Akan tetapi, sepak terjang sebelas orang itu ternyata lebih hebat daripada enam orang pemimpin mereka yang lihai. Kalau enam orang pemimpin mereka hanya mengandalkan kepandaian saja, sebelas orang itu selain kepandaian pribadi, juga mengandalkan kekuatan yang tidak lumrah manusia, dan kenekatan yang mengerikan!
Tiga orang tua yang dikeroyok itu sebentar saja terdesak hebat. Kalau dibuat perbandingan, tentu saja tingkat kepandaian kakek Kao Kok Cu yang paling tinggi di antara isterinya dan hwesio itu, juga tingkatnya masih lebih tinggi daripada Sin-kiam Mo-li sekalipun.
Ketika dikeroyok dua oleh Sin-kiam Moli dan Sai-cu Sin-touw, dia masih dapat mengimbangi kekuatan mereka, bahkan membuat mereka kewalahan. Akan tetapi kini ditambah lima orang anak buah yang seperti kesurupan itu mengeroyok, kakek ini segera terdesak hebat dan beberapa kali tubuhnya sudah terkena tusukan pedang Sin-kiam Mo-li dan bacokan golok di tangan anak buah yang kesetanan itu.
Namun, dengan sikap yang masih gagah dan tenang, kakek penghuni Istana Gurun Pasir itu terus membela diri dengan gigih dan sabetan ujung lengan baju kirinya, ketika dia mengerahkan tenaga Sinliong Hok-te, merobohkan dua orang anggauta pasukan yang kesetanan itu. Mereka tewas seketika dengan kepala retak! Namun, yang tiga orang lagi menyerang semakin nekat, juga Sin-kiam Mo-li dan Sai-cu Sin-touw memperhebat desakan mereka melihat betapa kakek berlengan tunggal itu sudah menderita luka-luka.
Keadaan nenek Wan Ceng lebih parah lagi daripada suaminya. Tingkat kepandaiannya hanya seimbang dibandingkan Coa-ong Seng-jin, bahkan masih kalah dibandingkan tingkat Thian Kek Seng-jin, tokoh besar Pek-lian-kauw itu. Dikeroyok dua saja ia sudah repot, hanya mengandalkan pedang Ban-tok-kiam yang ampuh itu sajalah ia masih dapat melindungi dirinya.
Akan tetapi, ketika tiga orang yang kesetanan itu maju mengeroyok, ia pun tak dapat menghindarkan lagi senjata para pengeroyok sehingga menderita luka-luka, bahkan hantaman tongkat naga hitam di tangan Thian Kek Seng-jin yang mengenai pundak dekat leher membuat ia menderita luka dalam yang cukup parah.
Namun, nenek ini memang hebat. Luka-luka di tubuhnya tetap saja tidak dapat membangkitkan kemarahannya. Ia menahan rasa nyeri dan gerakan pedangnya tetap hebat sehingga ia pun berhasil menusuk roboh Coa-ong Seng-jin dengan pedangnya. Begitu tertusuk lambungnya oleh Ban-tok-kiam, Coa-ong Seng-jin menjerit dan roboh tak berkutik lagi, tubuhnya berubah menjadi kehitaman karena racun yang amat hebat dari pedang Ban-tok-kiam.
Melihat betapa sutenya tewas, Thian Kek Seng-jin menjadi semakin marah dan mendesak sehingga tongkatnya kembali berhasil menghantam betis kanan nenek Wan Ceng sehingga roboh terguling!
Tiga orang yang kesetanan itu menubruk dengan golok mereka. Namun, Wan Ceng membabat dan dua orang roboh oleh Ban-tok-kiam dan tewas seketika. Wan Ceng berhasil melompat dan segera membuat pedangnya menghadapi pengeroyokan Thian Kek Seng-jin yang kini hanya dibantu oleh seorang anak buah yang masih nekat kesetanan. Namun, pengeroyokan dua orang ini cukup membuat Wan Ceng sempoyongan karena ia sudah menderita luka-luka parah.
Bagaimana dengan Tiong Khi Hwesio? Sama saja! Seperti halnya nenek Wan Ceng, tingkat kepandaian Tiong Khi Hwesio hanya menang sedikit dibanding Ok Cin Cu, seorang di antara pengeroyoknya, namun dia masih kalah dibandingkan dengan Thian Kong Cin-jin. Menghadapi pengeroyokan dua orang ini saja dia sudah kewalahan, apalagi dua orang itu dibantu oleh tiga orang anak buah yang seperti orang kesurupan itu.
Biarpun kadang-kadang masih terdengar suara tertawanya, namun tubuh hwesio tua itu berkali-kali terkena hantaman tongkat dan serempetan golok sehingga dia menderita luka-luka. Namun, tidak percuma hwesio tua ini dahulu berjuluk Si Jari Maut, dan pedang Cui-beng-kiam di tangannya adalah sebatang pedang pusaka dari Pulau Neraka yang amat ampuh. Maka biarpun dia menderita luka-luka pula, dia berhasil membabat roboh tiga orang kesetanan itu dengan pedangnya walaupun dia pun roboh terguling karena pada saat itu, tongkat ular hitam di tangan Ok Cin Cu menghantam pahanya.
Begitu roboh, sebuah tendangan kaki Thian Kong Cin-jin membuat tubuh Tiong Khi Hwesio bergulingan. Ok Cin Cu mengejar dan menubruk dengan tongkat hitamnya yang berbentuk ular. Tongkat itu menghantam ke arah kepala Tiong Khi Hwesio tanpa dapat dielakkannya lagi. Tiong Khi Hwesio yang sudah maklum bahwa dia tidak akan mampu bertahan lagi, menggunakan kesempatan terakhir untuk menusukkan pedang Cui-beng-kiam ke arah lawan yang menyerangnya.
“Krakkk!”
“Cappp....!”
Tiong Khi Hwesio terkulai dengan kepala retak, tewas seketika, akan tetapi juga tubuh Ok Cin Cu terguling dan tewas tak lama kemudian karena dadanya ditembus pedang Cui-beng-kiam! Thian Kong Cin-jin memandang dengan mata terbelalak, hampir tidak percaya melihat betapa hwesio itu berhasil membinasakan sutenya, juga merobohkan tiga orang anak buah pasukan iblis itu.
Pada saat yang hampir bersamaan, Wan Ceng roboh pula oleh hantaman tongkat naga di tangan Thian Kek Seng-jin, namun pada saat ia terguling karena batang lehernya patah terkena ayunan tongkat, Wan Ceng melontarkan pedang Ban-tok-kiam yang mengenai perut anak buah pasukan iblis yang mengeroyoknya. Juga nenek ini, dalam pengeroyokan yang berat sebelah itu, berhasil membunuh Coa-ong Seng-jin dan tiga orang anak buah pasukan iblis.
Kakek Kao Kok Cu masih dikeroyok oleh Sin-kiam Mo-li, dan dua orang anak buah pasukan iblis karena dalam perkelahian selanjutnya tadi, Kao Kok Cu berhasil merobohkan Sai-cu Sin-touw ketika Maling Sakti ini berhasil menangkap ujung lengan bajunya yang kosong, yaitu yang kiri. Pada saat itu, Sin-kiam Mo-li menusukkan pedangnya yang mengenai pundak Kao Kok Cu, namun kakek sakti ini berhasil menampar dengan tangan kanannya, mengenai pelipis Saicu Sin-touw yang roboh dan tewas seketika.
Pada saat tiga orang anak buah pasukan iblis menubruk, tendangan kakinya yang keras merobohkan seorang anak buah dan menewaskannya. Kini dia menghadapi pengeroyokan Sin-kiam Mo-li dan dua orang anak buahnya. Dia masih terus menggerakkan kedua kakinya dan sebelah tangannya untuk membela diri, namun gerakannya menjadi semakin lambat dan lemah karena banyak darah keluar dari tubuhnya yang sudah amat tua itu.
“Wuuuttttt....!”
Tiba-tiba ujung kebutan di tangan kiri Sin-kiam Mo-li menyambar. Kao Kok Cu menggerakkan tangan kanan menangkap kebutan dan mengerahkan tenaganya.
“Brettt....!”
Bulu kebutan itu putus seluruhnya dan kini bulu-bulu yang beracun itu berada di tangan Kao Kok Cu sedangkan yang tinggal di tangan Sin-kiam Mo-li hanya tinggal gagang emasnya saja.
Tiga orang tua yang dikeroyok itu sebentar saja terdesak hebat. Kalau dibuat perbandingan, tentu saja tingkat kepandaian kakek Kao Kok Cu yang paling tinggi di antara isterinya dan hwesio itu, juga tingkatnya masih lebih tinggi daripada Sin-kiam Mo-li sekalipun.
Ketika dikeroyok dua oleh Sin-kiam Moli dan Sai-cu Sin-touw, dia masih dapat mengimbangi kekuatan mereka, bahkan membuat mereka kewalahan. Akan tetapi kini ditambah lima orang anak buah yang seperti kesurupan itu mengeroyok, kakek ini segera terdesak hebat dan beberapa kali tubuhnya sudah terkena tusukan pedang Sin-kiam Mo-li dan bacokan golok di tangan anak buah yang kesetanan itu.
Namun, dengan sikap yang masih gagah dan tenang, kakek penghuni Istana Gurun Pasir itu terus membela diri dengan gigih dan sabetan ujung lengan baju kirinya, ketika dia mengerahkan tenaga Sinliong Hok-te, merobohkan dua orang anggauta pasukan yang kesetanan itu. Mereka tewas seketika dengan kepala retak! Namun, yang tiga orang lagi menyerang semakin nekat, juga Sin-kiam Mo-li dan Sai-cu Sin-touw memperhebat desakan mereka melihat betapa kakek berlengan tunggal itu sudah menderita luka-luka.
Keadaan nenek Wan Ceng lebih parah lagi daripada suaminya. Tingkat kepandaiannya hanya seimbang dibandingkan Coa-ong Seng-jin, bahkan masih kalah dibandingkan tingkat Thian Kek Seng-jin, tokoh besar Pek-lian-kauw itu. Dikeroyok dua saja ia sudah repot, hanya mengandalkan pedang Ban-tok-kiam yang ampuh itu sajalah ia masih dapat melindungi dirinya.
Akan tetapi, ketika tiga orang yang kesetanan itu maju mengeroyok, ia pun tak dapat menghindarkan lagi senjata para pengeroyok sehingga menderita luka-luka, bahkan hantaman tongkat naga hitam di tangan Thian Kek Seng-jin yang mengenai pundak dekat leher membuat ia menderita luka dalam yang cukup parah.
Namun, nenek ini memang hebat. Luka-luka di tubuhnya tetap saja tidak dapat membangkitkan kemarahannya. Ia menahan rasa nyeri dan gerakan pedangnya tetap hebat sehingga ia pun berhasil menusuk roboh Coa-ong Seng-jin dengan pedangnya. Begitu tertusuk lambungnya oleh Ban-tok-kiam, Coa-ong Seng-jin menjerit dan roboh tak berkutik lagi, tubuhnya berubah menjadi kehitaman karena racun yang amat hebat dari pedang Ban-tok-kiam.
Melihat betapa sutenya tewas, Thian Kek Seng-jin menjadi semakin marah dan mendesak sehingga tongkatnya kembali berhasil menghantam betis kanan nenek Wan Ceng sehingga roboh terguling!
Tiga orang yang kesetanan itu menubruk dengan golok mereka. Namun, Wan Ceng membabat dan dua orang roboh oleh Ban-tok-kiam dan tewas seketika. Wan Ceng berhasil melompat dan segera membuat pedangnya menghadapi pengeroyokan Thian Kek Seng-jin yang kini hanya dibantu oleh seorang anak buah yang masih nekat kesetanan. Namun, pengeroyokan dua orang ini cukup membuat Wan Ceng sempoyongan karena ia sudah menderita luka-luka parah.
Bagaimana dengan Tiong Khi Hwesio? Sama saja! Seperti halnya nenek Wan Ceng, tingkat kepandaian Tiong Khi Hwesio hanya menang sedikit dibanding Ok Cin Cu, seorang di antara pengeroyoknya, namun dia masih kalah dibandingkan dengan Thian Kong Cin-jin. Menghadapi pengeroyokan dua orang ini saja dia sudah kewalahan, apalagi dua orang itu dibantu oleh tiga orang anak buah yang seperti orang kesurupan itu.
Biarpun kadang-kadang masih terdengar suara tertawanya, namun tubuh hwesio tua itu berkali-kali terkena hantaman tongkat dan serempetan golok sehingga dia menderita luka-luka. Namun, tidak percuma hwesio tua ini dahulu berjuluk Si Jari Maut, dan pedang Cui-beng-kiam di tangannya adalah sebatang pedang pusaka dari Pulau Neraka yang amat ampuh. Maka biarpun dia menderita luka-luka pula, dia berhasil membabat roboh tiga orang kesetanan itu dengan pedangnya walaupun dia pun roboh terguling karena pada saat itu, tongkat ular hitam di tangan Ok Cin Cu menghantam pahanya.
Begitu roboh, sebuah tendangan kaki Thian Kong Cin-jin membuat tubuh Tiong Khi Hwesio bergulingan. Ok Cin Cu mengejar dan menubruk dengan tongkat hitamnya yang berbentuk ular. Tongkat itu menghantam ke arah kepala Tiong Khi Hwesio tanpa dapat dielakkannya lagi. Tiong Khi Hwesio yang sudah maklum bahwa dia tidak akan mampu bertahan lagi, menggunakan kesempatan terakhir untuk menusukkan pedang Cui-beng-kiam ke arah lawan yang menyerangnya.
“Krakkk!”
“Cappp....!”
Tiong Khi Hwesio terkulai dengan kepala retak, tewas seketika, akan tetapi juga tubuh Ok Cin Cu terguling dan tewas tak lama kemudian karena dadanya ditembus pedang Cui-beng-kiam! Thian Kong Cin-jin memandang dengan mata terbelalak, hampir tidak percaya melihat betapa hwesio itu berhasil membinasakan sutenya, juga merobohkan tiga orang anak buah pasukan iblis itu.
Pada saat yang hampir bersamaan, Wan Ceng roboh pula oleh hantaman tongkat naga di tangan Thian Kek Seng-jin, namun pada saat ia terguling karena batang lehernya patah terkena ayunan tongkat, Wan Ceng melontarkan pedang Ban-tok-kiam yang mengenai perut anak buah pasukan iblis yang mengeroyoknya. Juga nenek ini, dalam pengeroyokan yang berat sebelah itu, berhasil membunuh Coa-ong Seng-jin dan tiga orang anak buah pasukan iblis.
Kakek Kao Kok Cu masih dikeroyok oleh Sin-kiam Mo-li, dan dua orang anak buah pasukan iblis karena dalam perkelahian selanjutnya tadi, Kao Kok Cu berhasil merobohkan Sai-cu Sin-touw ketika Maling Sakti ini berhasil menangkap ujung lengan bajunya yang kosong, yaitu yang kiri. Pada saat itu, Sin-kiam Mo-li menusukkan pedangnya yang mengenai pundak Kao Kok Cu, namun kakek sakti ini berhasil menampar dengan tangan kanannya, mengenai pelipis Saicu Sin-touw yang roboh dan tewas seketika.
Pada saat tiga orang anak buah pasukan iblis menubruk, tendangan kakinya yang keras merobohkan seorang anak buah dan menewaskannya. Kini dia menghadapi pengeroyokan Sin-kiam Mo-li dan dua orang anak buahnya. Dia masih terus menggerakkan kedua kakinya dan sebelah tangannya untuk membela diri, namun gerakannya menjadi semakin lambat dan lemah karena banyak darah keluar dari tubuhnya yang sudah amat tua itu.
“Wuuuttttt....!”
Tiba-tiba ujung kebutan di tangan kiri Sin-kiam Mo-li menyambar. Kao Kok Cu menggerakkan tangan kanan menangkap kebutan dan mengerahkan tenaganya.
“Brettt....!”
Bulu kebutan itu putus seluruhnya dan kini bulu-bulu yang beracun itu berada di tangan Kao Kok Cu sedangkan yang tinggal di tangan Sin-kiam Mo-li hanya tinggal gagang emasnya saja.
“Cappppp....!”
Dalam kemarahannya, Sin-kiam Mo-li membarengi tusukan pedangnya yang mengenai lambung Kao Kok Cu. Kakek ini sudah kehabisan tenaga, tak mungkin lagi melindungi tubuhnya dengan sin-kangnya, apalagi karena penyerangnya juga memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat, maka pedang itu pun memasuki lambungnya.
Kao Kok Cu terhuyung dan tersenyum melirik ke arah tubuh isterinya dan tubuh Tiong Khi Hwesio yang sudah menggeletak tak bernyawa. Dia tiba-tiba menyambitkan bulu-bulu kebutan itu ke arah dua orang anak buah yang menyergapnya dari samping. Mereka itu roboh berkelojotan karena bulu-bulu itu menancap di muka dan dada mereka, sedangkan bulu kebutan itu mengandung racun yang amat kuat. Kao Kok Cu terhuyung menghampiri tempat di mana Wan Ceng roboh tadi, dan dia pun terkulai roboh di samping mayat isterinya, menghembuskan nafas terakhir dengan tenang tanpa sekarat.
Sin-kiam Mo-li berdiri tertegun seperti dua orang temannya. Mereka termangu kagum dan juga kaget melihat kenyataan betapa hebatnya tiga orang tua renta itu. Sudah begitu tua dan tenaganya sudah banyak berkurang, namun ternyata masih demikian hebatnya sehingga mereka yang datang berjumlah tujuh belas orang, kini hanya tinggal tiga orang saja yang masih hidup!
Empat belas orang teman mereka telah tewas semua! Bahkan mereka bertiga, sisa dari tujuh belas orang itu yang masih hidup, juga tidak keluar dari pertempuran itu tanpa luka! Punggung Sin-kiam Mo-li masih biru dan nyeri karena tadi sempat tercium ujung lengan baju kiri kakek Kao Kok Cu, Thian Kong Cin-jin agak terpincang karena pahanya tadi tercium tendangan Tiong Khi Hwesio, sedangkan Thian Kek Seng-jin juga robek bajunya dan pundaknya luka terkena cengkeraman tangan kiri nenek Wan Ceng!
Sin-kiam Mo-li bergidik dan menoleh kepada dua orang temannya. Mereka pun berdiri termangu dan bergidik ngeri. Selama hidup mereka, tiga orang tokoh sesat ini baru sekarang menemukan tanding yang demikian lihainya, padahal tiga orang itu sudah amat tua dan mereka tadi sudah mempersiapkan segalanya, mengeroyok mereka dengan tujuh belas orang, bahkan sebelas orang anak buah mereka tadi mempergunakan pasukan iblis yang mengandung tenaga ilmu hitam!
Seorang pemuda berpakaian putih muncul dari ambang pintu depan. Tiga orang itu terkejut dan sudah memegang senjata masing-masing, siap untuk menyerang dan memandang kepada pemuda itu penuh rasa heran dan juga gelisah. Siapa tahu, pemuda itu adalah calon lawan yang amat tangguh, pikir mereka, juga merasa heran mengapa kalau memang masih ada penghuni di dalam istana tua itu, mereka tadi tidak keluar membantu tiga orang tua yang mereka keroyok.
Akan tetapi pemuda itu, yang bukan lain adalah Tan Sin Hong, tidak mempedulikan mereka, melainkan melangkah maju perlahan-lahan, menghampiri tiga mayat orang tua itu yang rebah berdekatan, apalagi Kao Kok Cu dan Wan Ceng yang rebah dekat sekali dan tangan kakek itu memegang tangan si nenek.
Sin Hong lalu menjatuhkan diri berlutut, tanpa menangis tanpa mencucurkan air mata, namun dengan tubuh lemas, wajah pucat dan mata sayu, dia mencium ujung kaki ketiga orang gurunya yang sudah tak bernyawa lagi! Bagaimanapun juga hatinya penuh penyesalan. Kalau saja dia tidak terikat oleh janji dan sumpahnya, bahwa selama satu tahun dia tidak boleh melakukan gerakan silat dan tidak boleh mengerahkan tenaga sakti, kalau saja dia tadi dapat membantu tiga orang gurunya melawan pengeroyokan belasan orang jahat itu, belum tentu tiga orang gurunya tewas!
Akan tetapi dia tidak boleh menurutkan perasaannya, bahkan dia dapat dengan segera melenyapkan segala penyesalan tadi. Ketika belasan orang itu datang, dia pun sudah tahu dan dialah yang memberi tahu mereka akan kedatangan belasan orang yang mencurigakan tadi. Akan tetapi, tiga orang gurunya bersikap tenang saja, bahkan lalu duduk bersila di balik pintu dan mereka memesan agar dia bersembunyi saja di dalam dan jangan memperlihatkan diri.
“Pesanku, Sin Hong, andaikata terjadi sesuatu dengan kami dan kami sampai tewas, hal yang lumrah saja bagi manusia karena ada kelahiran pasti ada kematian, maka kalau engkau mendapat kesempatan, bawalah mayat kami ke dalam istana lalu bakarlah istana ini,” demikian pesan kakek Kao Kok Cu dan mereka tidak sempat bicara lebih panjang karena belasan orang itu telah tiba di luar pintu.
Sin Hong lalu bersembunyi dan tiga orang tua itu membuka daun pintu mempergunakan alat rahasia yang terdapat di situ.
Setelah pertempuran selesai dan dia melihat betapa tiga orang gurunya tewas, barulah Sin Hong keluar dengan hati hancur. Tak mungkin dia menyembunyikan diri lagi seperti pesan guru-gurunya, walaupun dia keluar hanya untuk memberi hormat atas kepergian ketiga orang gurunya, bukan bermaksud melawan musuh.
Melihat munculnya seorang pemuda berpakaian putih yang berlutut dan mencium kaki tiga mayat kakek dan nenek penghuni Istana Gurun Pasir itu, Thian Kong Cin-jin dan Thian Kek Seng-jin yang sudah panik itu segera menggerakkan senjata untuk menyerangnya. Akan tewaslah Sin Hong kalau saja Sin-kiam Mo-li tidak menggerakkan pedangnya dan meloncat melindunginya, menangkis datangnya tongkat.
“Perlahan dulu, Totiang (Bapak Pendeta)!” kata wanita ini.
Ia merasa tertarik melihat pemuda berpakaian putih ini, yang nampaknya halus dan mempunyai daya tarik besar itu. Sejak tadi ia mengamati dan siap menyerang pula, akan tetapi melihat sikap pemuda itu, ia melarang dua orang temannya untuk turun tangan menyerangnya. Seorang pemuda yang usianya baru sekitar dua puluh tahun mempunyai wajah yang sederhana saja, tidak dapat disebut tampan sekali, akan tetapi juga tidak buruk sekali.
Bentuk wajahnya sederhana, seperti dapat ditemui pada pemuda-pemuda biasa, akan tetapi kulitnya bersih dan pandang mata yang lembut disertai mulut yang selalu membayangkan senyum ramah itu mempunyai daya tarik yang besar. Dan bagaimanapun juga, ditemukannya seorang pemuda di istana kuno ini, Istana Gurun Pasir milik Pendekar Naga Sakti, menunjukkan bahwa pemuda ini bukan pemuda biasa!
Dua orang pendeta itu menahan tongkat mereka dan memandang kepada Sin-kiam Mo-li dengan alis berkerut dan heran. Mengapa iblis betina ini mencegah mereka membunuh pemuda itu? Mereka sudah mengenal watak cabul Sin-kiam Mo-li, akan tetapi menurut penglihatan mereka, tidak ada apa-apanya pada pemuda ini yang dapat menggerakkan hati wanita cabul yang mata keranjang.
Kalau saja pemuda ini memiliki wajah yang tampan sekali, atau tubuh yang berotot membayangkan kejantanan, mereka masih dapat mengerti. Akan tetapi pemuda ini biasa saja, di mana-mana dapat ditemukan pemuda macam ini?
“Orang muda, siapakah engkau?”
Sin-kiam Mo-li bertanya dengan pedang masih di tangan karena sekali saja pemuda itu membuat gerakan menyerang, tentu akan didahuluinya dengan pedangnya.
Tan Sin Hong bangkit berdiri dan membalikkan tubuh menghadapi wanita yang bertanya itu.
“Namaku Tan Sin Hong,” jawabnya singkat namun suaranya tetap halus, tidak memperlihatkan isi hatinya.
“Engkau masih ada hubungan apa dengan mereka bertiga itu?” tanya pula Sin-kiam Mo-li sambil menuding ke arah tiga mayat itu.
“Aku adalah pelayan mereka,” jawab pula Sin Hong, tenang saja.
Mendengar jawaban ini, Sin-kiam Mo-li bertukar pandang dengan kedua orang kawannya. Kini dua orang pendeta itu mengerti bahwa iblis betina itu tadi melarang mereka menyerang karena agaknya hendak menanyai pemuda ini dan memang hal ini penting sebelum mereka menyerbu masuk untuk mencari harta pusaka. Pedang Ban-tok-kiam dan pedang Cui-beng-kiam tadi telah dipungut oleh Sin-kiam Mo-li dan kini kedua pedang itu telah diikatkan di pinggangnya, di kanan dan kiri!
“Selain engkau dan mereka bertiga ini, siapa lagi yang tinggal di dalam istana kuno ini sekarang?”
“Tidak ada lagi, hanya kami berempat,” jawab Sin Hong.
“Ketika tadi tiga orang majikanmu ini bertempur melawan kami, apakah engkau mengetahui?”
Tenang, tenanglah, bisik hati Sin Hong, kini tiba saatnya menghadapi kesukaran.
“Aku tahu karena aku mengintai dari balik dinding itu.” Dia menuding ke arah pintu depan dari mana dia tadi keluar.
“Kenapa engkau tidak muncul dan membantu tiga orang majikanmu?”
Sin-kiam Mo-li bertanya lagi, suaranya agak ketus dan sinar matanya mencorong penuh selidik memandang wajah yang nampak tidak begitu cerdik itu.
“Aku tidak bisa berkelahi, pula perkelahian itu bukan urusanku, mengapa aku harus membantu?” katanya perlahan.
“Akan tetapi engkau berduka melihat mereka tewas?”
“Tentu saja, mereka adalah orang-orang yang baik kepadaku.”
“Engkau benar-benar tidak bisa berkelahi? Tidak pandai silat?” tanya pula Sin-kiam Mo-li dengan suara mengancam.
Sin Hong menggeleng kepalanya, tanpa menjawab.
“Jawab! Bisa berkelahi atau tidak?”
“Aku tidak bisa berkelahi,” jawaban ini tidak berbohong karena pada saat itu dia memang tidak boleh dan tidak dapat berkelahi. Baru setengah tahun lewat, masih setengah tahun lagi dia harus menjadi orang yang lemah.
Tiba-tiba tangan kiri Sin-kiam Mo-li melayang ke arah mukanya. Tentu saja Sin Hong melihat ini dengan jelas dan kalau dia menghendaki, dengan amat mudah dia dapat menangkis atau mengelak. Akan tetapi, dia pura-pura tidak melihatnya.
“Plakkk!”
Tamparan itu keras sekali dan biarpun Sin-kiam Mo-li tidak mempergunakan tenaga sin-kang, melainkan tenaga otot lengannya saja, namun tubuh Sin Hong terpelanting dan pipi kanannya menjadi merah kebiruan dan membengkak.
Dia bangkit berdiri dan memandang kepada Sin-kiam Mo-li dengan mata terbelalak.
“Kenapa engkau memukul aku?” tanyanya, sikapnya masih tenang.
Sin-kiam Mo-li terheran-heran. Jelas bahwa pemuda ini tidak pandai silat, dan untung dia tidak menggunakan sin-kang karena kalau demikian, tentu tamparan tadi dapat membunuhnya. Akan tetapi, yang amat mengherankan adalah sikap pemuda itu. Kenapa dapat demikian tenang? Padahal tamparan tadi keras sekali dan pemuda lain yang tidak pandai ilmu silat tentu akan menjadi ketakutan dan mungkin menangis kesakitan dan minta ampun. Pemuda ini tenang saja, padahal pipi kanannya membengkak.
“Aku memukulmu karena engkau membohong! Engkau tentu pandai silat!” bentak lagi Sin-kiam Mo-li dan kini kakinya melayang, menendang ke arah bagian tubuh mematikan dari pemuda itu, di bawah pusar!
Tendangan itu amat cepat dan kuat, dan kalau mengenai sasaran, tentu orangnya mati seketika. Sin Hong juga melihat ini, dan kalau dia mau, tentu dia dapat pula menghindarkan diri. Namun dia sudah nekat dan pasrah saja.
“Bukkk!”
Kaki wanita itu diserongkan dan bukan bagian tubuh mematikan yang kena tendangan, melainkan paha kiri Sin Hong dan untuk kedua kalinya pemuda itu terlempar dan terbanting jatuh dengan kerasnya! Dia merangkak bangun dengan muka agak pucat karena menahan rasa nyeri, kemudian terpincang dia menghampiri Sin-kiam Mo-li.
“Engkau sungguh kejam! Engkau menyiksaku, mau bunuh pun aku tidak akan dapat melawanmu. Bunuhlah kalau memang itu yang kau kehendaki!”
Sin-kiam Mo-li mengeluarkan seruan kagum! Pemuda ini benar-benar tidak pandai ilmu silat, akan tetapi memiliki nyali yang lebih besar daripada pemuda yang pandai ilmu silat sekali pun! Ia merasa kagum sekali dan tahulah ia mengapa pemuda ini dipilih oleh Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir untuk menjadi pelayan di situ. Memang seorang pemuda pilihan, seorang pemuda aneh yang memiliki nyali naga! Agaknya ketabahan dan keuletannya itulah yang menjadi keanehannya karena sudah selayaknya kalau orang yang tinggal di tempat ini memiliki keistimewaan masing-masing.
Kembali tangan kiri Sin-kiam Moli bergerak dan tahu-tahu ia telah mencengkeram tengkuk Sin Hong. Jari-jari tangan wanita itu kecil mungil, akan tetapi dapat mencengkeram bagaikan jepitan baja dan begitu ia memperkuat cengkeramannya, Sin Hong merasa kenyerian yang menyusup sampai ke tulang punggungnya.
“Bawa kami ke dalam istana kuno itu, dan tunjukkan di mana kamar-kamarnya. Awas kalau sampai ada yang menyerang kami dan kalau engkau berbohong, aku akan membunuhmu lebih dulu. Hayo jalan!”
Dengan tangan kiri masih mencengkeram tengkuk Sin Hong dan tangan kanan memegang pedang, Sin-kiam Mo-li mendorong pemuda itu menuju pintu depan. Sin Hong mengeluarkan keringat dingin saking nyerinya, dan terpincang-pincang dia melangkah. Pahanya yang tertendang tadi pun masih nyeri bukan main.
Dua orang pendeta sesat itu menyeringai, girang bahwa mereka tadi tidak sampai membunuh pemuda ini yang ternyata amat berguna bagi mereka dan diam-diam mereka kagum akan kecerdikan Sin-kiam Mo-li. Membayangkan bahwa mereka akan menemukan pusaka-pusaka berharga, terutama kitab-kitab ilmu yang tinggi dari Istana Gurun Pasir, terobatlah rasa kehilangan dan kedukaan mereka atas tewasnya sute mereka dan anak buah mereka.
Sin Hong membawa mereka memasuki seluruh kamar yang ada dan tiga orang itu makin lama makin kecewa karena mereka tidak menemukan sesuatu seperti yang mereka harapkan semula! Yang ada hanyalah perabot-perabot rumah yang walaupun kuno, namun terlalu besar untuk dibawa menyeberangi gurun pasir dan juga tidak berharga.
Tidak ada harta benda, tidak ada senjata pusaka kecuali kedua pedang yang dipergunakan Wan Ceng dan Tiong Khi Hwesio tadi, tidak ada sebuah pun kitab pelajaran ilmu silat atau sehelai pun catatan yang penting!
“Hayo tunjukkan di mana disimpannya pusaka mereka!” berkali-kali Sin-kiam Mo-li membentak dan memperkuat cengkeramannya pada tengkuk Sin Hong.
Akan tetapi pemuda itu hanya menggeleng kepalanya.
“Tidak ada apa-apa di sini kecuali semua ini.“
“Desss....!”
Saking marahnya, Sin-kiam Mo-li memukul punggung pemuda itu dan Sin Hong terlempar, jatuh bergulingan dan pingsan!
“Bunuh saja dia! Mungkin dia sengaja menyembunyikan!” kata Thian Kong Cin-jin sambil menggerakkan tongkatnya.
Akan tetapi Thian Kek Seng-jin menahannya.
“Jangan bunuh, lebih baik siksa dia dan paksa dia mengaku!”
Dengan urutan pada punggungnya, Sin Hong sadar kembali akan tetapi begitu sadar, rambutnya dijambak dan tubuhnya diseret oleh Thian Kek Seng-jin yang bermuka merah menyeramkan dan matanya mencorong seperti mata kucing!
“Hayo katakan, di mana disimpannya pusaka Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir? Dia dan isterinya adalah orang-orang sakti, tidak mungkin mereka tidak meninggalkan pusaka!”
“Aku tidak tahu, tidak ada pusaka apa pun di sini,” jawab Sin Hong, tetap tenang dan pasrah.
“Kubunuh engkau kalau tidak mau memberi tahu di mana pusaka itu!” kata Thian Kek Seng-jin penuh ancaman.
Sin Hong menatap muka yang merah dan kurus kering itu tanpa merasa takut, dan dia menggeleng kepala.
“Aku tidak tahu.”
“Tukkk!”
Gagang tongkat naga hitam itu menotok lambung dan Sin Hong terkejut lalu meronta-ronta dan menggeliat kesakitan karena yang ditotok adalah jalan darah yang mendatangkan rasa nyeri luar biasa sekali.
“Hayo katakan, kalau tidak, akan kutambah lagi!” bentak Thian Kek Seng-jin, matanya bersinar-sinar gembira melihat korbannya menggeliat kesakitan.
Akan tetapi terjadi keanehan pada tubuh Sin Hong. Seperti juga tadi, ketika berkali-kali mengalami pukulan, rasa nyeri hanya sebentar saja dan ada hawa hangat di dalam tubuhnya yang berkumpul di tempat yang sakit lalu rasa nyeri itu lenyap seketika. Itu adalah hawa sakti di tubuhnya yang bekerja dengan otomatis, berkumpul di bagian tubuh yang rusak karena serangan dari luar dan memulihkannya kembali.
“Aku tidak tahu,” katanya lagi.
“Desss!”
Tongkat itu kembali bergerak dan menyerampang kedua kaki Sin Hong, membuat tubuhnya kembali terpelanting dan bergulingan. Thian Kong Cin-jin menambahinya dengan tendangan sehingga tubuhnya terus menggelinding dan membentur dinding. Dia pun rebah tak bergerak lagi, kembali pingsan!
“Jangan bunuh dulu!”
Tiba-tiba Sin-kiam Mo-li berseru melihat betapa dua orang pendeta itu hendak melanjutkan siksaan mereka dan agaknya hendak membunuh pemuda itu karena kecewa.
“Huh, Mo-li, laki-laki macam ini saja membuatmu tergila-gila? Apanya sih yang menarik? Di setiap dusun engkau akan dapat menemukan pemuda macam ini ratusan orang banyaknya!” kata Thian Kek Seng-jin, pendeta Pek-lian-kauw yang kurus kering dan bermuka merah itu, dengan nada cemburu.
Memang pendeta ini pernah diajak tidur bersama oleh Sin-kiam Mo-li, akan tetapi wanita itu tidak suka padanya dan tidak pernah lagi mengulang perbuatannya, padahal kakek ini kagum dan suka sekali kepada Sin-kiam Mo-li. Melihat betapa wanita itu kini melindungi seorang pemuda yang biasa saja, timbul pula rasa cemburu di hatinya!
“Benar, dia harus dibunuh. Kalau tidak, kelak hanya akan mendatangkan gangguan saja,” kata pula Thian Kong Cin-jin tokoh Pat-kwa-kauw.
“Hemmm, kalian ini selalu berpikiran kotor dan menuduhku yang tidak-tidak. Pula, andaikata aku memilih dia untuk melayaniku, apa sangkutannya dengan kalian? Dia memang tidak tampan, tidak pandai ilmu silat, akan tetapi ketabahannya membuat aku kagum. Kalian lupa bahwa dia masih dapat kita pergunakan. Ingat saja mayat-mayat yang berserakan di luar itu, apakah kalian akan membiarkan saja mayat sute-sute kalian dan anak buah kalian membusuk di sana? Dia ini dapat kita pergunakan tenaganya untuk menggali lubang dan mengubur mayat-mayat itu.”
“Ah, benar juga!” kata Thian Kek Seng-jin, malu kepada diri sendiri yang tadi hanya mencela karena cemburu.
“Dan engkau tidak perlu khawatir dia akan mendatangkan gangguan kelak, Thian Kong Cin-jin. Pertama, dia seorang pemuda lemah yang tidak pandai ilmu silat, bahkan kalau dia sekarang mulai belajar sekalipun, sampai kita mati tua dia masih belum apa-apa. Kedua, setelah aku tidak membutuhkannya lagi, dia tentu akan kubunuh.”
Thian Kong Cin-jin mengangguk-angguk. Dia tahu bahwa kalau Sin-kiam Mo-li sudah bosan dengan seorang pemuda, maka pemuda itu akan dibunuhnya dan biasanya, dalam waktu beberapa hari saja Sin-kiam Mo-li sudah akan merasa bosan. Apalagi pemuda ini seorang laki-laki lemah. Mana dia dapat tahan melayani Sin-kiam Mo-li si iblis betina yang haus laki-laki itu?
“Nah, mulai sekarang, harap kalian jangan pedulikan pemuda ini. Dia punyaku, budakku, jangan diganggu dan akulah yang kelak akan membunuhnya.”
Berkata demikian, Sin-kiam Mo-li menghampiri Sin Hong yang masih pingsan lalu mengurut-urut beberapa bagian tubuhnya sehingga dia sadar kembali. Begitu sadar, Sin Hong bangkit duduk dan sedikit pun dia tidak mengeluh karena memang sama sekali tidak ada yang dirasakan nyeri. Hal ini membuat Sin-kiam Mo-li semakin kagum saja.
“Engkau tidak menderita sesuatu? Apanya yang nyeri?”
Sin Hong sendiri merasa heran. Dia telah dihujani pukulan, tendangan dan siksaan, akan tetapi sedikit pun tidak ada bekas-bekasnya lagi.
“Tidak apa-apa “ katanya sambil menggeleng kepala.
Bukan main, pikir Sin-kiam Moli, anak ini memiliki daya tahan yang luar biasa hebatnya! Mungkin akan dapat mendatangkan kesenangan besar baginya!
Dalam kemarahannya, Sin-kiam Mo-li membarengi tusukan pedangnya yang mengenai lambung Kao Kok Cu. Kakek ini sudah kehabisan tenaga, tak mungkin lagi melindungi tubuhnya dengan sin-kangnya, apalagi karena penyerangnya juga memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat, maka pedang itu pun memasuki lambungnya.
Kao Kok Cu terhuyung dan tersenyum melirik ke arah tubuh isterinya dan tubuh Tiong Khi Hwesio yang sudah menggeletak tak bernyawa. Dia tiba-tiba menyambitkan bulu-bulu kebutan itu ke arah dua orang anak buah yang menyergapnya dari samping. Mereka itu roboh berkelojotan karena bulu-bulu itu menancap di muka dan dada mereka, sedangkan bulu kebutan itu mengandung racun yang amat kuat. Kao Kok Cu terhuyung menghampiri tempat di mana Wan Ceng roboh tadi, dan dia pun terkulai roboh di samping mayat isterinya, menghembuskan nafas terakhir dengan tenang tanpa sekarat.
Sin-kiam Mo-li berdiri tertegun seperti dua orang temannya. Mereka termangu kagum dan juga kaget melihat kenyataan betapa hebatnya tiga orang tua renta itu. Sudah begitu tua dan tenaganya sudah banyak berkurang, namun ternyata masih demikian hebatnya sehingga mereka yang datang berjumlah tujuh belas orang, kini hanya tinggal tiga orang saja yang masih hidup!
Empat belas orang teman mereka telah tewas semua! Bahkan mereka bertiga, sisa dari tujuh belas orang itu yang masih hidup, juga tidak keluar dari pertempuran itu tanpa luka! Punggung Sin-kiam Mo-li masih biru dan nyeri karena tadi sempat tercium ujung lengan baju kiri kakek Kao Kok Cu, Thian Kong Cin-jin agak terpincang karena pahanya tadi tercium tendangan Tiong Khi Hwesio, sedangkan Thian Kek Seng-jin juga robek bajunya dan pundaknya luka terkena cengkeraman tangan kiri nenek Wan Ceng!
Sin-kiam Mo-li bergidik dan menoleh kepada dua orang temannya. Mereka pun berdiri termangu dan bergidik ngeri. Selama hidup mereka, tiga orang tokoh sesat ini baru sekarang menemukan tanding yang demikian lihainya, padahal tiga orang itu sudah amat tua dan mereka tadi sudah mempersiapkan segalanya, mengeroyok mereka dengan tujuh belas orang, bahkan sebelas orang anak buah mereka tadi mempergunakan pasukan iblis yang mengandung tenaga ilmu hitam!
Seorang pemuda berpakaian putih muncul dari ambang pintu depan. Tiga orang itu terkejut dan sudah memegang senjata masing-masing, siap untuk menyerang dan memandang kepada pemuda itu penuh rasa heran dan juga gelisah. Siapa tahu, pemuda itu adalah calon lawan yang amat tangguh, pikir mereka, juga merasa heran mengapa kalau memang masih ada penghuni di dalam istana tua itu, mereka tadi tidak keluar membantu tiga orang tua yang mereka keroyok.
Akan tetapi pemuda itu, yang bukan lain adalah Tan Sin Hong, tidak mempedulikan mereka, melainkan melangkah maju perlahan-lahan, menghampiri tiga mayat orang tua itu yang rebah berdekatan, apalagi Kao Kok Cu dan Wan Ceng yang rebah dekat sekali dan tangan kakek itu memegang tangan si nenek.
Sin Hong lalu menjatuhkan diri berlutut, tanpa menangis tanpa mencucurkan air mata, namun dengan tubuh lemas, wajah pucat dan mata sayu, dia mencium ujung kaki ketiga orang gurunya yang sudah tak bernyawa lagi! Bagaimanapun juga hatinya penuh penyesalan. Kalau saja dia tidak terikat oleh janji dan sumpahnya, bahwa selama satu tahun dia tidak boleh melakukan gerakan silat dan tidak boleh mengerahkan tenaga sakti, kalau saja dia tadi dapat membantu tiga orang gurunya melawan pengeroyokan belasan orang jahat itu, belum tentu tiga orang gurunya tewas!
Akan tetapi dia tidak boleh menurutkan perasaannya, bahkan dia dapat dengan segera melenyapkan segala penyesalan tadi. Ketika belasan orang itu datang, dia pun sudah tahu dan dialah yang memberi tahu mereka akan kedatangan belasan orang yang mencurigakan tadi. Akan tetapi, tiga orang gurunya bersikap tenang saja, bahkan lalu duduk bersila di balik pintu dan mereka memesan agar dia bersembunyi saja di dalam dan jangan memperlihatkan diri.
“Pesanku, Sin Hong, andaikata terjadi sesuatu dengan kami dan kami sampai tewas, hal yang lumrah saja bagi manusia karena ada kelahiran pasti ada kematian, maka kalau engkau mendapat kesempatan, bawalah mayat kami ke dalam istana lalu bakarlah istana ini,” demikian pesan kakek Kao Kok Cu dan mereka tidak sempat bicara lebih panjang karena belasan orang itu telah tiba di luar pintu.
Sin Hong lalu bersembunyi dan tiga orang tua itu membuka daun pintu mempergunakan alat rahasia yang terdapat di situ.
Setelah pertempuran selesai dan dia melihat betapa tiga orang gurunya tewas, barulah Sin Hong keluar dengan hati hancur. Tak mungkin dia menyembunyikan diri lagi seperti pesan guru-gurunya, walaupun dia keluar hanya untuk memberi hormat atas kepergian ketiga orang gurunya, bukan bermaksud melawan musuh.
Melihat munculnya seorang pemuda berpakaian putih yang berlutut dan mencium kaki tiga mayat kakek dan nenek penghuni Istana Gurun Pasir itu, Thian Kong Cin-jin dan Thian Kek Seng-jin yang sudah panik itu segera menggerakkan senjata untuk menyerangnya. Akan tewaslah Sin Hong kalau saja Sin-kiam Mo-li tidak menggerakkan pedangnya dan meloncat melindunginya, menangkis datangnya tongkat.
“Perlahan dulu, Totiang (Bapak Pendeta)!” kata wanita ini.
Ia merasa tertarik melihat pemuda berpakaian putih ini, yang nampaknya halus dan mempunyai daya tarik besar itu. Sejak tadi ia mengamati dan siap menyerang pula, akan tetapi melihat sikap pemuda itu, ia melarang dua orang temannya untuk turun tangan menyerangnya. Seorang pemuda yang usianya baru sekitar dua puluh tahun mempunyai wajah yang sederhana saja, tidak dapat disebut tampan sekali, akan tetapi juga tidak buruk sekali.
Bentuk wajahnya sederhana, seperti dapat ditemui pada pemuda-pemuda biasa, akan tetapi kulitnya bersih dan pandang mata yang lembut disertai mulut yang selalu membayangkan senyum ramah itu mempunyai daya tarik yang besar. Dan bagaimanapun juga, ditemukannya seorang pemuda di istana kuno ini, Istana Gurun Pasir milik Pendekar Naga Sakti, menunjukkan bahwa pemuda ini bukan pemuda biasa!
Dua orang pendeta itu menahan tongkat mereka dan memandang kepada Sin-kiam Mo-li dengan alis berkerut dan heran. Mengapa iblis betina ini mencegah mereka membunuh pemuda itu? Mereka sudah mengenal watak cabul Sin-kiam Mo-li, akan tetapi menurut penglihatan mereka, tidak ada apa-apanya pada pemuda ini yang dapat menggerakkan hati wanita cabul yang mata keranjang.
Kalau saja pemuda ini memiliki wajah yang tampan sekali, atau tubuh yang berotot membayangkan kejantanan, mereka masih dapat mengerti. Akan tetapi pemuda ini biasa saja, di mana-mana dapat ditemukan pemuda macam ini?
“Orang muda, siapakah engkau?”
Sin-kiam Mo-li bertanya dengan pedang masih di tangan karena sekali saja pemuda itu membuat gerakan menyerang, tentu akan didahuluinya dengan pedangnya.
Tan Sin Hong bangkit berdiri dan membalikkan tubuh menghadapi wanita yang bertanya itu.
“Namaku Tan Sin Hong,” jawabnya singkat namun suaranya tetap halus, tidak memperlihatkan isi hatinya.
“Engkau masih ada hubungan apa dengan mereka bertiga itu?” tanya pula Sin-kiam Mo-li sambil menuding ke arah tiga mayat itu.
“Aku adalah pelayan mereka,” jawab pula Sin Hong, tenang saja.
Mendengar jawaban ini, Sin-kiam Mo-li bertukar pandang dengan kedua orang kawannya. Kini dua orang pendeta itu mengerti bahwa iblis betina itu tadi melarang mereka menyerang karena agaknya hendak menanyai pemuda ini dan memang hal ini penting sebelum mereka menyerbu masuk untuk mencari harta pusaka. Pedang Ban-tok-kiam dan pedang Cui-beng-kiam tadi telah dipungut oleh Sin-kiam Mo-li dan kini kedua pedang itu telah diikatkan di pinggangnya, di kanan dan kiri!
“Selain engkau dan mereka bertiga ini, siapa lagi yang tinggal di dalam istana kuno ini sekarang?”
“Tidak ada lagi, hanya kami berempat,” jawab Sin Hong.
“Ketika tadi tiga orang majikanmu ini bertempur melawan kami, apakah engkau mengetahui?”
Tenang, tenanglah, bisik hati Sin Hong, kini tiba saatnya menghadapi kesukaran.
“Aku tahu karena aku mengintai dari balik dinding itu.” Dia menuding ke arah pintu depan dari mana dia tadi keluar.
“Kenapa engkau tidak muncul dan membantu tiga orang majikanmu?”
Sin-kiam Mo-li bertanya lagi, suaranya agak ketus dan sinar matanya mencorong penuh selidik memandang wajah yang nampak tidak begitu cerdik itu.
“Aku tidak bisa berkelahi, pula perkelahian itu bukan urusanku, mengapa aku harus membantu?” katanya perlahan.
“Akan tetapi engkau berduka melihat mereka tewas?”
“Tentu saja, mereka adalah orang-orang yang baik kepadaku.”
“Engkau benar-benar tidak bisa berkelahi? Tidak pandai silat?” tanya pula Sin-kiam Mo-li dengan suara mengancam.
Sin Hong menggeleng kepalanya, tanpa menjawab.
“Jawab! Bisa berkelahi atau tidak?”
“Aku tidak bisa berkelahi,” jawaban ini tidak berbohong karena pada saat itu dia memang tidak boleh dan tidak dapat berkelahi. Baru setengah tahun lewat, masih setengah tahun lagi dia harus menjadi orang yang lemah.
Tiba-tiba tangan kiri Sin-kiam Mo-li melayang ke arah mukanya. Tentu saja Sin Hong melihat ini dengan jelas dan kalau dia menghendaki, dengan amat mudah dia dapat menangkis atau mengelak. Akan tetapi, dia pura-pura tidak melihatnya.
“Plakkk!”
Tamparan itu keras sekali dan biarpun Sin-kiam Mo-li tidak mempergunakan tenaga sin-kang, melainkan tenaga otot lengannya saja, namun tubuh Sin Hong terpelanting dan pipi kanannya menjadi merah kebiruan dan membengkak.
Dia bangkit berdiri dan memandang kepada Sin-kiam Mo-li dengan mata terbelalak.
“Kenapa engkau memukul aku?” tanyanya, sikapnya masih tenang.
Sin-kiam Mo-li terheran-heran. Jelas bahwa pemuda ini tidak pandai silat, dan untung dia tidak menggunakan sin-kang karena kalau demikian, tentu tamparan tadi dapat membunuhnya. Akan tetapi, yang amat mengherankan adalah sikap pemuda itu. Kenapa dapat demikian tenang? Padahal tamparan tadi keras sekali dan pemuda lain yang tidak pandai ilmu silat tentu akan menjadi ketakutan dan mungkin menangis kesakitan dan minta ampun. Pemuda ini tenang saja, padahal pipi kanannya membengkak.
“Aku memukulmu karena engkau membohong! Engkau tentu pandai silat!” bentak lagi Sin-kiam Mo-li dan kini kakinya melayang, menendang ke arah bagian tubuh mematikan dari pemuda itu, di bawah pusar!
Tendangan itu amat cepat dan kuat, dan kalau mengenai sasaran, tentu orangnya mati seketika. Sin Hong juga melihat ini, dan kalau dia mau, tentu dia dapat pula menghindarkan diri. Namun dia sudah nekat dan pasrah saja.
“Bukkk!”
Kaki wanita itu diserongkan dan bukan bagian tubuh mematikan yang kena tendangan, melainkan paha kiri Sin Hong dan untuk kedua kalinya pemuda itu terlempar dan terbanting jatuh dengan kerasnya! Dia merangkak bangun dengan muka agak pucat karena menahan rasa nyeri, kemudian terpincang dia menghampiri Sin-kiam Mo-li.
“Engkau sungguh kejam! Engkau menyiksaku, mau bunuh pun aku tidak akan dapat melawanmu. Bunuhlah kalau memang itu yang kau kehendaki!”
Sin-kiam Mo-li mengeluarkan seruan kagum! Pemuda ini benar-benar tidak pandai ilmu silat, akan tetapi memiliki nyali yang lebih besar daripada pemuda yang pandai ilmu silat sekali pun! Ia merasa kagum sekali dan tahulah ia mengapa pemuda ini dipilih oleh Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir untuk menjadi pelayan di situ. Memang seorang pemuda pilihan, seorang pemuda aneh yang memiliki nyali naga! Agaknya ketabahan dan keuletannya itulah yang menjadi keanehannya karena sudah selayaknya kalau orang yang tinggal di tempat ini memiliki keistimewaan masing-masing.
Kembali tangan kiri Sin-kiam Moli bergerak dan tahu-tahu ia telah mencengkeram tengkuk Sin Hong. Jari-jari tangan wanita itu kecil mungil, akan tetapi dapat mencengkeram bagaikan jepitan baja dan begitu ia memperkuat cengkeramannya, Sin Hong merasa kenyerian yang menyusup sampai ke tulang punggungnya.
“Bawa kami ke dalam istana kuno itu, dan tunjukkan di mana kamar-kamarnya. Awas kalau sampai ada yang menyerang kami dan kalau engkau berbohong, aku akan membunuhmu lebih dulu. Hayo jalan!”
Dengan tangan kiri masih mencengkeram tengkuk Sin Hong dan tangan kanan memegang pedang, Sin-kiam Mo-li mendorong pemuda itu menuju pintu depan. Sin Hong mengeluarkan keringat dingin saking nyerinya, dan terpincang-pincang dia melangkah. Pahanya yang tertendang tadi pun masih nyeri bukan main.
Dua orang pendeta sesat itu menyeringai, girang bahwa mereka tadi tidak sampai membunuh pemuda ini yang ternyata amat berguna bagi mereka dan diam-diam mereka kagum akan kecerdikan Sin-kiam Mo-li. Membayangkan bahwa mereka akan menemukan pusaka-pusaka berharga, terutama kitab-kitab ilmu yang tinggi dari Istana Gurun Pasir, terobatlah rasa kehilangan dan kedukaan mereka atas tewasnya sute mereka dan anak buah mereka.
Sin Hong membawa mereka memasuki seluruh kamar yang ada dan tiga orang itu makin lama makin kecewa karena mereka tidak menemukan sesuatu seperti yang mereka harapkan semula! Yang ada hanyalah perabot-perabot rumah yang walaupun kuno, namun terlalu besar untuk dibawa menyeberangi gurun pasir dan juga tidak berharga.
Tidak ada harta benda, tidak ada senjata pusaka kecuali kedua pedang yang dipergunakan Wan Ceng dan Tiong Khi Hwesio tadi, tidak ada sebuah pun kitab pelajaran ilmu silat atau sehelai pun catatan yang penting!
“Hayo tunjukkan di mana disimpannya pusaka mereka!” berkali-kali Sin-kiam Mo-li membentak dan memperkuat cengkeramannya pada tengkuk Sin Hong.
Akan tetapi pemuda itu hanya menggeleng kepalanya.
“Tidak ada apa-apa di sini kecuali semua ini.“
“Desss....!”
Saking marahnya, Sin-kiam Mo-li memukul punggung pemuda itu dan Sin Hong terlempar, jatuh bergulingan dan pingsan!
“Bunuh saja dia! Mungkin dia sengaja menyembunyikan!” kata Thian Kong Cin-jin sambil menggerakkan tongkatnya.
Akan tetapi Thian Kek Seng-jin menahannya.
“Jangan bunuh, lebih baik siksa dia dan paksa dia mengaku!”
Dengan urutan pada punggungnya, Sin Hong sadar kembali akan tetapi begitu sadar, rambutnya dijambak dan tubuhnya diseret oleh Thian Kek Seng-jin yang bermuka merah menyeramkan dan matanya mencorong seperti mata kucing!
“Hayo katakan, di mana disimpannya pusaka Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir? Dia dan isterinya adalah orang-orang sakti, tidak mungkin mereka tidak meninggalkan pusaka!”
“Aku tidak tahu, tidak ada pusaka apa pun di sini,” jawab Sin Hong, tetap tenang dan pasrah.
“Kubunuh engkau kalau tidak mau memberi tahu di mana pusaka itu!” kata Thian Kek Seng-jin penuh ancaman.
Sin Hong menatap muka yang merah dan kurus kering itu tanpa merasa takut, dan dia menggeleng kepala.
“Aku tidak tahu.”
“Tukkk!”
Gagang tongkat naga hitam itu menotok lambung dan Sin Hong terkejut lalu meronta-ronta dan menggeliat kesakitan karena yang ditotok adalah jalan darah yang mendatangkan rasa nyeri luar biasa sekali.
“Hayo katakan, kalau tidak, akan kutambah lagi!” bentak Thian Kek Seng-jin, matanya bersinar-sinar gembira melihat korbannya menggeliat kesakitan.
Akan tetapi terjadi keanehan pada tubuh Sin Hong. Seperti juga tadi, ketika berkali-kali mengalami pukulan, rasa nyeri hanya sebentar saja dan ada hawa hangat di dalam tubuhnya yang berkumpul di tempat yang sakit lalu rasa nyeri itu lenyap seketika. Itu adalah hawa sakti di tubuhnya yang bekerja dengan otomatis, berkumpul di bagian tubuh yang rusak karena serangan dari luar dan memulihkannya kembali.
“Aku tidak tahu,” katanya lagi.
“Desss!”
Tongkat itu kembali bergerak dan menyerampang kedua kaki Sin Hong, membuat tubuhnya kembali terpelanting dan bergulingan. Thian Kong Cin-jin menambahinya dengan tendangan sehingga tubuhnya terus menggelinding dan membentur dinding. Dia pun rebah tak bergerak lagi, kembali pingsan!
“Jangan bunuh dulu!”
Tiba-tiba Sin-kiam Mo-li berseru melihat betapa dua orang pendeta itu hendak melanjutkan siksaan mereka dan agaknya hendak membunuh pemuda itu karena kecewa.
“Huh, Mo-li, laki-laki macam ini saja membuatmu tergila-gila? Apanya sih yang menarik? Di setiap dusun engkau akan dapat menemukan pemuda macam ini ratusan orang banyaknya!” kata Thian Kek Seng-jin, pendeta Pek-lian-kauw yang kurus kering dan bermuka merah itu, dengan nada cemburu.
Memang pendeta ini pernah diajak tidur bersama oleh Sin-kiam Mo-li, akan tetapi wanita itu tidak suka padanya dan tidak pernah lagi mengulang perbuatannya, padahal kakek ini kagum dan suka sekali kepada Sin-kiam Mo-li. Melihat betapa wanita itu kini melindungi seorang pemuda yang biasa saja, timbul pula rasa cemburu di hatinya!
“Benar, dia harus dibunuh. Kalau tidak, kelak hanya akan mendatangkan gangguan saja,” kata pula Thian Kong Cin-jin tokoh Pat-kwa-kauw.
“Hemmm, kalian ini selalu berpikiran kotor dan menuduhku yang tidak-tidak. Pula, andaikata aku memilih dia untuk melayaniku, apa sangkutannya dengan kalian? Dia memang tidak tampan, tidak pandai ilmu silat, akan tetapi ketabahannya membuat aku kagum. Kalian lupa bahwa dia masih dapat kita pergunakan. Ingat saja mayat-mayat yang berserakan di luar itu, apakah kalian akan membiarkan saja mayat sute-sute kalian dan anak buah kalian membusuk di sana? Dia ini dapat kita pergunakan tenaganya untuk menggali lubang dan mengubur mayat-mayat itu.”
“Ah, benar juga!” kata Thian Kek Seng-jin, malu kepada diri sendiri yang tadi hanya mencela karena cemburu.
“Dan engkau tidak perlu khawatir dia akan mendatangkan gangguan kelak, Thian Kong Cin-jin. Pertama, dia seorang pemuda lemah yang tidak pandai ilmu silat, bahkan kalau dia sekarang mulai belajar sekalipun, sampai kita mati tua dia masih belum apa-apa. Kedua, setelah aku tidak membutuhkannya lagi, dia tentu akan kubunuh.”
Thian Kong Cin-jin mengangguk-angguk. Dia tahu bahwa kalau Sin-kiam Mo-li sudah bosan dengan seorang pemuda, maka pemuda itu akan dibunuhnya dan biasanya, dalam waktu beberapa hari saja Sin-kiam Mo-li sudah akan merasa bosan. Apalagi pemuda ini seorang laki-laki lemah. Mana dia dapat tahan melayani Sin-kiam Mo-li si iblis betina yang haus laki-laki itu?
“Nah, mulai sekarang, harap kalian jangan pedulikan pemuda ini. Dia punyaku, budakku, jangan diganggu dan akulah yang kelak akan membunuhnya.”
Berkata demikian, Sin-kiam Mo-li menghampiri Sin Hong yang masih pingsan lalu mengurut-urut beberapa bagian tubuhnya sehingga dia sadar kembali. Begitu sadar, Sin Hong bangkit duduk dan sedikit pun dia tidak mengeluh karena memang sama sekali tidak ada yang dirasakan nyeri. Hal ini membuat Sin-kiam Mo-li semakin kagum saja.
“Engkau tidak menderita sesuatu? Apanya yang nyeri?”
Sin Hong sendiri merasa heran. Dia telah dihujani pukulan, tendangan dan siksaan, akan tetapi sedikit pun tidak ada bekas-bekasnya lagi.
“Tidak apa-apa “ katanya sambil menggeleng kepala.
Bukan main, pikir Sin-kiam Moli, anak ini memiliki daya tahan yang luar biasa hebatnya! Mungkin akan dapat mendatangkan kesenangan besar baginya!