Ads

Rabu, 30 Desember 2015

Suling Naga Jilid 026

“Ahh....!”

Bi Lan kini menggunakan tangan kirinya meraba-raba pundak dan memang masih ada lukanya di situ, luka kecil karena jarum, akan tetapi menjadi agak besar karena disedot dan kini sudah kering dan sudah tidak terasa nyeri sama sekali.

“Ahhh....!” kembali ia berseru bingung. Pedang yang dipegang oleh tangan kanan itu kini menurun. “Ahhh....!” Bermacam perasaan mengaduk hatinya. Menyesal, malu, dan ditambah perasaan nyeri di pahanya.

Melihat betapa gadis itu hanya dapat berah-ah-uh-uh dengan canggung, Hong Beng merasa kasihan.

“Luka di pahamu itu perlu dirawat, nona. Perlu dicuci bersih dan aku membawa obat luka yang manjur, yang tadipun sudah kukenakan pada luka di pundakmu. Aku belum berani merawat luka di pahamu karena khawatir kau....”

Bi Lan menarik napas panjang. Pengalamannya dengan Sam Kwi, kemudian dengan Bhok Gun, membuat ia bercuriga kepada setiap pria dan ia tadinya menduga bahwa pemuda inipun tiada bedanya dengan yang lain. Akan tetapi ternyata ia salah duga, salah sekali.

“Aih, aku telah keliru.... kukira engkau.... kiranya tidak demikian....“

Hong Beng tersenyum.
“Tidak aneh, nona. Memang di dunia ini lebih banyak orang jahat dari pada yang benar. Akan tetapi, tentu engkau sekarang sudah percaya kepadaku, bukan?”

Melihat betapa pemuda itu memandang ke arah pedang Ban-tok-kiam yang masih dipegangnya dengan tangan kanan, Bi Lan cepat menyimpan pedangnya itu dengan muka merah.

“Tentu saja, aku telah salah sangka. Biar kulepaskan ikatan dan totokanmu.”

Akan tetapi gadis itu terkejut bukan main ketika ia hendak membuka totokan dan ikatan kaki tangan, tiba-tiba pemuda itu menggerakkan kaki tangannya dan semua ikatan itupun putus dan pemuda itu bangkit duduk sambil tersenyum.

“Ah, kau.... kau....” Bi Lan tak melanjutkan kata-katanya dan memandang dengan mata terbelalak dan mukanya menjadi semakin merah. “Tadi.... kau kutotok dan kuikat....“

“Baik sekali itu, nona, demi keamanan karena kalau seorang yang dicurigai dibiarkan terlepas, tentu berbahaya.”

“Dan tadi.... kuhantam dadamu, keras sekali. Kau tidak apa-apa.?”

“Aku roboh pingsan. Memang hebat sekali pukulanmu tadi.”

“Maksudku, kau tidak terluka parah.?”

Ucapan Bi Lan kini terdengar penuh dengan nada penyesalan dan makin gembiralah hati Hong Beng karena dia kini merasa yakin bahwa dia tidak salah mengira ketika pertama kali bertemu dengan gadis ini di restoran. Gadis ini lain dengan sucinya itu. Gadis ini polos dan murni, hanya agak liar dan penuh curiga. Dia menggeleng kepala, tidak tega menggoda dan menambah penyesalan dalam hati gadis itu.

“Pukulanmu tadi cepat sekali datangnya, dan untung aku masih sempat melindungi dadaku. Kalau tidak, tentu sudah berantakan isi dadaku tadi.”

“Ah, aku menyesal sekali. Sungguh aku jahat sekali, engkau sudah membantuku, menyelamatkan aku, akan tetapi aku sejak pertama mencurigaimu. Kuanggap engkau kurang ajar ketika memondongku dan melarikan aku, kemudian engkau untuk kedua kalinya menyelamatkan aku dengan mengobati lukaku, akan tetapi aku malah makin curiga dan menyangka buruk. Ah, betapa jahatnya aku.“

“Sudahlah, nona. Salah sangka merupakan kelemahan semua orang. Dan mungkin karena engkau kurang pengalaman, dan kita belum saling mengenal, maka terjadi kesalah pahaman itu. Lebih baik kau rawat dulu luka di pahamu, ini obat luka yang manjur. Pakailah. Ketika lari ke sini, di bawah itu terdapat sumber air. Mari kuantar.“

Bi Lan bangkit dan ketika Hong Beng mengulurkan tangan, tanpa ragu-ragu ia lalu memegang lengan pemuda itu dan sambil terpincang-pincang, dibantu oleh Hong Beng, mereka menuruni lereng itu dan benar saja, tak jauh dari situ terdapat mata air yang mengeluarkan air jernih dari celah-celah batu dan menjadi anak sungai.

“Cucilah lukamu, aku menanti di sana.”

Hong Beng lalu pergi meninggalkan gadis itu lalu duduk di atas sebuah batu, di tempat yang agak tinggi sehingga nampak oleh Bi Lan betapa pemuda itu duduk bersila di atas batu datar, membelakanginya. Kembali wajahnya terasa panas karena malu. Pemuda itu demikian sopan, akan tetapi tadi hampir dibunuhnya karena dianggapnya kurang ajar! Lain kali ia harus berhati-hati menilai orang dan tidak bertindak secara sembrono.

Dengan hati-hati ia lalu merobek celananya lebih lebar sehingga luka di pahanya nampak nyata. Luka itu sebetulnya tidak berapa lebar, hanya terluka oleh tusukan pedang, akan tetapi agak membengkak dan merah sekali.

Biarpun terasa amat perih ketika disentuh air, ia menggigit bibir dan tidak mau mengaduh, khawatir terdengar oleh pemuda itu. Dicucinya luka itu sampai bersih, kemudian ia menaruh obat bubuk putih itu di atas luka itu sampai penuh dan tertutup, kemudian dibalutnya pahanya dengan kain putih dari ikat pinggangnya. Terasa dingin dan nyaman sekarang. Akan tetapi dengan sedih ia melihat celananya yang kini robek dan tidak dapat menutupi lagi seluruh kakinya, juga bajunya di bagian pundak kiri sudah robek sehingga nampak kulit leher dan sebagian pundaknya.






Ia melihat bahwa pemuda itu masih duduk bersila di atas batu, menghadap matahari pagi yang sudah mulai muncul dengan sinarnya yang kuning keemasan, cerah sekali. Sedapat mungkin Bi Lan menutupi paha dan pundak yang nampak ketika ia menghampiri pemuda itu.

“Sudah kuobati luka di kakiku,” katanya sambil mengembalikan bungkusan obat luka.

Hong Beng memandang dan melihat betapa gadis itu dengan canggungnya mencoba untuk menutupi robekan celana dan baju, ia segera mengambil bungkusannya dan mengeluarkan satu stel pakaiannya.

“Nona, pakaianmu robek-robek, kau pakailah pakaian ini untuk sementara sebelum engkau mendapatkan pengganti yang pantas.”

Bi Lan menggeleng kepala.
“Pakaianmu tentu terlalu besar untukku, juga, aku tidak suka memakai pakaian pria.” Ia melihat pakaiannya dan menarik napas panjang. “Kalau saja aku dapat menambal dan menjahit bagian yang robek, untuk sementara dapat dipakai sebelum mendapatkan yang baru.“

“Aku punya jarum dan benang! Dan untuk menambal, kau pergunakan ini.” Tanpa ragu-ragu lagi Hong Beng merobek kain ikat pinggang yang panjang, berwarna putih, dan menyerahkan robekan kain itu bersama jarum dan benangnya kepada Bi Lan. “Akan tetapi, untuk menjahit pakaianmu, sementara engkau harus berganti dulu, nona. Kau pakailah dulu pakaian ini sebelum pakaianmu dijahit. Maukah kau kubantu? Aku pandai menjahit, dan aku akan menjahit pakaianmu yang robek.“

“Tidak!” kata Bi Lan cepat-cepat. “Aku akan menjahitnya sendiri!”

Hong Beng tersenyum.
“Baiklah, kau berganti pakaian dan jahit pakaianmu yang robek. Aku mau mencari bahan makanan untuk kita.”

Setelah berkata demikian, Hong Beng meloncat dan lari memasuki sebuah hutan lebat yang berada di dekat puncak, tak jauh dari lereng itu.

Bi Lan cepat membawa satu stel pakaian Hong Beng dan masuk ke belakang semak-semak belukar. Ia menanggalkan pakaiannya sendiri dan memakai pakaian Hong Beng yang tentu saja terlalu besar untuknya itu sehingga ia harus menggulung kelebihan kaki celana dan lengan baju.

Ia nampak lucu setelah keluar dari balik semak-semak, membawa pakaiannya sendiri kembali ke batu besar tadi dan mulai menjahit dan menambal baju dan celananya sendiri yang robek-robek. Ia sudah biasa menggunakan jarum benang, maka sebentar saja baju dan celananya yang robek-robek itu telah dijahitnya dengan rapi dan rapat.

Setelah Hong Beng kembali ia sudah berganti dalam pakaiannya sendiri dan pakaian Hong Beng yang tadi dipakainya telah dilipatnya lagi dengan rapi dan dikembalikan ke dalam buntalan pemuda itu.

Hong Beng dengan wajah berseri memperlihatkan dua ekor ayam hutan yang gemuk, yang dirobohkannya dengan sambitan jarum-jarumnya.

“Lihat, ini bahan makanan untuk kita. Aku sudah lapar sekali.”

“Mari kubantu membersihkan bulu-bulu dan isi perutnya. Berikan padaku, akan kucuci di sumber air itu.”

“Dan aku mempersiapkan api dan menanak nasi, juga mempersiapkan bumbu-bumbunya.”

“Nasi? Bumbu?”

Hong Beng tertawa dan mengeluarkan beras, panci, garam dan bumbu-bumbu sederhana dari dalam buntalannya, seperti bermain sulap saja. Bi Lan tersenyum dan ia sudah pulih kembali kesehatannya sehingga kegembiraannya juga timbul karena pada hakekatnya gadis itu berwatak periang dan jenaka.

“Bagus, akan makan enak kita hari ini! Perutku sudah lapar bukan main!”

Dan iapun lalu berlari-lari kecil menuju ke sumber air. Ketika rasa nyeri pahanya membuatnya menjerit kecil, barulah ia ingat akan kakinya yang sakit dan iapun melanjutkan lari terpincang-pincang.

Hong Beng memandang sampai gadis itu lenyap di balik pohon-pohon. Lucu dan menarik, menyenangkan sekali gadis itu, pikirnya. Seorang gadis yang amat baik, yang mungkin selama ini memperoleh pergaulan dengan orang-orang yang tidak patut. Baru dia teringat bahwa dia belum tahu siapa gadis itu, dari perguruan mana dan bagaimana riwayatnya, mereka belum saling berkenalan, padahal sebentar lagi mereka sudah akan makan bersama. Akan tetapi dia tidak berani bertanya-tanya tentang diri gadis itu. Wataknya demikian aneh, jangan-jangan kalau ditanya nama lalu timbul lagi kecurigaannya.

Matahari telah naik tinggi ketika keduanya duduk menghadapi nasi dan panggang daging ayam yang gemuk sambil berteduh di bawah pohon besar. Dengan lahap mereka lalu makan nasi dan daging ayam. Ketika Hong Beng mengeluarkan seguci arak, Bi Lan mengerutkan alisnya dan ia menggeleng kepala dengan keras ketika pemuda itu menawarkan arak padanya.

“Tidak, tidak....! Sampai matipun aku tidak akan minum lagi minuman setan itu!” katanya dan ia lalu minum sedikit air jernih yang sejak tadi sudah ia siapkan di dalam panci.

“Nona, arak amat berguna seperti api. Kalau dipergunakan menurut aturan, dia akan baik sekali bagi kesehatan. Akan tetapi kalau dibiarkan menguasai kita dan kita minum tanpa aturan, tentu akan mencelakakan dan merusak kesehatan. Arak ini bukan arak yang keras, sudah dicampur dengan air, kalau diminum setelah perut terisi makanan, akan menjadi penghangat tubuh.”

Pemuda itu lalu menuangkan sedikit arak ke dalam cangkir dan meminumnya sedikit demi sedikit dan kelihatan memang enak sekali. Apalagi bau arak itu sedap. Tiba-tiba ia mengulurkan tangan.

“Coba beri aku sedikit saja,” katanya dan jantungnya berdebar khawatir.

Kenapa ia begitu percaya kepada pemuda ini? Bagaimana kalau pemuda ini seperti Sam Kwi atau seperti Bhok Gun dan melolohnya dengan arak sampai mabok? Akan tetapi, ketika Hong Beng mengulurkan tangan memberikan cangkir yang sudah diisi sedikit arak, ia menerima tanpa ragu, kemudian meminumnya sedikit demi sedikit, dikecupnya sedikit saja. Dan memang enak! Selain rasanya mengandung sedikit manis dan berbau sedap, juga kalau diminum sedikit tidak mencekik leher dan juga ada hawa panas yang enak memasuki perutnya.

Enak bukan main makan seperti itu. Hanya nasi dengan daging ayam dipanggang sederhana, dengan bumbu sederhana sekali, garam dan bawang dan kecap, dimakan panas-panas sambil duduk di atas rumput di tempat teduh, tanpa sumpit atau sendok atau pisau, hanya dengan lima jari tangan saja. Enak! Perut sudah lapar, tubuh lelah dan baru saja terlepas dari ancaman maut dan mengalami hal-hal yang menegangkan, itulah yang membuat hidangan sederhana menjadi lezat bukan main.

Berbahagialah orang yang sehat tubuh dan hatinya, sehat badan dan batinnya, di manapun juga dia berada. Bagi orang yang sehat badannya, segalanya terasa nikmat. Panca indera yang sehat dapat menikmati segala yang dilihat, didengar, dicium, dimakan dan dirasakan. Tinggal menikmatinya saja! Segala sudah berlimpahan di sekelilingnya.

Akan tetapi, badan sehat harus pula dilengkapi dengan batin sehat. Kalau tidak, maka badan sehat itupun tidak akan dapat menikmati segala yang ada, karena batinnya mencari dan mengharapkan keadaan yang lain dari pada yang dihadapinya, keadaan lain yang diharapkan dan dibayangkan lebih hebat, lebih baik, lebih menyenangkan dari pada yang telah ada. Pencarian ini, harapan ini otomatis melenyapkan keindahan dari keadaan yang diharapkannya itu. Dan timbullah kekecewaan, tidak puas, penyesalan dan kedukaan.

Keadaan Hong Beng dan Bi Lan itu dapat dijadikan contoh suatu keadaan. Karena tubuh mereka sehat, lelah dan lapar, maka sudah sepatutnya kalau mereka dapat menikmati hidangan sederhana itu. Dan keadaan batin merekapun pada saat itu sehat. Andaikata tidak demikian dan mereka itu membandingkan dengan keadaan lain yang mereka harapkan, makan dengan hidangan yang lebih lengkap, duduk di kursi dan menggunakan sumpit, dilayani dan segala macam keenakan lain yang tidak ada pada saat itu, dapat dipastikan bahwa mereka tidak akan dapat makan selahap dan selezat itu!

Jelaslah bahwa segala macam keindahan dan keenakan bukan terletak pada benda di luar diri kita, melainkan tergantung sepenuhnya kepada batin dan badan kita sendiri. Sarana untuk dapat menikmati hidup ini bukanlah kekayaan, kedudukan, kepandaian, ataupun kekuasaan. Sarana yang mutlak hanyalah kesehatan badan dan batin. Tawa bukan hanya milik orang kaya dan tangis bukan hanya bagian orang miskin. Tawa sebagai cermin suka dan tangis sebagai cermin duka akan selalu silih berganti mengombang-ambingkan manusia yang belum sehat badan dan batinnya.

Orang yang memiliki segala-galanya dalam arti kata yang sedalam-dalamnya, yang mampu menikmati setiap tarikan napas, mampu menikmati setiap teguk air, mampu melihat dan mendengar keindahan segala sesuatu yang nampak dan terdengar, adalah orang bijaksana. Orang bijaksana tidak tersentuh dalam arti kata terseret suka duka. Orang bijaksana adalah orang yang sehat badan dan batinnya.

“Tidak tambah lagi? Ini nasinya masih, dagingnya juga masih.” Hong Beng menawarkan.

Bi Lan menggeleng kepala dan minum air jernih.
“Cukup, aku sudah kenyang sekali.”

“Araknya lagi? Sedikit lagipun tidak apa-apa.”

Kembali Bi Lan menggeleng kepala.
“Teruskanlah makanmu sampai kenyang. Aku sudah cukup, lebih dari cukup.”

Ia lalu menggunakan air untuk mencuci kedua tangannya yang masih berlepotan minyak gajih ayam yang gemuk tadi. Hong Beng melanjutkan makannya, nampak enak sekali dan Bi Lan menatap dan mengamati wajah pemuda itu.

Seorang pemuda yang mukanya bersih dan cerah, berkulit kuning dan tampan. Akan tetapi, seorang pemuda yang sederhana. Sederhana lahir batinnya. Bukan hanya pakaian yang berwarna biru dengan sabuk putih itu yang sederhana, juga sepatunya yang sudah hampir butut, melainkan juga muka yang bersih itu tidak pesolek. Rambut yang hitam gemuk itu tidak berbekas minyak seperti rambut Bhok Gun yang mengkilap dan berbau wangi.

Tidak, pemuda ini tidak pesolek walaupun dalam ketampanan tidak kalah oleh Bhok Gun. Sikapnya membayangkan batin yang sederhana. Selalu nampak rendah hati, padahal, dengan ilmu kepandaian seperti itu, biasanya orang akan menjadi sombong dan besar kepala, tinggi hati. Seorang pemuda yang terlalu sederhana, akan tetapi justeru di situlah letak daya tariknya.

“Sekarang aku yakin benar bahwa engkau tidak mempunyai niat buruk terhadap diriku....”

“Terima kasih, legalah hatiku kalau tidak dicurigai lagi,” kata Hong Beng memotong.

“Tapi....”

Sepasang mata yang jeli itu menatap tajam, seolah-olah sinarnya ingin menembus dan menjenguk isi hati pemuda itu.

“....lalu kenapa engkau bersusah payah menolongku ketika aku dikepung, dan mengobatiku ketika aku terluka jarum beracun? Kalau tidak ada pamrihmu, untuk apa engkau menolongku? Kita bukan sahabat, bahkan bukan kenalan, kenapa engkau membantu aku dan menentang mereka?”

Hong Beng menyuapkan segenggam nasi ke mulutnya dan mengunyahnya perlahan-lahan sambil mengamati wajah yang manis itu. Seorang dara cantik sekali, cantik manis walaupun kulit muka yang putih mulus itu tidak berbau bedak dan gincu. Manis, terutama sekali mulut yang kecil mungil itu, dengan lesung pipit di kanan kirinya, nampak membayang kalau bicara, nampak mengintai kalau cemberut, dan nampak cerah dan jelas kalau tersenyum. Sepasang mata itu bersinar-sinar penuh gairah dan semangat hidup penuh kegembiraan. Seorang gadis yang manis.

“Kenapa? Kenapa kau lakukan semua itu? Jawablah agar aku tidak merasa penasaran.”

Hong Beng menelan makanan dalam mulutnya. Sebelum menjawab, dia menghabiskan sisa arak dalam cangkirnya.

“Nona, sejenak aku tak mampu menjawab. Pertanyaanmu itu amat aneh terdengar olehku. Kenapa seseorang menolong orang lain? Kenapa seseorang melakukan gangguan kepada orang lain? Kenapa orang selalu melakukan kebaikan atau keburukan kepada orang lain? Nona, kalau menurut pendapatmu, anehkah kalau orang menolong orang lain tanpa pamrih?”

“Tentu saja aneh, bahkan tak masuk akal! Segala perbuatan kita tentu terdorong oleh sesuatu pamrih, untuk mencapai sesuatu, atau memiliki tujuan tertentu. Kalau tadi aku memukulmu, hendak membunuhmu, tentu ada sebabnya, bukan? Sebabnya, karena engkau kuanggap jahat. Dan kalau sekarang aku mau makan minum bersamamu, duduk bercakap-cakap, tentu ada sebabnya pula, karena kini aku percaya padamu sebagai seorang yang baik. Nah, tentu ketika kau menolongku tadi, ada pamrihnya.”

Hong Beng bengong. Alasan-alasan itu sungguh mengandung kebenaran bagi manusia pada umumnya. Akan tetapi sekaligus membuka mata betapa kotornya kalau setiap perbuatan itu mengandung pamrih. Katakanlah pertolongannya terhadap Bi Lan berpamrih, maka pamrihnya itu tentu kotor. Apa yang kiranya dapat diharapkannya dari gadis ini? Satu-satunya tentu karena gadis ini manis, dan pamrihnya tentu dikuasai nafsu berahi. Tidak! Sama sekali tidak demikian yang mendorongnya menolong gadis itu.

“Nona, bagiku, apa yang kulakukan terhadap dirimu tadi bukanlah perbuatan yang didorong oleh pamrih, melainkan didorong oleh perasaan iba terhadap yang tertindas, dan perasaan menentang terhadap segala macam kejahatan. Perbuatan tadi kuanggap sebagai suatu keharusan, suatu kewajiban. Andaikata bukan engkau yang tadi terancam maut, andaikata seorang laki-laki pun, atau seorang nenek tua buruk sekalipun, tetap saja aku akan turun tangan dan berusaha menyelamatkannya.”

Bi Lan mengerutkan alisnya dan nampak kepalanya sedikit bergoyang. Agaknya sukar baginya menerima alasan ini. Di dalam dunia Sam Kwi yang dikenalnya sejak ia masih kecil, segala perbuatan tentu ada pamrihnya, pamrih untuk kepentingan diri sendiri, untuk keuntungan dan kesenangan diri sendiri.

Akan tetapi ia teringat bahwa suhu dan subonya dari Istana Gurun Pasir pernah mengatakan bahwa seorang yang berjiwa pendekar harus selalu siap mengulurkan tangan untuk menolong orang-orang yang lemah tertindas, dan menggelung lengan baju menentang arang-orang yang kuat dan jahat.

“Engkau seorang pendekar?” tiba-tiba ia bertanya sambil menatap wajah itu.

Hong Beng sudah selesai makan dan sedang mencuci kedua tangannya seperti yang dilakukan Bi Lan tadi. Hong Beng menggeleng kepala.

“Pendekar bukanlah suatu kedudukan atau pangkat, nona. Penilaiannya terserah kepada si penilai, tergantung dari sepak terjangnya dalam kehidupannya. Aku seorang manusia biasa saja yang kebetulan bertemu denganmu di rumah makan itu, dan merasa curiga terhadap orang-orang berpakaian merah itu karena aku sudah mendengar tentang adanya Ang-i Mo-pang yang kabarnya merajalela di Kun-ming. Karena itulah aku diam-diam membayangimu. Ketua Ang-i Mo-pang itu lihai sekali dan juga jahat. Melihat kau dikepung dan terancam bahaya, dengan melupakan kebodohan sendiri akupun lalu terjun ke dalam perkelahian dan untung dapat melarikanmu.”

Bi Lan mengangguk-angguk.
“Kalau begitu engkau seorang pendekar! Siapakah namamu?”

Girang hati Hong Beng. Sejak tadi dia ingin sekali berkenalan dengan nona ini, akan tetapi tidak berani bertanya nama. Sekarang gadis itu menanyakan namanya, berarti mereka menjadi kenalan dan dia tentu akan mendengar tentang keadaan nona yang menarik hatinya ini.

“Namaku Gu Hong Beng, nona. Dan siapa kau, nona?”

“Aku Can Bi Lan, tapi guru-guruku dan suciku menyebut aku Siauw-kwi.”

Hong Beng tertawa.
“Aihh, guru-gurumu dan sucimu tentu hanya berkelakar. Masa orang seperti nona ini disebut Iblis Cilik?”

“Benar, aku disebut Siauw-kwi. Kami semua memakai sebutan Iblis. Aku Iblis Cilik, suciku disebut Iblis Cantik, dan tiga orang guru kami dikenal sebagai Tiga Iblis.“

“Kau maksudkan.... Sam Kwi....?”

“Benar. Aku dan suci adalah murid-murid Sam Kwi yang terdiri dari Raja Iblis Hitam, Iblis Akhirat, dan Iblis Mayat Hidup....“

“Ahh....! Ohhh....” Hong Beng terbelalak.

“Kenapa kau ber-ah-oh seperti gagu?”

“Aku pernah mendengar bahwa Sam Kwi adalah tiga datuk kaum sesat yang namanya pernah menggegerkan dunia persilatan di barat dan selatan.”

“Benar, habis mengapa?”

“Nona....”

“Nanti dulu! Jemu aku mendengar engkau menyebutku nona-nona segala macam. Namaku Bi Lan dan engkau boleh menyebutku Bi Lan atau Siauw-kwi, terserah, akan tetapi jangan nona-nonaan!”

Hong Beng mengangguk-angguk. Kini sikap Bi Lan itu tidak dianggapnya lucu lagi. Pantas sikapnya demikian liar, kiranya gadis ini murid Sam Kwi.

“Bi Lan, kalau sucimu itu murid Sam Kwi, memang tepat. Akan tetapi siapa mau percaya bahwa engkau murid Sam Kwi? Engkau begini.... begini.... polos, jujur dan baik. Sukar dipercaya bahwa kau murid Tiga Iblis itu.”

“Percaya atau tidak terserah. Dan bagaimanapun juga, Sam Kwi adalah tiga orang tua yang menyelamatkan aku, menjadi pengganti orang tuaku, guru-guruku, dan amat sayang kepadaku.”

Hong Beng menggeleng kepala perlahan. Sungguh luar biasa.
“Menurut pendengaranku, Sam Kwi adalah tiga orang datuk kaum sesat yang amat kejam dan jahat. Dan engkau, yang menjadi muridnya, begini baik dan menganggap mereka sebagai orang-orang yang demikian baiknya. Luar biasa. Apakah kau sejak kecil menjadi murid mereka, Bi Lan?”

Gadis itu mengangguk. Wataknya memang polos dan kasar, walaupun kekasaran yang tadinya liar itu sudah menjadi jinak dan tahu aturan semenjak ia digembleng oleh suami isteri sakti Kao Kok Cu dan Wan Ceng.

“Ketika aku berusia sepuluh tahun, aku bersama ayah dan ibu melarikan diri dari selatan karena di sana ada perang pemberontakan yang dibantu pasukan-pasukan Birma. Di tengah perjalanan kami dihadang pasukan Birma yang jahat dan ayah ibu tewas oleh mereka. Aku diselamatkan oleh Sam Kwi dan sejak itu aku diambil murid mereka yang ke dua.”

Menceritakan ini, Bi Lan teringat akan kematian orang tuanya dan wajahnya diselimuti awan kedukaan.

“Ah, nasibmu sungguh buruk, Bi Lan. Engkau kehilangan orang tuamu sejak kecil dan terjatuh ke dalam tangan tiga orang datuk sesat yang jahat.”

Betapapun jahatnya Sam Kwi, Bi Lan tidak menganggap mereka jahat, apalagi karena ia tahu betapa besar rasa sayang mereka kepadanya dan betapa ia telah diselamatkan oleh mereka. Karena itu, mendengar celaan ini, ia merasa tidak senang dan seketika kedukaannya hilang. Bagi murid Sam Kwi memang tidak boleh tenggelam ke dalam kedukaan, demikian ajaran mereka.

“Ketiga suhuku tidak jahat!” bantahnya. “Sudahlah, Hong Beng. Engkau minta aku bicara tentang diriku saja, sedangkan engkau belum bercerita tentang dirimu. Engkau tentu seorang pendekar, bukan?”

Hong Beng menggeleng kepala dan alisnya berkerut.
“Tidak banyak perbedaan antara nasibmu dan nasibku, Bi Lan. Ketika aku berusia sebelas tahun, terjadi malapetaka menimpa ayah ibuku. Mereka tewas di tangan pembesar di Siang-nam. Aku sendiri hampir mereka bunuh, akan tetapi muncul seorang pendekar sakti yang menyelamatkan aku dan kemudian aku diambil sebagai murid. Guruku itu bernama Suma Ciang Bun, seorang pendekar keluarga Pulau Es”

“Ihhh....!”

Bi Lan meloncat bangkit ke belakang dan memandang tajam. Melihat sikap gadis itu, Hong Beng terkejut dan diapun bangkit berdiri.

“Kenapa, Bi Lan?” Hong Beng bertanya heran dan khawatir.

“Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dia adalah musuh besar tiga orang guruku! Bahkan dahulu suci diutus oleh mereka untuk mencari pendekar itu dan untuk membalaskan sakit hati mereka karena mereka pernah dikalahkan oleh pendekar itu. Akan tetapi sayang, pendekar itu telah meninggal dunia. Jadi engkau termasuk murid Pulau Es?”

“Suhuku adalah cucu dari Pendekar Super Sakti yang bernama Suma Han, akan tetapi menurut suhu, Pulau Es sudah lenyap bersama kakek itu. Aku belum pernah melihat Pulau Es. Bi Lan, kuharap engkau sebagai murid Sam Kwi tidak akan memusuhi anak murid Pulau Es yang tidak tahu menahu tentang permusuhan antara tiga orang suhumu dengan mendiang Pendekar Super Sakti.”

Bi Lan menggeleng kepala.
“Aku tidak pernah berjanji kepada mereka untuk memusuhi keturunan Pulau Es. Akan tetapi suci yang pernah berkata bahwa ia akan membasmi semua keturunan Pulau Es untuk membalaskan kekalahan Sam Kwi. Hemm, kiranya engkau masih murid dari cucu pendekar itu, pantas engkau lihai dan engkaupun berwatak pendekar. Hong Beng, aku tidak memusuhimu, hanya terkejut mendengar engkau murid keluarga Pulau Es. Belum kau ceritakan, engkau dari mana dan hendak pergi ke mana.”