Ads

Kamis, 07 Januari 2016

Suling Naga Jilid 051

Pao-teng merupakan kota yang cukup besar dan ramai, terletak di sebelah selatan kota raja. Kemelut yang terjadi di kota raja karena persaingan antara Hou Seng dan para pembesar yang menentangnya, tentu saja menjadi sumber berita dan berita itu sudah tiba di Pao-teng. Apalagi akhir-akhir ini, di kota dikabarkan bahwa Pouw Taijin dan keluarganya bersekutu dengan orang-orang kang-ouw, bahkan kemudian Pouw Taijin dan isterinya dikabarkan terbunuh oleh orang kang-ouw, sedangkan keluarganya ditangkap pemerintah dengan tuduhan pemberontak!

Semenjak terjadinya peristiwa itu, seringkali di kota raja, di pasar-pasar, di rumah-rumah makan dan di hotel-hotel, juga di pintu-pintu gerbang, diadakan pembersihan dan penangkapan-penangkapan bagi mereka yang dicurigai.

Yang amat ditakuti oleh orang-orang yang merasa pernah belajar silat adalah munculnya pasukan berpakaian preman yang dipimpin oleh orang-orang pandai. Banyak sudah orang-orang kang-ouw ditangkap dan diperiksa. Mereka yang bersikap anti pemerintah atau anti pembesar Hou Seng, segera dijebloskan penjara dan bahkan banyak pula yang terbunuh dalam pembersihan dan penangkapan-penangkapan itu. Dunia kang-ouw menjadi gelisah.

Orang-orang yang tinggal di kota Pao-teng mendengar pula akan kemelut itu dan mereka khawatir bahwa pembersihan-pembersihan dan penangkapan-penangkapan yang dilakukan pasukan itu akan menjalar sampai ke Pao-teng. Apalagi melihat betapa banyak keluarga orang kang-ouw meninggalkan kota raja dan lari mengungsi ke selatan. Tentu saja setibanya di Pao-teng mereka itu menyebar berita yang simpang-siur dan membuat penduduk menjadi semakin gelisah.

Berita seperti itu, yang menyangkut keamanan rakyat dan pergolakan di kalangan atas, tentu saja menarik perhatian Kao Cin Liong yang di waktu mudanya pernah menjabat sebagai seorang panglima muda. Setelah mengundurkan diri dari jabatannya, Kao Cin Liong bersama keluarganya tinggal di kota Pao-teng dan berdagang rempa-rempa. Sejak itu dia sama sekali tidak pernah mencampuri urusan pemerintahan, bahkan jarang-jarang menonjolkan diri di dunia kang-ouw.

Bekas jenderal yang juga seorang pendekar perkasa itu kini berusia kurang lebih lima puluh tahun, tinggal di sebuah rumah yang cukup besar dengan isterinya yang tercinta, yaitu Suma Hui yang sekarang juga sudah berusia empat puluh tahun, dan puteri mereka yang merupakan anak tunggal, bernama Kao Hong Li, berusia tiga belas tahun.

Apalagi ketika terdengar berita yang mengatakan bahwa keluarga Pouw Tong Ki yang masih menjadi seorang menteri telah terbunuh, bahkan keluarganya ditangkap dengan tuduhan mengusahakan pemberontakan dengan mengadakan persekutuan dengan orang-orang jahat yang berilmu tinggi, Kao Cin Liong terkejut dan berduka sekali.

Dia mengenal sahabatnya itu, sebagai orang yang setia dan jujur terhadap kaisar, seorang yang bijaksana dan tidak mau menggunakan kedudukannya untuk mencari keuntungan diri sendiri. Sukar dia dapat percaya bahwa seorang yang begitu setia seperti Pouw Tong Ki berusaha mengadakan pemberontakan! Kecuali kalau keadaan sudah terpaksa sekali dan di istana terjadj hal-hal yang luar biasa. Tentu ada sebabnya, atau kalau tidak, tentu sahabatnya ini hanya kena fitnah saja. Dia mengemukakan rasa penasaran di hatinya itu di depan isterinya.

“Ingin sekali aku menyelidiki kematian sahabatku itu. Tentu ada rahasia di balik peristiwa itu. Dia dan isterinya terbunuh, puterinya diculik orang dan putera-puteranya ditangkap pemerintah dan dihukum! Tak mungkin nasibnya seburuk itu. Dia orang baik sekali!”

“Aihh!” Isterinya yang bernama Suma Hui, seorang cucu dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, mengerutkan alisnya. “Sudah belasan tahun kita hidup dengan tenteram tanpa mencampuri urusan pemerintah maupun dunia kang-ouw. Kalau sekali kita terjun, kita tentu akan terlibat dan kesulitan-kesulitan, pertentangan dan permusuhan tentu akan datang bertubi-tubi menghancurkan ketenteraman kehidupan kita. Engkau sudah mengundurkan diri, mengapa sekarang hendak mencari penyakit? Biarkanlah mereka yang masih haus akan kekuasaan itu bekerja. Aku yakin bahwa urusan yang terjadi di kota raja itu tidak lain hanyalah masalah perebutan kekuasaan belaka. Perlukah kita mencampurinya?”

Kao Cin Liong mengangguk-angguk dan menyentuh lengan isterinya.
“Engkau benar, benar sekali. Kadang-kadang rasa penasaran membuat batinku memberontak! Akan tetapi apakah kalau aku bercampur tangan lalu keadaan akan menjadi baik? Apakah aku akan mampu mengatasi semua kemelut yang sedang terjadi di kota raja? Ah, aku yakin tidak mungkin bisa. Jangan-jangan pencampur-tanganan dariku bahkan menambah besarnya kemelut. Engkau benar. Urusan pemerintahan bukan urusanku, dan sahabatku Pouw Tong Ki itu menjadi korban karena dia masih menjabat menteri. Andaikata dia tidak menjadi pembesar dan hidup seperti kita, kurasa dia pun tidak akan mengalami nasib sedemikian buruknya.”

Pada saat itu, seorang anak perempuan yang bermata lebar dan berwajah manis berlari masuk. Anak perempuan berusia tiga belas tahun yang lincah ini adalah Kao Hong Li, puteri dan anak tunggal suami isteri pendekar itu.

“Ayah, ada seorang tamu ingin bertemu dengan ayah. Seorang pemuda berpakaian serba biru, bernama Gu Hong Beng.”

“Hemm, ada keperluan apakah orang muda itu datang?” tanya Kao Cin Liong, merasa terganggu karena dia sedang membicarakan urusan yang penting dan serius dengan isterinya.

“Dia tidak mengatakan keperluannya. Orangnya pendiam dan kelihatan malu-malu. Mungkin dia datang untuk minta pekerjaan, ayah.”

Dengan gerakan tangan tidak sabar karena merasa terganggu, Kao Cin Liong berkata kepada Hong Li,

“Kau tanya apa keperluannya, kalau benar dia datang minta pekerjaan, katakan saja bahwa pada waktu ini aku belum memerlukan bantuan tenaga baru.”

Hong Li lalu berlari ke luar. Gadis cilik yang lincah ini melihat betapa sikap ayah ibunya kaku dan wajah mereka keruh. Tentu ada sesuatu yang mengganggu ayah ibunya dan hatinya ikut merasa tidak senang. Ia menganggap kemunculan pemuda itu hanya menggangu saja!

Ia kini berhadapan dengan Hong Beng yang masih berdiri di luar pintu depan. Melihat betapa anak perempuan itu kini muncul lagi dan tidak nampak orang lain, Hong Beng memandang dengan heran. Akan tetapi, Hong Li dengan nada suara kesal segera berkata,

“Ayah dan ibu sedang sibuk, tidak dapat menerima tamu!“






Hong Beng mengerutkan alisnya. Menurut penuturan suhunya, Kao Cin Liong adalah seorang pendekar yang gagah perkasa dan budiman. Kenapa keluarga ini sekarang bersikap begitu angkuh? Apakah ada sesuatu yang terjadi? Dia merasa penasaran. Anak perempuan ini kelihatan galak dan pandang mata yang tajam itu mengandung kenakalan.

Jangan-jangan ulah anak perempuan ini saja yang hendak mempermainkannya.
“Akan tetapi, penting sekali bagiku untuk bertemu dengan Kao-locianpwe!”

“Hemm, mungkin penting bagimu, akan tetapi tidak ada artinya bagi kami. Ada keperluan apakah engkau hendak menghadap ayah dan ibu?”

Hong Beng menganggap bahwa sikap anak perempuan ini tinggi hati sekali, maka diapun menjawab singkat,

“Keperluan banyak. Aku singgah di sini dan ingin menghadap adalah untuk memenuhi pesan guruku.”

“Siapa sih gurumu?” tanya Hong Li sambil memandang pemuda itu dengan teliti, dari kepala sampai ke kaki.

“Guruku bernama Suma Ciang Bun.!”

“Bohong!” Hong Li membentak keras sampai Hong Beng menjadi kaget. “Enak saja engkau mengaku murid pamanku. Kalau benar muridnya, tentu engkau dapat menyambut seranganku ini!”

Tanpa banyak cakap lagi gadis cilik yang galak dan lincah itu sudah menerjang maju, memukul ke arah dada Hong Beng.

Tentu saja Hong Beng mengenal sebuah jurus dari Ilmu Cui-beng Pat-ciang itu, maka diapun mengelak dengan mudahnya. Bahkan karena mendongkol dan menganggap anak perempuan ini terlalu galak, ketika Hong Li menyerang lagi dengan tendangan kilat, dia mengelak sambil memutar langkahnya dan tiba-tiba saja tangannya sudah menampar ke arah pinggul anak perempuan itu, dengan maksud untuk menghajarnya agar tidak terlalu nakal dan bersikap sopan kepada tamu.

“Plakk!” Pinggul itu kena ditampar, cukup keras sehingga mendatangkan rasa panas dan nyeri.

Marahlah Hong Li. Sepasang matanya terbelalak dan mukanya menjadi merah saking marahnya.

“Haiiiittt....!”

Ia berteriak dan kini ia menghujankan pukulan-pukulan ke arah tubuh Hong Beng, mempergunakan ilmu-ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari ayah ibunya. Kalau tadi ia sengaja menyerang dengan jurus dari Cui-beng Pat-ciang yang dilatihnya dari ibunya, kini ia menggunakan ilmu yang didapat dari ayahnya yang tentu tidak akan dikenal oleh seorang murid pamannya karena kalau ibunya merupakan keturunan keluarga Pulau Es, ayahnya adalah keturunan majikan Istana Gurun Pasir!

Akan tetapi, Hong Li yang baru berusia tiga belas tahun ini, tentu saja belum menguasai ilmu-ilmu silat tinggi itu dengan matang dan bukan merupakan lawan berat bagi Hong Beng. Kalau pemuda ini menghendaki, tentu dia akan mampu merobohkannya. Akan tetapi Hong Beng dapat menduga siapa adanya gadis cilik ini. Puteri dari Pendekar Kao Cin Liong. Maka diapun hanya mengalah dan terus main mundur, mengelak dan menangkis, tidak pernah membalas.

Pada saat Hong Li menyerang sambil mengeluarkan bentakan nyaring itu, tentu saja Kao Cin Liong dan Suma Hui yang berada di dalam rumah terkejut sekali dan mereka berdua bergegas keluar untuk melihat apa yang terjadi. Ketika mereka melihat anak mereka berkelahi dengan seorang pemuda baju biru, Cin Liong sudah hendak melerai, akan tetapi lengannya dipegang isterinya yang berbisik,

“Lihat, bukankah dia menggunakan gerakan ilmu silat keluargaku?”

Cin Liong memperhatikan dan harus mengakui kebenaran isterinya. Pemuda yang selalu mengelak atau menangkis, yang terus mengalah itu, bersilat dengan gerakan ilmu silat keluarga Pulau Es! Setelah mereka melihat jelas, dan juga tahu bahwa pemuda itu lihai sekali dan sengaja mengalah, Suma Hui lalu meloncat ke depan.

“Hong Li, hentikan serangan-seranganmu itu!” bentaknya.

Mendengar bentakan ibunya, Hong Li meloncat ke belakang. Peluh membasahi dahi dan lehernya, ia merasa penasaran sekali tadi karena semua serangannya luput atau tertangkis, akan tetapi setelah ayah ibunya muncul, iapun kini sadar bahwa ialah yang lebih dulu menyerang pemuda itu.

Maka sebelum pemuda itu ditanyai, ia lebih dulu berkata kepada ibunya.
“Siapa yang tidak mendongkol? Orang ini mengaku-aku sebagai murid paman Suma Ciang Bun!”

“Anak bodoh! Apa engkau sudah tidak mengenal lagi gerakan-gerakannya yang jelas membuktikan kebenaran pengakuannya?” kata Suma Hui dan dengan girang ia memandang kepada pemuda itu yang sudah menjatuhkan diri berlutut di depan ia dan suaminya.

“Harap bibi guru dan paman tidak menyalahkan adik ini. Saya yang bersalah dan maafkan kelancangan saya,”

Kata Hong Beng yang diam-diam teringat betapa dia tadi sudah “menghajar” gadis cilik itu dengan menampar pinggulnya! Ia menjadi khawatir kalau-kalau si kecil itu mengadu kepada orang tuanya.

“Engkau murid adikku Suma Ciang Bun?” Suma Hui bertanya. “Dan siapa namamu tadi? Hong Li sudah memberitahukan kepada kami akan tetapi kami lupa.”

“Namanya Gu Hong Beng dan kalau dia tak berhati-hati menjaga kelancangan tangan dan mulutnya, tentu akan kuhajar lagi!” kata Hong Li dan ucapan ini saja sudah membuat Hong Beng semakin gelisah.

Kiranya anak ini telah menyindirkan bahwa kalau ia tidak bersikap baik, tentu gadis cilik itu akan menghajarnya dengan mengadu kepada ayah dan ibunya

“Adik yang baik, harap maafkan aku.”

Kao Cin Liong tidak senang melihat kemanjaan puterinya. Jelas tadi bahwa yang terus-menerus melakukan penyerangan adalah Hong Li, akan tetapi kini sikap puterinya itu seolah-olah pemuda itu yang bersalah.

“Sudahlah, mari kita masuk dan bicara di dalam.”

Mereka masuk ke dalam rumah dan kemudian duduk di ruangan dalam. Suma Hui bertanya tentang adik laki-lakinya yang sudah lama tak pernah dijumpainya itu. Hong Beng menceritakan keadaan dirinya, betapa dia diselamatkan oleh Suma Ciang Bun pada tujuh tahun yang lalu, kemudian menjadi muridnya.

“Teecu diutus oleh suhu untuk melakukan penyelidikan tentang seorang pembesar bernama Hou Seng karena suhu mendengar betapa pembesar itu menguasai kaisar dan merajalela di kota raja.”

Suami isteri itu saling pandang.
“Ah, jadi berita tentang orang she Hou itu sudah sampai sejauh itu?” Kao Cin Liong berseru heran.

“Tidak aneh. Berita tentang kebaikan seseorang tidak akan melewati ambang pintu gerbang, sebaliknya berita tentang kebusukan seseorang akan terbawa angin dan meluas dengan cepatnya.”

“Lalu apa yang telah kau lakukan, Hong Beng?” tanya Kao Cin Liong sambil memandang wajah tampan sederhana itu.

Hong Beng lalu menceritakan betapa dia sudah pergi ke kota raja.
“Teecu pergi ke kota raja bukan hanya untuk memenuhi perintah suhu, akan tetapi juga untuk mencari jejak seorang pendeta Lama dari Tibet yang telah melarikan adik Suma Lian puteri dari susiok (paman guru) Suma Ceng Liong.”

Suami isteri itu terkejut sekali.
“Aih! Apa yang telah terjadi dengan anak itu?” teriak Suma Hui.

Tentu saja ia mengenal Suma Lian karena beberapa kali sudah ia bertemu dengan puteri tunggal Suma Ceng Liong itu.

Hong Ben, menceritakan tentang kunjungannya ke dusun Hong-cun dan kebetulan sekali dia sempat membantu nenek Teng Siang In yang berkelahi melawan Sai-cu Lama memperebutkan Suma Lian yang diculik oleh kakek itu, sampai akhirnya nenek Teng Siang In tewas dan Suma Lian dilarikan oleh Sai-cu Lama. Mendengar cerita ini, kedua suami isteri itu menjadi semakin terkejut.

“Bibi Teng Siang In sampai tewas? Aihhh.... kami sama sekali tidak mendengar!”

“Mungkin susiok Suma Ceng Liong tidak sempat memberi kabar karena tentu dia dan isterinya cepat-cepat melakukan penyelidikan dan hendak mencari puteri mereka,” kata Hong Beng.

“Adik Lian diculik orang? Wah, siapa penculiknya itu! Ayah dan ibu, mari kita pergi mencari dan menyelamatkannya!” teriak Hong Li marah mendengar betapa adik misannya itu diculik orang jahat.

Kao Cin Liong memberi isyarat agar puterinya itu tidak membuat gaduh, lalu dia bertanya kepada Hong Beng,

“Kalau sampai bibi Teng Siang In tewas di tangan orang itu, tentu orang itu lihai sekali. Orang macam apakah yang bernama Sai-cu Lama itu?”

“Sai-cu Lama memang lihai sekali, sudah tua bertubuh tinggi besar, perutnya gendut dan kepalanya gundul, mengenakan pakaian jubah pendeta Lama dari Tibet. Nenek Teng Siang In terluka oleh Ban-tok-kiam sehingga akhirnya tewas.“

“Ban-tok-kiam....?” Kao Cin Liong dan Suma Hui berteriak hampir berbareng.

Hong Beng teringat bahwa pedang pusaka itu adalah milik subo (ibu guru) dari Bi Lan, yaitu nenek Wan Ceng atau ibu kandung Kao Cin Liong ini.

“Benar, pedang pusaka itu adalah milik locianpwe Wan Ceng dan oleh Sai-cu Lama pedang itu dirampas dari tangan nona Can Bi Lan.”

“Eh, bagaimana pula ini? Siapa itu Can Bi Lan dan bagaimana pedang Ban-tok-kiam milik ibuku berada di tangannya?”

Kao Cin Liong bertanya tak sabar lagi. Tak disangkanya bahwa pemuda yang datang ini membawa banyak sekali berita yang amat penting dan mengejutkan.

“Nona Can Bi Lan pernah menerima latihan ilmu dari locianpwe Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya, dan nona itu menerima pedang pusaka Ban-tok-kiam yang dipinjamkan oleh subonya untuk melindungi diri. Akan tetapi ternyata, di depan teecu sendiri, kakek Sai-cu Lama merampasnya. Kami berdua sudah berusaha untuk merampasnya kembali, namun kakek itu amat lihai dan dapat meloloskan diri. Dan kemudian, teecu bertemu pula dengan kakek itu ketika kakek itu bertempur melawan locianpwe Teng Siang In, melukainya dengan Ban-tok-kiam dan menculik adik Suma Lian puteri dari susiok Suma Ceng Liong.”

Suami isteri itu terkejut dan terheran-heran.
“Ah! Ban-tok-kiam terampas orang dan dipakai membunuh bibi Teng Siang In, dan puteri adik Suma Ceng Liong juga diculik oleh perampas Ban-tok-kiam itu! Ah, kita tidak boleh tinggal diam saja!” kata Suma Hui sambil mengepal tinju.

Kao Cin Liong yang lebih tenang sikapnya itu hanya mengangguk, lalu memandang wajah Hong Beng.

“Orang muda, berita yang kau bawa ini sungguh amat penting sekali bagi kami dan kami berterima kasih sekali kepadamu. Karena kamipun mendengar kabar-kabar angin yang buruk sekali mengenai kota raja, maka dapatkah kau menceritakan bagaimana sebenarnya keadaan di sana?”

“Teecu sudah melakukan penyelidikan di kota raja, akan tetapi tidak menemukan jejak Sai-cu Lama yang melarikan Ban-tok-kiam dan adik Suma Lian Teecu mendengar bahwa pembesar yang bernama Hou Seng itu amat berkuasa di istana dan kini dia dibantu oleh banyak orang sakti. Juga teecu mendengar akan pertentangan-pertentangan dan pembunuhan-pembunuhan rahasia yang terjadi di kota raja, di antara orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi, Karena teecu tidak tahu apa yang harus teecu lakukan, maka teecu teringat akan pesan suhu agar menemui bibi guru di sini dan minta nasihat dari locianpwe yang lebih tahu akan seluk-beluk para pembesar di kota raja.”

Kao Cin Liong menarik napas panjang.
“Sudah belasan tahun aku sendiri tidak pernah mencampuri urusan pemerintah dan dunia kang-ouw sehingga aku sendiri tidak dapat banyak memberi nasihat. Tadinya kami sama sekali tidak menaruh minat dan tidak ingin terlibat karena semua kemelut itu terjadi akibat para pembesar yang saling memperebutkan kekuasaan. Akan tetapi setelah mendengar bahwa Suma Lian diculik orang, juga pusaka ibuku yang dipinjamkan kepada gadis bernama Can Bi Lan itu dirampas orang pula, dan orang itu agaknya menuju ke kota raja, maka kami tidak akan tinggal diam saja. Setelah melihat sendiri keadaan di kota raja, barulah aku akan dapat menentukan apa yang sebaiknya harus dilakukan.”

“Ayah, aku ikut ke kota raja. Aku harus membantu agar adik Lian dapat segera diselamatkan dan kita hajar penculiknya!” kata Hong Li dengan gemas.

Hong Beng memandang gadis cilik itu dan merasa kagum. Gadis cilik ini biarpun galak, akan tetapi penuh semangat dan keberanian, jiwa seorang pendekar sejati.

“Hong Li, ayah ibumu bukan ingin pergi ke kota raja untuk pelesir. Engkau harus tahu bahwa kita berhadapan dengan orang pandai sekali. Lihat, ini suhengmu yang demikian pandaipun tidak mampu menandingi penculik itu! Engkau harus menjaga rumah dan kami akan pergi melakukan penyelidikan. Kami harus dapat menolong adikmu Suma Lian,” kata Suma Hui kepada anaknya.

Setelah bercakap-cakap menceritakan pula keadaan gurunya, Hong Beng lalu berpamit untuk melanjutkan penyelidikannya di kota raja. Suami isteri itu tidak menahannya dan berjanji akan segera berangkat juga ke sana.

“Mudah-mudahan kita dapat saling bertemu dan bergabung di sana,” kata Kao Cin Liong.

Setelah pemuda itu pergi dan bicara berdua saja, Kao Cin Liong dan Suma Hui memuji pemuda murid Suma Ciang Bun itu.

“Dia masih muda sekali, kepandaiannya sudah cukup tinggi dan melihat sikapnya, apalagi ketika melayani kerewelan Hong Li, dia itu orangnya sabar dan bijaksana. Sungguh seorang pemuda yang baik sekali,” kata Kao Cin Liong.

Isterinya mengangguk dan memandang wajah suaminya, seperti ingin menjenguk isi hatinya.
“Kau pikir cukup baik untuk anak kita?”

Kao Cin Liong mengangguk-angguk.
“Kalau saja anak kita yang hanya satu-satunya itu kelak bisa berjodoh dengan seorang pemuda seperti Gu Hong Beng itu, aku akan merasa bersyukur sekali. Akan tetapi, tentu saja semua itu terserah kepada Hong Li sendiri.”

“Benar,” kata isterinya. “Memang pemuda itu baik, akan tetapi itu menurut pandangan dan pendapat kami. Dalam hal perjodohan, pandangan dan pendapat anak yang bersangkutanlah yang penting, bukan pandangan orang tua.”

Cin Liong mengangguk.
“Engkau benar, isteriku. Tidak ada contoh yang lebih baik dari pada perjodohan antara kita sendiri. Anak kita yang harus menentukan kelak, siapa yang akan menjadi suaminya, betapapun condongnya hati kita untuk bermenantukan seorang pemuda seperti Hong Beng itu.”

“Benar, dan pula, biarpun Ciang Bun itu adik kandungku sendiri, kita sudah tahu akan kelainan pada dirinya. Hal ini yang menimbulkan keraguan. Siapa tahu Hong Beng yang menjadi muridnya itupun memiliki kelainan yang sama. Ah, sudahlah. Biar kelak Hong Li memilih sendiri dan kita sebagai orang tua hanya ikut mengamati saja agar pilihannya tidak keliru.”

Pendapat seperti yang diucapkan oleh Suma Hui inilah yang seringkali menjadi pokok dasar pertentangan antara orang tua dan anaknya dalam pemilihan jodoh. Orang tua bilang tidak akan memilihkan, dan membiarkan si anak memilih dan menentukan sendiri jodohnya, dengan embel-embel agar anaknya tidak KELIRU memilih! Ini sama saja dengan keharusan menurut pilihan orang tua! Tentu saja kalau orang tua tidak suka dengan calon suami pilihan anaknya, dengan mudah mereka melontarkan kata-kata KELIRU memilih itulah!

Kalau orang merasa tidak suka, mudah saja mencari cacat cela orang yang tidak disukainya itu, sebaliknya kalau orang merasa suka, juga mudah pula mencari segi-segi kebaikannya untuk ditonjolkan. Memang kalau sudah ada penilaian, tidak ada orang yang hanya baik saja tanpa cacat, juga tidak ada orang yang sama sekali busuk tanpa kebaikan sedikitpun. Kalau si anak memilih orang yang disuka, maka dikatakan bahwa pilihannya itu sudah benar, akan tetapi kalau sebaliknya yang dipilih itu tidak disukai, tentu dikatakan bahwa pilihannya keliru dan terjadilah pertentangan.

Ini bukan berarti bahwa orang tua harus membebaskan anaknya sebegitu rupa sehingga si anak boleh melakukan apa saja sesuka hatinya! Bebas bukan berarti “semau gua”. Bebas dalam arti kata tidak tertekan oleh kekuasaan orang lain, akan tetapi di dalam kebebasan itu terdapat disiplin diri yang tidak terlepas dari pada tata cara pergaulan dalam masyarakat.

Karena itu, orang tua yang bijaksana, di samping memberi kebebasan yang seluasnya kepada si anak, juga sepenuh perhatian memberi bimbingan dan pendidikan kepada si anak, sehingga si anak tumbuh menjadi manusia yang cerdas, berakal budi, dan bukan hanya menjadi seorang hamba nafsu belaka.

Perjodohan baru benar kalau berdasarkan cinta kasih, dan cinta adalah urusan batin yang bersangkutan, yang hanya dapat dirasakan dan diketahui oleh orang yang bersangkutan saja. Pilihan orang tua tak mungkin berdasarkan cinta kasih ini karena mereka tidak ikut merasakan.

Pilihan orang tua tentu hanya berdasarkan keadaan si calon yang dipilih, wajah dan watak yang baik, dari keturunan keluarga yang baik, kedudukan yang baik dan sebagainya, yang kesemuanya diukur dari keadaan umum atau dari selera mereka sendiri. Sebaliknya, pilihan orang yang bersangkutan biasanya berdasarkan cinta. Sayang bahwa kebanyakan cinta di antara mereka ini sebenarnya hanyalah nafsu belaka, tertarik karena wajah elok, kepandaian, kedudukan dan sebagainya sehingga kelak mereka akan menemui kegagalan.

**** 051 ****