pusaka itu. Namun kakek yang sudah menderita penyakit berat itu hanya tersenyum mengejek, tidak mengaku. Bi-kwi marah, lalu menggunakan kekerasan terhadap kakek itu yang sebenarnya masih susiok-kongnya sendiri.
Disiksanya kakek itu, akan tetapi Pek-bin Lo-sian tetap tidak mau mengaku. Tubuhnya yang sudah tua dan menderita penyakit berat itu tidak dapat menahan siksaan yang dilakukan Bi-kwi dan kakek itupun tewas tanpa menyebut nama Sim Houw yang telah diserahi pusaka Suling Naga atau Siauw-liong-kiam.
Seperti kita ketahui, Bi-kwi pulang dengan hati mengkal dan uring-uringan karena ia pulang dengan tangan kosong. Akan tetapi ia mendengar berita akan munculnya seorang pendekar yang berjuluk Pendekar Suling Naga. Sebelum pulang menyampaikan laporan kepada tiga orang gurunya, lebih dulu ia menemui perkumpulan Ang-i-mo (Setan Berbaju Merah), yaitu perkumpulan sesat yang telah ditaklukkannya.