Ads

Rabu, 30 Desember 2015

Suling Naga Jilid 028

“Katakan Tiong Khi Hwesio yang bicara. Ha-haha!” Terdengar suara lapat-lapat disusul suara melengking tinggi nyaring seperti tadi.

Sejenak dua orang itu diam saja, masih terpesona oleh kehadiran kakek pendeta aneh itu. Akhirnya Hong Beng menarik napas panjang.

”Sungguh hebat! Dalam sekejap mata saja kita bertemu dengan dua orang kakek yang demikian lihainya. Aku yakin bahwa kalau Sai-cu Lama seorang tokoh jahat sekali, sebaliknya Tiong Khi Hwesio itu tentu seorang tokoh tua di dunia persilatan yang agaknya tidak asing dengan keluarga Pulau Es dan dengan penghuni Istana Gurun Pasir. Bahkan agaknya dia mengenal baik subomu dan juga sukongku. Sungguh aneh.”

“Kalau saja dia menepati janjinya dan dapat berhasil merebut Ban-tok-kiam. Kalau tidak, bagaimana aku berani menghadap subo?”

“Jangan khawatir, Bi Lan. Bukankah locianpwe tadi mengatakan bahwa untuk bisa menjumpai Sai-cu Lama, kita harus pergi ke kota raja? Mari kita pergi ke sana, sekalian aku harus menunaikan tugas yang diberikan suhu kepadaku di sana.”

“Tugas apakah itu? kenapa harus ke kota raja?“ Bi Lan bertanya.

Karena dia tidak begitu percaya lagi akan kelihaian pendengarannya, yang terbukti dengan munculnya Sai-cu Lama yang tidak diketahuinya, maka Hong Beng menoleh ke kanan kiri sebelum menjawab. Setelah merasa yakin bahwa di situ tidak ada lain orang, dia berkata lirih,

“Ini merupakan rahasia, Bi Lan, akan tetapi aku percaya kepadamu. Aku ditugaskan ke kota raja untuk melakukan penyelidikan atas diri seorang pembesar tinggi yang dikabarkan kini mempunyai pengaruh yang amat luas di istana dan bahkan mempengaruhi kekuasaan kaisar, mempengaruhi jalannya pemerintahan. Kabarnya pembesar itu mempunyai niat buruk. Aku harus berhati-hati karena pembesar itu dibantu orang-orang pandai. Bahkan suhu memesan kepadaku agar aku lebih dahulu minta keterangan dari bekas Panglima Kao Cin Liong, yaitu putera tunggal gurumu, Kao Kok Cu, dan juga minta bantuan dari susiok Suma Ceng Liong, adik dari suhu. Nah, karena aku pergi ke kota raja dan engkaupun agaknya harus ke sana untuk mendapatkan kembali pedang subomu, maka sebaiknya kita pergi bersama. Dengan berdua, kita akan lebih kuat dalam menghadapi kesukaran di perjalanan, bukan?”

Bi Lan mengerutkan alisnya.
“Aku sendiri tidak tahu akan pergi kemana setelah aku lari dari suci. Aku hanya mempunyai satu tugas, yaitu mencari pusaka yang sudah kujanjikan kepada suci.”

“Pusaka lagi? Pusaka apakah itu?”

“Pusaka itupun sebuah pedang, akan tetapi pedang pusaka yang menurut Sam Kwi amat penting artinya. Namanya Liong-siauw-kiam, yang usianya sudah ribuan tahun, terbuat dari pada kayu yang diukir menjadi suling berbentuk naga yang indah, keras seperti baja karena direndam obat-obatan rahasia jaman dahulu. Pusaka itu bisa ditiup seperti suling, akan tetapi juga dapat dipergunakan sebagai pedang. Dan sepasang mata naga itu terbuat dari batu permata yang tak ternilai harganya. Pusaka itu dahulu pernah menjadi lambang raja-raja Bangsa Khitan, dan kemudian jatuh ke tangan Kaisar Jengis Khan dan menjadi pusaka kerajaan. Akan tetapi kemudian jatuh ke tangan susiok dari Sam Kwi yang bernama Pek-bin Lo-sian. Pusaka itu turun-temurun berada di tangan perguruan Sam Kwi, akan tetapi celakanya, Pek-bin Lo-sian tidak mau menyerahkan pusaka itu kepada Sam Kwi malah memberikannya kepada seorang pendekar!”

“Eh, aneh sekali!” kata Hong Beng.

“Karena itu, Sam Kwi mengutus suci dan aku untuk mencari pusaka itu dan merampasnya kembali dari tangan pendekar itu.”

“Dan siapakah pendekar itu?”

“Menurut suci, julukannya adalah Suling Naga, mungkin karena dia kini memiliki senjata Liong-siauw-kiam itu, dan katanya dia lihai bukan main. Aku harus mencari Pendekar Suling Naga itu dan merampas pusaka itu seperti sudah kujanjikan kepada suci!”

“Biarpun sucimu telah mengkhianatimu dan bahkan hampir membunuhmu dengan jarum beracun?”

“Janji tetap janji. Ia pernah menolongku dan aku sudah berjanji kepadanya, harus kupenuhi!”

Diam-diam Hong Beng kagum bukan main. Jarang ada orang yang berhati teguh seperti gadis ini.

”Baiklah, akupun akan membantumu mendapatkan kembali Liong-siauw-kiam. Wah, dengan begini kita harus merampas dua batang pedang pusaka, Ban-tok kiam dan Liong-siauw-kiam!”

“Kalau kau keberatan, jangan membantu. Aku pun tidak minta bantuanmu, Hong Beng!” kata gadis itu dengan ketus.

“Eh, eh, mengapa marah? Tentu saja aku suka sekali membantumu, Bi Lan. Nasib kita sama. Kita sama-sama yatim piatu, tiada sanak saudara. Dan nasib pula yang mempertemukan kita di sini, sejak di warung nasi itu. Marilah kita bekerja sama dan saling bantu, karena perjalanan ke kota raja bukanlah perjalanan yang dekat.”

Mereka berdua lalu menuruni lereng itu dan hati Bi Lan yang tadinya kecewa dan murung karena kehilangan Ban-tok-kiam, mulai terhibur sehingga dalam waktu beberapa hari saja, sudah pulih kembali sikapnya yang gembira dan jenaka.

Kalau saja dua orang muda itu mengenal siapa adanya Tiong Khi Hwesio, tentu mereka akan terkejut dan tidak merasa aneh lagi mengapa hwesio itu mengenal tokoh-tokoh keluarga Pulau Es, bahkan mengenal baik kakek Kao Kok Cu dan nenek Wan Ceng.

Tiong Khi Hwesio bukanlah orang sembarangan. Di waktu mudanya, dia pernah menjadi seorang pendekar yang bersama-sama keturunan keluarga Pulau Es pernah menggegerkan dunia persilatan. Di waktu dia muda dahulu, nama Wan Tek Hoat dengan julukannya Si Jari Maut amat terkenal, bahkan mengguncangkan dunia persilatan dengan wataknya yang keras dan kadang-kadang aneh. Dan diapun bukan keturunan sembarangan.






Ayahnya yang bernama Wan Keng In adalah putera nenek Lulu yang kemudian menjadi isteri ke dua dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Jadi, pendekar sakti itu adalah ayah tirinya. Ilmu kepandaian Wan Tek Hoat ini hebat sekali, sejajar dengan kepandaian para keluarga Pulau Es. Dia pernah digembleng oleh Sai-cu Lo-mo, seorang kakek sakti, kemudian ilmu kepandaiannya meningkat dengan amat hebatnya ketika dia mewarisi kitab-kitab dari Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauwjin dari Pulau Neraka! Para pembaca seri cerita JODOH RAJAWALI dan selanjutnya dapat mengikuti riwayat Wan Tek Hoat yang amat hebat itu.

Kemudian, setelah mengalami kepahitan-kepahitan cinta asmara yang gagal, akhirnya dia berhasil juga menjadi suami wanita yang sejak semula telah dicintanya, yaitu Puteri Syanti Dewi, puteri negeri Bhutan. Bahkan sebagai mantu raja, Wan Tek Hoat terkenal sekali di Bhutan, membantu kerajaan itu dengan ilmu kepandaiannya, melatih para perwira, bahkan dia pernah berjasa sebagai panglima kerajaan menumpas kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di negara itu.

Dia hidup penuh kasih sayang dengan isterinya, dan suami isteri ini mempunyai seorang anak perempuan bernama Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee. Tentu saja suami isteri ini amat sayang kepada puteri mereka karena mereka itu dikurniai seorang anak setelah usia mereka mendekati limapuluh tahun. Dan mengenai Wan Hong Bwee atau Gangga Dewi ini, dapat diikuti riwayatnya di dalam kisah PARA PENDEKAR PULAU ES.

Di dalam perantauannya, Gangga Dewi bertemu dengan Suma Ciang Bun yang jatuh cinta kepadanya, akan tetapi Gangga Dewi tidak membalas cintanya, bahkan melarikan diri kembali ke Bhutan. Kemudian, Wan Hong Bwee menikah dengan seorang pemuda perkasa di Bhutan yang menjadi murid ayahnya sendiri dan mereka hidup berbahagia karena pemuda itupun menjadi seorang panglima Bhutan yang terkenal.

Ketika Wan Tek Hoat berusia hampir tujuhpuluh tahun, dan isterinya hanya dua tahun lebih muda darinya, Syanti Dewi, isteri tercinta itu, meninggal dunia. Hal ini merupakan pukulan batin yang amat hebat bagi Wan Tek Hoat. Biarpun mereka mempunyai seorang puteri yang sudah mempunyai dua orang anak pula, namun kedukaan Wan Tek Hoat tak tertahankan oleh pendekar ini, membuatnya seperti orang gila.

Dia tidak mau lagi kembali ke istana, dan hidup seperti orang gila di dekat makam isterinya! Sampai satu tahun lamanya dia bertapa di dekat makam isterinya, mengharapkan kematian akan segera menjemputnya agar dia dapat bersatu kembali dengan isteri tercinta. Namun, agaknya kematian belum juga mau menyentuhnya dan dia tetap segar bugar setelah setahun hidup di dekat makam.

Semua bujukan dan hiburan Gangga Dewi dan suaminya tidak dapat mencairkan kedukaannya. Bahkan dia marah-marah dan tidak ada orang lain kecuali anaknya dan mantunya itu yang berani mendekati makam itu, apalagi membujuk Wan Tek Hoat yang telah menjadi seorang kakek berusia hampir tujuhpuluh tahun itu. Salah-salah orang yang berani lancang membujuknya akan diserangnya dan celakalah kalau ada orang diserang oleh kakek yang sakti ini.

Akan tetapi pada suatu pagi yang cerah, selagi Wan Tek Hoat seperti biasa duduk termenung di depan makam isterinya, membayangkan segala pengalamannya bersama Syanti Dewi di waktu mereka masih muda, tiba-tiba saja terdengar suara nyanyian seorang laki-laki, suara nyanyian lembut sekali.

Mendengar ada suara orang di dekat situ, muka Wan Tek Hoat sudah menjadi merah dan matanya melotot. Kemarahan sudah menguasai hatinya yang setiap hari tenggelam ke dalam duka itu. Akan tetapi, pendengarannya tak dapat melepaskan kata-kata yang terkandung di dalam nyanyian itu.

Menurut dorongan hatinya yang sudah rusak direndam racun duka selama satu tahun, ingin dia menghampiri orang yang berani bernyanyi-nyanyi di dekat makam itu dan seketika membunuhnya. Akan tetapi, kata-kata dalam nyanyian itu membuat dia tetap duduk terpukau dan mendengarkan.

“Mana lebih baik siang atau malam?
Mana lebih baik hidup atau mati?
Siapa tahu?
Siapa bilang siang lebih indah daripada malam?
Siapa bilang hidup lebih enak dari pada mati?
Tanpa malam takkan ada siang,
tanpa mati takkan ada hidup.
Hidup dan mati tak terpisahkan.
Mati adalah lanjutan hidup,
dan hidup kelanjutan mati.
Mungkinkah meniadakan kematian?
Seperti meniadakan matahari tenggelam!
Bebas dari segala ikatan lahir batin
berarti hidup dalam mati dan mati dalam hidup
selalu senyum bahagia tidak perduli
dalam hidup maupun dalam mati
demikianlah seorang bijaksana sejati!”

Setelah mendengar semua kata-kata dalam nyanyian itu, Wan Tek Hoat mengerutkan alisnya dan diapun meloncat. Sekali tubuhnya melayang, dia sudah tiba di luar tanah kuburan itu dan berhadapan dengan seorang kakek yang berkepala gundul, memakai jubah hwesio, tangan kiri memegang tongkat, lengan kirinya digantungi sebuah keranjang dan tangan kanannya asyik memetik daun-daun obat yang dikumpulkannya di dalam keranjang.

Sekali mengulur tangan, Wan Tek Hoat sudah mencengkeram jubah pendeta itu pada dadanya dan dengan mudah dia mengangkat tubuh pendeta itu ke atas, siap untuk memukul atau membantingnya. Akan tetapi, wajah pendeta yang usianya lebih tua darinya itu nampak tersenyum demikian lembutnya, pandang matanya sama sekali tidak menunjukkan rasa kaget atau takut sehingga timbul keheranan dan kekaguman di hati Wan Tek Hoat.

“Kau bilang hidup dan mati tidak ada bedanya? Bagaimana kalau sekarang kubanting hancur tubuhmu dan nyawamu melayang ke akhirat?” bentaknya dengan suara mengejek.

“Siancai....! Orang lemah batin dan hanya kuat lahir, kau kira kau akan mampu melenyapkan kehidupan? Omitohud, semoga penerangan mengusir kegelapan dalam batinmu. Tubuh ini dapat kau hancurkan, tanpa kau hancurkanpun pada saatnya akan rusak sendiri. Mati hidup bukan urusan kita, akan tetapi mengisi kehidupan dengan kesadaran itulah kewajiban kita. Wahai saudara yang lemah batin, kalau kau anggap bahwa dengan jalan menghancurkan tubuhku ini engkau akan dapat terbebas daripada duka, silahkan. Aku tidak pernah terikat oleh apapun, tidak terikat pula oleh tubuh yang sudah tua dan rapuh ini. Silahkan!”

Mendengar ucapan itu, dan melihat betapa benar-benar kakek yang tua renta ini sama sekali tidak gentar menghadapi ancamannya, seketika kedua lengan Wan Tek Hoat gemetar dan diapun menurunkan kakek itu kembali, lalu dia menutupi muka dengan kedua tangannya.

“Saudara yang kuat lahir namun lemah batin, apa manfaatnya bagimu sendiri atau bagi orang lain atau bagi alam ini kalau engkau menenggelamkan dirimu di dalam lembah duka seperti ini? Mengapa kau biarkan racun kedukaan yang melahirkan kebencian itu menguasai batinmu?”

Air mata menetes-netes turun melalui celah-celah jari tangan Wan Tek Hoat. Dia menangis sesenggukan! Peristiwa ini merupakan hal yang amat luar biasa. Wan Tek Hoat adalah seorang pendekar yang berhati baja. Biasanya, tangis merupakan pantangan besar baginya.

Hatinya tak pernah menyerah dan tidak pernah memperlihatkan kelemahan. Di depan orang lain, sampai matipun dia tentu merasa malu untuk menangis. Akan tetapi kini, mendengar ucapan kakek itu, dia menangis sesenggukan, tak tertahankannya lagi karena air matanya itu seperti air bah yang tadinya terbendung oleh bendungan yang amat kuat.

Akan tetapi kini bendungan itu jebol dan air bah menerjang keluar tak dapat ditahannya lagi. Wan Tek Hoat, pendekar yang pernah dijuluki Si Jari Maut itu kini menangis seperti seorang anak kecil, menutupi muka dengan kedua tangan, terisak-isak, kedua pundaknya terguncang-guncang dan air mata menitik turun melalui celah-celah jari tangannya.

Pendeta berkepala gundul itu membiarkan Wan Tek Hoat menangis seperti anak kecil, memandang sambil tersenyum dan mengangguk-angguk. Kakek yang arif bijaksana ini seolah-olah melihat getaran kekuatan duka ikut terseret keluar melalui banjir air mata itu dan maklumlah dia bahwa tangis yang mendalam ini sedikit banyak akan membebaskan dada si penderita ini dari pada tekanan duka. Tangis akan membebaskan orang dari tekanan duka yang dapat mendatangkan penyakit berat pada tubuh.

Setelah diserang oleh dorongan tangis yang hebat itu, Wan Tek Hoat akhirnya sadar akan keadaan dirinya. Hal ini membuat dia merasa terkejut dan malu, dan cepat dia mengangkat mukanya memandang, karena kemarahan sudah timbul kembali ke dalam hatinya yang keras.

Ketika dia mengangkat muka, pandang matanya yang agak kabur oleh air mata, bertemu dengan wajah yang demikian lembut dan mengandung kasih demikian mendalam, pancaran sinar mata yang demikian halus dan penuh pengertian, dan seketika luluh rasa hati Wan Tek Hoat. Semua kemarahannya lenyap bagaikan api disiram air. Dan pendekar tua yang selamanya tak pernah mau tunduk kepada orang lain itupun menjatuhkan diri berlutut di depan kaki yang bersandal rumput itu.

“Suhu yang budiman, saya mohon petunjuk dan berkah.“

Melihat ini, kakek yang usianya tentu sudah delapanpuluh tahun lebih itu tersenyum, senyum yang tidak bersuara akan tetapi seolah-olah keadaan sekeliling tempat itu ikut terseret dalam senyum bahagia itu.

“Omitohud...., saudaraku yang baik, marilah kita duduk dan bicara dengan baik-baik.”

Diapun lalu duduk di atas rumput, di depan Wan Tek Hoat yang juga sudah duduk bersila. Dengan tenang dan sabar kakek itu meletakkan tongkat dan keranjangnya di kanan kiri tubuhnya, membereskan jubahnya dan duduk bersila dengan tubuh tegak lurus dengan enak sekali, tanda bahwa duduk bersila dengan baik merupakan pekerjaan yang sudah dikuasainya dengan sempurna.

Sejenak mereka duduk berhadapan dan saling berpandangan. Bagi orang-orang yang sudah waspada atau setengah waspada, terdapat suatu hubungan antar manusia tanpa kata. Pandang mata yang didasari sari perasaan yang tercurah sudah cukup mengadakan komunikasi yang mendalam, dan di sini memang kata-kata tidak diperlukan lagi. Akan tetapi, kakek itu melihat betapa batin Wan Tek Hoat masih penuh dengan uap beracun yang dinamakan duka, maka dia menarik napas panjang lagi.

“Omitohud, saudaraku yang baik. Jangan minta petunjuk dari pinceng. Petunjuk sudah ada selengkapnya dan sebijaksana mungkin di sekitar dirimu, di luar dirimu, di dalam dirimu. Engkau hanya tinggal membuka mata, baik mata badan maupun mata batin, membuka dan memandang, mengamati, dan engkau sudah mendapatkan segala macam petunjuk yang kau butuhkan dalam kehidupan ini. Engkau tidak lagi perlu meminta berkah karena kalau engkau mau membuka mata batinmu, akan nampaklah bahwa berkah itu sudah mengalir berlimpahan sejak kita lahir sampai kita mati, tiada putus-putusnya berkah mengalir kepada kita. Kita tinggal mengulur tangan dan meraih saja.

Sayang, betapa banyaknya mata manusia seolah-olah buta, tidak melihat akan limpahan berkah, merengek dan meminta-minta selalu tanpa melihat yang sudah ada. Lihat! Napasku adalah berkah, denyut darahku adalah berkah, kehidupanku adalah berkah, alam semesta adalah berkah. Lalu apa lagi yang harus kita minta? Kita tidak mau melihat itu semua, melainkan merendam diri ke dalam duka, kehilangan, kekecewaan, kesengsaraan. Betapapun bodohnya kita ini!”

Wan Tek Hoat bukanlah seorang anak bodoh, melainkan seorang kakek yang sudah banyak belajar, dan banyak pula mempelajari filsafat dan kitab-kitab suci kuno. Akan tetapi, baru kini dia mendengar ucapan yang begitu sederhana namun menembus batinnya, dan hatinyapun tunduk. Dia maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang yang arif bijaksana, seorang yang patut dijadikan tempat bertanya, seorang yang tidak lagi diperhambakan oleh nafsu-nafsunya dan perasaan-perasaan hatinya.

“Akan tetapi, suhu yang mulia. Saya menderita duka karena kematian isteri saya tercinta. Bukankah hal itupun wajar saja? Saya seorang manusia yang berperasaan, tidak lepas dari pada suka duka, dan saya amat mencinta isteri saya, yang lebih saya cintai dari pada apapun juga di dunia ini. Dan sekarang ia.... ia.... telah meninggal dunia....“

Duka menyesak dadanya sehingga kalimat terakhir itu tersendat-sendat. Kakek itu masih tersenyum dan mengangguk-angguk, lalu mengangkat muka memandang ke arah awan berarak dan kembali dia bernyanyi.

“Anak isteri ini milik saya,
harta benda itu milik saya,
dengan pikiran ini si dungu selalu tersiksa,
dirinya sendiripun bukan miliknya,
apalagi anak isteri dan harta benda?”

Wan Tek Hoat membantah,
”Suhu yang mulia, duka ini datang tanpa saya sengaja, bagaimana akan dapat menghilangkan duka selagi hidup di dunia?”

“Omitohud, perlukah hal ini saudara tanyakan lagi?” kata kakek itu dengan ramah. ”Mempunyai akan tetapi tidak memiliki, itulah orang bijaksana yang tidak akan tersentuh duka.”

“Mempunyai akan tetapi tidak memiliki, bagaimana pula ini, suhu? Bukankah mempunyai sama dengan memiliki?”

“Mempunyai lahiriah, hal itu terikat oleh hukum-hukum lahiriah buatan manusia. Mempunyai badaniah tidak perlu menjadi memiliki batiniah. Keluargaku dengan segala hak dan kewajibannya, hal itu adalah urusan lahiriah yang diperlukan untuk kehidupan bermasyarakat. Akan tetapi, batin tidak perlu memiliki karena sekali batin memiliki, maka akan terjadi ikatan batin dan inilah sumber segala kesengsaraan, sumber segala duka! Harta bendaku hanya kepunyaan badan karena harta benda hanya diperlukan oleh badan. Namun, sekali batin memiliki pula harta benda itu, akan terjadilah kehilangan yang akan mengakibatkan duka dan kesengsaraan. Ingat, hanya dia yang memiliki sajalah yang akan kehilangan.

Batin yang tidak memiliki apa-apa, batin yang bebas dan tidak terikat oleh apapun juga, tidak terikat oleh isteri, oleh anak, keluarga, harta benda dan sebagainya, batin seperti itu bebas dan murni dan takkan tersentuh duka. Lihat, saudaraku yang baik. Badan ini memang punya saya, dan adalah kewajiban saya untuk menjaganya, memeliharanya, membersihkannya, melindunginya. Akan tetapi badan, ini punya saya lahiriah saja. Batin tidak harus memiliki dan terikat karena kewaspadaan bahwa segalanya itu akan berakhir dan ikatan itu hanya menimbulkan duka karena kehilangan dan iba diri. Ikatan batin menumbuhkan akar dan jika tiba saatnya perpisahan, maka akar itu akan tercabut dengan kekerasan sehingga menimbulkan luka berdarah.”

“Akan tetapi, suhu yang mulia, bukankah kalau batin tidak memiliki lalu kita bersikap acuh dan tidak perduli akan segalanya itu? Bagaimana mungkin saya mengacuhkan isteri saya yang amat saya cinta?”

Diserang demikian, kakek itu tersenyum lebar penuh kesabaran seperti seorang guru yang baik hati menghadapi seorang murid yang masih bodoh. Dan memang sesungguhnyalah, menghadapi alam yang menjadi guru, kita manusia ini hanyalah murid-murid yang bodoh, anak-anak kecil yang tubuhnya besar.

“Saudaraku yang baik, justeru karena tidak adanya ikatan batin, maka batin menjadi bebas dan hanya batin yang bebas sajalah yang penuh dengan cinta kasih. Sinar cinta kasih itu akan hidup terus dan dengan adanya sinar cinta kasih, bagaimana mungkin orang menjadi acuh? Sebaliknya, cinta kasih membuat orang penuh perhatian dan waspada terhadap segala-galanya, baik yang terjadi di dalam maupun di luar dirinya.”

“Saya dapat melihat kebenaran dalam semua ucapan suhu. Akan tetapi, saya memang terikat lahir batin dengan isteri saya, dan karena itulah saya menderita dan kehilangan karena kematiannya. Kalau saya tidak mencinta isteri saya, mana mungkin tidak terikat lahir batin saya, suhu?”

“Siancai.... di sinilah letak persimpangan yang membingungkan semua orang. Tentang cinta dan ikatan! Saudaraku, cinta kasih itu hanya ada kalau di situ terdapat kebebasan. Cinta kasih itu kebebasan. Ikatan bahkan meniadakan cinta kasih. Ikatan itu hanya menciptakan duka, dan ikatan itu terjadi karena nafsu, saudaraku! Cinta tidak menimbulkan ikatan, akan tetapi nafsulah yang menimbulkan ikatan. Nafsu timbul karena adanya aku. Cinta kasih yang mengandung ikatan bukanlah cinta kasih, melainkan nafsu yang memakai nama cinta. Dan nafsu itu berarti mencinta diri sendiri. Saudaraku yang baik, apakah saudara mencinta mendiang isteri saudara?”

Mendengar pertanyaan ini, terkejutlah hati Wan Tek Hoat, matanya terbelalak dan sejenak hatinya terasa panas. Ah, betapa tangannya akan bergerak menyerang, mungkin membunuh orang yang berani meragukan cintanya terhadap isterinya! Akan tetapi pertanyaan dari mulut kakek itu dikeluarkan demikian halus dan wajar, sama sekali tidak mengandung ejekan, keraguan atau celaan, bahkan dia merasa seolah-olah batinnya sendiri yang tadi mengajukan pertanyaan.

“Apa.... apa maksud pertanyaan suhu ini?” dia tergagap.

“Maksudku agar engkau melihat sendiri, mengamati sendiri, menjenguk isi hatimu apakah engkau mencinta isterimu, ataukah hanya mencinta diri sendiri,”

“Suhu, tentu saja saya mencinta isteri saya! Ah, suhu tidak tahu betapa besar cinta kasih saya kepada mendiang isteri saya!” Wan Tek Hoat mengemukakan semua pengalamannya bersama isterinya yang dicintanya.

Kakek itu mengangguk-angguk.
”Begitulah anggapan semua orang tentang cinta. Akan tetapi, saudaraku yang baik, marilah kita bersama menyelidiki tentang cinta ini. Kalau benar bahwa engkau mencinta mendiang isterimu, lalu mengapa sekarang engkau menangisi kematiannya, berduka karena kematiannya? Mengapa.?”

Pertanyaan ini mengejutkan hati Wan Tek Hoat dan membuatnya tercengang, sejenak tak mampu menjawab.

”Mengapa? Tentu saja saya menangisi kematiannya karena saya cinta kepadanya, karena saya kehilangan….“

“Nah, berhenti!” Kakek itu mengangkat tangannya menghentikan ucapan Wan Tek Hoat yang belum selasai. ”Itulah, lihat baik-baik dan engkau akan menemukannya. Karena kehilangan! Karena kehilangan isterimu maka engkau berduka, menangis, merasa iba kepada diri sendiri.”

“Tapi.... tapi saya merasa kasihan kepadanya....”

“Saudaraku yang baik. Benarkah itu? Benarkah engkau merasa kasihan kepada isterimu dan karena kasihan itu engkau menangisi kematiannya? Kalau benar demikian, mengapa engkau merasa iba kepadanya? Karena dia mati? Bagaimana mungkin kau dapat mengasihani seseorang yang mati kalau kau sendiri tidak tahu bagaimana keadaan orang setelah mati? Yang jelas, ia telah kehilangan badannya yang menua dan rapuh, tidak merasakan lagi gangguan usia tua, bebas dari penanggungan badannya. Tidak, kalau kita mau jujur, akan nampaklah oleh kita bahwa yang kita tangisi dalam kematian seseorang bukanlah si mati, melainkan diri sendiri.

Kita menangis karena kita ditinggal, karena kita kehilangan sesuatu yang menyenangkan yang kita peroleh dari orang yang kita cinta itu. Cinta tidak mengandung ikatan, dan karena tidak ada ikatan inilah, maka tidak akan ada duka pada saat perpisahan. Dalam kedukaan saudara ini, yang ada bukanlah cinta, melainkan nafsu dan terputusnya ikatan yang mengakar dalam batin. Duka saudara bukan karena cinta kepada yang mati, melainkan karena iba diri sendiri yang ditinggalkan”.

Wan Tek Hoat merasa seolah-olah kepalanya disiram air dingin yang membuatnya gelagapan, akan tetapi juga membuat dia sadar. Hatinya tersentuh keharuan dan diapun menjatuhkan diri berlutut.

“Suhu.... saya dapat melihatnya sekarang. Saya harap suhu sudi memberi bimbingan kepada saya untuk selanjutnya. Saya akan belajar mencari kebebasan.“