“Aku diutus oleh suhu untuk suatu tugas penting di kota raja, akan tetapi aku lebih dulu pergi ke selatan untuk mengunjungi makam ayah ibuku. Malam tadi aku bermalam di makam itu dan pagi tadi kebetulan bertemu dengan engkau dengan sucimu. Dan engkau sendiri, hendak pergi ke manakah?”
“Aku dan suci juga menerima tugas dari Sam Kwi untuk mencari dan merampas kembali sebuah pusaka. Sebetulnya, suci yang melaksanakan tugas-tugas itu, dan aku sudah berjanji untuk membantu suci.”
“Satu lagi pertanyaanku, Bi Lan. Pedangmu itu....! Sungguh mati aku merasa ngeri melihat pedang itu. Sebuah pedang pusaka yang luar biasa, mengandung hawa yang menyeramkan. Apakah pedang itu pemberian Sam Kwi kepadamu?”
Bi Lan meraba gagang pedang di balik bajunya dan tersenyum. Manisnya kalau ia tersenyum!
“Bukan, Hong Beng. Ini pemberian atau lebih tepat lagi, dipinjamkan oleh subo kepadaku.”
“Subomu? Ah, maksudmu tentu isteri seorang di antara Sam Kwi.”
“Bukan! Belum kuceritakan tadi kepadamu bahwa selain Sam Kwi, aku masih mempunyai seorang suhu dan subo lain yang sama sekali tak boleh disamakan dengan Sam Kwi. Mereka adalah penolong-penolongku dan juga guru-guruku yang sangat kuhormati. Ketahuilah, ketika aku menjadi murid Sam Kwi, yang melatih aku dalam ilmu silat bukan Sam Kwi sendiri melainkan suciku, Bi-kwi. Dan suci telah sengaja melatih aku secara keliru, menyelewengkan latihan-latihan itu sehingga aku hampir menjadi gila karena keliru latihan. Untung aku bertemu dengan suhu dan subo itu yang mengobatiku, dan melatihku selama setengah tahun. Dan ketika kami saling berpisah, subo memberi pinjam pedangnya ini dan kelak aku akan mengembalikannya kepada mereka di Istana Gurun Pasir.”
Kini Hong Beng melonjak kaget, matanya terbelalak memandang wajah gadis itu.
“Apa kau bilang tadi? Istana Gurun Pasir? Gurumu itu....?”
“Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya.”
“Ahhh....! Aku telah bersikap kurang hormat....!” Hong Beng lalu menjura kepada Bi Lan.
Gadis itu tertawa.
”Hi-hik, apa-apaan kau ini Hong Beng? Apakah penghormatan itu dilakukan karena sebuah nama?”
“Tentu saja. Nama besar dan nama baik mendatangkan perasaan menghormat. Kiranya engkau menjadi murid pula dari locianpwe Kao Kok Cu yang sakti! Luar biasa sekali! Suhuku pernah bercerita kepadaku tentang pendekar sakti itu yang membuat hatiku kagum bukan main. Bahkan suhu memesan kepadaku agar aku pergi mencari puteranya yang bernama Kao Cin Liong. Akan tetapi bagaimana pedang milik isteri pendekar sakti itu begitu.... begitu.... mengerikan?”
“Subo juga mengatakan bahwa pedang ini bukan pedang sembarangan dan memiliki hawa yang mengerikan, namanya Ban-tok-kiam dan subo melarang aku menggunakan pedang ini sembarangan saja, hanya boleh dipergunakan untuk membela diri. Memang hebat dan kurasa umurnya sudah amat tua. Lihat, bukankah pedang ini hebat bukan main?”
Dicabutnya pedang Ban-tok-kiam itu dari sarungnya dan Hong Beng merasa bulu tengkuknya meremang melihat sinar pedang yang hijau kehitaman dan mengandung hawa menyeramkan itu. Dengan ngeri dia membayangkan entah sudah berapa banyak darah manusia diminum pedang ini, dan entah berapa banyak nyawa diantar ke alam baka.
“Omitohud....! Pedang yang hebat!”
Tiba-tiba saja terdengar suara orang dan tahu-tahu di depan Bi Lan sudah berdiri seorang kakek bertubuh tinggi besar gendut, berkepala gundul dan mengenakan jubah yang biasa dipakai oleh pendeta Lama dari Tibet, yaitu jubah yang berkotak-kotak kuning dan merah. Sukar menaksir berapa usia kakek ini.
Selain tubuhnya yang tinggi besar dengan perut gendut itu amat menarik perhatian, juga wajahnya seperti seekor singa, penuh cambang bauk dan brewok, amat berlawanan dengan kepalanya yang dicukur kelimis. Muka itu benar-benar mirip muka singa, dan yang lebih mengerikan lagi, bulu atau rambut di mukanya itu, yang sebenarnya adalah cambang, kumis dan jenggot, berwarna agak kuning dan mengkilap seperti benang sutera emas. Sepasang matanya mencorong dan mulutnya lebar tersenyum penuh ejekan.
Hong Beng merasa terkejut bukan main. Kakek yang melihat pakaiannya tentu seorang pendeta Lama dari Tibet ini dapat muncul begitu saja tanpa diketahuinya, bahkan Bi Lan agaknya juga tidak tahu. Tiba-tiba saja kakek itu muncul di dekat mereka. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa kakek itu tentu seorang yang memiliki kepandaian tinggi sekali.
“Omitohud.... pusaka yang bagus sekali....” kembali kakek itu berkata dan kakinya melangkah ke arah Bi Lan.
“Bi Lan, hati-hati....! ”
Hong Beng berseru dan menerjang ke depan ketika dia melihat pendeta itu membuat gerakan aneh. Namun terlambat. Nampak bayangan merah dan tahu-tahu jubah lebar kakek itu sudah meluncur dan seperti sebuah jala, jubah itu menerkam ke arah Bi Lan.
Gadis ini gelagapan karena tidak dapat melihat apa-apa dan tiba-tiba saja ada sebuah tangan yang amat kuat, dengan jari-jari besar panjang, telah mencengkeram tangan kanannya yang memegang gagang pedang. Seperti akan patah-patah semua jari tangannya ketika dicengkeram tangan itu.
“Aku dan suci juga menerima tugas dari Sam Kwi untuk mencari dan merampas kembali sebuah pusaka. Sebetulnya, suci yang melaksanakan tugas-tugas itu, dan aku sudah berjanji untuk membantu suci.”
“Satu lagi pertanyaanku, Bi Lan. Pedangmu itu....! Sungguh mati aku merasa ngeri melihat pedang itu. Sebuah pedang pusaka yang luar biasa, mengandung hawa yang menyeramkan. Apakah pedang itu pemberian Sam Kwi kepadamu?”
Bi Lan meraba gagang pedang di balik bajunya dan tersenyum. Manisnya kalau ia tersenyum!
“Bukan, Hong Beng. Ini pemberian atau lebih tepat lagi, dipinjamkan oleh subo kepadaku.”
“Subomu? Ah, maksudmu tentu isteri seorang di antara Sam Kwi.”
“Bukan! Belum kuceritakan tadi kepadamu bahwa selain Sam Kwi, aku masih mempunyai seorang suhu dan subo lain yang sama sekali tak boleh disamakan dengan Sam Kwi. Mereka adalah penolong-penolongku dan juga guru-guruku yang sangat kuhormati. Ketahuilah, ketika aku menjadi murid Sam Kwi, yang melatih aku dalam ilmu silat bukan Sam Kwi sendiri melainkan suciku, Bi-kwi. Dan suci telah sengaja melatih aku secara keliru, menyelewengkan latihan-latihan itu sehingga aku hampir menjadi gila karena keliru latihan. Untung aku bertemu dengan suhu dan subo itu yang mengobatiku, dan melatihku selama setengah tahun. Dan ketika kami saling berpisah, subo memberi pinjam pedangnya ini dan kelak aku akan mengembalikannya kepada mereka di Istana Gurun Pasir.”
Kini Hong Beng melonjak kaget, matanya terbelalak memandang wajah gadis itu.
“Apa kau bilang tadi? Istana Gurun Pasir? Gurumu itu....?”
“Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya.”
“Ahhh....! Aku telah bersikap kurang hormat....!” Hong Beng lalu menjura kepada Bi Lan.
Gadis itu tertawa.
”Hi-hik, apa-apaan kau ini Hong Beng? Apakah penghormatan itu dilakukan karena sebuah nama?”
“Tentu saja. Nama besar dan nama baik mendatangkan perasaan menghormat. Kiranya engkau menjadi murid pula dari locianpwe Kao Kok Cu yang sakti! Luar biasa sekali! Suhuku pernah bercerita kepadaku tentang pendekar sakti itu yang membuat hatiku kagum bukan main. Bahkan suhu memesan kepadaku agar aku pergi mencari puteranya yang bernama Kao Cin Liong. Akan tetapi bagaimana pedang milik isteri pendekar sakti itu begitu.... begitu.... mengerikan?”
“Subo juga mengatakan bahwa pedang ini bukan pedang sembarangan dan memiliki hawa yang mengerikan, namanya Ban-tok-kiam dan subo melarang aku menggunakan pedang ini sembarangan saja, hanya boleh dipergunakan untuk membela diri. Memang hebat dan kurasa umurnya sudah amat tua. Lihat, bukankah pedang ini hebat bukan main?”
Dicabutnya pedang Ban-tok-kiam itu dari sarungnya dan Hong Beng merasa bulu tengkuknya meremang melihat sinar pedang yang hijau kehitaman dan mengandung hawa menyeramkan itu. Dengan ngeri dia membayangkan entah sudah berapa banyak darah manusia diminum pedang ini, dan entah berapa banyak nyawa diantar ke alam baka.
“Omitohud....! Pedang yang hebat!”
Tiba-tiba saja terdengar suara orang dan tahu-tahu di depan Bi Lan sudah berdiri seorang kakek bertubuh tinggi besar gendut, berkepala gundul dan mengenakan jubah yang biasa dipakai oleh pendeta Lama dari Tibet, yaitu jubah yang berkotak-kotak kuning dan merah. Sukar menaksir berapa usia kakek ini.
Selain tubuhnya yang tinggi besar dengan perut gendut itu amat menarik perhatian, juga wajahnya seperti seekor singa, penuh cambang bauk dan brewok, amat berlawanan dengan kepalanya yang dicukur kelimis. Muka itu benar-benar mirip muka singa, dan yang lebih mengerikan lagi, bulu atau rambut di mukanya itu, yang sebenarnya adalah cambang, kumis dan jenggot, berwarna agak kuning dan mengkilap seperti benang sutera emas. Sepasang matanya mencorong dan mulutnya lebar tersenyum penuh ejekan.
Hong Beng merasa terkejut bukan main. Kakek yang melihat pakaiannya tentu seorang pendeta Lama dari Tibet ini dapat muncul begitu saja tanpa diketahuinya, bahkan Bi Lan agaknya juga tidak tahu. Tiba-tiba saja kakek itu muncul di dekat mereka. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa kakek itu tentu seorang yang memiliki kepandaian tinggi sekali.
“Omitohud.... pusaka yang bagus sekali....” kembali kakek itu berkata dan kakinya melangkah ke arah Bi Lan.
“Bi Lan, hati-hati....! ”
Hong Beng berseru dan menerjang ke depan ketika dia melihat pendeta itu membuat gerakan aneh. Namun terlambat. Nampak bayangan merah dan tahu-tahu jubah lebar kakek itu sudah meluncur dan seperti sebuah jala, jubah itu menerkam ke arah Bi Lan.
Gadis ini gelagapan karena tidak dapat melihat apa-apa dan tiba-tiba saja ada sebuah tangan yang amat kuat, dengan jari-jari besar panjang, telah mencengkeram tangan kanannya yang memegang gagang pedang. Seperti akan patah-patah semua jari tangannya ketika dicengkeram tangan itu.
Pada saat itu, Hong Beng yang sudah menaruh curiga namun karena gerakan kakek itu amat cepat sehingga dia kalah dulu, sudah menyerang dengan tamparan yang kuat ke arah leher kakek itu. Kakek itu menggunakan tangan kiri mencengkeram tangan Bi Lan, sedangkan lengan kanannya digerakkan untuk menangkis tamparan Hong Beng.
“Dukk....!”
Tubuh Hong Beng terpelanting dan dia hampir roboh. Pemuda itu terkejut bukan main dan meloncat ke samping. Sementara itu, Bi Lan tak mampu mempertahankan pedangnya yang sudah berpindah tangan. Ketika kakek itu menarik kembali jubahnya sedangkan pedang sudah berpindah ke tangan kirinya, Bi Lan menyerang dengan marah, menggunakan pukulan Sin-liong Ciang-hwat. Kakek itu, sambil mengamati pedang dengan mulut menyeringai, hanya mengangkat lengan kanan menangkis.
“Dukk....!” Akibatnya, tubuh Bi Lan terdorong ke belakang, akan tetapi juga kakek itu terhuyung.
“Omitohud....! Kalian ini orang-orang muda yang hebat. Dan pedang ini hebat pula. Apa namanya tadi? Ban-tok-kiam? Pedang yang bagus!”
Dia mengamati pedang itu dengan wajah gembira sekali. Hong Beng dan Bi Lan sudah memasang kuda-kuda, menghadang kakek itu dari kanan dan kiri.
“Orang tua, kembalikan pedangku!” Bi Lan membentak dan memandang marah.
“Locianpwe, harap suka mengembalikan pusaka itu kepada pemiliknya.”
Hong Beng juga membujuk, bicara dengan sopan karena dia dapat menduga bahwa pendeta ini tentu seorang sakti yang agaknya kagum dan tertarik melihat Ban-tok-kiam.
“Ha-ha-ha.....!”
Kakek itu tertawa dan dua orang muda itu terkejut dan cepat mengerahkan sin-kangnya. Suara ketawa kakek itu mengandung getaran hebat seperti auman seekor singa marah!
”Bantok-kiam ini hanya pantas berada di tangan Sai-cu Lama, ha-ha-ha....!”
Suara ketawanya yang terakhir semakin hebat dan kuat getarannya sehingga dua orang muda itu sampai menahan napas memperkuat pengerahan sin-kang mereka.
“Wuutt.... singg-singg....!”
Nampak sinar hitam berkelebatan ketika kakek itu menggerakkan Ban-tok-kiam ke kanan kiri. Hong Beng dan Bi Lan terpaksa meloncat mundur karena Ban-tok-kiam memang hebat sekali, apalagi digerakkan dengan tenaga yang demikian besarnya.
Mereka siap siaga untuk merampas kembali pedang itu, namun mereka berhati-hati karena maklum bahwa kakek itu lihai bukan main. Dan kakek itu sambil tertawa-tawa agaknya memandang rendah mereka dan mengobat-abitkan pedang itu ke kanan kiri seperti orang yang menakut-nakuti anak kecil.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara melenking panjang, datangnya dari jauh sekali, akan tetapi suara lengkingan itu terdengar begitu jelas dan mendadak saja wajah pendeta Lama yang mengaku bernama atau berjuluk Sai-cu Lama (Pendeta Lama Singa) itu nampak terkejut dan pandang matanya liar diarahkan ke bawah lereng bukit dari mana suara itu datang.
“Demi iblis neraka! Dia sudah datang lagi!” katanya lirih dan tiba-tiba saja dia melompat ke belakang.
“Hei, kembalikan pedangku!”
Bi Lan mengejar, akan tetapi tiba-tiba kakek itu menyambutnya dengan serangan Ban-tok-kiam yang ditusukkan ke arah perut gadis itu.
Bi Lan cepat mengelak, akan tetapi kakek itu sudah melompat dan berlari cepat sekali, menghilang ke dalam hutan di sebelah barat lereng itu. Bi Lan bersama Hong Beng melakukan pengejaran, akan tetapi biarpun mereka sudah mencari-cari sampai lama, kakek yang merampas Ban-tok-kiam itu tak nampak lagi bayangannya.
“Celaka....!” Bi Lan hampir menangis, marah sekali dan membanting-banting kaki kanannya sampai tanah di depannya itu melesak ke bawah. “Pusaka pinjaman dari subo itu telah dirampas iblis tua bangka tadi. Celaka....!”
“Tenanglah, Bi Lan. Setidaknya kita sudah mengenal nama julukannya. Sai-cu Lama, nama yang asing bagiku. Dan dia adalah seorang pendeta, agaknya dia tidak bermaksud buruk, hanya meminjam pusaka itu karena tertarik, dan tidak akan merampasnya begitu saja. Aku percaya bahwa sebagai seorang pendeta, dia akan mengembalikan pusaka itu. Tadi dia pergi karena terkejut mendengar suara melengking itu, entah siapa yang membuatnya begitu kaget dan ketakutan.”
“Kalau aku tidak percaya! Aku tidak percaya kepada segala macam pendeta. Biasanya, jubah pendeta itu hanya untuk kedok agar kejahatannya tidak nampak.” Gadis itu cemberut. ”Buktinya, begitu jumpa dia sudah merampas pedangku. Kalau dia tidak ingin merampas, mengapa tadi dia menyerang kita? Bahkan tusukannya yang terakhir tadi amat berbahaya dan kalau aku tidak cepat mengelak, tentu aku sudah mati. Tidak, dia bukan manusia baik-baik.”
Hong Beng tidak mau membantah karena dia tahu bahwa gadis itu sedang jengkel dan marah.
“Aku akan membantumu mencari pendeta itu dan minta kembali pusakamu. Biarpun aku belum mengenal nama Sai-cu Lama, akan tetapi seorang dengan ilmu kepandaian setinggi itu tentu dikenal di dunia kang-ouw dan aku akan menyelidiki di mana aku dapat mencarinya.”
“Aku harus cepat melapor kepada subo kalau aku tidak mampu merampasnya kembali. Ah, subo tentu akan kecewa dan marah kepadaku.“ Dengan cemberut Bi Lan dan Hong Beng lalu keluar dari dalam hutan itu.
“Sstttt!”
Tiba-tiba Hong Beng berbisik dan menuding ke depan. Dari tempat mereka berdiri, di luar hutan itu, mereka melihat seorang kakek berkepala gundul sedang berjalan perlahan-lahan menuruni lereng.
“Keparat, tentu dia orangnya....!” Bi Lan berteriak dan cepat gadis ini melompat ke depan dan melakukan pengejaran.
“Bi Lan, nanti dulu....!”
Hong Beng berseru dan terpaksa mengejar pula dengan cepat karena dia tidak ingin gadis itu salah tangan. Dari jauh dia sudah melihat bahwa biarpun orang yang baru berjalan menuruni lereng itu juga berkepala gundul, akan tetapi jubahnya yang lebar itu berwarna kuning, bukan kotak-kotak merah kuning seperti yang dipakai oleh Sai-cu Lama tadi.
Kini Bi Lan sudah tiba di dekat kakek gundul itu dan tanpa banyak cakap lagi ia sudah mengirim pukulan dari samping. Hebat sekali pukulan gadis ini, karena saking marahnya, ia sudah mengeluarkan satu di antara pukulan yang oleh subonya sudah dipesan agar tidak sembarangan mempergunakannya, seperti juga pedangnya, yaitu Ilmu Pukulan Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun). Itulah sebuah pukulan yang dilakukan dengan pengerahan sin-kang tertentu, tidak terlalu keras nampaknya, akan tetapi pukulan ini mengandung hawa beracun yang sudah merendam tangan Bi Lan ketika dilatih oleh subonya!
“Wuuuttt....!”
Nampaknya kakek gundul itu hanya bergerak sedikit saja, akan tetapi, nyatanya pukulan Bi Lan itu hanya mengenai tempat kosong.
“Bi Lan, tahan dulu....!” Hong Beng yang sudah tiba di situ cepat memegang lengan gadis itu. ”Lihat, dia bukanlah pendeta tadi!”
Bi Lan juga sudah tahu bahwa orang itu bukanlah Sai-cu Lama. Dia seorang kakek berkepala gundul, bertubuh sedang dan masih tegap walaupun usianya tentu sekitar tujuhpuluh tahun. Jubahnya berwarna kuning, melibat-libat tubuh yang memakai pakaian serba putih dari kain kasar. Seorang pendeta yang sederhana, matanya tajam dan mulutnya seperti tersenyum mengejek. Dia berdiri dan memandang dua orang muda di depannya itu dengan sinar mata penuh selidik.
“Dia juga seorang yang berjubah pendeta, tentu lihai seperti tadi. Mungkin sekutunya! Para pendeta itu memang bersekutu dan saling bantu dalam melakukan kejahatan. Orang tua jahat, kembalikan pedangku!”
Bi Lan kembali menyerang dan melihat sepasang mata pendeta itu demikian tajam dan mulutnya tersenyum mengejek, timbul juga kesan buruk dalam hati Hong Beng dan diapun membantu Bi Lan menyerang.
Kalau Bi Lan kini menggunakan pukulan dari Ilmu Sin-liong Ciang-hoat, Hong Beng yang dapat menduga akan kelihaian pendeta ini, juga sudah menggunakan tenaganya dan menyerang dengan ilmu ampuh dari Pulau Es, yaitu Hong-in Bun-hoat! Ilmu ini adalah ilmu silat yang amat halus dan indah gerakannya, sesuai dengan namanya, Silat Sastera Awan dan Angin!
Tubuhnya bergerak perlahan, kedua tangannya membuat coretan-coretan di udara seperti menulis huruf, akan tetapi jari-jari tangan itu merupakan alat menyerang yang amat ampuh. Kakek pendeta itu nampak kaget juga menghadapi serangan gadis dan pemuda itu.
“Dari mana bocah-bocah tolol ini menguasai ilmu-ilmu ini!”
Bentaknya dan diapun cepat bergerak ke belakang untuk mengelak, kemudian tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking panjang, jari-jari tangannya bergerak seperti ujung-ujung pedang membalas serangan dua orang muda itu sehingga Bi Lan dan Hong Beng terkejut dan cepat berloncatan ke belakang karena serangan balasan pendeta itu benar-benar hebat.
Akan tetapi yang lebih mengejutkan hati mereka adalah suara melengking tadi karena mereka teringat bahwa Sai-cu Lama tadipun seperti orang lari terbirit-birit karena terkejut dan takut mendengar suara melengking ini.
Melihat dua orang muda itu tertegun, kakek itu lalu mengangkat tangan kanan ke atas.
”Omitohud, kalian ini bocah-bocah sungguh lancang, mempergunakan ilmu-ilmu yang demikian tinggi dan pilihan hanya untuk menyerang seorang tua tanpa sebab. Sungguh keji!”
Wajah Hong Beng sudah menjadi merah sekali karena malu dan menyesal. Memang sungguh tidak patut menyerang seorang kakek tua renta, berpakaian pendeta pula, tanpa sebab yang jelas. Akan tetapi Bi Lan memandang kakek itu dengan mata melotot, marah sekali.
“Engkau ini kakek berpakaian pendeta, tentu jahat seperti yang lain! Kepala gundul dan jubahmu itu hanya sebagai kedok untuk menutupi kejahatanmu!” Bi Lan berkata dengan suara lantang.
“Omitohud....!” Kakek pendeta itu berkata lirih dan tersenyum geli. ”Betapa cocok pendapatmu itu dengan pendapatku ketika aku masih muda dahulu. Akan tetapi engkau keliru, nona, seperti kelirunya kebanyakan orang. Ada yang beranggapan bahwa semua pendeta adalah manusia-manusia baik karena mereka itu beribadat dan mentaati agama, sebagian pula menyatakan bahwa mereka hanyalah munafik-munafik. Ada yang beranggapan bahwa golongan ini baik dan golongan itu tidak baik. Semua anggapan itu tidak benar sama sekali. Baik tidaknya seorang manusia tergantung dari diri manusia itu sendiri, bukan dari agamanya, golongannya, bangsanya, kedudukannya dan sebagainya.
Kalau ada seorang beragama yang menyeleweng, bukan agamanya melainkan manusianya itulah yang menyeleweng. Agama, kepandaian, kedudukan, golongan, bangsa, semua itu hanya merupakan pelengkap saja, pelengkap kebutuhan hidup bermasyarakat. Baik buruknya segalanya itu adalah si manusia itu sendiri yang menentukan. Jadi, mungkin saja ada seorang pendeta yang menyeleweng, akan tetapi juga tidak kurang yang benar-benar hidup saleh. Jangan menyamaratakan saja karena setiap orang manusia itu memiliki tingkat kesadarannya masing-masing walaupun kedudukannya mungkin sama.”
Hong Beng sudah dapat menduga bahwa pendeta ini tidak sama dengan yang tadi, bahkan melihat sikap Sai-cu Lama tadi, yang kelihatan ketakutan mendengar suara melengking yang jelas dikeluarkan oleh hwesio ini, mungkin di antara mereka terdapat suatu pertentangan. Maka diapun cepat menyentuh lengan Bi Lan dan dia memberi hormat kepada kakek itu.
“Harap locianpwe sudi memaafkan kami orang-orang muda yang kurang pengalaman dan bertindak lancang terhadap locianpwe. Hendaknya locianpwe ketahui bahwa sikap kami itu adalah karena baru saja kami bertemu dengan seorang pendeta seperti locianpwe yang telah merampas pedang pusaka milik sahahat saya ini. Karena itu tadi kami mengira bahwa locianpwe adalah sahahat pendeta itu.”
Kakek itu mengangguk-angguk dan tersenyum mengejek. Kiranya senyum khas ini adalah kebiasaannya, bukan karena dia memang hendak mengejek.
”Seorang pendeta Lama yang mukanya seperti singa?”
“Benar dia!” Bi Lan berseru. ”Dia mengaku bernama Sai-cu Lama!”
“Omitohud....! Sungguh masih beruntung bagi kalian, telah bertemu dengan dia akan tetapi hanya kehilangan pedang saja. Biasanya dia tidak mau bekerja kepalang tanggung, dan jarang ada orang dapat lolos dari tangan mautnya.”
“Tadipun kami didesaknya dengan pukulan-pukulan maut dan entah apa yang akan terjadi dengan kami kalau dia tidak tiba-tiba melarikan diri setelah mendengar suara melengking yang agaknya dikeluarkan oleh locianpwe.” kata Hong Beng dengan jujur.
“Locianpwe, di mana kami dapat mencari si muka singa itu? Aku harus bisa menemukannya dan merampas kembali pedangku yang diambilnya tadi,” kata Bi Lan, kini tidak lagi memaki-maki kakek itu karena iapun sadar bahwa kakek ini bukan sahahat Sai-cu Lama tadi.
“Omitohud.... ! tidak mudah mengejarnya. Pinceng sendiri sudah mengejarnya sejak dari Tibet sampai di sini dan belum juga berhasil menangkapnya. Kalau kalian ingin menemukannya, kalian harus pergi ke kota raja karena ke sanalah dia pergi”
“Kota raja? Wah, perjalanan yang jauh sekali dan kebetulan akupun hendak ke sana, Bi Lan. Mari kita kejar dia dan kita bersama pergi ke kota raja.”
“Biarpun dia lari ke neraka sekalipun akan kukejar. Aku harus dapat merebut kembali pedang pusaka itu, Hong Beng. Kalau tidak, bagaimana aku akan dapat menghadap subo?”
“Omitohud, muda-mudi yang malang, bertemu dengan manusia iblis Sai-cu Lama. Kalau kalian tidak membawa senjata pusaka yang menarik hatinya, biasanya diapun tidak mau gatal tangan mengganggu orang tanpa sebab. Pinceng melihat pukulan-pukulan yang luar biasa ketika kalian menyerang pinceng tadi. Orang muda, apakah engkau masih ada hubungan dengan keluarga Pulau Es?”
Hong Beng terkejut dan makin yakinlah hatinya bahwa dia berhadapan dengan seorang yang berilmu tinggi, yang demikian tajam pandang matanya sehingga baru satu jurus dia tadi memainkan Hong-in Bun-hoat, kakek ini sudah dapat ”mencium” ilmu dari keluarga Pulau Es! Maka diapun cepat memberi hormat lagi.
“Sesungguhnya, guru saya adalah seorang anggauta keluarga Pulau Es, locianpwe.”
“Aha! Siapakah gurumu itu, orang muda?”
“Suhu bernama Suma Ciang Bun,”
“She Suma? Ha-ha, benar sekali. Dia tentu putera Suma Kian Lee atau Suma Kian Bu.”
Girang sekali hati Hong Beng. Kiranya kakek ini malah mengenal keluarga Pulau Es!
“Suhu adalah putera sukong Suma Kian Lee.”
“Omitohud....! Benar kiranya bahwa dunia ini tidak begitu besar kalau orang mempunyai banyak kenalan. Berpisah dari Suma Kian Lee sejak muda, sekarang tahu-tahu bertemu dengan murid dari puteranya. Dan kau, nona muda? Dua kali pukulanmu tadi mengingatkan pinceng akan ilmu mujijat dari Gurun Pasir.“
“Mereka adalah suhu dan subo!” Bi Lan berseru. ”Suhu adalah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir!”
“Omitohud....! Engkau yang begini muda menjadi murid Kao Kok Cu dan Wan Ceng? Luar biasa sekali! Ha-ha-ha-ha, makin sempit saja dunia ini. Akan tetapi, nona muda. Kalau engkau benar murid mereka, bagaimana sampai pedang dari tanganmu dapat terampas oleh Sai-cu Lama? Walaupun dia memang lihai sekali, akan tetapi agaknya tidak akan mudah mengalahkan murid suami isteri dari Istana Gurun Pasir!”
Wajah Bi Lan berubah merah karena ucapan itu merupakan celaan kepadanya dan harus diakuinya bahwa ia menjadi murid suami isteri sakti itu hanya selama setengah tahun saja. Ia seorang yang jujur dan ia tidak mau menurunkan harga diri dari suami isteri yang amat baik kepadanya itu, maka iapun cepat berkata,
“Andaikata aku belajar ilmu dari suhu dan subo sejak kecil, tentu sekali tonjok saja si muka singa itu akan mampus di tanganku!”
Timbul kembali sifat kasar dan liarnya berkat ajaran Sam Kwi sehingga kakek itu memandang dengan mata lebar.
”Akan tetapi sayang, hanya setengah tahun saja aku dilatih oleh Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya, dan sebelum itu aku menjadi murid Sam Kwi selama tujuh tahun.”
Kembali kakek itu terbelalak.
”Kau maksudkan Raja Iblis Hitam, Iblis Akhirat dan Iblis Mayat Hidup itu?”
“Eh, locianpwe, agaknya locianpwe mengenal semua orang!” Bi Lan kini bertanya kaget dan heran. ”Memang benar mereka itu guru-guruku.”
Kakek itu menggaruk-garuk kepalanya yang gundul bersih.
”Omitohud....!” Dia cepat merangkap kedua tangan untuk menghentikan kebiasaannya di waktu muda yang sampai tua masih sukar dilenyapkan itu. ”Bagaimana mungkin orang menjadi murid Sam Kwi dan murid pendekar lengan tunggal Kao Kok Cu? Dan kau tadi bicara tentang pedang pusaka? Jangan-jangan pedang Ban-tok-kiam milik Wan Ceng pula yang kau bicarakan itu.”
Kini Bi Lan terbelalak.
”Wah, Locianpwe ini orang apa sih? Bagaimana bisa tahu segala hal? Memang benar pedang yang dirampas muka singa itu adalah Ban-tok-kiam milik subo yang dipinjamkan kepadaku!”
“Siancai, siancai, siancai....! Bagaimana Wan Ceng begitu bodoh untuk meminjamkan pedang itu kepada muridnya yang masih begini hijau? “
“Locianpwe, jangan menghina orang!”
“Siapa menghina orang? Pinceng bicara benar. Kau tahu, malapetaka hebat telah terjadi. Kalau tidak memiliki pusaka ampuh, Sai-cu Lama masih tidak begitu membahayakan. Akan tetapi kini Ban-tok-kiam berada di tangannya! Sama saja dengan seekor singa buas tumhuh sayap. Celaka. celaka!”
“Locianpwe, kami mohon petunjuk.”
Hong Beng cepat berkata untuk menengahi karena juga agaknya dia tidak menghendaki Bi Lan bersikap kasar terhadap kakek yang ternyata selain sakti, juga mengenal banyak tokoh di dunia kang-ouw itu.
“Karena pedang Ban-tok-kiam milik Wan Ceng yang dirampasnya, pincengpun berkewajiban untuk merebutnya kembali. Nona muda, kalau bertemu subomu, katakan bahwa pinceng kelak akan mengantarkan Ban-tok-kiam ke Istana Gurun Pasir kalau berhasil merampasnya dari tangan Sai-cu!”
Setelah berkata demikian, kakek itu berkelebat dan lenyap dari situ dengan kecepatan yang mentakjubkan!
“Locianpwe, siapa engkau? Bagaimana aku harus melapor kepada subo?” teriak Bi Lan penasaran sambil melihat ke bawah lereng di mana nampak bayangan kakek itu kecil sekali, tanda dia sudah pergi jauh.
“Dukk....!”
Tubuh Hong Beng terpelanting dan dia hampir roboh. Pemuda itu terkejut bukan main dan meloncat ke samping. Sementara itu, Bi Lan tak mampu mempertahankan pedangnya yang sudah berpindah tangan. Ketika kakek itu menarik kembali jubahnya sedangkan pedang sudah berpindah ke tangan kirinya, Bi Lan menyerang dengan marah, menggunakan pukulan Sin-liong Ciang-hwat. Kakek itu, sambil mengamati pedang dengan mulut menyeringai, hanya mengangkat lengan kanan menangkis.
“Dukk....!” Akibatnya, tubuh Bi Lan terdorong ke belakang, akan tetapi juga kakek itu terhuyung.
“Omitohud....! Kalian ini orang-orang muda yang hebat. Dan pedang ini hebat pula. Apa namanya tadi? Ban-tok-kiam? Pedang yang bagus!”
Dia mengamati pedang itu dengan wajah gembira sekali. Hong Beng dan Bi Lan sudah memasang kuda-kuda, menghadang kakek itu dari kanan dan kiri.
“Orang tua, kembalikan pedangku!” Bi Lan membentak dan memandang marah.
“Locianpwe, harap suka mengembalikan pusaka itu kepada pemiliknya.”
Hong Beng juga membujuk, bicara dengan sopan karena dia dapat menduga bahwa pendeta ini tentu seorang sakti yang agaknya kagum dan tertarik melihat Ban-tok-kiam.
“Ha-ha-ha.....!”
Kakek itu tertawa dan dua orang muda itu terkejut dan cepat mengerahkan sin-kangnya. Suara ketawa kakek itu mengandung getaran hebat seperti auman seekor singa marah!
”Bantok-kiam ini hanya pantas berada di tangan Sai-cu Lama, ha-ha-ha....!”
Suara ketawanya yang terakhir semakin hebat dan kuat getarannya sehingga dua orang muda itu sampai menahan napas memperkuat pengerahan sin-kang mereka.
“Wuutt.... singg-singg....!”
Nampak sinar hitam berkelebatan ketika kakek itu menggerakkan Ban-tok-kiam ke kanan kiri. Hong Beng dan Bi Lan terpaksa meloncat mundur karena Ban-tok-kiam memang hebat sekali, apalagi digerakkan dengan tenaga yang demikian besarnya.
Mereka siap siaga untuk merampas kembali pedang itu, namun mereka berhati-hati karena maklum bahwa kakek itu lihai bukan main. Dan kakek itu sambil tertawa-tawa agaknya memandang rendah mereka dan mengobat-abitkan pedang itu ke kanan kiri seperti orang yang menakut-nakuti anak kecil.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara melenking panjang, datangnya dari jauh sekali, akan tetapi suara lengkingan itu terdengar begitu jelas dan mendadak saja wajah pendeta Lama yang mengaku bernama atau berjuluk Sai-cu Lama (Pendeta Lama Singa) itu nampak terkejut dan pandang matanya liar diarahkan ke bawah lereng bukit dari mana suara itu datang.
“Demi iblis neraka! Dia sudah datang lagi!” katanya lirih dan tiba-tiba saja dia melompat ke belakang.
“Hei, kembalikan pedangku!”
Bi Lan mengejar, akan tetapi tiba-tiba kakek itu menyambutnya dengan serangan Ban-tok-kiam yang ditusukkan ke arah perut gadis itu.
Bi Lan cepat mengelak, akan tetapi kakek itu sudah melompat dan berlari cepat sekali, menghilang ke dalam hutan di sebelah barat lereng itu. Bi Lan bersama Hong Beng melakukan pengejaran, akan tetapi biarpun mereka sudah mencari-cari sampai lama, kakek yang merampas Ban-tok-kiam itu tak nampak lagi bayangannya.
“Celaka....!” Bi Lan hampir menangis, marah sekali dan membanting-banting kaki kanannya sampai tanah di depannya itu melesak ke bawah. “Pusaka pinjaman dari subo itu telah dirampas iblis tua bangka tadi. Celaka....!”
“Tenanglah, Bi Lan. Setidaknya kita sudah mengenal nama julukannya. Sai-cu Lama, nama yang asing bagiku. Dan dia adalah seorang pendeta, agaknya dia tidak bermaksud buruk, hanya meminjam pusaka itu karena tertarik, dan tidak akan merampasnya begitu saja. Aku percaya bahwa sebagai seorang pendeta, dia akan mengembalikan pusaka itu. Tadi dia pergi karena terkejut mendengar suara melengking itu, entah siapa yang membuatnya begitu kaget dan ketakutan.”
“Kalau aku tidak percaya! Aku tidak percaya kepada segala macam pendeta. Biasanya, jubah pendeta itu hanya untuk kedok agar kejahatannya tidak nampak.” Gadis itu cemberut. ”Buktinya, begitu jumpa dia sudah merampas pedangku. Kalau dia tidak ingin merampas, mengapa tadi dia menyerang kita? Bahkan tusukannya yang terakhir tadi amat berbahaya dan kalau aku tidak cepat mengelak, tentu aku sudah mati. Tidak, dia bukan manusia baik-baik.”
Hong Beng tidak mau membantah karena dia tahu bahwa gadis itu sedang jengkel dan marah.
“Aku akan membantumu mencari pendeta itu dan minta kembali pusakamu. Biarpun aku belum mengenal nama Sai-cu Lama, akan tetapi seorang dengan ilmu kepandaian setinggi itu tentu dikenal di dunia kang-ouw dan aku akan menyelidiki di mana aku dapat mencarinya.”
“Aku harus cepat melapor kepada subo kalau aku tidak mampu merampasnya kembali. Ah, subo tentu akan kecewa dan marah kepadaku.“ Dengan cemberut Bi Lan dan Hong Beng lalu keluar dari dalam hutan itu.
“Sstttt!”
Tiba-tiba Hong Beng berbisik dan menuding ke depan. Dari tempat mereka berdiri, di luar hutan itu, mereka melihat seorang kakek berkepala gundul sedang berjalan perlahan-lahan menuruni lereng.
“Keparat, tentu dia orangnya....!” Bi Lan berteriak dan cepat gadis ini melompat ke depan dan melakukan pengejaran.
“Bi Lan, nanti dulu....!”
Hong Beng berseru dan terpaksa mengejar pula dengan cepat karena dia tidak ingin gadis itu salah tangan. Dari jauh dia sudah melihat bahwa biarpun orang yang baru berjalan menuruni lereng itu juga berkepala gundul, akan tetapi jubahnya yang lebar itu berwarna kuning, bukan kotak-kotak merah kuning seperti yang dipakai oleh Sai-cu Lama tadi.
Kini Bi Lan sudah tiba di dekat kakek gundul itu dan tanpa banyak cakap lagi ia sudah mengirim pukulan dari samping. Hebat sekali pukulan gadis ini, karena saking marahnya, ia sudah mengeluarkan satu di antara pukulan yang oleh subonya sudah dipesan agar tidak sembarangan mempergunakannya, seperti juga pedangnya, yaitu Ilmu Pukulan Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun). Itulah sebuah pukulan yang dilakukan dengan pengerahan sin-kang tertentu, tidak terlalu keras nampaknya, akan tetapi pukulan ini mengandung hawa beracun yang sudah merendam tangan Bi Lan ketika dilatih oleh subonya!
“Wuuuttt....!”
Nampaknya kakek gundul itu hanya bergerak sedikit saja, akan tetapi, nyatanya pukulan Bi Lan itu hanya mengenai tempat kosong.
“Bi Lan, tahan dulu....!” Hong Beng yang sudah tiba di situ cepat memegang lengan gadis itu. ”Lihat, dia bukanlah pendeta tadi!”
Bi Lan juga sudah tahu bahwa orang itu bukanlah Sai-cu Lama. Dia seorang kakek berkepala gundul, bertubuh sedang dan masih tegap walaupun usianya tentu sekitar tujuhpuluh tahun. Jubahnya berwarna kuning, melibat-libat tubuh yang memakai pakaian serba putih dari kain kasar. Seorang pendeta yang sederhana, matanya tajam dan mulutnya seperti tersenyum mengejek. Dia berdiri dan memandang dua orang muda di depannya itu dengan sinar mata penuh selidik.
“Dia juga seorang yang berjubah pendeta, tentu lihai seperti tadi. Mungkin sekutunya! Para pendeta itu memang bersekutu dan saling bantu dalam melakukan kejahatan. Orang tua jahat, kembalikan pedangku!”
Bi Lan kembali menyerang dan melihat sepasang mata pendeta itu demikian tajam dan mulutnya tersenyum mengejek, timbul juga kesan buruk dalam hati Hong Beng dan diapun membantu Bi Lan menyerang.
Kalau Bi Lan kini menggunakan pukulan dari Ilmu Sin-liong Ciang-hoat, Hong Beng yang dapat menduga akan kelihaian pendeta ini, juga sudah menggunakan tenaganya dan menyerang dengan ilmu ampuh dari Pulau Es, yaitu Hong-in Bun-hoat! Ilmu ini adalah ilmu silat yang amat halus dan indah gerakannya, sesuai dengan namanya, Silat Sastera Awan dan Angin!
Tubuhnya bergerak perlahan, kedua tangannya membuat coretan-coretan di udara seperti menulis huruf, akan tetapi jari-jari tangan itu merupakan alat menyerang yang amat ampuh. Kakek pendeta itu nampak kaget juga menghadapi serangan gadis dan pemuda itu.
“Dari mana bocah-bocah tolol ini menguasai ilmu-ilmu ini!”
Bentaknya dan diapun cepat bergerak ke belakang untuk mengelak, kemudian tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking panjang, jari-jari tangannya bergerak seperti ujung-ujung pedang membalas serangan dua orang muda itu sehingga Bi Lan dan Hong Beng terkejut dan cepat berloncatan ke belakang karena serangan balasan pendeta itu benar-benar hebat.
Akan tetapi yang lebih mengejutkan hati mereka adalah suara melengking tadi karena mereka teringat bahwa Sai-cu Lama tadipun seperti orang lari terbirit-birit karena terkejut dan takut mendengar suara melengking ini.
Melihat dua orang muda itu tertegun, kakek itu lalu mengangkat tangan kanan ke atas.
”Omitohud, kalian ini bocah-bocah sungguh lancang, mempergunakan ilmu-ilmu yang demikian tinggi dan pilihan hanya untuk menyerang seorang tua tanpa sebab. Sungguh keji!”
Wajah Hong Beng sudah menjadi merah sekali karena malu dan menyesal. Memang sungguh tidak patut menyerang seorang kakek tua renta, berpakaian pendeta pula, tanpa sebab yang jelas. Akan tetapi Bi Lan memandang kakek itu dengan mata melotot, marah sekali.
“Engkau ini kakek berpakaian pendeta, tentu jahat seperti yang lain! Kepala gundul dan jubahmu itu hanya sebagai kedok untuk menutupi kejahatanmu!” Bi Lan berkata dengan suara lantang.
“Omitohud....!” Kakek pendeta itu berkata lirih dan tersenyum geli. ”Betapa cocok pendapatmu itu dengan pendapatku ketika aku masih muda dahulu. Akan tetapi engkau keliru, nona, seperti kelirunya kebanyakan orang. Ada yang beranggapan bahwa semua pendeta adalah manusia-manusia baik karena mereka itu beribadat dan mentaati agama, sebagian pula menyatakan bahwa mereka hanyalah munafik-munafik. Ada yang beranggapan bahwa golongan ini baik dan golongan itu tidak baik. Semua anggapan itu tidak benar sama sekali. Baik tidaknya seorang manusia tergantung dari diri manusia itu sendiri, bukan dari agamanya, golongannya, bangsanya, kedudukannya dan sebagainya.
Kalau ada seorang beragama yang menyeleweng, bukan agamanya melainkan manusianya itulah yang menyeleweng. Agama, kepandaian, kedudukan, golongan, bangsa, semua itu hanya merupakan pelengkap saja, pelengkap kebutuhan hidup bermasyarakat. Baik buruknya segalanya itu adalah si manusia itu sendiri yang menentukan. Jadi, mungkin saja ada seorang pendeta yang menyeleweng, akan tetapi juga tidak kurang yang benar-benar hidup saleh. Jangan menyamaratakan saja karena setiap orang manusia itu memiliki tingkat kesadarannya masing-masing walaupun kedudukannya mungkin sama.”
Hong Beng sudah dapat menduga bahwa pendeta ini tidak sama dengan yang tadi, bahkan melihat sikap Sai-cu Lama tadi, yang kelihatan ketakutan mendengar suara melengking yang jelas dikeluarkan oleh hwesio ini, mungkin di antara mereka terdapat suatu pertentangan. Maka diapun cepat menyentuh lengan Bi Lan dan dia memberi hormat kepada kakek itu.
“Harap locianpwe sudi memaafkan kami orang-orang muda yang kurang pengalaman dan bertindak lancang terhadap locianpwe. Hendaknya locianpwe ketahui bahwa sikap kami itu adalah karena baru saja kami bertemu dengan seorang pendeta seperti locianpwe yang telah merampas pedang pusaka milik sahahat saya ini. Karena itu tadi kami mengira bahwa locianpwe adalah sahahat pendeta itu.”
Kakek itu mengangguk-angguk dan tersenyum mengejek. Kiranya senyum khas ini adalah kebiasaannya, bukan karena dia memang hendak mengejek.
”Seorang pendeta Lama yang mukanya seperti singa?”
“Benar dia!” Bi Lan berseru. ”Dia mengaku bernama Sai-cu Lama!”
“Omitohud....! Sungguh masih beruntung bagi kalian, telah bertemu dengan dia akan tetapi hanya kehilangan pedang saja. Biasanya dia tidak mau bekerja kepalang tanggung, dan jarang ada orang dapat lolos dari tangan mautnya.”
“Tadipun kami didesaknya dengan pukulan-pukulan maut dan entah apa yang akan terjadi dengan kami kalau dia tidak tiba-tiba melarikan diri setelah mendengar suara melengking yang agaknya dikeluarkan oleh locianpwe.” kata Hong Beng dengan jujur.
“Locianpwe, di mana kami dapat mencari si muka singa itu? Aku harus bisa menemukannya dan merampas kembali pedangku yang diambilnya tadi,” kata Bi Lan, kini tidak lagi memaki-maki kakek itu karena iapun sadar bahwa kakek ini bukan sahahat Sai-cu Lama tadi.
“Omitohud.... ! tidak mudah mengejarnya. Pinceng sendiri sudah mengejarnya sejak dari Tibet sampai di sini dan belum juga berhasil menangkapnya. Kalau kalian ingin menemukannya, kalian harus pergi ke kota raja karena ke sanalah dia pergi”
“Kota raja? Wah, perjalanan yang jauh sekali dan kebetulan akupun hendak ke sana, Bi Lan. Mari kita kejar dia dan kita bersama pergi ke kota raja.”
“Biarpun dia lari ke neraka sekalipun akan kukejar. Aku harus dapat merebut kembali pedang pusaka itu, Hong Beng. Kalau tidak, bagaimana aku akan dapat menghadap subo?”
“Omitohud, muda-mudi yang malang, bertemu dengan manusia iblis Sai-cu Lama. Kalau kalian tidak membawa senjata pusaka yang menarik hatinya, biasanya diapun tidak mau gatal tangan mengganggu orang tanpa sebab. Pinceng melihat pukulan-pukulan yang luar biasa ketika kalian menyerang pinceng tadi. Orang muda, apakah engkau masih ada hubungan dengan keluarga Pulau Es?”
Hong Beng terkejut dan makin yakinlah hatinya bahwa dia berhadapan dengan seorang yang berilmu tinggi, yang demikian tajam pandang matanya sehingga baru satu jurus dia tadi memainkan Hong-in Bun-hoat, kakek ini sudah dapat ”mencium” ilmu dari keluarga Pulau Es! Maka diapun cepat memberi hormat lagi.
“Sesungguhnya, guru saya adalah seorang anggauta keluarga Pulau Es, locianpwe.”
“Aha! Siapakah gurumu itu, orang muda?”
“Suhu bernama Suma Ciang Bun,”
“She Suma? Ha-ha, benar sekali. Dia tentu putera Suma Kian Lee atau Suma Kian Bu.”
Girang sekali hati Hong Beng. Kiranya kakek ini malah mengenal keluarga Pulau Es!
“Suhu adalah putera sukong Suma Kian Lee.”
“Omitohud....! Benar kiranya bahwa dunia ini tidak begitu besar kalau orang mempunyai banyak kenalan. Berpisah dari Suma Kian Lee sejak muda, sekarang tahu-tahu bertemu dengan murid dari puteranya. Dan kau, nona muda? Dua kali pukulanmu tadi mengingatkan pinceng akan ilmu mujijat dari Gurun Pasir.“
“Mereka adalah suhu dan subo!” Bi Lan berseru. ”Suhu adalah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir!”
“Omitohud....! Engkau yang begini muda menjadi murid Kao Kok Cu dan Wan Ceng? Luar biasa sekali! Ha-ha-ha-ha, makin sempit saja dunia ini. Akan tetapi, nona muda. Kalau engkau benar murid mereka, bagaimana sampai pedang dari tanganmu dapat terampas oleh Sai-cu Lama? Walaupun dia memang lihai sekali, akan tetapi agaknya tidak akan mudah mengalahkan murid suami isteri dari Istana Gurun Pasir!”
Wajah Bi Lan berubah merah karena ucapan itu merupakan celaan kepadanya dan harus diakuinya bahwa ia menjadi murid suami isteri sakti itu hanya selama setengah tahun saja. Ia seorang yang jujur dan ia tidak mau menurunkan harga diri dari suami isteri yang amat baik kepadanya itu, maka iapun cepat berkata,
“Andaikata aku belajar ilmu dari suhu dan subo sejak kecil, tentu sekali tonjok saja si muka singa itu akan mampus di tanganku!”
Timbul kembali sifat kasar dan liarnya berkat ajaran Sam Kwi sehingga kakek itu memandang dengan mata lebar.
”Akan tetapi sayang, hanya setengah tahun saja aku dilatih oleh Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya, dan sebelum itu aku menjadi murid Sam Kwi selama tujuh tahun.”
Kembali kakek itu terbelalak.
”Kau maksudkan Raja Iblis Hitam, Iblis Akhirat dan Iblis Mayat Hidup itu?”
“Eh, locianpwe, agaknya locianpwe mengenal semua orang!” Bi Lan kini bertanya kaget dan heran. ”Memang benar mereka itu guru-guruku.”
Kakek itu menggaruk-garuk kepalanya yang gundul bersih.
”Omitohud....!” Dia cepat merangkap kedua tangan untuk menghentikan kebiasaannya di waktu muda yang sampai tua masih sukar dilenyapkan itu. ”Bagaimana mungkin orang menjadi murid Sam Kwi dan murid pendekar lengan tunggal Kao Kok Cu? Dan kau tadi bicara tentang pedang pusaka? Jangan-jangan pedang Ban-tok-kiam milik Wan Ceng pula yang kau bicarakan itu.”
Kini Bi Lan terbelalak.
”Wah, Locianpwe ini orang apa sih? Bagaimana bisa tahu segala hal? Memang benar pedang yang dirampas muka singa itu adalah Ban-tok-kiam milik subo yang dipinjamkan kepadaku!”
“Siancai, siancai, siancai....! Bagaimana Wan Ceng begitu bodoh untuk meminjamkan pedang itu kepada muridnya yang masih begini hijau? “
“Locianpwe, jangan menghina orang!”
“Siapa menghina orang? Pinceng bicara benar. Kau tahu, malapetaka hebat telah terjadi. Kalau tidak memiliki pusaka ampuh, Sai-cu Lama masih tidak begitu membahayakan. Akan tetapi kini Ban-tok-kiam berada di tangannya! Sama saja dengan seekor singa buas tumhuh sayap. Celaka. celaka!”
“Locianpwe, kami mohon petunjuk.”
Hong Beng cepat berkata untuk menengahi karena juga agaknya dia tidak menghendaki Bi Lan bersikap kasar terhadap kakek yang ternyata selain sakti, juga mengenal banyak tokoh di dunia kang-ouw itu.
“Karena pedang Ban-tok-kiam milik Wan Ceng yang dirampasnya, pincengpun berkewajiban untuk merebutnya kembali. Nona muda, kalau bertemu subomu, katakan bahwa pinceng kelak akan mengantarkan Ban-tok-kiam ke Istana Gurun Pasir kalau berhasil merampasnya dari tangan Sai-cu!”
Setelah berkata demikian, kakek itu berkelebat dan lenyap dari situ dengan kecepatan yang mentakjubkan!
“Locianpwe, siapa engkau? Bagaimana aku harus melapor kepada subo?” teriak Bi Lan penasaran sambil melihat ke bawah lereng di mana nampak bayangan kakek itu kecil sekali, tanda dia sudah pergi jauh.