Ads

Selasa, 05 Januari 2016

Suling Naga Jilid 050

Dalam percakapan-percakapannya dengan kakek Bu-beng Lo-kai, semangat Pouw Tong Ki semakin berkobar dan diapun melanjutkan rencananya yang sudah menjadi keputusan hatinya untuk menentang tindakan Hou Seng yang sewenang-wenang. Dalam suatu persidangan dengan kaisar, selain melaporkan hal-hal yang mengenai keuangan, dia menggunakan kesempatan ini untuk melaporkan hal lain.

“Hamba mohon paduka suka mengambil perhatian akan keadaan rakyat yang mengeluh karena berulang kali terjadi pemungutan pajak liar dari para tuan tanah yang sudah memperoleh ijin langsung dari istana. Pemungutan pajak harus didasari keadilan, bukan hanya sekedar untuk mendatangkan keuntungan bagi pemerintah. Kalau hal itu merupakan penindasan, maka rakyat akan mengeluh dan tidak merasa tenteram hidupnya.”

Kaisar memandang kepadanya dengan alis berkerut. Dari Hou Seng dia sudah seringkali mendengar bisikan-bisikan tentang “buruknya” menteri Pouw ini yang sering melontarkan protes ke atasan.

“Apa yang kau maksudkan dengan keadilan dalam pemungutan pajak itu?” tanya kaisar.

“Begini, Sribaginda. Dalam memungut pajak, harus diperhitungkan besar kecilnya penghasilan para petani itu secara seksama. Kalau sekali waktu hasil panen mereka amat kecil karena datangnya musim kemarau panjang atau terserang hama sehingga hasil keringat mereka itu untuk dimakan keluarga sendiri saja masih belum mencukupi, hendaknya diadakan peraturan agar para tuan tanah tidak memaksakan pemungutan pajak. Dan pemerintahpun memberi kelonggaran kepada para tuan tanah dalam hal membayar pajak. Memang tentu saja pemasukan di istana menjadi berkurang, akan tetapi hal itu disebabkan oleh bencana alam. Biarpun pemasukan berkurang, akan tetapi semua pihak tidak mengeluh dan kalau hasil panen besar dan baik, tentu mereka suka membayar pajak penuh dengan hati rela.”
Kaisar Kian Liong yang tidak begitu beminat lagi untuk memperhatikan keadaan yang dianggap tidak penting itu, hanya mengangguk-angguk.

“Pendapat dan usul itu baik sekali untuk diperhatikan.”

“Ampun, Sribaginda yang mulia, hamba kira bahwa peraturan pajak yang diadakan pemerintah sudah cukup baik dan adil. Kalau pemerintah terlampau longgar, maka mereka yang berkewajiban membayar pajak itu selalu akan mempergunakan kelemahan atau kelonggaran pemerintah untuk menghindarkan diri dari pembayaran pajak. Tanpa tekanan, mereka itu tidak akan mau membayar!”

Ucapan yang dikeluarkan Hou Seng ini membuat Kaisar kembali mengangguk-angguk dan dia dapat melihat kebenaran dalam ucapan ini. Hatinya menjadi bimbang dan diapun memandang kepada Pouw Taijin, sinar matanya bertanya bagaimana pendapat menterinya yang terkenal pandai itu.

“Ampunkan hamba, Sribaginda yang mulia. Hambapun mengerti bahwa semua peraturan yang dikeluarkan pemerintah adalah bijaksana dan adil! Akan tetapi, biasanya, yang tidak bijaksana dan tidak adil adalah pelaksanaannya. Para petugas yang melaksanakan peraturan, seringkali menyalah gunakan kebijaksanaan pemerintah dan mempergunakan peraturan-peraturan itu sebagai modal untuk melakukan penindasan dan pemerasan demi kegendutan perut sendiri. Karena itu, betapa pentingnya untuk melakukan pengamatan terhadap para pelaksana atau petugas itu, Sribaginda.

Betapapun baiknya pemerintah dan semua peraturannya, tanpa didukung pelaksanaan yang baik oleh petugas-petugas yang setia dan jujur, maka pemerintahan takkan berhasil. Dan menurut pengamatan hamba, pada saat ini pemerintahan paduka sedang dirong-rong oleh penguasa-penguasa yang berambisi buruk dan saling bertentangan. Pembunuhan-pembunuhan terjadi di kalangan para pejabat tingkat atas. Ada penguasa yang memelihara tukang-tukang pukul untuk melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap saingan-saingannya. Kalau paduka tidak segera mencegahnya, keadaan yang buruk ini dapat berlarut-larut dan semakin memburuk, Sribaginda.”

Kaisar mengerutkan alisnya dan melempar pandang ke arah para menteri yang duduk di dalam ruangan sidang itu.

“Benarkah sampai demikian parah sehingga ada yang saling bunuh di antara para pembantuku?”

“Apa yang dilaporkan oleh Menteri Pouw itu benar, Sribaginda. Baru-baru ini malah Pangeran Cui Muda menjadi korban pembunuhan yang amat kejam, juga semua saksi mata, pengawal, dibunuh oleh pembunuh rahasia.”

“Kami sudah mendengar bahwa pangeran itu tewas oleh perampok di dalam rumah pelesir,” kata kaisar itu.

“Bukan perampok, Sribaginda, karena tidak ada barang yang hilang, melainkan pembunuh bayaran yang diutus oleh seorang saingannya,” kata pula Pouw Teng Ki.

Kaisar menggeleng-geleng kepala dengan alis berkerut dan pada saat itu, Hou Seng segera berkata,

“Urusan itu adalah urusan yang menyangkut keamanan dan menjadi bagian dan tugas Coa Tai-ciangkun yang menjadi kepala bagian keamanan untuk menyelidiki dan mengurusnya, Sribaginda. Dan Coa Tai-ciangkun juga hadir, kenapa paduka tidak menyerahkan saja kepadanya?”

Kaisar lalu menoleh ke kiri dan memandang kepada seorang panglima tinggi besar bermuka hitam

“Bagaimana pendapatmu dalam urusan ini, Coa-ciangkun?”

Panglima tinggi besar itu memberi hormat dan terdengar suaranya yang berat dan dalam, sesuai dengan bentuk tubuhnya.

“Tadinya memang hamba mengira bahwa pembunuhan atas diri Pangeran Muda itu merupakan perampokan, akan tetapi kemudian menurut penyelidikan, pembunuhan itu dilakukan orang karena dendam sakit hati urusan perempuan, Sribaginda. Pembunuhnya berkepandaian tinggi dan tidak meninggalkan jejak, namun hamba masih terus mengutus pembantu-pembantu yang pandai untuk mencari jejaknya.”

Kaisar mengangguk-angguk lega.
“Bagus kalau begitu, Coa-ciangkun dan selanjutnya atur dan jagalah agar keadaan tetap aman.”

“Selama ini keamanan dalam kota raja sudah terjaga dengan baik, Sribaginda. Keadaan para penghuni dan kehidupan mereka sehari-hari berjalan seperti biasa, tidak pernah ada gangguan, kecuali pencuri kecil-kecilan yang tidak berarti. Kalau ada orang merasa tidak aman di kota raja, berarti bahwa dia menyimpan kesalahan sehingga merasa tidak sedap makan tidak nyenyak tidur.”

Nampak beberapa orang pembesar tinggi menahan tawa dan tersenyum-senyum, sedangkan Hou Seng sendiri tidak menyembunyikan senyumnya yang lebar dan dengan pandang mata penuh ejekan dia memandang ke arah Pouw Tong Ki. Pouw Tong Ki dan mereka yang menentang Hou Seng tak mampu berkata apa-apa lagi dan merasa ditertawakan. Mereka tahu bahwa panglima she Coa itu sudah dirangkul oleh Hou Seng dan tentu saja membelanya!

Ketika persidangan itu bubaran, Pouw Tong Ki menyusul Hou Seng yang melangkah menuju ke keretanya.

“Hou Taijin, saya mau bicara sebentar!” katanya dengan muka merah karena mendongkol.






Hou Seng menoleh dan melihat betapa Pouw Tong Ki melangkah lebar menghampirinya, dia tersenyum mengejek. Dua orang pengawalnya siap di belakangnya dan dia tidak takut terhadap lawan ini.

“Ah, kiranya Pouw Taijin. Ada apakah?”

“Hou Taijin, di depan Sribaginda saya telah gagal. Akan tetapi, demi peri kemanusiaan, hentikanlah pembunuhan-pembunuhan itu! Kalau engkau hendak bersaing, lakukanlah dengan patut dan bersih, bukan dengan menggunakan tangan pembunuh-pembunuh bayaran! Engkaulah yang menyuruh bunuh Pangeran Cui Muda!”

Hou Seng mamandang dengan mata melotot.
“Tutup mulutmu yang lancang itu, orang she Pouw! Engkau melakukan fitnah keji dan aku tidak sudi bicara lagi denganmu!”

Dengan marah Hou Seng melangkah lebar memasuki keretanya yang segera pergi meninggalkan halaman istana.

“Aihh, engkau telah menanamkan bibit racun yang akan tumbuh mekar dan berbahaya bagimu sendiri, kawan,” kata seorang menteri tua yang kebetulan melihat peristiwa itu.

Akan tetapi Pouw Tong Ki menggerakkan pundaknya dan pergi, sedikitpun tidak merasa takut akan bayangan itu. Diapun bukan tidak tahu bahwa sikapnya terhadap Hou Seng dan pelaporannya terhadap peristiwa pembunuhan-pembunuhan itu di depan kaisar merupakan suatu tantangan terbuka kepada Hou Seng, dan bahwa akibatnya dia akan dimusuhi oleh pembesar yang sedang mabok kekuasaan itu.

Mungkin dia akan terancam bahaya, akan tetapi betapapun juga, dia sudah mengeluarkan segala rasa penasaran dalam hatinya. Dia telah memberi contoh kepada para pembesar lainnya untuk secara berterang menentang Hou Seng, dan hatinya merasa lega walaupun dia tahu bahwa semua usahanya tadi tidak berhasil.

Dengan cerdiknya Hou Seng telah bersembunvi di belakang Coa-ciangkun yan memang sebagai kepala bagian keamanan paling berkuasa untuk menentukan urusan keamanan, dan Hou Seng telah lebih dahulu merebut Coa-ciangkun untuk berpihak kepadanya!

Sayang sekali bahwa Pouw Tong Ki termasuk orang yang memiliki keangkuhan. Biarpun dia tahu bahwa nyawanya terancam, namun dia tidak takut dan sama sekali tidak mau membicarakan urusan itu dengan Bu-beng Lo-kai karena dia tidak mau memperoleh kesan seolah-olah dia minta perlindungan kakek sakti itu! Tidak, dia tidak akan menyeret orang lain ke dalam urusannya itu. Akan dihadapinya sendiri dan dia tidak takut! Pouw Tong Ki memang bukan orang lemah karena dia juga pernah belajar silat sampai tingkat yang lumayan sehingga dia pernah menjadi seorang perwira tinggi.

Dan peringatan menteri tua ketika dia menyerang Hou Seng dengan kata-kata itupun bukan hanya omong kosong belaka. Bibit racun itu memang tumbuh, dan betapa cepatnya! Memang Hou Seng membawa pulang perasaan marahnya terhadap Pouw Tong Ki. Di sepanjang perjalanan ke rumahnya, dia mengepal tinju dan berkali-kali memukul telapak tangan kirinya sendiri, seolah-olah Pouw Tong Ki yang dianggapnya musuh besar itu berada di atas telapak tangan itu.

Dan begitu tiba di rumah, dia menjadi gelisah, menimbang-nimbang dan merencanakan apa yang akan dilakukannya terhadap Pouw Tong Ki. Orang she Pouw itu jelas merupakan musuhnya, orang yang membencinya dan berusaha memburukkan namanya di depan kaisar.

Malam itu, Pouw Tong Ki tidur agak malam dari biasanya. Sore tadi sampai jauh malam, ia bercakap-cakap dengan Bu-beng Lo-kai dan dengan susah payah dia membujuk kakek itu untuk tinggal lebih lama lagi di dalam gedungnya.

“Terima kasih atas segala kebaikan Taijin,” kakek itu membantah. “Akan tetapi, kami sudah biasa hidup bebas merantau di dunia ini, dan kami tidak ingin membikin repot taijin lebih lama dari pada waktu yang dijanjikan.”

“Ah, locianpwe tentu maklum bahwa tentang janji dan hukuman itu hanya main-main saja dari kami. Biarpun sudah sebulan locianpwe dan nona Suma berada di sini, akan tetapi kami sekeluarga sudah menganggap ji-wi seperti keluarga sendiri. Terutama sekali Li Sian, bagaimana mungkin ia ditinggalkan nona Suma? Locianpwe melihat betapa akrab hubungan antara dua orang anak itu. Betapa Li Sian akan berduka dan merana kalau ditinggalkan.”

“Kalau begitu, biarkan ia ikut merantau dengan kami!” Bu-beng Lo-kai berkata. “Suma Lian sudah berkali-kali membujukku, juga nona Pouw sudah berulang kali minta agar ia kami bawa serta kalau kami terpaksa meninggalkan rumah ini.”

“Membiarkan ia merantau....?”

Mata pembesar itu terbelalak dan dia membayangkan betapa anak perempuannya yang satu-satunya itu melakukan perjalanan jauh bersama kedua orang ini, memakai pakaian seperti pengemis! Makan dari sumbangan orang, dan siapa tahu mungkin harus mencuri makanan!

Sukar baginya dapat menerima bayangan ini. Dia seorang bangsawan! Seorang menteri! Dan dia membayangkan isterinya. Betapa akan berat hati ibu itu kalau ditinggalkan oleh puteri satu-satunya, apalagi ditinggal merantau tak tentu tempat tujuannya. Isterinya pasti berkeberatan dan menentangnya.

Bu-beng Lo-kai tersenyum.
“Tentu berat bagi taijin, akan tetapi demikianlah keinginan puteri taijin, juga menjadi keinginan Suma Lian dan saya sendiri. Puteri taijin berbakat baik sekali dalam ilmu silat.”

“Wah, saya menjadi bingung, locianpwe.... berilah saya waktu untuk memikirkan hal ini sampai besok. Harus saya rundingkan dulu dengan isteri saya”.

Kembali kakek itu tersenyum.
“Segala keputusan harus dilakukan tanpa ragu-ragu, taijin. Oleh karena itu, besok pagi-pagi sekali kami akan pergi, dan keputusannya hanyalah, puteri taijin ikut bersama kami atau tidak. Saya harap besok sebelum kami pergi, taijin sudah mengambil keputusan yang pasti.”

Demikianlah, dengan hati berat Pouw Tong Ki membicarakan urusan anak perempuan mereka itu dengan isterinya.

“Tidak.... ah, jangan pisahkan aku darinya....!” Isterinya menangis. “Mengapa ia harus merantau seperti seorang pengemis? Kalau mau belajar silat kepada Bu-beng Lo-kai itu, biarlah kita belikan sebuah tempat, kalau dia menghendakinya, kita bangunkan sebuah rumah di mana saja, dan Li Sian boleh belajar bersama Suma Lian di tempat itu. Tempat yang tertentu. Akan tetapi bukan merantau tanpa tujuan sebagai seorang pengemis. Aku tidak rela.!”

Tentu saja hati Pouw Tong Ki menjadi bimbang, penuh keraguan dan biarpun akhirnya dia dapat menghibur isterinya sehingga tertidur, dia sendiri masih belum dapat tidur.

Sementara itu, di sebuah kamar lain, kamar di mana Li Sian tidur bersama Suma Lian, dua orang gadis cilik itupun belum dapat tidur dan bercakap-cakap dengan suara lirih. Mereka juga bicara tentang keberangkatan Suma Lian pada besok pagi-pagi bersama Bu-beng Lo-kai dan sejak tadi Li Sian menyatakan bahwa bagaimanapun juga, ia harus ikut bersama mereka pergi merantau kalau Bu-beng Lo-kai berkeras tidak dapat dibujuk untuk tinggal lebih lama lagi di rumah keluarga Pouw.

“Kalau ayah dan ibu melarang, aku akan minggat saja dan ikut bersama kalian!” Li Sian berkata berkali-kali.

“Ah, kurasa kalau begitu tidak benar, Li Sian”, kata Suma Lian. “Aku yakin kakek tidak akan membolehkan engkau minggat dan ikut bersama kami. Kakek amat memegang aturan, dan tentu dia tidak mau menyusahkan orang tuamu. Pula, kalau engkau minggat dan ikut bersama kami, kami bisa dituduh menculikmu.”

“Siapa yang akan menuduh? Aku dapat bilang bahwa aku ikut dengan suka rela! Biar bagaimanapun juga, aku harus ikut pergi!”

“Adikku yang manis, kau tentu tahu bahwa akupun tidak suka berpisah darimu, dan akulah orang pertama yang akan merasa gembira bukan main kalau engkau dapat pergi bersamaku. Akan tetapi, cara yang kau akan pakai itu, yaitu dengan minggat, sungguh tidak menyenangkan. Tentu akan menimbulkan perasaan tidak enak dan tidak senang dalam hati ayah ibumu terhadap kami. Padahal, mereka sudah begitu baik terhadap kami. Tenanglah, Sian-moi, aku tadi sudah minta kepada kakek agar dia suka membujuk ayahmu sehingga ayahmu akan memperbolehkan engkau ikut bersama kami dengan baik-baik.”

“Tapi aku khawatir ibuku akan berkeberatan. Ah, biarlah aku akan minta keputusan mereka sekarang juga. Aku merasa gelisah dan tersiksa kalau belum diberi keputusan dan kalian berdua akan berangkat besok pagi-pagi!”

Li Sian lalu keluar dari dalam kamar itu, diikuti oleh Suma Lian yang menggandeng tangannya. Li Sian bertekad untuk mengetuk pintu kamar orang tuanya dan bertanya tentang keputusan mereka mengenai keinginannya ikut pergi merantau bersama Suma Lian.

Akan tetapi tiba-tiba Suma Lian menarik tangannya dan diajak bersembunyi di balik sebuah pot bunga besar karena gadis cilik ini melihat ada bayangan berkelebat cepat sekali, melayang turun dari atas genteng! Dan bayangan itu dengan kecepatan luar biasa telah tiba di jendela kamar Pouw Tong Ki, kemudian menggunakan kedua tangannya, sekali tarik daun jendela itupun terbuka dan tubuhnya meloncat ke dalam kamar.

Yang amat mengejutkan hati Suma Lian adalah ketika ia mengenal tubuh tinggi besar dan kepala gundul itu. Sai-cu Lama! Karena maklum bahwa pendeta jahat itu tentu mempunyai niat busuk, tanpa berpikir panjang lagi Suma Lian lalu meninggalkan Li Sian dan iapun lari mengejar.

Satu-satunya keinginan adalah untuk membela Pouw Taijin yang ia tahu tidur di dalam kamar itu! Akan tetapi ia masih sempat berteriak sebelum dengan nekat meloncat ke dalam kamar itu melalui jendelanya yang sudah terbuka.

“Kakek, tolong ada penjahat....!”

Ketika kakek yang bukan lain adalah Sai-cu Lama itu tadi meloncat masuk, Pouw Tong Ki belum tidur dan begitu daun jendela terbongkar, dia sudah merasa terkejut sekali dan cepat meloncat keluar dari atas tempat tidurnya. Isterinya juga terkejut oleh gerakan ini dan terbangun.

Ketika Pouw Tong Ki melihat seorang kakek tinggi besar berperut gendut sudah meloncat masuk ke dalam kamarnya, dia mengerti bahwa tentu itu orang jahat, maka dia menyambar pedang yang tergantung didinding kamar.

“Penjahat busuk!” bentaknya dan diapun sudah menyerang dengan pedangnya, ditusukkan ke arah dada yang telanjang karena bajunya terbuka itu.

“Krakk....!”

Pedang itu tepat menusuk dada, akan tetapi saking kerasnya Pouw Taijin dan saking kuatnya dada yang ditusuk, pedang itu patah menjadi dua potong! Kakek itu memang Sai-cu Lama yang diutus oleh Hou Seng untuk membunuh Pouw Tong Ki.

Ketika tadi melihat serangan pedang, Sai-cu Lama sudah dapat mengukur kekuatan orang, maka dia berani menerima tusukan itu.

“Ha-ha, kiranya orang she Pouw ini hanya begini saja!” katanya dan tangannya menyambar.

“Desss....!” tangan yang amat kuat itu secara dahsyat telah menyambar dan mengenai leher Pouw Tong Ki, membuat tubuh pembesar itu terbanting ke tepi ranjang.

“Ouhhh.... tolooongg....!” Isteri Pouw Tong Ki cepat menubruk suaminya yang menggeletak tak bergerak lagi itu.

Pada saat itulah Suma Lian meloncat masuk. Melihat betapa Pouw Tong Ki telah menggeletak ditubruk oleh isterinya, dan melihat betapa Sai-cu Lama berdiri sambil tertawa, Suma Lian lupa diri dan dia menjadi marah sekali.

“Pendeta jahanam yang jahat!” bentaknya dan iapun sudah menyerang Sai-cu Lama dengan pukulan kedua tangannya.

Sai-cu Lama terkejut dan heran, akan tetapi ketika dia melihat bahwa yang menyerangnya hanya seorang gadis cilik, apalagi gadis itu adalah Suma Lian yang segera dikenalnya, ia tertawa dan menerima pukulan-pukulan itu dengan perutnya.

“Puk! Pukk!”

Kedua tangan kecil itu mengenai perut gendut, akan tetapi seperti mengenai benda lunak saja sehingga kedua tangan itu masuk ke dalam perut dan tak dapat ditarik kembali!

“Ha-ha-ha, kiranya engkau, kuda binal cilik! Ha-ha-ha!” Dia tertawa lagi.

Pada saat itu, isteri Pouw Tong Ki menjerit. Sai-cu Lama menjadi marah. Tangan kirinya mencengkeram punggung baju Suma Lian dan ditariknya anak itu ke atas, sambil kakinya diayun ke arah kepala nyonya Pouw. Tubuh nyonya itu terkulai di samping tubuh suaminya dan tendangan itu seketika merenggut nyawanya!

“Braakkkk....“

Daun pintu kamar itu ambrol dan masuklah seorang kakek tua renta berpakaian tambal-tambalan. Melihat betapa suami isteri itu telah roboh dan kini Suma Lian diangkat ke atas oleh seorang pendeta Lama berperut gendut, Bu-beng Lo-kai terkejut bukan main.

“Aahhhh, kau jahat sekali....” bentaknya dan kedua tangannya sudah bergerak ke depan dengan amat cepat.

Ketika pintu jebol, Sai-cu Lama juga terkejut, akan tetapi melihat bahwa yang muncul hanya seorang yang sudah amat tua, dia memandang rendah. Baru setelah kedua tangan kakek itu melakukan pukulan ke arah lambung dan lehernya, dia terkejut setengah mati. Angin pukulan yang datang itu bukan hanya amat dahsyat dan kuat sekali, akan tetapi juga yang menuju ke tenggorokannya itu mengandung hawa panas seperti api sedangkan yang menyambar ke arah lambungnya mengandung hawa dingin seperti salju!

“Celaka....!”

Serunya dan terpaksa dia melepaskan cengkeramannya pada punggung Suma Lian lalu mengerakkan ke dua tangan ke bawah untuk menangkis karena untuk mengelak sudah tidak ada kesempatan lagi sedangkan menerima pukulan-pukulan itu mengandalkan kekebalan, dia tidak berani.

“Dukk! Desss....!”

Tubuh Sai-cu Lama hampir terjengkang dan dia terhuyung ke belakang, sedangkan Bu-beng Lo-kai sudah berhasil menggandeng tangan cucunya yang selamat. Pada saat itu, Li Sian berlari masuk melalui pintu yang ambrol dan melihat ayah ibunya menggeletak di atas lantai, ia menubruk mereka dan menangis.

Sementara itu Sai-cu Lama terkejut bukan main ketika tubuhnya terpental tadi dan diapun mengenal ilmu sin-kang yang panas dan dingin tadi. Kakek tua renta ini sama sekali tak boleh disamakan dengan nenek yang dulu pernah bertempur dengannya ketika dia menculik Suma Lian. Tentu kakek ini seorang pendekar dari keluarga Pulau Es yang tangguh.

Maka diapun merasa jerih, apalagi kamar itu terlampau sempit untuk dipakai berkelahi. Selain itu, Hou Taijinpun sudah mempunyai rencana lain. Tugasnya hanya membunuh Pouw Tong Ki, kalau mungkin seluruh keluarganya, lalu pergi. Dia hanya berhasil merobohkan Pouw Tong Ki dan membunuh isterinya, tidak yakin apakah pukulannya tadi sudah cukup untuk merenggut nyawa Pouw Tong Ki. Maka diapun cepat meloncat keluar dari jendela.

Bu-beng Lo-kai tidak mengejar karena dia ingin lebih dahulu menolong Pouw Taijin dan isterinya, kalau-kalau masih dapat diselamatkan. Dia memeriksa nyonya Pouw yang telah tewas dan ketika dia memeriksa Pouw Tong Ki, hati yang tua itu berduka sekali.

Pembesar ini mengalami luka parah oleh pukulan yang amat kuat, dan napasnya sudah empas-empis. Dia hanya dapat mengurut dada Pouw Tong Ki dan menotok beberapa jalan darah untuk menyadarkan pembesar itu.

Pouw Tong Ki membuka matanya dan melihat Bu-beng Lo-kai, dia hanya sempat berkata lirih,
“.... locianpwe.... tolong.... bawa Li Sian....“ dan lehernya terkulai karena dia telah menghembuskan napas terakhir.

Pada saat itu, terdengar suara gaduh di luar kamar dan terdengar teriakan-teriakan orang banyak,
“Tangkap kakek pengemis itu! Dia pembunuh Pouw Taijin.!”

Bu-beng Lo-kai mengerutkan alisnya, memandang keluar pintu yang berlubang. Dia melihat banyak sekali orang berpakaian seragam berdatangan ke tempat itu dan teriakan-teriakan mereka menunjukkan bahwa mereka itu menuduh dia yang melakukan pembunuhan! Bu-beng Lo-kai tidak ingin terlibat dalam urusan ini dan banyak repot, maka dia lalu menyambar tubuh Suma Lian dan Li Sian, kemudian sekali dia menggerakkan tubuh, dia sudah membawa kedua orang anak perempuan itu meloncat keluar, kemudian melayang ke atas genteng.

“Itu dia! Dia membunuh Pouw Taijin dan menculik Pouw Siocia!”

Bu-beng Lo-kai tidak tahu siapa yang berteriak, akan tetapi dengan heran dia melihat bahwa pendeta Lama gendut yang tadi berada di kamar, kini berada di antara orang-orang berpakaian seragam itu! Tahulah dia bahwa dia akan kena fitnah, maka diapun mempercepat gerakannya dan sebentar saja lenyap dari pandang mata para pengejarnya.

Kiranya orang-orang berpakaian seragam itu adalah sepasukan tentara penjaga keamanan yang dipimpin oleh Coa Tai-ciangkun sendiri, panglima yang menjadi kepala barisan keamanan! Setelah gagal menangkap pengemis tua itu, Coa Tai-ciangkun ini lalu menangkapi seluruh sisa keluarga Pouw Tong Ki, yaitu empat orang puteranya dan semua penghuni rumah, lalu membawa mereka sebagai tahanan-tahanan, sedangkan rumah itupun diduduki sebagai rumah sitaan pemerintah!

Gegerlah kota raja oleh peristiwa yang hebat ini. Coa tai-ciangkun (Panglima Coa) segera membuat pelaporan kepala Kaisar dan juga memberi keterangan kepada para pejabat lainnya akan jalannya peristiwa, seperti yang memang sudah diaturnya bersama Hou Seng!
Dia menceritakan bahwa dia memperoleh laporan dari para penyelidiknya, bahwa diam-diam Pouw Tong Ki yang di depan kaisar pura-pura mencela orang-orang berkuasa memelihara tukang-tukang pukul, di rumahnya sendiri telah menerima seorang datuk penjahat besar yang belum diketahui jelas siapa namanya dan apa maksudnya. Karena itu, Coa-ciangkun menjadi curiga sekali, apalagi ketika, menurut ceritanya, dia mendengar laporan yang mengatakan bahwa Pouw Tong Ki bertengkar dengan tamunya yang aneh itu.

Karena merasa khawatir, dia lalu memperlakukan persiapan untuk setiap saat menyerbu tempat kediaman keluarga Pouw itu, dengan tuduhan bahwa keluarga itu bermaksud membuat persekutuan dengan orang kang-ouw untuk melakukan pemberontakan!

Kemudian, dia melaporkan bahwa Pouw Tong Ki dan isterinya terbunuh oleh tokoh kang-ouw yang mengenakan pakaian pengemis itu, bahkan pengemis yang diduga tentu datuk penjahat besar itu telah melarikan puteri Pouw Tong Ki. Berdasarkan pelaporan ini, maka semua keluarga Pouw yang masih hidup dijatuhi hukuman berat!

Memang, demikianlah keadaan masyarakat manusia di seluruh dunia yang dibentuk oleh kita sendiri. Yang menang pasti benar, akan tetapi yang benar belum tentu menang! Kekuasaanlah yang menentukan benar atau salah, hanya kekuasaanlah yang menang dan oleh karena itu, kekuasaan ini diperebutkan oleh seluruh umat manusia di dunia ini.

Kekuasaan dalam pemerintahan, kekuasaan dalam perkumpulan, kekuasaan dalam kelompok ataupun kekuasaan dalam keluarga sendiri. Kita gandrung kekuasaan karena kita tahu bahwa kekuasaan akan membuat kita selalu benar dan menang! Dari sinilah timbulnya kesewenang-wenangan ketika kekuasaan itu disalahgunakan, dipakai demi kepentingan dan kesenangan diri sendiri.

Dari sini timbul konflik-konflik antara yang menang dan yang kalah, yang menindas dan yang ditindas dan konflik-konflik ini takkan pernah berhenti selama manusia masih berlumba untuk mencari kekuasaan. Memang, pengejaran kesenangan jugalah sebenarnya yang melandasi perebutan kekuasaan itu. Dan perebutan kekuasaan ini konon menurut dongengnya sudah terjadi sejak pra sejarah, sejak dongeng di kahyangan di antara para dewata dan malaikat!

Bu-beng Lo-kai mempergunakan ilmu gin-kangnya untuk melarikan Suma Lian dan Li Sian keluar dari bahaya. Baru sekali ini semenjak dia menjadi pertapa di puncak Telaga Warna Pegunungan Beng-san bersama isterinya sampai kemudian kematian isterinya itu, dia mempergunakan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk mengerjakan sesuatu secara serius.

Dia kini benar-benar terlibat dan berusaha menyelamatkan dua orang anak perempuan itu. Dan melalui keributan yang terjadi di gedung keluarga Pouw, dia berhasil melarikan dua orang anak perempuan itu keluar bahkan terus dia larikan sampai ke luar kota raja.

Li Sian menangis terisak-isak ketika akhirnya kakek itu berhenti lari. Suma Lian merangkulnya dan menghiburnya, sedangkan Bu-beng Lo-kai menarik napas panjang berkali-kali.

“Sudahlah, nona Pouw, jangan terlalu menurutkan hati yang bersedih. Ayah ibumu tewas oleh orang yang ilmu kepandaiannya tinggi, dan karena sebelumnya memang ayahmu telah menitipkan engkau kepadaku, maka biarlah mulai sekarang engkau ikut bersama kami.”

Sambil masih terisak-isak, Li Sian menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakek itu.
“Locianpwe, aku mohon agar locianpwe suka membimbingku dengan ilmu silat tinggi agar kelak aku dapat membalas kematian kedua orang tuaku dan mencari pembunuh itu!“

Kakek itu menggelengkan kepalanya.
“Aihh, cita-cita itu buruk sekali, nona Pouw. Ketahuilah, dan ini sebagai pelajaran pertama, bahwa dengan adanya dendam kebencian di dalam hatimu, maka hal itu sudah membuat keruh batin, menjadi racun dalam darahmu dan dalam keadaan seperti itu, mana mungkin engkau akan dapat belajar ilmu yang tinggi? Hanya batin yang tenang sajalah yang akan mampu menghimpun tenaga yang kuat. Orang tuamu memang sengaja melibatkan diri dalam urusan besar dan kalau dia sekeluarga kini tertimpa bencana sebagai akibatnya, hal itu wajar, bukan? Siapa bermain dengan air menjadi basah, bermain dengan api mungkin saja terbakar. Nona Pouw, kalau engkau dapat melihat kenyataan itu, engkau tentu akan terbebas dari racun dendam kebencian”

Li Sian yang pendiam itu terlalu cerdik untuk membantah. Iapun mengangguk-angguk dan untuk mengalihkan percakapan, ia berkata,

“Harap locianpwe mulai sekarang tidak lagi menyebutku dengan nona Pouw, melainkan memanggil namaku saja seperti enci Lian.”

“Baiklah, Li Sian. Dan kita tidak akan kembali ke kota raja. Kita cari tempat yang aman di luar kota raja dan jangan sampai didapatkan oleh pasukan yang tentu akan disebarkan untuk mencari kita. Mereka tentu akan menangkap kita dengan tuduhan bahwa aku telah membunuh keluarga Pouw dan melarikanmu.”

“Ah, ini fitnah!” teriak Suma Lian. “Kita dapat melaporkan hal yang sebenarnya terjadi, kek! Akulah saksi hidup bahwa mereka dibunuh oleh Sai-cu Lama, dan Li Sian tentu akan menjadi saksi hidup bahwa kakek sama sekali tidak menculiknya melainkan menyelamatkannya malah.”

Kakek tua itu tersenyum.
“Aih, engkau belum tahu betapa curang dan liciknya mereka yang sudah main perebutan kekuasaan di dalam pemerintahan, Lian. Biarlah, kita menjauhi keributan dan untuk sementara ini kita bersembunyi saja di tempat yang aman.”

Dan kakek itu lalu mengajak dua orang anak perempuan itu untuk melanjutkan perjalanan.

**** 050 ****