Ads

Kamis, 21 Januari 2016

Suling Naga Jilid 086

Tentu saja Agakai menjadi bangga dan gembira sekali mendengar ini. Telah tersentuh kelemahannya! Dia memang selalu ingin menonjolkan bahwa dia adalah keturunan Jenghis Khan, maka kini ucapan tosu itu seperti mengelus perasaannya dan dia menjadi senang sekali kepada para tosu itu.

“Memang tidak keliru kalau totiang beranggapan demikian,” katanya bangga. “Akulah satu-satunya orang di seluruh Mongol yang berdarah Jenghis Khan dan yang akan mampu menggerakkan seluruh bangsaku untuk bangkit lagi.”

“Itulah harapan kami, saudara Agakai. Kami menganggap bahwa gerakan yang datang dari utara lebih banyak harapan untuk berhasil, karena selain dekat dengan kota raja, juga terdapat banyak gunung dari mana kita dapat bergerak secara sembunyi. Tembok Besar tidak merupakan penghalang yang terlalu berat, bahkan para perajurit pamerintah yang melakukan tugas berjaga di Tembok Besar, kebanyakan kurang semangat dan kurang kuat, jauh dari hiburan dan sudah merasa bosan tinggal di tempat yang tandus. Kami membutuhkan bantuan saudara untuk menghimpun tenaga yang kuat, yang setiap waktu dapat kami pergunakan untuk menyerbu ke selatan. Kami akan bergerak dari dalam Tembok Besar.”

“Nanti dulu, totiang. Selain pemerintah Mancu memiliki pasukan yang amat besar dan kuat, juga Kaisar Kian Liong selalu dibantu oleh para pendekar yang setia dan mereka memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Mungkin saja menandingi pasukan dengan siasat perang, akan tetapi bagaimana akan dapat menandingi para pendekar yang memiliki ilmu silat tinggi?”

“Ha-ha-ha, tidak perlu khawatir, saudara Agakai. Kami orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai memiliki banyak sekali tokoh yang berilmu tinggi, dan para pendekar itu tidak ada artinya bagi kami.”

“Tapi, di sana terdapat para pendekar yang lihai, seperti keluarga Pulau Es.“

“Siancai!”

Tosu berjenggot panjang itu berseru
“Keluarga Pulau Es hanyalah penjilat-penjilat kaisar, takut apa? Kalau ada yang muncul di sini, tentu kepalanya akan pinto hancurkan dengan tongkat ini, seperti kepala arca di sana itu!”

Tiba-tiba kakek itu melemparkan tongkatnya dan sungguh aneh. Tongkat yang berbentuk seekor naga hitam itu tiba-tiba saja seperti “hidup”, terbang melayang menyambar ke arah sebuah arca batu yang berdiri sejauh dua puluh meter lebih dari tempat kakek itu duduk. Terdengar suara keras ketika tongkat menghantam kepala arca, dan pecah berantakanlah kepala arca itu, sedangkan tongkatnya kembali terbang ke arah tangan tosu tua itu!

Hong Beng terkejut dan maklum bahwa tosu Pek-lian-kauw ini mempergunakan ilmu sihir bercampur ilmu silat yang amat tinggi!

Sementara itu, Agakai dan para pembantunya memandang dengan mata terbelalak dan mulut bengong. Kemudian terdengar sorak-sorai para anak buahnya yang berada di sekeliling tempat pesta itu. Merekapun melihatnya dan memberi pujian.

Sementara itu, Hong Beng, tentu saja merasa perutnya panas mendengar betapa keluarga Pulau Es dimaki sebagai penjilat dan dipandang rendah. Dan pada saat itu, diapun tiba-tiba teringat siapa adanya dua orang tosu yang duduk di situ, yang tadi diingatnya sebagai orang-orang yang pernah dikenalnya.

Kini dia teringat bahwa dua orang itu bukan lain adalah dua orang pendeta yang pernah dijumpainya ketika dia mencarikan obat untuk suhunya yang terluka. Dua orang pendeta yang ditemukannya dalam keadaan luka dan menceritakan kepadanya bahwa mereka adalah dua orang yang menentang Bi-kwi, karena Bi-kwi menculiki pemuda-pemuda di dusun, akan tetapi mereka berdua kalah karena Bi-kwi dibantu oleh Bi Lan dan Sim Houw!

Karena keterangan mereka itulah maka dia bersama suhunya lalu pergi mencari Bi Lan dan Sim Houw, bahkan lalu menyerang mereka. Kini timbul keraguan dalam hatinya! Benarkah keterangan mereka tempo hari? Mungkinkah seorang tosu Pek-lian-kauw dan seorang tosu Pat-kwa-pai muncul sebagai pendekar, sedangkan Bi Lan dan Sim Houw sebaliknya menjadi pembela yang jahat? Pikiran ini membuat dia menjadi semakin marah. Jangan-jangan dua orang pendeta ini dahulu hanya melakukan fitnah saja sehingga berhasil mengadu domba antara dia dan gurunya melawan Bi Lan dan Sim Houw! Kalau benar, celakalah!

Pada saat itu, terdengar tosu tinggi besar perut gendut, seorang di antara dua pendeta yang pernah dijumpai Hong Beng, yaitu yang bernama Ok Cin Cu, tokoh Pat-kwa-pai, berkata kepada Agakai,

“Saudara Agakai, sudah menjadi tugas kami masing-masing tosu dari perkumpulan kami untuk menyampaikan berkah dan pelajaran kepada seorang murid wanita baru. Pinto minta agar gadis yang duduk di belakangmu itu malam nanti menjadi murid pinto yang baru dan tinggal bersama pinto dalam kamar pinto.”

Agaknya Agakai sudah tahu akan kebiasaan para tosu cabul itu, maka mukanya menjadi merah karena yang dimintanya adalah puterinya! Dia tidak perduli akan kebiasaan mereka. Dia bahkan menganggapnya wajar kalau tokoh-tokoh besar itu membutuhkun hiburan karena tugas mereka yang berat dalam perjuangan. Akan tetapi kalau puterinya yang diminta, tentu saja dia tidak dapat memaksa puterinya.

Agakai tertawa.
“Totiang, agaknya engkau belum tahu bahwa ia ini adalah Mayani, puteriku sendiri. Aku tak pernah memaksa puteriku, akan tetapi kalau ia suka melayanimu dan menjadi muridmu malam ini secara suka rela, akupun tidak akan dapat melarangnya.”

Dengan ucapan ini, Agakai merasa yakin bahwa puterinya tentu akan menolak. Gadis mana yang suka melayani seorang kakek yang buruk rupa dan berperut gendut seperti tosu itu? Apalagi puterinya, gadis yang amat pemilih dan selama ini belum pernah mau menerima pinangan pemuda-pemuda yang cukup tampan.

Tosu berjenggot panjang yang memimpin para tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai itu tiba-tiba berkata,

“Aha, tentu saja nona Mayani suka melayani dan menjadi murid saudara Ok Cin Cu!”

Begitu ucapan ini dikeluarkan, tiba-tiba Mayani lalu bangkit berdiri, lalu menghampiri Ok Cin Cu dan berkata,

“Aku suka sekali melayanimu dan menjadi muridmu, totiang!”






Tentu saja Agakai terkejut setengah mati melihat puterinya demikian patuh dan dengan suka rela menghampiri tosu itu dan menyatakan suka malayani dan menjadi murid! Janjinya telah diucapkan dan disaksikan orang banyak ternyata Mayani dengan suka sendiri mau melayani tosu gendut itu.

“Mayani.!” Dia berseru kaget dan heran.

Tiba-tiba Hong Beng yang sudah tidak mampu menahan kesabarannya lagi karena dia maklum apa artinya sikap Mayani yang aneh itu, ialah bahwa gadis itu tentu terkena pengaruh sihir kakek berjenggot panjang, lalu bangkit berdiri, menggebrak meja dan dari mulutnya keluar suara melengking tinggi yang membuyarkan pengaruh sihir atas diri Mayani karena teriakan melengking itu mengandung tenaga khi-kang yang amat kuat.

Mayani tersentak kaget, lalu menjadi bingung mengapa ia berdiri di depan tosu gendut.
“Eh, apa yang terjadi.... ayah....?” tanyanya dan iapun cepat kembali ke belakang ayahnya.

“Para tosu jahat dan cabul!” bentak Hong Beng dengan marah sehingga sepasang matanya berkilat. “Kalian telah menyebar racun fitnah, bujukan dengan ilmu hitam yang amat keji! Saudara Agakai, jangan engkau terkena bujukan iblis mereka ini. Mereka adalah tosu-tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai yang amat jahat, berkedok perjuangan. Hampir saja puterimu terjebak dalam sihir dan menjadi korban mereka yang amat jahat!”

Para tosu itu bangkit berdiri dengan marah dan sekarang Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin, dua orang tosu yang berada di situ, juga mengenal Hong Beng.

“Siancai....! Dia ini adalah murid keluarga Pulau Es! Dia mata-mata musuh, dia mata-mata pemerintah Mancu!” teriak Ok Cin Cu dengan marah, memutar tongkat hitamnya yang berbentuk ular itu ke atas kepala.

Kalau tadinya Agakai terkejut mendengar kata-kata Hong Beng dan memandang kepada para tosu penuh kecurigaan dan kemarahan, kini dia terkejut dan menghadapi Hong Beng,

“Gu-taihiap, benarkah engkau murid keluarga Pulau Es?”

Dengan sikap gagah Hong Beng menjawab,
“Benar, aku adalah murid keluarga Pulau Es, dan seperti semua orang gagah di seluruh dunia, akupun menentang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw yang melakukan kejahatan dengan kedok agama dan perjuangan! Harap saudara Agakai jangan sampai terkena bujukan mereka!”

Akan tetapi, mendengar bahwa pemuda ini murid keluarga Pulau Es, Agakai yang juga telah terkena pengaruh sihir dari para tosu, segera merasa tak senang dan curiga. Bagaimanapun juga, dia tahu bahwa keluarga Pulau Es condong membantu pemerintah Mancu karena mereka itu berdarah Mancu pula.

“Tangkap mata-mata ini!” teriaknya kepada orang-orangnya.

Hong Beng terkejut dan tak sempat untuk membela diri dengan kata-kata, maka sekali meloncat dia telah berada di luar tempat pesta itu. Akan tetapi, lima orang tosu itu sudah berloncatan dan mengepungnya.

“Ha-ha-ha, orang muda mata-mata musuh, hendak lari ke mana engkau?”

Teriak Thian Kek Seng-jin yang sudah menggerakkan tongkatnya yang berbentuk naga hitam pula, seperti tongkat tosu berjenggot panjang yang menjadi pemimpin rombongan itu.

“Wuuuttt....!”

Hong Beng mengelak, akan tetapi dia segera dikeroyok dan karena tingkat kepandaian para tosu itu amat tinggi, yang paling rendah seimbang dengan tingkatnya, tentu saja dia menjadi repot sekali menghadapi pengeroyokan mereka. Apalagi, diluar kepungan ini masih terdapat para anggauta Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, juga orang-orang Mongol.

Ketika tongkat hitam berbentuk ular di tangan Ok Cin Cu menyambar lehernya dan sebatang pedang menusuk lambungnya, dia cepat mengelak dan pada saat itu, tosu berjenggot panjang telah mengebutkan saputangan hitam di depan muka Hong Beng.

Karena dia dalam keadaan mengelak dan terkepung, Hong Beng tidak mampu mengelak lagi dan begitu saputangan itu dikebutkan dan mengeluarkan debu, diapun mencium bau keras dan roboh pingsan!

Kiranya para tosu itu tidak mau membunuh Hong Beng karena mereka ingin memanfaatkan pemuda ini. Sebagai seorang pemuda murid keluarga Pulau Es, tentu saja dia merupakan orang penting. Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin sudah pernah mempermainkannya dan mereka tahu bahwa Hong Beng merupakan seorang pemuda yang berwatak keras dan mudah ditipu. Tidak ada gunanya membunuh pemuda ini, akan tetapi mungkin dalam keadaan hidup mereka akan dapat memanfaatkan pemuda ini, setidaknya sebagai sandera karena siapa tahu kalau-kalau di belakang pemuda ini masih terdapat keluarga Pulau Es yang hendak menyerbu mereka.

Setelah Gu Hong Beng dibikin tak berdaya dengan dibelenggu kaki tangannya, dan para tosu itu menyerahkannya kepada anak buah Agakai untuk dimasukkan sebuah kamar dan dijaga ketat, dibantu penjagaannya oleh para tosu anggauta Pek-lian-kauw, para tosu lalu mengajak Agakai melanjutkan percakapan mereka.

Mayani tak nampak di situ karena begitu tadi sadar bahwa ia telah bertindak aneh dan bahkan menyerahkan diri untuk melayani tosu gendut, gadis ini menjadi ngeri dan meninggalkan tempat itu. Ia menangis di dalam kamarnya, teringat akan Hong Beng yang pingsan dan ditawan. Ia tidak mengerti mengapa ayahnya berbalik memusuhi penolongnya itu dan ia merasa penasaran sekali!

Sementara itu, kakek jenggot panjang yang merupakan seorang tokoh Pek-lian-kauw, berkata kepada Agakai,

“Saudara Agakai, mengingat bahwa engkau agaknya kurang setuju kalau puterimu menjadi murid seorang di antara kami, biarlah pinto membatalkan saja dan puterimu tidak akan menjadi murid kami. Tentu saja engkau tahu bahwa sebagai pengganti puterimu, engkau sepatutnya menyediakan gadis-gadis lain untuk menjadi murid-murid kami berlima malam ini “

Wajah kepala suku itu menjadi berseri.
“Tentu saja! Jangan khawatir, kalau gadis-gadis suku kami tidak berbakat menjadi murid kalian, masih ada gadis-gadis Hui yang dapat kami minta untuk menjadi murid kalian.”

“Sekarang dengarkan rencana kami selanjutnya, saudara Agakai. Seperti kami katakan tadi, untuk daerah utara ini kami mempercayakan kepada saudara untuk menghimpun kekuatan dan mempersiapkan diri. Sewaktu-waktu kami akan memberi kabar kalau pasukanmu dibutuhkan. Di bagian timur, kami telah menghubungi para bajak laut Bangsa Korea dan Jepang, dan di barat kami akan mencoba untuk menghubungi Sin-kiam Mo-li.”

“Sin-kiam Mo-li? Siapakah ia?” tanya Agakai yang tentu saja belum mengenal tokoh-tokoh di dunia kang-ouw.

“Ia seorang wanita yang sakti, jauh lebih pandai dari pada kami semua!” kata tosu berjenggot panjang. “Ia adalah anak angkat dari mendiang Kim Hwa Nio-nio yang tewas di tangan para pendekar, terutama keluarga Pulau Es. Karena itu, ia tentu mendendam kepada keluarga Pulau Es dan kami yakin ia akan suka menggabungkan diri dengan kita. Untuk daerah barat, kami akan menyerahkan kepada Sin-kiam Mo-li, tentu saja kalau ia suka bergabung seperti yang kami rencanakan. Ia tinggal di tepi Sungai Cin-sa, di kaki Pegunungan Heng-tuan-san. Ia lihai dan cantik jelita walaupun usianya sudah empat puluh tahun, seperti seorang gadis remaja saja!”

Para tosu lalu memuji-muji Sin-kiam Mo-li sebagai ahli silat dan juga ahli sihir yang amat pandai. Tentu saja Agakai menjadi kagum bukan main. Dia telah melihat kelihaian Hong Beng yang dengan mudah merobohkan keponakannya yang gila dan yang memiliki tenaga luar biasa kuatnya itu. Kemudian dia melihat betapa Hong Beng yang lihai itupun roboh dengan mudah oleh para tosu ini.

Maka, mendengar betapa wanita yang berjuluk Sin-kiam Mo-li itu memiliki ilmu silat dan ilmu sihir yang amat tinggi, lebih lihai dari pada para tosu itu, tentu saja sukar bagi dia untuk membayangkan kesaktian seperti itu. Diam-diam dia merasa girang dapat bekerja sama dengan orang-orang yang demikian pandainya. Agaknya dia akan dapat berhasil membangun kembali Kerajaan Goan-tiauw yang telah jatuh dari bangsanya yang jaya!

Para tosu itu dan para tokoh Mongol yang menjadi tuan rumah, sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi percakapan mereka didengarkan oleh dua orang yang mengintai tak jauh dari tempat itu. Dua orang yang memiliki gerakan amat ringan dan cepat sehingga mereka mampu mendekati tempat pesta pertemuan itu tanpa diketahui orang, bahkan ikut mendengarkan percakapan antara para tosu dan Agakai dengan menggunakan pendengaran mereka yang amat peka.

Dua orang ini bukan lain adalah Sim Huow dan Can Bi Lan. Seperti kita ketahui, dua orang ini kembali dari gurun pasir dan melakukan perjalanan cepat sehingga mereka dapat menyusul Hong Beng yang melakukan perjalanan terlebih dahulu, akan tetapi karena Hong Beng pernah salah jalan sehingga membuang waktu beberapa hari maka akhirnya dia tersusul. Sim Houw dan Bi Lan sama sekali tidak menyangka di situ akan bertemu dengan Hong Beng.

Mereka kebetulan lewat di dusun itu dan tadi mereka mendengar ribut-ribut di dalam dusun. Ketika mereka melihat Hong Beng dirobohkan dan tertawan, mereka tidak segera turun tangan, melainkan melakukan pengintaian untuk melihat apa yang terjadi dan mengapa pula Hong Beng dikeroyok para tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw di tempat itu.

Mereka berdua mengintai dan mendengarkan percakapan antara para tosu dan Agakai, kepala suku Mongol itu. Ketika mendengar disebutnya nama Sin-kiam Mo-li anak angkat Kim Hwa Nio-nio yang mendendam kepada keluarga Pulau Es, diam-diam mereka mencatat dalam hati nama wanita itu dan alamatnya. Kemudian, melihat bahwa yang dibicarakan oleh para tosu dan kepala suku adalah urusan pemberontakan, yang mereka namakan perjuangan, maka Sim Houw memberi isyarat kepada Bi Lan untuk meninggalkan tempat persembunyian mereka di atas pohon besar itu.

Baik buruk arau benar salahnya sesuatu atau suatu perbuatan tidak terletak di dalam perbuatan itu sendiri, melainkan terletak di dalam pandangan seseorang terhadap perbuatan itu. Kalau si pemandang merasa bahwa perbuatan itu menguntungkan atau menyenangkan hatinya, tentu saja dia akan mengatakan bahwa perbuatan itu baik dan benar. Sebaliknya kalau si pemandang menganggap perbuatan itu merugikan dan tidak menyerangkan hatinya, dia akan tanpa ragu mengatakan bahwa perbuatan itu buruk dan salah.

Inilah sebabnya mengapa orang-orang yang menentang pemerintah Mancu, dinamakan pemberontak jahat oleh pemerintah Mancu dan orang-orang yang tidak menyetujui perbuatan itu, sebaliknya disebut pejuang perkasa oleh mereka yang menganggap bahwa kepentingannya diwakili. Karena itu, apa yang dinamakan baik oleh seseorang, belum tentu baik bagi orang lain, juga yang dinamakan buruk atau jahat belum tentu demikian bagi pihak lain. Untuk dapat membebaskan diri dari ikatan ini, seyogianya kalau kita menghadapi segala sesuatu tanpa penilaian, melainkan membuka mata memandang dengan pengamatan yang penuh kewaspadaan dan penuh perhatian.

Pengamatan yang waspada ini membebaskan kita dari penilaian dan pendapat, tidak terpengaruhi perhitungan untung rugi dalam segala hal yang kita hadapi dan dari pengamatan penuh kewaspadaan ini lahirlah perbuatan-perbuatan yang sehat dan bijak.

“Kita harus bebaskan Hong Beng,” kata Sim Houw setelah mereka keluar dari tempat itu dan berada di belakang sebuah rumah kosong yang sunyi dan gelap.

“Untuk apa bebaskan orang seperti dia?” Bi Lan membantah.

“Ah, jangan berpikir demikian, moi-moi. Ia terjatuh ke tangan para tosu Pek-lian-kauw. Jangankan Hong Beng yang sudah kita kenal sebagai seorang pendekar gagah dan murid keluarga Pulau Es, biar orang lain sekalipun kalau terjatuh ke tangan para tosu yang jahat itu, sudah sepatutnya kalau kita tolong dia.”

Tanpa memberi kesempatan kepada kekasihnya untuk membantah lagi, Sim Houw sudah menggandeng tangan Bi Lan dan mengajaknya menyelinap di antara rumah-rumah dan menuju ke rumah di mana tadi mereka melihat Hong Beng dibawa masuk dalam keadaan kaki tangan terbelenggu.

Dengan kepandaian mereka yang tinggi, Sim Houw dan Bi Lan berhasil meloncat naik ke atas wuwungan rumah itu, membuka genteng dan mengintai ke dalam. Mereka melihat betapa Hong Beng diikat pada sebuah tihang di dalam rumah itu, dan di situ terdapat belasan orang Mongol dan anak buah Pek-lian-kauw, juga berjaga dengan rapat. Dua orang anggauta Pat-kwa-pai juga nampak berjalan hilir-mudik mengelilingi rumah tahanan itu.

Sebelum Sim Houw dan Bi Lan mengambil keputusan untuk berbuat sesuatu, tiba-tiba Sim Houw menyentuh lengan Bi Lan dan keduanya memandang dengan penuh perhatian ke bawah. Seorang gadis berbangsa Mongol memasuki pintu rumah itu dan para penjaga memberi jalan padanya, bahkan orang-orang Mongol itu bersikap hormat.

Gadis itu cantik manis dalam pakaiannya yang berwarna merah dan hitam, dan kini ia memasuki kamar di mana Hong Beng diikat pada tihang besar. Lima orang Mongol yang berjaga di situ nampak terkejut melihat masuknya gadis ini, akan tetapi ketika gadis itu menyuruh mereka keluar, lima orang itu tidak berani membantah, setelah saling pandang mereka lalu keluar dari dalam kamar itu. Gadis itu bukan lain adalah Mayani, puteri Agakai.

Setelah sekian lamanya gelisah di dalam kamarnya, akhirnya gadis itu tidak tahan lagi dan nekat mengunjungi Hong Beng dalam kamar tahanannya. Para penjaga tidak ada yang berani melarangnya, juga para anggauta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw tidak mencegah setelah mereka mendengar bahwa gadis itu adalah puteri kepala suku.

Setelah Mayani berada seorang diri dengan Hong Beng, gadis itu mendekati dan air matanya menetes ketika ia melihat betapa pemuda itu terbelenggu kaki tangannya, dan pipi dan lehernya lecet-lecet, juga pakaiannya robek-robek.

Hong Beng sudah siuman, akan tetapi dia masih belum mampu mengerahkan tenaganya karena selain obat bius itu masih memusingkan kepalanya, juga tadi tosu Pek-lian-kauw menotok jalan darahnya sehingga dia tidak mampu mengerahkan sin-kangnya. Andaikata dia sudah mampu sekalipun, belum tentu dia akan dapat membikin putus tali belenggu kaki tangannya yang terbuat dari pada kulit binatang yang amat kuat itu. Kini dia memandang kepada Mayani.

“Nona, kenapa engkau datang ke sini?” tanyanya lirih.

“Aih, Gu-taihiap, betapa hancur rasa hatiku melihat engkau dikeroyok dan ditangkap tadi. Akan tetapi, jangan khawatir, taihiap, aku datang untuk menolongmu, lihat aku sudah membawa pisau yang tajam untuk membikin putus tali belenggumu.”

Gadis itu mengeluarkan sebuah pisau yang mengkilat saking tajamnya. Hong Beng tidak kelihatan girang karena walaupun belenggu kaki tangannya putus, dia tetap saja tidak berdaya karena belum mampu mengerahkan sin-kangnya. Dengan tenaga utuh saja dia tidak mampu menandingi para tosu itu, apalagi setelah jalan darahnya tertotok. Apa artinya belenggunya terlepas kalau dia tidak mampu melarikan diri?

“Aku akan membebaskanmu, taihiap, dan aku akan melindungimu. Kalau aku mengancam akan bunuh diri, tentu ayah akan membiarkan kita pergi berdua tanpa diganggu. Akan tetapi, lebih dulu aku minta engkau berjanji.”

Hong Beng melihat kemungkinan baru untuk keselamatannya. Mungkin saja gadis ini dapat memaksa ayahnya, dan sebagai kepala suku, ayahnya tentu mempunyai kekuasaan untuk membebaskan dia dan Mayani!

“Janji apa, nona?”

“Janji bahwa setelah kubebaskan, engkau akan suka menerima aku menjadi isterimu dan mengajak aku ke manapun engkau pergi!”

Ucapan ini keluar demikian terbuka dan jujur tanpa malu-malu lagi dari mulut Mayani. Sebaliknya, Hong Beng yang mendengar ucapan ini menjadi tersipu dan mukanya berubah merah.

“Kenapa begitu, nona?” tanyanya, agak heran dengan permintaan tiba-tiba yang dianggapnya aneh ini.

“Karena aku cinta padamu, taihiap. Nah, kau berjanjilah dan aku akan membebaskanmu, mengajakmu menghadap ayah agar kita berdua diperbolehkan pergi dari sini dengan aman.”

Tentu mudah bagi Hong Beng untuk berjanji dan kemudian meninggalkan gadis ini. Akan tetapi dia adalah seorang gagah. Dia tidak mau menipu Mayani, tidak ingin melanggar janjinya sendiri. Maka dia menggeleng kepalanya.

“Aku.... aku tidak bisa berjanji, Mayani,”

Katanya, diam-diam merasa kasihan kepada gadis ini. Jatuh cinta dan tidak terbalas! Dia sudah merasakan betapa sakitnya hal ini kalau menimpa seseorang! Mayani jatuh cinta padanya, namun dia tidak dapat membalasnya.

“Kenapa tidak bisa, taihiap?”

“Karena aku tidak ingin kelak melanggar janjiku, tidak ingin berbohong kepadamu hanya agar aku dapat kau tolong. Karena aku.... terus terang saja, aku tidak.... cinta padamu, Mayani. Aku suka padamu, aku kasihan padamu, akan tetapi aku tidak cinta padamu.”
“Ahhh!” Mayani nampak kaget. “Akan tetapi, bukankah engkau telah menyelamatkan aku dari bencana, dari cengkeraman orang gila itu?”

“Aku menolongmu bukan karena aku cinta padamu. Gadis manapun akan kuselamatkan dari cengkeraman orang gila itu, Mayani.”

“Ahhh....!” Kini Mayani mengusap air mata dengan tangannya. Sungguh tak disangkanya jawaban seperti ini yang akan didengarnya. “Kalau begitu.... bagaimana aku dapat menolongmu? Apa yang harus kupakai sebagai alasan menolongmu?”

Hong Beng menarik napas panjang.
“Sudahlah, tidak perlu kau menolongku, Mayani. Kembalilah sebelum orang mengetahui niatmu dan engkau akan mendapat susah karena ini. Pergilah.”

Sejenak gadis itu bengong, seperti tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Orang ini berada dalam bahaya besar, akan tetapi menolak uluran tangannya untuk menolong dan menyelamatkannya. Kemudian, dengan kedua mata masih basah dan merah terpaksa Mayani keluar pula dari kamar itu.

Begitu ia keluar, lima orang Mongol itu cepat menyerbu ke dalam dan mereka nampak lega melihat bahwa tawanan itu masih terbelenggu pada tihang. Mereka tadi sudah merasa khawatir kalau-kalau Mayani melakukan kebodohan dan hendak membebaskan tawanan.

Sementara itu, Sim Houw dan Bi Lan melihat semua peristiwa yang terjadi di dalam kamar itu. Sim Houw lalu memberi isarat kepada Bi Lan. Keduanya lalu melayang ke dalam kamar. Sim Houw lebih dulu, diikuti oleh Bi Lan. Melihat dua orang melayang turun bagaikan dua ekor burung garuda, lima orang Mongol itu terkejut bukan main.

Mereka hendak menerjang, akan tetapi beberapa tamparan dan tendangan dari dua orang itu merobohkan mereka. Sim Houw cepat membikin putus belenggu pada kaki tangan Hong Beng. Melihat tubuh Hong Beng lemas, Sim Houw maklum. Yang penting melarikan pemuda ini, pikirnya. Totokan orang Pek-lian-kauw mungkin berbeda dan harus dicari dulu bagaimana untuk membebaskannya.

Maka setelah dua kali mencoba dan gagal membebaskan totokan, dia lalu menyambar tubuh Hong Beng, memanggulnya dan meloncat keluar dari kamar itu, didahului oleh Bi Lan. Sesuai dengan rencana mereka tadi, yang sudah diatur oleh Sim Houw ketika mereka mendekam di atas wuwungan, Bi Lan membuka jalan keluar. Beberapa orang penjaga yang terkejut melihat keluarnya gadis yang tidak dikenal ini, roboh oleh tamparan Bi Lan.

Keadaan menjadi gempar dan para penjaga berteriak-teriak ketika dua orang yang melarikan tawanan itu mengamuk dan merobohkan banyak penjaga. Mendengar teriakan-teriakan ini, para pimpinan tosu cepat mendatangi tempat itu bersama Agakai, akan tetapi dua orang penculik tawanan itu telah menghilang di dalam gelap, meninggalkan belasan orang penjaga yang tadi mereka robohkan.

Tentu saja para tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw menjadi marah. Ada orang berani membebaskan tawanan di depan hidung mereka! Hal ini sungguh membuat mereka merasa malu dan penasaran, maka mereka lalu melakukan pencarian dan pengejaran.

Karena Sim Houw juga menyadari betapa lihainya para tosu yang mampu menawan seorang pemuda seperti Hong Beng, maka dia mengajak Bi Lan berlari terus sampai jauh meninggalkan dusun itu dan akhirnya, pada pagi hari, mereka berhenti di bawah Tembok Besar.

Begitu berhenti, Sim Houw lalu mencoba beberapa totokan untuk membebaskan Hong Beng dan akhirnya dia berhasil. Hong Beng terbebas dari totokan dan setelah melemaskan otot-ototnya yang menjadi kaku, dia berdiri berhadapan dengan Sim Houw dan Bi Lan. Dia merasa canggung sekali, tidak tahu harus berkata apa. Dia pernah memusuhi kedua orang ini, bahkan sampai sekarangpun masih ada perasaan tidak suka.

Bagaimanapun juga, dia dan gurunya pernah berkelahi melawan mereka ini yang telah membela Bi-kwi. Kenyataan bahwa dia telah dikelabuhi oleh dua orang tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw itu belum melenyapkan sama sekali keraguannya dan dia masih menganggap bahwa dua orang ini setidaknya pernah menyeleweng dan membela Bi-kwi yang jahat, hanya karena Bi-kwi adalah suci dari Bi Lan.

“Sim Houw,” katanya kaku, “aku tidak pernah minta pertolongan kalian, akan tetapi biarlah aku mengucapkan terima kasih atas pertolongan kalian ini, walaupun jangan mengira bahwa terima kasih ini sudah melenyapkan ketidak cocokan di antara kita.”

Sejak tadi Bi Lan memang sudah tidak senang diajak oleh Sim Houw menyelamatkan Hong Beng. Kini mendengar ucapan yang dirasakannya amat menyakitkan hati itu, bangkitlah kemarahannya. Sambil bertolak pinggang dengan tangan kanan, telunjuk kirinya menuding ke arah hidung Hong Beng dan suaranya terdengar lantang dan galak,

“Gu Hong Beng manusia sombong! Siapa sudi menerima terima kasihmu? Ketahuilah, kalau aku akhirnya menyetujui Sim-koko untuk menolongmu, adalah karena aku tidak ingin melihat engkau mampus di sana. Aku ingin menghajarmu dengan kedua kaki tanganku sendiri. Engkau lancang dan banyak mulut, suka mengadu dan melancarkan fitnah, memburuk-burukkan nama kami di depan suhu dan subo di Istana Gurun Pasir!”