Ads

Selasa, 05 Januari 2016

Suling Naga Jilid 041

Ilmu ini adalah ilmu andalan Hek-kwi-ong (Raja Iblis Hitam) dan memang hebat sekali gerakannya. Mula-mula Bi Lan menggunakan jurus Hek-wan Pai-san (Lutung Hitam Mendorong Gunung), dua lengannya itu didorongkan ke arah dada lawan sambil mengerahkan tenaga sin-kang. Hebatnya dari ilmu ini, ketika Sim Houw menarik mundur tubuhnya untuk mengelak, kedua lengan gadis itu masih terus mulur dan kedua tangannya dengan jari-jari terbuka masih menuju ke dada lawan!

Kiranya lengan gadis muda itu dapat memanjang seperti karet. Dan inipun kehebatan dari ilmu yang didapatnya dari ciptaan Hek-kwi-ong. Biarpun kedua lengan Bi Lan tidak dapat memanjang seperti kalau Hek-kwi-ong sendiri yang melakukannya, namun sempat membuat Sim Houw terkejur.

“Ehhh....!”

Serunya ketika di luar perhitungannya, kedua tangan yang sudah dielakkan itu masih mampu mengejar terus. Terpaksa dia menggunakan kelincahan kakinya untuk melangkah ke kiri dan menarik kembali tubuhnya.

Akan tetapi, Bi Lan sudah menyusulkan jurus Hek-wan-hoan-hwa (Lutung Hitam Mencari Bunga) dan kedua tangannya sudah membalik dan kalau tangan kanan mencengkeram ke arah kepala lawan, tangan kiri menghantam ke lambung kanan. Gerakannya cepat dan kedua kakinya berloncatan lincah seperti gerakan seekor lutung.

Ilmu silat ini berbeda dengan Ilmu Silat Kauwkun (Silat Monyet) yang mengandalkan kecepatan, melainkan lebih mengandalkan tenaga sin-kang dan juga keanehan kedua lengan yang dapat memanjang.

Namun kini Sim Houw telah mengetahui keistimewaan kedua lengan yang dapat mulur itu maka menghadapi serangan-serangan Ilmu Silat Hek-wan Sip-pat-ciang itu, diapun mengandalkan kelincahan tubuhnya dan kalau mengelak, ditambahnya jarak mengelak itu sehingga lebih jauh dari biasa.

Dengan demikian, lima kali serangan dari lima jurus yang dipilihnya dari delapan belas jurus Hek-wan Sip-pat-ciang itu gagal mengenai tubuh Pendekar Suling Naga dan Bi Lan cepat sudah mengganti ilmu silatnya. Kini, tanpa banyak cakap lagi ia sudah menyerang dengan lebih dahsyat karena kini kedua kakinya yang melakukan penyerangan.

Bukan serangan biasa, melainkan tendangan-tendangan yang susul-menyusul dan kedua kakinya itu datang dari segenap penjuru menendang, menyepak, mendorong dari samping dari depan dan langsung ke belakang. Kedua kakinya dengan hidup dan cepatnya melakukan serangan bertubi-tubi. Itulah Ilmu Tendangan Pat-hong-twi (Tendangan Delapan Penjuru Angin), keahlian dari Im-kan-kwi ( Iblis Akhirat), orang ke dua dari Sam Kwi.

Kembali Sim Houw kagum, akan tetapi merasa sayang. Tendangan-tendangan itu memang dahsyat, akan tetapi kadang-kadang nampak amat kasar tanpa mengindahkan segi keluwesannya, tanpa memperhitungkan segi keindahan seni tarinya yang terdapat dalam semua gerakan ilmu silat. Kadang-kadang nampak lucu seperti seekor monyet menari-nari.

Akan tetapi dia tidak berani memandang rendah karena dia sudah maklum bahwa biarpun masih muda, ternyata gadis ini memang telah memiliki tingkat ilmu silat yang cukup tinggi. Dia sudah tidak begitu ingat lagi keadaan Bi-kwi beberapa tahun yang lalu ketika menyerangnya, akan tetapi agaknya gadis ini tidak kalah lihai dari sucinya itu.

Ketika Sim Houw menggunakan lengannya menangkis, sambil mengerahkan sin-kangnya, tubuh Bi Lan terhuyung-huyung dan berputaran. Ia terkejut sekali. Ilmu tendangannya itu, begitu tertangkis, membuat tubuhnya terputar kehilangan keseimbangan. Maka dengan gemas ia mengubah lagi ilmu serangannya, sekali ini mengeluarkan Ilmu Hun-kin-tok-ciang! Dari telapak tangannya keluar lagi bunyi berkerotokan dan nampak ada uap agak kehitaman ketika kedua tangan itu bergerak.

Gerakan kaku, seolah-olah kedua lengan gadis itu tidak dapat ditekuk, akan tetapi hebatnya luar biasa karena itulah ilmu silat dari Iblis Mayat Hidup, orang ke tiga dari Sam Kwi. Hun-kin-tok-ciang (Tangan Beracun Putuskan Otot) memang mengandung hawa beracun, dan jari-jari tangan yang nampak kaku itu menotok sana-sini seperti sumpit-sumpit baja yang mampu membikin putus otot tubuh lawan kalau mengenai sasaran.

“Ihhh....!”

Sim Houw mencelat ilmu yang dianggapnya keji ini dan diapun kini menyambut, bukan hanya mengelak terus, melainkan menangkis dan membalas dengan tamparan-tamparan dan tendangan-tendangan untuk merobohkan lawan tanpa melukai hebat.

Akan tetapi, ternyata Bi Lan cukup lincah dan dapat pula menghindarkan diri dari serangan-serangan balasan itu. Dan beberapa jurus kemudian, melihat betapa Ilmu Hun-kin-tok-ciang juga tidak sanggup membuat ia mendesak lawan, ia mempergunakan ilmu simpanannya, yaitu Sam Kwi Cap-sha-kun! Inilah Ilmu Tigabelas Jurus yang diciptakan bersama oleh Sam Kwi setelah mereka bertapa selama satu tahun, ilmu yang sengaja mereka ciptakan untuk menghadapi Pendekar Suling Naga yang menurut penuturan murid mereka amat lihai itu.

Dan kini Sim Houw benar-benar terkejut. Hebat sekali memang ilmu itu. Ketika Bi Lan mulai menyerangnya, dari kedua tangan gadis itu keluar suara bercuitan dan ilmu ini memang mempergunakan tenaga Kiam-ciang (Tangan Pedang), hanya gerakan-gerakan silatnya saja yang mereka susun secara teliti. Dan memang ampuh bukan main. Gerakan-gerakannya aneh, kedua tangan itu tiada ubahnya sepasang pedang yang menyerang dengan kekuatan yang luar biasa.

Sim Houw hampir saja celaka ketika tangan kiri Bi Lan menyambar ke arah lambung. Untung dia masih sempat miringkan tubuhnya dan bajunya terkait robek oleh tangan yang berubah seperti pedang tajamnya itu!

“Aih, engkau sungguh nekat!” bentaknya marah.

“Serahkan Liong-siauw-kiam atau aku akan menyerangmu terus sampai mati!” bentak Bi Lan.

“Srattt....!” pedang kayu berbentuk naga itu dicabut karena Sim Houw merasa kewalahan menghadapi Sam Kwi Cap-sha-ciang. “Inilah pusaka itu, bukan untuk diserahkan kepada siapapun juga, melainkan untuk melawan siapa saja yang berniat buruk.”

Bi Lan melanjutkan serangannya dengan menggunakan Cap-sha-ciang itu, hatinya agak girang karena ternyata ilmu ciptaan tiga orang gurunya ini memang ampuh sehingga lawannya terdesak dan terpaksa mengeluarkan pedang itu. Kalau pedang kayu begitu saja, mana ia takut? Pedang baja saja ia tidak gentar, dapat menggunakan kekebalan Ilmu Kulit Baja yang sudah dipelajarinya dari Im-kan-kwi Apalagi sebatang pedang kayu! Huh, mainan kanak-kanak pikirnya.

“Wir-wirrr....!”

Nampak sinar berkelebatan, sinar hijau kehitaman dan mula-mula terdengar desir angin, akan tetapi kemudian terdengar suara melengking-lengking dan gadis itu menjadi terkejut bukan main. Jurus-jurus Cap-sha-ciang yang hebat itu seketika seperti kacau gerakannya dan iapun merasa tenaganya lemas karena jantungnya tergetar oleh suara suling itu! Baru ia tahu bahwa pusaka itu memang benar-benar hebat dan ampuh, ketika dimainkan oleh pendekar itu seolah-olah ada bayangan seekor naga yang mengamuk sambil melengking-lengking!






Dari pedang itu keluar tenaga yang hebat karena ketika ia dengan nekat mengadu tangannya yang terisi hawa Kiam-ciang (Tangan Pedang) dengan sinar itu, selain merasa tangannya menjadi nyeri, juga tubuhnya terdorong dan hampir saja ia roboh. Dengan marah dan penasaran, gadis itu menyerang lagi dengan tangan kirinya, menebaskan tangan itu ke arah leher lawan.

“Takkk!”

Tangan itu tertangkis pedang suling dan menempel pada senjata itu. Ada tenaga sedot yang luar biasa kuatnya dari suling itu yang membuat tangannya melekat dan betapapun ia hendak menarik tangannya, ia tak berhasil.

“Wuuuuttt....!”

Kini tangan kanannya yang menyambar. Tubuh lawan menyelinap ke arah belakang melalui kanannya.

Bi Lan mengejar dengan hantaman tangan yang mengandung hawa Kiam-ciang ke belakang, akan tetapi tangan kiri lawan menangkap pergelangan tangan kanannya dan tiba-tiba saja tubuhnya ditelikung dengan kedua lengannya ditarik ke belakang oleh lawan yang sudah berada di belakangnya!

Dengan keadaan seperti itu, tentu saja Bi Lan tidak berdaya. Akan tetapi ia adalah murid Sam Kwi yang pernah menerima gemblengan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya, maka ia masih belum kehabisan akal biarpun kedua lengannya sudah ditelikung ke belakang. Tiba-tiba ia mengeluarkan suara bentakan nyaring dan kakinya sudah menyepak ke belakang, lebih kuat dari sepakan seekor kuda! Dan tentu saja kaki itu menuju ke arah selangkangan lawan, tempat yang paling lemah dan berbahaya kalau diserang bagi kaum pria!

Kalau sepakan itu hanya sepakan biasa, tentu Sim Houw masih mampu menangkis dengan lututnya atau mengelak dengan miringkan tubuhnya. Akan tetapi sepakan itu adalah sepakan dari Ilmu Tendangan Pat-hong-twi yang hebat. Memang, kalau Sim Houw mau mendahului, dia bisa merobohkan Bi Lan lebih dahulu sehingga sepakannya kandas di tengah jalan, akan tetapi dia tidak ingin mencelakakan gadis ini, hanya ingin mengalahkannya tanpa melukainya untuk memberi hajaran. Melihat sepakan yang berbahaya ini, tidak ada lain jalan baginya kecuali melepaskan kedua lengan itu dan melompat jauh ke belakang.

Bi Lan cepat membalikkan tubuh. Dengan muka merah saking marahnya, ia mulai memasang kuda-kuda yang aneh. Tubuhnya merendah seperti hendak tiarap dan itulah pembukaan dari Ilmu Sin-liong Ciang-hoat (Ilmu Silat Naga Sakti) yang pernah dia pelajarinya dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir!

Mula-mula Sim Houw melihat dengan merasa lucu dan karena kasihan dia menyimpan pedang pusakanya kembali, ingin menghadapi dan mengalahkan gadis itu dengan tangan kosong saja, kecuali kalau dia terdesak lagi.

Tiba-tiba dengan suara bentakan panjang dan nyaring, tubuh gadis itu bergerak, bagaikan seekor naga saja, langsung tubuh yang tadinya hampir tiarap itu menerjang ke depan, seperti terbang saja menyerang lawan!

Bukan main terkejut rasa hati Sim Houw karena dia seperti pernah mendengar tentang ilmu ini, bahkan pernah melihat dimainkan orang. Dia cepat mengelak dan memutar lengan untuk menangkis, namun demikian hebatnya serangan itu sehingga tubuhnya sendiri terpelanting ke kiri! Hampir saja dia terbanting roboh kalau dia tidak cepat-cepat membuang dirinya dan membuat gerakan jungkir balik! Dia dapat berdiri kembali dan memandang dengan mata terbelalak!

“Rasakan kau sekarang!”

Seru Bi Lan dengan girang dan kembali ia menerjang maju, kini gerakannya semakin aneh dan dari kedua telapak tangannya keluar angin berdesir. Itulah Ban-tok Ciang-hoat yang pernah dipelajarinya dari nenek Wan Ceng, isteri pendekar Kao Kok Cu yang berlengan satu, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu!

Kembali Sim Houw terkejut dan cepat-cepat dia melompat lagi ke belakang karena sekarang dia teringat akan gerakan ilmu-ilmu aneh tadi.

“Heiii, berhenti dulu. Kau hebat! Apakah engkau atau Sam Kwi telah mencuri ilmu dari Istana Gurun Pasir?”

Bi Lan bertolak pinggang, matanya hampir bulat karena dibelalakkan marah, kedua pipinya merah sekali karena selain marah ia juga telah bekerja keras tadi sehingga denyut darahnya berjalan cepat, keringatnya membasahi dahi dan leher.

“Kau sendiri pencuri perampok bajak copet maling!” Ia memaki-maki marah. “Selama hidup aku tak pernah mencuri! Jangan menuduh yang bukan-bukan kau!”

Sim Houw tidak dapat marah dimaki-maki karena cara memaki itu nampak lucu. Dalam keadaan marah sekalipun gadis ini masih nampak lucu dan mulai Sim Houw menduga bahwa memang pembawaan pribadi gadis ini yang lincah jenaka dan lucu, sama sekali bukan suatu permainan sandiwara. Andaikata semua tadi hanya rayuan atau sandiwara, tentu setelah berkelahi, sikap pura-pura itu akan hilang. Akan tetapi gadis ini tetap saja lucu!

“Apa anehnya kalau menuduh mencuri kepada Sam Kwi? Bukankah mereka terkenal sebagai datuk-datuk kaum sesat, raja-raja iblis di antara para penjahat?”

“Sam Kwi boleh melakukan apa saja, akan tetapi aku bukan Sam Kwi dan Sam Kwi bukan aku! Aku memang pernah menjadi murid mereka, akan tetapi aku menjadi murid untuk belajar silat, bukan belajar mencuri!”

“Kalau begitu, dari mana engkau bisa memainkan ilmu silat dari keluarga Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir?”

“Huh! Itu masih belum, sobat!” kata Bi Lan mengejek. “Kalau saja Ban-tok-kiam masih berada di tanganku, pasti akan kubikin buntung pedang pusakamu dari kayu itu!”

“Ban-tok-kiam! Itu milik dari isteri pendekar majikan Istana Gurun Pasir!” teriak Sim Houw semakin heran. “Bagaimana pula bisa menjadi milikmu?”

Kembali Bi Lan tersenyum mengejek, bibirnya yang merah basah dan mungil itu berjebi.
“Kau ingin mendengar penjelasanku mengenai keluarga Istana Gurun Pasir dan aku?”

“Tentu saja.... tentu saja, apa hubunganmu dengan mereka?”

“Kau boleh minta maaf dulu, baru aku mau menceritakan!”

“Minta maaf?” Sim Houw memandang heran. Ada-ada saja permintaan gadis ini yang aneh-aneh dan di luar dugaan. “Untuk apa?”

“Karena kau tadi menuduh aku mencuri.”

Hampir Sim Houw tertawa bergelak, akan tetapi dia menahan rasa gelinya dan diapun tersenyum.

“Baiklah, aku minta maaf atas tuduhanku tadi. Akan tetapi, usap dulu keringatmu, lihat, dahi dan lehermu basah semua!”

Dia merasa risi dan kasihan melihat betapa peluh mengalir membasahi leher baju dan yang dari dahi juga mulai menetes ke bawah membasahi pipi.

Bi Lan tercengang. Baginya, lawannya ini juga aneh sekali dan iapun lalu menyeka keringatnya dengan saputangan biru yang dikeluarkannya dari saku bajunya.

“Dengarlah, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir atau majikan Istana Gurun Pasir yang bernama Kao Kok Cu, dengan isterinya yang bernama nenek Wan Ceng, adalah guru-guruku!”

“Wah, mana mungkin.!”

“Mungkin saja! Buktinya begitu kok tidak mungkin. Buktinya mereka telah mengajarkan ilmu silat kepadaku selama satu tahun, bahkan subo Wan Ceng meminjamkan Ban-tok-kiam kepadaku, akan tetapi pedang itu dirampas oleh orang lain.”

Sukar untuk tidak percaya kepada omongan seorang gadis seperti ini, akan tetapi agaknya tidak masuk di akal pula kalau murid Sam Kwi bisa menerima pelajaran silat dari pendekar sakti itu dan isterinya.

“Nona, ketahuilah bahwa aku menganggap keluarga Kao dari Istana Gurun Pasir itu sebagai para locianpwe yang kuhormati dan kukagumi di samping keluarga dari Pulau Es. Mereka adalah keluarga sakti yang gagah perkasa. Kalau engkau menjadi murid suami isteri pendekar Kao itu, maka tentu saja aku tidak berani mengangkat tangan melawanmu dan bagiku engkau bukan seorang musuh. Marilah kita duduk dan ceritakan kepadaku bagaimana di satu pihak engkau dapat menjadi murid Kao locianpwe, hal yang memang patut kulihat pada dirimu, akan tetapi di lain pihak engkaupun menjadi murid Sam Kwi dan bahkan menjadi utusan Bi-kwi untuk merampas Liong-siauw-kiam.”

Sim Houw sudah mengambil tempat duduk lagi di atas batu yang tadi dipakainya bersila ketika dia meniup suling dan mempersilahkan Bi Lan untuk duduk pula di atas batu-batu di depannya.

Akan tetapi Bi Lan menolak.
“Nanti dulu! Enak saja engkau mengajak aku mengobrol begitu saja. Aku datang untuk merampas pedang pusaka Suling Naga, bukan untuk kongkouw (ngobrol-ngobrol) denganmu!”

“Kita bukan hanya bicara tentang dirimu, akan tetapi juga tentang pedang pusaka ini. Percayalah, aku tentu akan membantumu agar engkau tidak sampai hidup sebagai orang yang tidak memenuhi janji dan sumpah sendiri.”

“Benar? Tidak bohong?”

Sim Houw menggeleng kepalanya.
“Aku tidak pernah berbohong.”

“Kalau perlu kau akan memberikan pusaka itu kepadaku?”

“Kalau perlu, boleh saja.” Sim Houw tersenyum.

“Sumpah dulu kau tidak bohong, baru aku mau duduk mengobrol!”

Sim Houw tersenyum lebar. Kini dia mengerti. Gadis ini pada dasarnya adalah seorang gadis yang berjiwa pendekar, yang baik budi, jauh dari watak kejam dan jahat dan mungkin karena melihat sifat-sifat baik inilah maka seorang sakti seperti majikan Istana Gurun Pasir mau mengajarkan ilmu-ilmu kepadanya.

Akan tetapi karena menjadi murid Sam Kwi hidup dalam lingkungan para datuk sesat, tentu saja iapun ketularan watak-watak yang aneh dan mau enaknya sendiri saja. Watak-watak yang buruk dari Sam Kwi dan watak-watak pendekar dari suami isteri Istana Gurun Pasir itu agaknya bercampur dan menciptakan watak yang lucu dan aneh pada diri gadis ini.

“Baiklah, kalau perlu aku akan memberikan pusaka Suling Naga kepadamu dan aku akan membantumu, aku bersumpah bahwa aku tidak berbohong.”

Bi Lan tertawa dan Sim Houw merasa luar biasa sekali, seolah-olah sinar matahari di pagi hari itu tiba-tiba saja menjadi semakin cerah, suara burung-burung di dalam pohon menjadi semakin merdu dan bau-bau rumput dan daun pohon dan bunga di sekitar tempat itu menjadi semakin harum! Demikianlah keadaan hati yang tidak dibebani rasa duka!

Kalau segala macam rasa duka, kecewa, sesal dan sengsara hati lenyap dari batin kita, maka panca indera kita akan bekerja lebih peka lagi dan kita akan lebih dapat menikmati segala keindahan di dalam kehidupan ini!

Bi Lan yang tersenyum cerah karena hatinya merasa lega itu kini duduk di atas batu hitam, dekat dengan Sim Houw sehingga pria itu mampu menangkap bau badan gadis yang berkeringat itu. Bau yang aneh dan terasa sampai ke jantungnya, yang menggerakkan semua kejantanan dalam dirinya, yang tiba-tiba menimbulkan gairah, mendorong perasaan ingin sekali semakin dekat dengan gadis itu dan kalau mungkin, selamanya tidak akan terpisah darinya dan akan selalu dapat mencium bau yang khas itu!

“Nah, sebelum aku mulai bercerita, sebagai tuan rumah yang baik, engkau harus lebih dulu, menceritakan kepadaku, apakah benar namamu Sim Houw dan bagaimana engkau bisa memperoleh pedang pusaka itu dan sebagainya lagi mengenai dirimu.”

Kembali Sim Houw tersenyum. Dia sudah lupa lagi bahwa selama bertahun-tahun ini dia hampir tak pernah atau jarang sekali tersenyum dan di pagi hari sekali, seolah-olah sinar matahari dan di pagi hari ini, semenjak bertemu dengan gadis itu, entah sudah berapa kali dia tersenyum, bahkan tertawa. Senyum yang langsung keluar dari perasaan hatinya, bukan sekedar senyum pengantar sopan santun seperti yang nampak pada senyum kebanyakan orang.

“Namaku Sim Houw dan tentang pedang ini....“

“Nanti dulu! Namamu Sim Houw dan usiamu tadi kau katakan tigapuluh tahun? Siapa isterimu?”

Tiba-tiba saja muka pendekar itu menjadi merah sekali, kemudian agak pucat dan dia menundukkan mukanya, memejamkan sebentar kedua matanya lalu setelah dia mengangkat mukanya memandang gadis itu wajahnya sudah pulih kembali dan senyumnya sudah membayang lagi di bibirnya,

“Aku tidak punya isteri.“

“Ahh....! Sudah.... sudah matikah ia? Atau.... bercerai?”

Sim Houw menggeleng kepalanya perlahan-lahan.
“Aku belum pernah beristeri.”

“Aneh, seusia engkau ini belum beristeri? Tapi.... sucikupun usianya sudah sebaya denganmu dan belum bersuami pula. Cuma.... ia mempunyai banyak sekali pacar! Berganti-ganti, apakah.... apakah engkaupun begitu?”

“Begitu bagaimana maksudmu!” tanya Sim Houw hampir membentak.

“Seperti suciku itu? Berganti-ganti pacar?”

Kalau bukan gadis itu yang berkata demikian, ingin rasanya Sim Houw menampar mulut itu.
“Tidak! Dan jangan engkau samakan semua orang seenakmu saja. Bukankah engkau sendiri, yang menjadi sumoinya, tidak sama dengan sucimu itu, berganti-ganti pacar?”

“Aku sih tidak sudi! Aku benci laki-laki mata keranjang!”

“Nah, dengarkan saja, kalau begini terus ceritaku tidak akan ada habisnya! Aku bernama Sim Houw, belum punya isteri, dan kedua ayah ibuku sudah meninggal dunia. Guruku bernama Kam Hong yang berjuluk Pendekar Suling Emas dan tinggal di Istana Khong-sim Kai-pang, di puncak Bukit Nelayan, tak sangat jauh dari sini. Cukup bukan tentang diriku?”

Bi Lan yang tadi dibentak, kini mengangguk-angguk.
“Sudah cukup jelas, terutama bahwa selain belum pernah beristeri, engkau tidak pernah berganti-ganti pacar....” Ia tersenyum memandang kepada Sim Houw yang juga tersenyum senang. “Dan bagaimana tentang Liong-siauw-kiam itu?”

“Seorang kakek pertapa di Himalaya yang bernama Pek-bin Lo-sian, aku yakin engkau tentu mengenal nama itu karena dia masih terhitung susiok (paman guru) dari Sam Kwi, telah merasa tua dan ingin mewariskan pedang pusaka Suling Naga kepada seseorang yang dianggapnya pantas untuk memilikinya. Dia tidak suka kepada tiga orang keponakannya, yaitu Sam Kwi dan dia mulai mencari orang yang akan mampu mengalahkan dirinya, karena dia hanya akan memberikan pusaka ini kepada orang yang dapat mengalahkannya. Entah berapa banyak sudah orang yang roboh di tangannya, luka atau mati, ketika dia mencari calon pemilik baru dari Liong-siauw-kiam ini. Akhirnya dia bertemu denganku dan kebetulan aku dapat mengalahkannya maka dia menyerahkan senjata pusaka ini kepadaku.”

Bi Lan mengangguk-angguk.
“Jadi engkau tidak merampasnya atau mencurinya dari kakek itu? Aku percaya ceritamu. Dan tidak aneh kalau engkau menang, karena ilmu kepandaianmu memang hebat. Aku sendiripun bukan lawanmu. Kalau kau mau membunuhku dengan senjata itu tentu mudah saja. Heiii....! Mengapa....?”

Tiba-tiba gadis itu meloncat dari tempat duduknya dan gerakannya yang tiba-tiba itu mengejutkan Sim Houw sehingga pemuda inipun terloncat bangun.

“Mengapa.... apa....?” tanyanya bingung karena gadis itu kembali sudah memandang kepadanya dengan mata melotot marah.

“Mengapa engkau tidak membunuhku atau setidaknya merobohkan aku? Padahal jelas bahwa kedatanganku ini untuk merampas Liong-siauw-kiam? Ehh, engkau.... engkau.... bukan sebangsa jai-hoa-cat, ya?”

Kembali Sim Houw menjadi gemas dan ingin menampar mulut itu kalau saja yang bicara orang lain.

“Kenapa kau bertanya begitu?” balasnya, tentu saja mendongkol karena jai-hoa-cat (penjahat pemerkosa wanita) adalah kejahatan yang paling dibencinya.

“Karena sudah banyak sekali kulihat orang-orang yang ilmunya tinggi, bersikap baik kepada wanita hanya untuk maksud-maksud tertentu yang rendah dan hina. Tapi.... tapi.... ahh, engkau tentu bukan orang macam mereka itu. Aku percaya padamu, maafkan pertanyaanku tadi, ya?”

Ucapan yang disertai senyum ini sekaligus menghapus bersih kedongkolan hati Sim Houw.
“Sekarang ceritakan tentang dirimu dan tentang hubunganmu dengan keluarga Kao dari Istana Gurun Pasir.”

“Sam Kwi bukan saja guru-guruku, melainkan juga penolongku dan penyelamat nyawaku. Ketika aku berusia sepuluh tahun, aku dan ayah ibuku meninggalkan kampung halaman kami di selatan untuk lari mengungsi karena adanya perang pemberontakan dan serbuan dari orang-orang Birma. Di tengah perjalanan, kami dihadang pasukan orang Birma. Ayah ibuku tewas dan aku hampir celaka. Kalau tidak ada Sam Kwi yang tiba-tiba muncul, tentu aku mengalami nasib seperti ibuku, diperkosa oleh mereka sampai mati.”

Gadis itu memejamkan kedua matanya untuk mengusir pemandangan tentang ibu dan ayahnya itu yang membayang dalam ingatannya. Diam-diam Sim Houw merasa terharu sekali dan juga kasihan. Pantas gadis ini memiliki watak aneh. Begitu kecil sudah mengalami musibah yang demikian hebat.

“Nah, sejak itulah aku menjadi murid Sam Kwi setelah mereka bertiga membunuh semua anggauta pasukan Birma itu. Aku berhutang budi dan mereka baik sekali kepadaku. Akan tetapi suciku Bi-kwi, tidak baik kepadaku. Ia yang mewakili Sam Kwi melatihku, akan tetapi latihan-latihan itu diselewengkan sehingga aku keracunan dan hampir tewas kalau tidak pada suatu hari, di dalam hutan, aku bertemu dengan suhu dan subo dari Istana Gurun Pasir itu. Merekalah yang mengobatiku sampai sembuh dan mengajarkan ilmu-ilmu silat sampai setahun lamanya.”

Sim Houw mengangguk-angguk. Kini dia mengerti dan semakin kagum. Sejak berusia sepuluh tahun gadis ini menjadi murid Sam Kwi, akan tetapi tidak tumbuh dewasa menjadi seperti Bi-kwi, hal itu sungguh mengagumkan, tanda bahwa memang gadis ini memiliki dasar watak yang baik dan kuat.

“Lalu bagaimana engkau sampai bisa hutang budi kepada Bi-kwi, padahal ia yang hampir mencelakaimu dengan mengajarkan ilmu-ilmu yang sengaja disesatkan itu?”

“Bi-kwi bertempur denganmu dan kalah, lalu Sam Kwi bertapa selama satu tahun untuk menciptakan ilmu silat baru yang hebat untuk kami paksa menghadapimu.“

“Ah, ilmu silat yang hebat tadi? Bukan main, memang Sam Kwi lihai....”

“Itulah Ilmu Sam Kwi cap-sha-ciang. Setelah mereka berhasil menciptakan ilmu baru itu, mereka mengajarkannya kepada aku dan Bi-kwi, lalu kami berdua menerima tugas untuk mencarimu dan merampas Liong-siauw-kiam. Sam Kwi mengadakan pesta makan minum untuk mengucapkan selamat jalan kepada kami dan dalam kesempatan itu, aku dibikin mabok, ditawan oleh Sam Kwi untuk diperkosa."

“Ahhh....! Betapa kejinya!” Sim Houw hampir meloncat saking marah dan kagetnya.

“Hal seperti itu biasa saja bagi mereka. Bi-kwi juga sudah mereka perlakukan demikian sehingga selalu menjadi murid juga menjadi kekasih mereka. Aku tidak sudi melayani mereka. Mereka bermaksud menundukkan aku seperti Bi-kwi, akan tetapi aku tidak mau. Mereka mengancam akan memperkosa, dan ketika itulah Bi-kwi turun tangan, membebaskan aku dan kami melarikan diri. Akan tetapi aku lalu harus membuat janji dan sumpah bahwa aku akan membantunya mendapatkan kembali Liongsiauw-kiam.”

Sim Houw mengangguk-angguk dan tertarik sekali. Diam-diam dia semakin kagum kepada Bi Lan. Gadis ini sudah pernah hampir tewas oleh Bi-kwi, akan tetapi sekali ditolong, ia bersumpah membalas budi itu dan sekali bersumpah ia akan melaksanakan walau bertaruh nyawa. Sukar mencari seorang gadis berhati baja seperti ini, juga yang bernasib malang sekali terjatuh ke dalam lingkungan kaum sesat.

“Kemudian bagaimana?”

Dengan singkat Bi Lan lalu menceritakan perjalanannya dengan Bi-kwi sampai ia hampir pula menjadi korban dan hampir diperkosa oleh Bhok Gun, cucu murid Pek-bin Lo-sian.

“Karena dua kali mengalami peristiwa seperti itu, hampir diperkosa oleh Sam Kwi yang mula-mula baik kepadaku, kemudian oleh Bhok Gun yang bekerja sama dengan suci, maka tadi aku teringat dan terkejut karena jangan-jangan engkau juga seorang seperti mereka itu!“