Apakah kalau begitu kita tidak boleh menikmati kesenangan? Sebaliknya malah! Orang yang bebas akan pengejaran kesenangan akan menikmati setiap keadaan, sedangkan pengejaran kesenangan melenyapkan kenikmatan dari keadaan yang sudah ada! Tanpa keinginan memperoleh minuman lain, segelas air putih akan terasa nikmat, sedangkan hati yang dipenuhi keinginan minum bir, diberi limon sekalipun takkan dapat menikmati limon itu!
Ada yang berkata bahwa orang takkan menjadi kaya raya tanpa pengejaran! Benarkah ini? Boleh kita lihat buktinya di sekeliling kita! Kita semua ini adalah pengejar-pengejar uang sejak kecil, siapa diantara kita yang kaya raya? Semua masih merasa kurang dan tak seorang pun merasa dirinya kaya raya!
Namun, lihatlah dia yang makan demikian lahap dan nikmatnya walaupun hanya dengan sayur asam dan sambal, lihatlah dia tidur demikian nyenyaknya walau di atas tikar, dia yang mampu tertawa lahir batin, dia yang menikmati keadaannya. Dia itulah orang kaya raya!
Cita-cita atau ambisi yang dimiliki Siangkoan Lohan adalah untuk melihat putera tunggalnya, Siangkoan Liong, menjadi pengganti kaisar! Cita-cita yang tidak kepalang besarnya, yang muncul dalam benaknya bukan tanpa sebab.
Sebab itu terjadi kurang lebih sebelas atau dua belas tahun yang lalu. Ketika itu, Siangkoan Liong baru berusia delapan tahun lebih. Anak ini memang berbakat sekali dan suka akan ilmu silat sehingga Siangkoan Lohan dengan penuh semangat menggembleng puteranya itu. Pada waktu itu, sedikit pun dia tidak memiliki keinginan untuk memberontak.
Dia adalah seorang yang dianggap keluarga oleh istana, bahkan isterinya yang telah meninggal, ibu kandung Siangkoan Liong, adalah seorang puteri dari istana yang dihadiahkan oleh kaisar kepadanya. Siangkoan Lohan yang bernama Siangkoan Tek itu selalu merasa berterima kasih dan setia kepada Kerajaan Ceng dan sedikit pun tidak pernah mempunyai hati untuk memberontak.
Pada suatu hari, selagi Siangkoan Lohan melatih ilmu silat kepada puteranya di kebun belakang yang sunyi, tiba-tiba saja terdengar seruan halus memuji,
“Ilmu silat bagus....!”
Siangkoan Lohan cepat menghentikan gerakannya ketika memberi contoh kepada puteranya, dan menengok. Kiranya yang mengeluarkan seruan pujian itu adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih enam puluh tahun yang berdiri tegak di atas pagar tembok kebun itu. Diam-diam Siangkoan Lohan terkejut. Ada orang meloncat ke dalam pagar tembok demikian dekat dan dia sama sekali tidak tahu atau mendengarnya! Akan tetapi, laki-laki itu agaknya tidak mempedulikan padanya karena sedang memandang ke arah Siangkoan Liong dan kembali dia memuji.
“Anak yang memiliki bakat yang amat baik untuk menjadi kaisar sekalipun!”
Tentu saja ucapan ini membuat Siangkoan Lohan menjadi terkejut bukan main, apalagi mendengar betapa kata-kata yang keluar dari mulut orang itu logatnya asing walaupun halus dan teratur rapi.
Dia memandang penuh perhatian. Seorang laki-laki. yang tinggi kurus dan mengenakan pakaian bersih yang amat rapi seperti pakaian seorang pelajar, seorang siucai, rambutnya tersisir rapi dan segala yang nampak pada dirinya, biarpun tidak mewah namun bersih dan rapi. Siangkoan Lohan yang dapat menduga bahwa tentu orang ini bukan orang biasa, cepat memberi hormat dari bawah tembok.
“Sahabat yang baik terlalu memuji ilmu silat kami yang tidak ada artinya dan memuji pula puteraku yang bodoh. Silahkan turun dan menikmati secawan arak denganku.”
Orang itu tersenyum mengangguk,
“Tidak salah pendengaranku. Ketua Tiat-liong-pang memang seorang laki-laki gagah perkasa dan peramah, dapat menghargai orang lain. Sayang kurang semangat!”
Setelah berkata demikian, dia meloncat turun. Cara dia meloncat turun ini yang mengejutkan hati Siangkoan Lohan karena tubuh itu sama sekali tidak membuat gerakan keseimbangan, melainkan meluncur begitu saja seperti balok jatuh, akan tetapi ketika tiba di atas tanah, sama sekali tidak mengeluarkan suara dan kedudukan kaki dan anggauta tubuh lain masih seperti tadi. Juga dia teringat betapa para anggauta Tiat-liong-pang selalu melakukan penjagaan ketat di luar pagar tembok, bagaimana orang ini dapat enak-enak begitu saja memasuki taman tanpa ada muridnya yang mengetahuinya?
“Harap maafkan kalau kami belum mengenal nama besar sahabat yang baru datang dan sebaliknya engkau sudah mengenalku. Siapakah engkau, Sobat dan dari mana engkau datang, ada keperluan apa pula datang berkunjung secara ini?”
Sikap orang itu terlalu halus sehingga Siangkoan Lohan juga tidak mempunyai alasan untuk marah, apalagi orang itu tadi memuji-muji puteranya, memuji ilmu silatnya, dan memuji dirinya sebagai ketua Tiat-liong-pang.
Kembali orang itu tersenyum, bahkan senyumnya saja senyum sopan!
“Semua orang menyebutku Ouwyang Sianseng (Tuan Ouwyang). Harus bercerita panjang lebar untuk memberi tahu dari mana aku datang, dan sebetulnya aku tidak mempunyai keperluan khusus, hanya kebetulan lewat dan mendengar kalian berlatih silat, aku ingin menonton. Puteramu ini sungguh hebat, kalau dididik dengan benar, kelak akan menjadi orang besar, bahkan patut menjadi kaisar!”
Siangkoan Lohan mengerutkan alisnya. Orang ini agaknya keterlaluan bicaranya, pikirnya. Bagaimana mungkin puteranya menjadi kaisar? Dan dia seorang yang setia, terhadap kerajaan!
“Ouwyang Sianseng, harap jangan berlebihan memuji puteraku. Aku hanyalah ketua perkumpulan, bagaimana mungkin puteraku menjadi kaisar?”
Ada yang berkata bahwa orang takkan menjadi kaya raya tanpa pengejaran! Benarkah ini? Boleh kita lihat buktinya di sekeliling kita! Kita semua ini adalah pengejar-pengejar uang sejak kecil, siapa diantara kita yang kaya raya? Semua masih merasa kurang dan tak seorang pun merasa dirinya kaya raya!
Namun, lihatlah dia yang makan demikian lahap dan nikmatnya walaupun hanya dengan sayur asam dan sambal, lihatlah dia tidur demikian nyenyaknya walau di atas tikar, dia yang mampu tertawa lahir batin, dia yang menikmati keadaannya. Dia itulah orang kaya raya!
Cita-cita atau ambisi yang dimiliki Siangkoan Lohan adalah untuk melihat putera tunggalnya, Siangkoan Liong, menjadi pengganti kaisar! Cita-cita yang tidak kepalang besarnya, yang muncul dalam benaknya bukan tanpa sebab.
Sebab itu terjadi kurang lebih sebelas atau dua belas tahun yang lalu. Ketika itu, Siangkoan Liong baru berusia delapan tahun lebih. Anak ini memang berbakat sekali dan suka akan ilmu silat sehingga Siangkoan Lohan dengan penuh semangat menggembleng puteranya itu. Pada waktu itu, sedikit pun dia tidak memiliki keinginan untuk memberontak.
Dia adalah seorang yang dianggap keluarga oleh istana, bahkan isterinya yang telah meninggal, ibu kandung Siangkoan Liong, adalah seorang puteri dari istana yang dihadiahkan oleh kaisar kepadanya. Siangkoan Lohan yang bernama Siangkoan Tek itu selalu merasa berterima kasih dan setia kepada Kerajaan Ceng dan sedikit pun tidak pernah mempunyai hati untuk memberontak.
Pada suatu hari, selagi Siangkoan Lohan melatih ilmu silat kepada puteranya di kebun belakang yang sunyi, tiba-tiba saja terdengar seruan halus memuji,
“Ilmu silat bagus....!”
Siangkoan Lohan cepat menghentikan gerakannya ketika memberi contoh kepada puteranya, dan menengok. Kiranya yang mengeluarkan seruan pujian itu adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih enam puluh tahun yang berdiri tegak di atas pagar tembok kebun itu. Diam-diam Siangkoan Lohan terkejut. Ada orang meloncat ke dalam pagar tembok demikian dekat dan dia sama sekali tidak tahu atau mendengarnya! Akan tetapi, laki-laki itu agaknya tidak mempedulikan padanya karena sedang memandang ke arah Siangkoan Liong dan kembali dia memuji.
“Anak yang memiliki bakat yang amat baik untuk menjadi kaisar sekalipun!”
Tentu saja ucapan ini membuat Siangkoan Lohan menjadi terkejut bukan main, apalagi mendengar betapa kata-kata yang keluar dari mulut orang itu logatnya asing walaupun halus dan teratur rapi.
Dia memandang penuh perhatian. Seorang laki-laki. yang tinggi kurus dan mengenakan pakaian bersih yang amat rapi seperti pakaian seorang pelajar, seorang siucai, rambutnya tersisir rapi dan segala yang nampak pada dirinya, biarpun tidak mewah namun bersih dan rapi. Siangkoan Lohan yang dapat menduga bahwa tentu orang ini bukan orang biasa, cepat memberi hormat dari bawah tembok.
“Sahabat yang baik terlalu memuji ilmu silat kami yang tidak ada artinya dan memuji pula puteraku yang bodoh. Silahkan turun dan menikmati secawan arak denganku.”
Orang itu tersenyum mengangguk,
“Tidak salah pendengaranku. Ketua Tiat-liong-pang memang seorang laki-laki gagah perkasa dan peramah, dapat menghargai orang lain. Sayang kurang semangat!”
Setelah berkata demikian, dia meloncat turun. Cara dia meloncat turun ini yang mengejutkan hati Siangkoan Lohan karena tubuh itu sama sekali tidak membuat gerakan keseimbangan, melainkan meluncur begitu saja seperti balok jatuh, akan tetapi ketika tiba di atas tanah, sama sekali tidak mengeluarkan suara dan kedudukan kaki dan anggauta tubuh lain masih seperti tadi. Juga dia teringat betapa para anggauta Tiat-liong-pang selalu melakukan penjagaan ketat di luar pagar tembok, bagaimana orang ini dapat enak-enak begitu saja memasuki taman tanpa ada muridnya yang mengetahuinya?
“Harap maafkan kalau kami belum mengenal nama besar sahabat yang baru datang dan sebaliknya engkau sudah mengenalku. Siapakah engkau, Sobat dan dari mana engkau datang, ada keperluan apa pula datang berkunjung secara ini?”
Sikap orang itu terlalu halus sehingga Siangkoan Lohan juga tidak mempunyai alasan untuk marah, apalagi orang itu tadi memuji-muji puteranya, memuji ilmu silatnya, dan memuji dirinya sebagai ketua Tiat-liong-pang.
Kembali orang itu tersenyum, bahkan senyumnya saja senyum sopan!
“Semua orang menyebutku Ouwyang Sianseng (Tuan Ouwyang). Harus bercerita panjang lebar untuk memberi tahu dari mana aku datang, dan sebetulnya aku tidak mempunyai keperluan khusus, hanya kebetulan lewat dan mendengar kalian berlatih silat, aku ingin menonton. Puteramu ini sungguh hebat, kalau dididik dengan benar, kelak akan menjadi orang besar, bahkan patut menjadi kaisar!”
Siangkoan Lohan mengerutkan alisnya. Orang ini agaknya keterlaluan bicaranya, pikirnya. Bagaimana mungkin puteranya menjadi kaisar? Dan dia seorang yang setia, terhadap kerajaan!
“Ouwyang Sianseng, harap jangan berlebihan memuji puteraku. Aku hanyalah ketua perkumpulan, bagaimana mungkin puteraku menjadi kaisar?”
Ouwyang Sianseng tersenyum.
“Aku sejak kecil mempelajari kesusastraan dan ilmu perbintangan, dan aku melihat bahwa puteramu ini memang pantas untuk menjadi kaisar, Pangcu. Bukankah dia memiliki darah bangsawan istana pula? Tidak percuma orang menjuluki aku Namsan Sian-jin (Manusia Dewa Gunung Selatan) kalau aku tidak dapat melihat arti garis-garis pada wajah anak ini,” katanya tanpa bernada menyombongkan diri, bahkan pandang matanya terhadap Siangkoan Liong jelas membayangkan kekaguman, “Akan tetapi tentu saja dia harus dididik sebaiknya, dan pendidikanmu hanya menjadi pendidikan dasar saja, Pangcu. Kalau kelak aku yang melanjutkan pendidikannya, barulah kemungkinan dia menjadi kaisar semakin besar.”
Mendengar ucapan terakhir ini, tentu saja Siangkoan Lohan mengerutkan alisnya dan merasa tidak senang batinnya. Betapa sombongnya orang ini, pikirnya, berani mengeluarkan ucapan yang amat meremehkannya, seolah-olah kepandaiannya masih amat rendah tingkatnya dibandingkan tingkat kepandaian orang itu!
“Nanti dulu, Sobat!” katanya sambil tertawa, akan tetapi ketawanya agak masam karena biarpun orang ini datang memuji puteranya dan bermaksud untuk mendidik puteranya agar menjadi kaisar, namun nada suara orang ini amat memandang rendah. “Tidak ada orang lain boleh mendidik puteraku kecuali kalau orang itu memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dariku. Kelak dia menjadi orang besar atau tidak, hal itu terserah kepada nasibnya, akan tetapi untuk pendidikannya, ada aku di sini yang mendidiknya, bukan orang lain. Tentu saja boleh dia berguru kepadamu kalau memang ada buktinya bahwa kepandaianmu jauh lebih tinggi daripada aku.”
Kembali kakek yang halus tutur sapanya itu tersenyum.
“Siangkoan Pangcu, namamu sebagai ketua Tiat-liong-pang sudah terkenal di empat penjuru, dan semua orang tahu bahwa engkau memiliki ilmu silat yang hebat, tendangan maut dan tenaga luar dalam yang sukar dicari tandingannya! Akan tetapi untuk dapat mendidik murid seperti aku, engkau masih harus belajar banyak. Tentu saja kepandaianku lebih tinggi darimu, Pangcu. Aku hanya bicara seadanya saja, bukan bermaksud menyombongkan diri.”
Memang demikianlah, ketua Tiat-liong-pang itu pun kini melihat betapa orang di depannya itu tidak menyombong, bicara dengan suara seolah-olah menerangkan sesuatu yang sudah pasti. Karena sikap orang itu tidak sombong dan tidak mengandung iktikad buruk terhadapnya, maka dia tidak marah, hanya merasa penasaran sekali. Sementara itu, Siangkoan Liong sejak tadi mendengarkan percakapan antara kedua orang tua itu dan kini dia pun merasa penasaran.
“Ayah, buktikan bahwa Ayah tidak kalah olehnya, agar dia cepat pergi dan tidak mengganggu kita lagi.”
Orang yang mengaku bernama Ouwyang Sianseng atau berjuluk Nam-san Sian-jin itu tersenyum gembira memandang Siangkoan Liong.
“Bagus, anak ini sudah memiliki sifat terbuka dan gagah. Majulah, Pangcu, dan mari kita sama membuktikan kebenaran omonganku tadi. Kalau engkau tidak mampu mengalahkan aku, kelak setelah engkau selesai mengajarkan ilmu-ilmu dasar kepada puteramu aku akan melanjutkan pendidikannya. Sebaliknya, kalau engkau dapat mengalahkan aku, aku akan minta maaf dan aku pergi tidak akan mengganggu kalian lagi.”
Tantangan ini diucapkan dengan halus dan sama sekali tidak mengandung nada permusuhan, maka Siangkoan Lohan lalu melangkah maju menghadapi kakek itu.
“Baik, marilah kita memulai perkenalan kita dengan menguji kepandaian, Ouwyang Sianseng. Dengan cara bagaimana engkau menghendaki mengadu kepandaian?”
Sebagai seorang ketua yang berwibawa dan sadar akan kedudukannya, Siangkoan Lohan bersikap mengalah dan mempersilakan calon lawan untuk menentukan cara. Akan tetapi, kakek berpakaian rapi dan bersikap sopan itu menjura dengan hormat dan tersenyum.
“Senjata yang paling ampuh berada di dalam diri, bukan di luar diri. Hal ini tentu telah kau ketahui pula, Pangcu. Aku sudah mendengar akan kelihaian pukulan dan tendanganmu, dan bahwa dengan kaki tangan dan tenagamu saja, engkau lebih lihai daripada puluhan orang bersenjata. Kebetulan aku sendiri pun seorang yang paling tidak suka melihat orang mempergunakan senjata dalam perang, membunuhi sesama manusia seperti orang membunuh binatang saja. Bagaimana kalau kita main-main sebentar dengan mengandalkan kaki tangan saja, senjata-senjata pemberian Tuhan sejak kita lahir?”
Hati Siangkoan Lohan tertarik sekali. Tentu saja dia akan merasa beruntung sekali kalau ternyata benar bahwa kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi tingkatnya darinya, untuk menjadi guru puteranya. Bagaimanapun juga, dia meragukan akan hal ini.
Dia mengenal tokoh-tokoh besar di dunia persilatan, dan agaknya hanyalah keturunan para pendekar Pulau Es dan Gurun Pasir saja yang akan mampu menandinginya di antara para pendekar, dan hanya datuk-datuk sesat yang sudah terkenal seperti dari Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai saja yang setingkat dengan kepandaiannya. Akan tetapi orang ini sama sekali tidak terkenal walaupun mengaku berjuluk Manusia Dewa Gunung Selatan (Nam-san Sian-jin)!
“Baiklah Ouwyang Sianseng. Aku mengharapkan petunjuk darimu,” katanya sambil menggerakkan kedua lengannya, saling berputaran dengan jari-jari tangan membentuk cakar naga.
Kedua lengan itu menggetar dan terdengar suara berkerotok ketika tenaga yang amat kuat mengalir ke dalam kedua tangan itu. Melihat ini, Ouwyang Sianseng tersenyum mengangguk-angguk.
“Memang bukan nama kosong, hebat Ilmu Liong-jiauw-kang (Tenaga Cakar Naga) itu. Mulailah, Pangcu, aku siap menyambut seranganmu!”
“Awas pukulan!” tiba-tiba ketua Tiat-liong-pang itu membentak sebagai isyarat bahwa dia mulai menyerang.
Angin menyambar dahsyat ketika lengan kirinya meluncur dari samping dan mengirim cakaran ke arah telinga kanan lawan sedangkan tangan kanan juga bergerak dalam detik berikutnya menyusul serangan pertama itu dengan cengkeraman ke arah perut. Kedua tangan dengan jari-jari tangan yang membentuk cakar naga ini luar biasa kuatnya. Jangankan bagian tubuh manusia, bahkan batu karang pun akan hancur terkena cengkeraman itu!
Perlu diketahui bahwa tingkat kepandaian Siangkoan Tek yang sudah terkenal dengan sebutan Siangkoan Pangcu (Ketua Siangkoan) atau Siangkoan Lohan ini sudah amat tinggi. Dia memiliki tenaga yang dahsyat, yaitu tenaga Liong-jiauw-kang (Cakar Naga) sedangkan ilmu silatnya yang bernama Tiat-wi Liong-kun (Silat Naga Berekor Besi) amat tangguh pula, di samping ilmu andalannya yang disebut Ban-kin-twi (Tendangan Selaksa Kati). Di samping ini, juga dia seorang ahli ilmu gulat dari bangsa Mongol, maka, kedua tangan yang membentuk cakar naga itu, selain dapat dipergunakan untuk memukul, menampar dan cengkeraman, juga dapat diubah menjadi jari-jari tangan seorang jago gulat yang tangkapannya membahayakan lawan!
Menghadapi cengkeraman ke arah kepala dan perutnya, Ouwyang Sianseng tidak nampak gugup. Kakinya melangkah ke belakang dan kedua tangannya, dengan jari tengah dan jari telunjuk tegak, menyambut kedua tangan lawan dengan totokan ke arah telapak tangan!
Melihat ini Siangkoan Lohan terkejut. Kalau orang itu berani menotok telapak tangannya yang penuh dengan tenaga Liong-jiauw-kang, berarti bahwa orang itu tentu memiliki sin-kang yang amat kuat. Dia tidak berani mencoba mengadu tenaganya, karena kalau hal itu terjadi, telapak tangannya menyambut totokan jari tangan lawan, seorang di antara mereka tentu akan dapat terluka parah.
Maka dia pun cepat menarik kembali kedua tangannya dan tiba-tiba saja kedua kakinya melakukan tendangan, mula-mula yang kanan lalu disusul yang kiri, kemudian kanan lagi. Tendangan bertubi-tubi itu selain amat cepat, juga tenaganya bahkan lebih dahsyat daripada cengkeraman tadi sehingga debu dan tanah mengebul tinggi seolah-olah kedua batang kaki itu menjadi kitiran yang mendatangkan angin besar menerbangkan debu dan daun kering.
Melihat betapa tendangan itu semakin lama semakin kuat, Ouwyang Sianseng yang mengelak ke kanan kiri dan ke belakang itu mengeluarkan suara pujian.
“Ilmu tendangan yang berbahaya!” katanya dan kini selain mengelak, kedua tangannya yang dimiringkan juga beberapa kali menyambut tendangan dengan tangkisan.
Terdengar suara berdebuk-debuk ketika tangan bertemu kaki, dan keduanya terdorong mundur. Kembali Siangkoan Lohan terkejut. Tangan itu mampu menahan tendangannya! Bukan main, kakek ini benar-benar memiliki sinkang yang hebat. Dia pun lalu menyerang dengan desakan, mengeluarkan jurus-jurus terampuh dari Ilmu Silat Tiat-wi Liong-kun. Tubuh ketua ini bergerak cepat. seperti seekor naga sakti, dengan kedua tangan membentuk cakar dan kedua kakinya menyabet-nyabet seperti seekor naga yang mengamuk.
Namun, Ouwyang Sianseng mengimbangi kecepatannya dengan gerakan-gerakan aneh dan lincah sekali. Kadang-kadang kakek ini berloncatan, atau seperti merak terbang, kedua tangannya digerakkan seperti sayap, kedua kakinya itu berloncatan dan sambil meloncat, kakinya itu menendang, atau tangannya membentuk kerucut atau paruh burung untuk menotok dari atas.
Gerakannya mirip seekor merak dan memang ilmu silat yang dimainkan adalah ilmu silat merak yang aneh dan indah, juga lihai sekali. Memang ilmu silat yang aneh dan tidak pernah dikenal oleh Siangkoan Lohan, dan ilmu silat dari selatan ini disebut Kong-ciak Sin-kun (Ilmu Silat Merak).
Karena sampai puluhan jurus dia tidak mampu mendesak lawan, bahkan kadang-kadang gerakannya menjadi kacau oleh keanehan gerakan lawan. Siangkoan Lohan menjadi semakin penasaran. Dia menggereng keras dan tiba-tiba cengkeraman tangan kanannya berhasil menangkap pergelangan tangan kiri lawan. Selagi dia hendak menggunakan ilmu gulat untuk membanting, tiba-tiba saja kakek itu mendekat, memutar tubuh dan siku lengan dari tangan yang tertangkap itu sudah menyerang ke arah dada Siangkoan Lohan.
Cepat dan hebat serangan ini, sehingga terpaksa pegangannya dilepaskan dan pada saat itu, kedua tangan lawan dengan jari tangannya yang lihai telah menghujankan totokan ke arah jalan darah di bagian tubuh depan sebanyak tujuh kali! Tentu saja dia terkejut dan menjadi repot untuk mengelak dan menangkis, dan terpaksa harus meloncat ke belakang karena dia merasa terdesak.
Rasa penasaran membuat ketua Tiat-liong-pang ini mengerahkan sin-kang dan mengirim serangan dari jauh dengan mendorong kedua tangan dengan telapak tangan terbuka ke arah lawan. Melihat ini, Ouwyang Sianseng tersenyum dan dia pun menyambut dengan dorongan kedua telapak tangannya. Dua tenaga dahsyat yang tidak nampak bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Siangkoan Lohan terdorong ke belakang sampai terhuyung.
Tahulah Siangkoan Lohan bahwa lawannya itu benar-benar lebih tangguh darinya, kalau lawan itu menghendaki, dia tentu sudah roboh dan kalah! Hal ini di samping menimbulkan keheranan dan kekaguman, juga dia merasa girang bukan main dan mulailah dia percaya akan omongan orang ini bahwa puteranya berbakat untuk menjadi kaisar! Diapun menghentikan gerakannya dan menjura dengan sikap hormat.
“Nam-san Sian-jin, sungguh baru sekarang saya harus mengakui keunggulan seorang yang ternyata lebih pandai daripada saya. Saya persilakan Sian-jin untuk menjadi tamu kami agar perkenalan kita menjadi lebih akrab dan saya ingin minta petunjuk tentang putera kami kepada Seng-jin.”
Kakek itu mengangguk-angguk.
“Baiklah, Pangcu, dan terima kasih atas kepercayaanmu.”
Sementara itu, Siangkoan Liong yang mendengar akan pengakuan ayahnya bahwa kakek itu lebih lihai dari ayahnya, menjadi bengong, kemudian anak yang cerdik ini lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Ouwyang Sianseng atau Namsan Sian-jin,
“Locianpwe berjanji akan mengambil teecu (murid) sebagai murid, oleh karena itu mulai sekarang, Locianpwe (Orang Tua Gagah) adalah Suhu (Guru) bagi teecu.”
Dan dia pun memberi hormat sebanyak delapan kali sambil menyebut “suhu”. Kakek itu tersenyum gembira, lalu membangunkan anak itu, meraba-raba pundak, lengan dan kakinya sambil mengangguk-angguk.
“Sudah kuduga, bertulang baik sekali. Pantas menjadi muridku, pantas menjadi calon kaisar!”
Mendengar ini, hati Siangkoan Lohan menjadi gembira bukan main dan dia pun lalu mengajak tamunya masuk ke dalam, dan mengadakan pesta untuk menyambut dan menghormati tamunya. Dalam kesempatan ini, Siangkoan Lohan lebih banyak mengenal tamunya dan kakek itu pun dengan singkat menceritakan siapa dia sebenarnya.
Nam-san Sian-jin adalah seorang bekas pembesar tinggi di negara Birma! Dia seorang bangsa Han yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan sejak muda dia suka merantau untuk memperdalam ilmunya. Perantauannya membawanya ke Birma dan di sana dia, berkat kelihaiannya, memperoleh kepercayaan dari raja, diberi kedudukan dan karena jasa-jasanya, dia bahkan kemudian diangkat menjadi penasehat raja. Dialah yang berjasa besar dalam menghadapi penyerbuan balatentara Mancu yang berkali-kali menyerbu ke selatan, namun tidak pernah dapat menguasai Birma. Berkat pertahanan Birma yang kokoh kuat, di bawah pimpinan Nam-san Sian-jin!
Dia setia kepada Birma, apalagi karena oleh raja, dia dihadiahi seorang puteri istana untuk menjadi isterinya. Juga dia menentang keras pasukan Mancu karena dia tahu bahwa bangsa Mancu adalah bangsa yang menjajah Cina, dari mana berasal. Akan tetapi, terjadi malapetaka menimpa keluarganya ketika berkobar perang melawan balatentara Mancu. Dalam suatu penyerbuan, ada pasukan yang berhasil menerjang kota dan menyerbu gedungnya, dan isteri bersama tiga orang anaknya tewas dibantai mereka!
Wajah yang tadinya halus lembut dan gembira itu berubah menjadi pucat dan matanya memancarkan sinar berapi ketika dia bercerita sampai di bagian itu. Dia mengepal tinju.
“Mereka telah membasmi anak isteriku, keparat Mancu! Aku lalu mengamuk, membunuh sebanyak mungkin orang-orang yang telah menyerbu rumah kami, dan akhirnya aku terpaksa lari dari Birma.“
Siangkoan Lohan mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia pun ikut merasa prihatin.
“Tapi.... mengapa engkau harus lari dari sana, Sian-jin?” tanyanya hati-hati melihat orang itu seperti marah-marah.
“Aku dikatakan gila! Yang mengatakan adalah seorang menteri. Kubunuh dia dan setelah melakukan pembunuhan terhadap seorang menteri, aku menjadi buronan dan terpaksa melarikan diri dari Birma. Pula, aku sudah tidak mempunyai sanak keluarga di sana, untuk apa lebih lama tinggal di sana? Aku membawa simpanan hartaku dan melarikan diri, kini tinggal di bukit selatan menjadi pertapa. Orang-orang di sekitar daerah itu menyebut aku Nam-san Sian-jin.”
Siangkoan Lohan merasa kagum sekali mendengar riwayat hidup kakek yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi itu. Tentu saja Nam-san Sian-jin tidak menceritakan apa yang menjadi cita-citanya. Dia mendendam kepada Kerajaan Mancu yang dianggap telah membasmi keluarganya dan merusak kebahagiaan hidupnya. Oleh karena itu, dia bersumpah untuk membalas dendam, untuk menghancurkan Kerajaan Mancu yang menjadi cita-cita terakhir dari hidupnya.
Inilah sebabnya, ketika melihat Siangkoan Lohan dan puteranya, dia tertarik sekali. Melalui perkumpulan Tiat-liong-pang yang dia tahu amat berpengaruh dan kuat ini dia akan dapat mengumpulkan kekuatan untuk menentang Kerajaan Mancu. Dan dia dapat menggerakkan hati Siangkoan Lohan dengan memuji-muji puteranya yang dikatakan berbakat untuk menjadi calon kaisar.
Tentu saja dia sudah menyelidiki keadaan keluarga Siangkoan Lohan ini dan tahu bahwa mendiang ibu anak itu adalah seorang bangsawan tinggi, anggauta keluarga Kerajaan Mancu. Dan diapun berhasil menggerakkan hati Siangkoan Lohan, seperti ternyata kemudian betapa Siangkoan Lohan yang kini mempunyai ambisi agar puteranya menjadi kaisar, mulai mengadakan persekutuan untuk memberontak dan menjatuhkan Kerajaan Mancu agar puteranya mendapat kesempatan menjadi kaisar seperti yang diramalkan oleh Nam-san Sian-jin!
Selama beberapa tahun, kadang-kadang Nam-san Sian-jin datang berkunjung dan dalam percakapan mereka, kakek ini menanam dan menyebar bibit-bibit pemberontakan ke dalam hati Siangkoan Lohan demi masa depan puteranya sehingga ketua Tiat-liong-pang yang tadinya terkenal sebagai seorang yang amat setia kepada Kerajaan Ceng, kini berubah dan ingin mengadakan persekutuan untuk memberontak!
Sementara itu, Siangkoan Liong digemblengnya dengan keras sehingga setelah dia berusia delapan belas tahun, pemuda itu telah berhasil mewarisi dan menguasai ilmu-ilmu silat dari ayahnya.
Juga, menurut nasihat Nam-san Sian-jin, ketua Tiat-liong-pang itu mengundang guru-guru sastra untuk mengajar puteranya, karena menurut nasihat Nam-san Sian-jin, seorang calon kaisar haruslah menguasai ilmu tentang sastra dengan baik.
Setelah Siangkoan Liong berusia delapan belas tahun, pada suatu pagi muncullah Ouwyang Sianseng atau Nam-san Sian-jin dan dia pun mengatakan bahwa kini tiba saatnya bagi Siangkoan Liong untuk digemblengnya.
“Dia akan kuajak ke tempat tinggalku di Nam-san, dan aku mengundang Siangkoan Pangcu untuk datang berkunjung pula agar hatinya menjadi tenteram karena dia tahu bahwa puteranya berada di suatu tempat yang dikenalnya.”
Giranglah hati Siangkoan Lohan. Biarpun dia kini sudah menjadi kenalan baik Si Manusia Dewa, namun belum pernah dia mengetahui di mana tempat tinggal pertapa itu sehingga tentu saja hatinya akan diliputi kesangsian dan kekhawatiran melepas puteranya mengikuti tempat tinggalnya. Kini dia diajak berkunjung, maka tentu saja dia merasa girang dan pada hari itu, berangkatlah dia dan puteranya mengikuti kakek sakti itu.
Pegunungan selatan tidaklah setinggi pegunungan di bagian utara, namun hutan-hutannya lebih lebat dan pohon-pohonnya lebih beraneka ragam. Di atas puncak satu di antara bukit-bukit itulah terdapat sebuah hutan lebat dan Nam-san Sian-jin tinggal di puncak ini.
Selama ini, Siangkoan Lohan sudah menyuruh beberapa orang anggautanya untuk menyelidiki keadaan kakek pertapa yang menjadi guru puteranya. Dia mendengar hasil penyelidikan orang-orangnya bahwa kakek itu seringkali mengulurkan tangan menolong para penghuni dusun di sekitar pegunungan itu, bukan hanya menolong dengan pengobatan, akan tetapi juga seringkali menolong mereka yang kekurangan dan kelaparan dengan bahan makanan, pakaian atau bahkan uang secara royal sekali.
Tidak mengherankan kalau kakek itu dinamakan Manusia Dewa oleh para penghuni dusun, bukan hanya karena dermawan sekali dan pandai mengobati, akan tetapi juga karena kakek itu datang dan pergi seperti menghilang saja. Tidak pernah ada yang dapat berhubungan langsung dengan kakek pertapa itu, melainkan melalui para pelayan kakek itu yang kabarnya juga memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi, semua murid dan anggauta Tiat-liong-pang gagal ketika berusaha mencari tempat tinggal Nam-san Sian-jin!
Setelah mereka tiba di tengah hutan di puncak bukit itu, Siangkoan Lohan sendiri terheran-heran. Tidak nampak ada sebuah pun rumah di puncak itu, akan tetapi guru puteranya itu mengatakan bahwa dia tinggal di puncak bukit penuh hutan itu! Dan mengertilah dia mengapa anak buahnya gagal semua menemukan tempat tinggal Si Manusia Dewa, karena tempat tinggalnya amat rahasia dan tidak nampak!
“Kita sudah sampai,”
Kata Nam-san Sian-jin seperti dapat membaca kesangsian dalam hati Siangkoan Lohan dan tiba-tiba saja nampak berlompatan tiga orang laki-laki berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun, kesemuanya berpakaian indah seperti pelayan-pelayan pembesar dan mereka segera memberi hormat kepada Nam-san Sianjin sambil berlutut!
“Siapkan hidangan untuk menyambut tamu kita,” kata Nam-san Sian-jin kepada tiga orang pelayannya itu. “Siangkoan-pangcu menjadi tamu kita hari ini dan Siangkoan-kongcu (Tuan Muda Siangkoan) ini mulai hari ini tinggal di sini sebagai muridku, sediakan kamar untuknya.”
“Baik, Taijin (Orang Besar),” kata mereka dan mereka lalu menyelinap di antara semak belukar di tepi jurang dan lenyap! Terkejutlah Siangkoan Lohan melihat cara mereka menghilang itu.
“Pangcu, jangan heran. Semak-semak dan jurang itulah pintu gerbang menuju ke tempat tinggalku. Mari, silakan,” kata Nam-san Sian-jin dan dia pun mendahului ayah dan anak itu, menyelinap di antara semak belukar, diikuti oleh Siangkoan Lohan dan puteranya.
“Aku sejak kecil mempelajari kesusastraan dan ilmu perbintangan, dan aku melihat bahwa puteramu ini memang pantas untuk menjadi kaisar, Pangcu. Bukankah dia memiliki darah bangsawan istana pula? Tidak percuma orang menjuluki aku Namsan Sian-jin (Manusia Dewa Gunung Selatan) kalau aku tidak dapat melihat arti garis-garis pada wajah anak ini,” katanya tanpa bernada menyombongkan diri, bahkan pandang matanya terhadap Siangkoan Liong jelas membayangkan kekaguman, “Akan tetapi tentu saja dia harus dididik sebaiknya, dan pendidikanmu hanya menjadi pendidikan dasar saja, Pangcu. Kalau kelak aku yang melanjutkan pendidikannya, barulah kemungkinan dia menjadi kaisar semakin besar.”
Mendengar ucapan terakhir ini, tentu saja Siangkoan Lohan mengerutkan alisnya dan merasa tidak senang batinnya. Betapa sombongnya orang ini, pikirnya, berani mengeluarkan ucapan yang amat meremehkannya, seolah-olah kepandaiannya masih amat rendah tingkatnya dibandingkan tingkat kepandaian orang itu!
“Nanti dulu, Sobat!” katanya sambil tertawa, akan tetapi ketawanya agak masam karena biarpun orang ini datang memuji puteranya dan bermaksud untuk mendidik puteranya agar menjadi kaisar, namun nada suara orang ini amat memandang rendah. “Tidak ada orang lain boleh mendidik puteraku kecuali kalau orang itu memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dariku. Kelak dia menjadi orang besar atau tidak, hal itu terserah kepada nasibnya, akan tetapi untuk pendidikannya, ada aku di sini yang mendidiknya, bukan orang lain. Tentu saja boleh dia berguru kepadamu kalau memang ada buktinya bahwa kepandaianmu jauh lebih tinggi daripada aku.”
Kembali kakek yang halus tutur sapanya itu tersenyum.
“Siangkoan Pangcu, namamu sebagai ketua Tiat-liong-pang sudah terkenal di empat penjuru, dan semua orang tahu bahwa engkau memiliki ilmu silat yang hebat, tendangan maut dan tenaga luar dalam yang sukar dicari tandingannya! Akan tetapi untuk dapat mendidik murid seperti aku, engkau masih harus belajar banyak. Tentu saja kepandaianku lebih tinggi darimu, Pangcu. Aku hanya bicara seadanya saja, bukan bermaksud menyombongkan diri.”
Memang demikianlah, ketua Tiat-liong-pang itu pun kini melihat betapa orang di depannya itu tidak menyombong, bicara dengan suara seolah-olah menerangkan sesuatu yang sudah pasti. Karena sikap orang itu tidak sombong dan tidak mengandung iktikad buruk terhadapnya, maka dia tidak marah, hanya merasa penasaran sekali. Sementara itu, Siangkoan Liong sejak tadi mendengarkan percakapan antara kedua orang tua itu dan kini dia pun merasa penasaran.
“Ayah, buktikan bahwa Ayah tidak kalah olehnya, agar dia cepat pergi dan tidak mengganggu kita lagi.”
Orang yang mengaku bernama Ouwyang Sianseng atau berjuluk Nam-san Sian-jin itu tersenyum gembira memandang Siangkoan Liong.
“Bagus, anak ini sudah memiliki sifat terbuka dan gagah. Majulah, Pangcu, dan mari kita sama membuktikan kebenaran omonganku tadi. Kalau engkau tidak mampu mengalahkan aku, kelak setelah engkau selesai mengajarkan ilmu-ilmu dasar kepada puteramu aku akan melanjutkan pendidikannya. Sebaliknya, kalau engkau dapat mengalahkan aku, aku akan minta maaf dan aku pergi tidak akan mengganggu kalian lagi.”
Tantangan ini diucapkan dengan halus dan sama sekali tidak mengandung nada permusuhan, maka Siangkoan Lohan lalu melangkah maju menghadapi kakek itu.
“Baik, marilah kita memulai perkenalan kita dengan menguji kepandaian, Ouwyang Sianseng. Dengan cara bagaimana engkau menghendaki mengadu kepandaian?”
Sebagai seorang ketua yang berwibawa dan sadar akan kedudukannya, Siangkoan Lohan bersikap mengalah dan mempersilakan calon lawan untuk menentukan cara. Akan tetapi, kakek berpakaian rapi dan bersikap sopan itu menjura dengan hormat dan tersenyum.
“Senjata yang paling ampuh berada di dalam diri, bukan di luar diri. Hal ini tentu telah kau ketahui pula, Pangcu. Aku sudah mendengar akan kelihaian pukulan dan tendanganmu, dan bahwa dengan kaki tangan dan tenagamu saja, engkau lebih lihai daripada puluhan orang bersenjata. Kebetulan aku sendiri pun seorang yang paling tidak suka melihat orang mempergunakan senjata dalam perang, membunuhi sesama manusia seperti orang membunuh binatang saja. Bagaimana kalau kita main-main sebentar dengan mengandalkan kaki tangan saja, senjata-senjata pemberian Tuhan sejak kita lahir?”
Hati Siangkoan Lohan tertarik sekali. Tentu saja dia akan merasa beruntung sekali kalau ternyata benar bahwa kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi tingkatnya darinya, untuk menjadi guru puteranya. Bagaimanapun juga, dia meragukan akan hal ini.
Dia mengenal tokoh-tokoh besar di dunia persilatan, dan agaknya hanyalah keturunan para pendekar Pulau Es dan Gurun Pasir saja yang akan mampu menandinginya di antara para pendekar, dan hanya datuk-datuk sesat yang sudah terkenal seperti dari Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai saja yang setingkat dengan kepandaiannya. Akan tetapi orang ini sama sekali tidak terkenal walaupun mengaku berjuluk Manusia Dewa Gunung Selatan (Nam-san Sian-jin)!
“Baiklah Ouwyang Sianseng. Aku mengharapkan petunjuk darimu,” katanya sambil menggerakkan kedua lengannya, saling berputaran dengan jari-jari tangan membentuk cakar naga.
Kedua lengan itu menggetar dan terdengar suara berkerotok ketika tenaga yang amat kuat mengalir ke dalam kedua tangan itu. Melihat ini, Ouwyang Sianseng tersenyum mengangguk-angguk.
“Memang bukan nama kosong, hebat Ilmu Liong-jiauw-kang (Tenaga Cakar Naga) itu. Mulailah, Pangcu, aku siap menyambut seranganmu!”
“Awas pukulan!” tiba-tiba ketua Tiat-liong-pang itu membentak sebagai isyarat bahwa dia mulai menyerang.
Angin menyambar dahsyat ketika lengan kirinya meluncur dari samping dan mengirim cakaran ke arah telinga kanan lawan sedangkan tangan kanan juga bergerak dalam detik berikutnya menyusul serangan pertama itu dengan cengkeraman ke arah perut. Kedua tangan dengan jari-jari tangan yang membentuk cakar naga ini luar biasa kuatnya. Jangankan bagian tubuh manusia, bahkan batu karang pun akan hancur terkena cengkeraman itu!
Perlu diketahui bahwa tingkat kepandaian Siangkoan Tek yang sudah terkenal dengan sebutan Siangkoan Pangcu (Ketua Siangkoan) atau Siangkoan Lohan ini sudah amat tinggi. Dia memiliki tenaga yang dahsyat, yaitu tenaga Liong-jiauw-kang (Cakar Naga) sedangkan ilmu silatnya yang bernama Tiat-wi Liong-kun (Silat Naga Berekor Besi) amat tangguh pula, di samping ilmu andalannya yang disebut Ban-kin-twi (Tendangan Selaksa Kati). Di samping ini, juga dia seorang ahli ilmu gulat dari bangsa Mongol, maka, kedua tangan yang membentuk cakar naga itu, selain dapat dipergunakan untuk memukul, menampar dan cengkeraman, juga dapat diubah menjadi jari-jari tangan seorang jago gulat yang tangkapannya membahayakan lawan!
Menghadapi cengkeraman ke arah kepala dan perutnya, Ouwyang Sianseng tidak nampak gugup. Kakinya melangkah ke belakang dan kedua tangannya, dengan jari tengah dan jari telunjuk tegak, menyambut kedua tangan lawan dengan totokan ke arah telapak tangan!
Melihat ini Siangkoan Lohan terkejut. Kalau orang itu berani menotok telapak tangannya yang penuh dengan tenaga Liong-jiauw-kang, berarti bahwa orang itu tentu memiliki sin-kang yang amat kuat. Dia tidak berani mencoba mengadu tenaganya, karena kalau hal itu terjadi, telapak tangannya menyambut totokan jari tangan lawan, seorang di antara mereka tentu akan dapat terluka parah.
Maka dia pun cepat menarik kembali kedua tangannya dan tiba-tiba saja kedua kakinya melakukan tendangan, mula-mula yang kanan lalu disusul yang kiri, kemudian kanan lagi. Tendangan bertubi-tubi itu selain amat cepat, juga tenaganya bahkan lebih dahsyat daripada cengkeraman tadi sehingga debu dan tanah mengebul tinggi seolah-olah kedua batang kaki itu menjadi kitiran yang mendatangkan angin besar menerbangkan debu dan daun kering.
Melihat betapa tendangan itu semakin lama semakin kuat, Ouwyang Sianseng yang mengelak ke kanan kiri dan ke belakang itu mengeluarkan suara pujian.
“Ilmu tendangan yang berbahaya!” katanya dan kini selain mengelak, kedua tangannya yang dimiringkan juga beberapa kali menyambut tendangan dengan tangkisan.
Terdengar suara berdebuk-debuk ketika tangan bertemu kaki, dan keduanya terdorong mundur. Kembali Siangkoan Lohan terkejut. Tangan itu mampu menahan tendangannya! Bukan main, kakek ini benar-benar memiliki sinkang yang hebat. Dia pun lalu menyerang dengan desakan, mengeluarkan jurus-jurus terampuh dari Ilmu Silat Tiat-wi Liong-kun. Tubuh ketua ini bergerak cepat. seperti seekor naga sakti, dengan kedua tangan membentuk cakar dan kedua kakinya menyabet-nyabet seperti seekor naga yang mengamuk.
Namun, Ouwyang Sianseng mengimbangi kecepatannya dengan gerakan-gerakan aneh dan lincah sekali. Kadang-kadang kakek ini berloncatan, atau seperti merak terbang, kedua tangannya digerakkan seperti sayap, kedua kakinya itu berloncatan dan sambil meloncat, kakinya itu menendang, atau tangannya membentuk kerucut atau paruh burung untuk menotok dari atas.
Gerakannya mirip seekor merak dan memang ilmu silat yang dimainkan adalah ilmu silat merak yang aneh dan indah, juga lihai sekali. Memang ilmu silat yang aneh dan tidak pernah dikenal oleh Siangkoan Lohan, dan ilmu silat dari selatan ini disebut Kong-ciak Sin-kun (Ilmu Silat Merak).
Karena sampai puluhan jurus dia tidak mampu mendesak lawan, bahkan kadang-kadang gerakannya menjadi kacau oleh keanehan gerakan lawan. Siangkoan Lohan menjadi semakin penasaran. Dia menggereng keras dan tiba-tiba cengkeraman tangan kanannya berhasil menangkap pergelangan tangan kiri lawan. Selagi dia hendak menggunakan ilmu gulat untuk membanting, tiba-tiba saja kakek itu mendekat, memutar tubuh dan siku lengan dari tangan yang tertangkap itu sudah menyerang ke arah dada Siangkoan Lohan.
Cepat dan hebat serangan ini, sehingga terpaksa pegangannya dilepaskan dan pada saat itu, kedua tangan lawan dengan jari tangannya yang lihai telah menghujankan totokan ke arah jalan darah di bagian tubuh depan sebanyak tujuh kali! Tentu saja dia terkejut dan menjadi repot untuk mengelak dan menangkis, dan terpaksa harus meloncat ke belakang karena dia merasa terdesak.
Rasa penasaran membuat ketua Tiat-liong-pang ini mengerahkan sin-kang dan mengirim serangan dari jauh dengan mendorong kedua tangan dengan telapak tangan terbuka ke arah lawan. Melihat ini, Ouwyang Sianseng tersenyum dan dia pun menyambut dengan dorongan kedua telapak tangannya. Dua tenaga dahsyat yang tidak nampak bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Siangkoan Lohan terdorong ke belakang sampai terhuyung.
Tahulah Siangkoan Lohan bahwa lawannya itu benar-benar lebih tangguh darinya, kalau lawan itu menghendaki, dia tentu sudah roboh dan kalah! Hal ini di samping menimbulkan keheranan dan kekaguman, juga dia merasa girang bukan main dan mulailah dia percaya akan omongan orang ini bahwa puteranya berbakat untuk menjadi kaisar! Diapun menghentikan gerakannya dan menjura dengan sikap hormat.
“Nam-san Sian-jin, sungguh baru sekarang saya harus mengakui keunggulan seorang yang ternyata lebih pandai daripada saya. Saya persilakan Sian-jin untuk menjadi tamu kami agar perkenalan kita menjadi lebih akrab dan saya ingin minta petunjuk tentang putera kami kepada Seng-jin.”
Kakek itu mengangguk-angguk.
“Baiklah, Pangcu, dan terima kasih atas kepercayaanmu.”
Sementara itu, Siangkoan Liong yang mendengar akan pengakuan ayahnya bahwa kakek itu lebih lihai dari ayahnya, menjadi bengong, kemudian anak yang cerdik ini lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Ouwyang Sianseng atau Namsan Sian-jin,
“Locianpwe berjanji akan mengambil teecu (murid) sebagai murid, oleh karena itu mulai sekarang, Locianpwe (Orang Tua Gagah) adalah Suhu (Guru) bagi teecu.”
Dan dia pun memberi hormat sebanyak delapan kali sambil menyebut “suhu”. Kakek itu tersenyum gembira, lalu membangunkan anak itu, meraba-raba pundak, lengan dan kakinya sambil mengangguk-angguk.
“Sudah kuduga, bertulang baik sekali. Pantas menjadi muridku, pantas menjadi calon kaisar!”
Mendengar ini, hati Siangkoan Lohan menjadi gembira bukan main dan dia pun lalu mengajak tamunya masuk ke dalam, dan mengadakan pesta untuk menyambut dan menghormati tamunya. Dalam kesempatan ini, Siangkoan Lohan lebih banyak mengenal tamunya dan kakek itu pun dengan singkat menceritakan siapa dia sebenarnya.
Nam-san Sian-jin adalah seorang bekas pembesar tinggi di negara Birma! Dia seorang bangsa Han yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan sejak muda dia suka merantau untuk memperdalam ilmunya. Perantauannya membawanya ke Birma dan di sana dia, berkat kelihaiannya, memperoleh kepercayaan dari raja, diberi kedudukan dan karena jasa-jasanya, dia bahkan kemudian diangkat menjadi penasehat raja. Dialah yang berjasa besar dalam menghadapi penyerbuan balatentara Mancu yang berkali-kali menyerbu ke selatan, namun tidak pernah dapat menguasai Birma. Berkat pertahanan Birma yang kokoh kuat, di bawah pimpinan Nam-san Sian-jin!
Dia setia kepada Birma, apalagi karena oleh raja, dia dihadiahi seorang puteri istana untuk menjadi isterinya. Juga dia menentang keras pasukan Mancu karena dia tahu bahwa bangsa Mancu adalah bangsa yang menjajah Cina, dari mana berasal. Akan tetapi, terjadi malapetaka menimpa keluarganya ketika berkobar perang melawan balatentara Mancu. Dalam suatu penyerbuan, ada pasukan yang berhasil menerjang kota dan menyerbu gedungnya, dan isteri bersama tiga orang anaknya tewas dibantai mereka!
Wajah yang tadinya halus lembut dan gembira itu berubah menjadi pucat dan matanya memancarkan sinar berapi ketika dia bercerita sampai di bagian itu. Dia mengepal tinju.
“Mereka telah membasmi anak isteriku, keparat Mancu! Aku lalu mengamuk, membunuh sebanyak mungkin orang-orang yang telah menyerbu rumah kami, dan akhirnya aku terpaksa lari dari Birma.“
Siangkoan Lohan mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia pun ikut merasa prihatin.
“Tapi.... mengapa engkau harus lari dari sana, Sian-jin?” tanyanya hati-hati melihat orang itu seperti marah-marah.
“Aku dikatakan gila! Yang mengatakan adalah seorang menteri. Kubunuh dia dan setelah melakukan pembunuhan terhadap seorang menteri, aku menjadi buronan dan terpaksa melarikan diri dari Birma. Pula, aku sudah tidak mempunyai sanak keluarga di sana, untuk apa lebih lama tinggal di sana? Aku membawa simpanan hartaku dan melarikan diri, kini tinggal di bukit selatan menjadi pertapa. Orang-orang di sekitar daerah itu menyebut aku Nam-san Sian-jin.”
Siangkoan Lohan merasa kagum sekali mendengar riwayat hidup kakek yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi itu. Tentu saja Nam-san Sian-jin tidak menceritakan apa yang menjadi cita-citanya. Dia mendendam kepada Kerajaan Mancu yang dianggap telah membasmi keluarganya dan merusak kebahagiaan hidupnya. Oleh karena itu, dia bersumpah untuk membalas dendam, untuk menghancurkan Kerajaan Mancu yang menjadi cita-cita terakhir dari hidupnya.
Inilah sebabnya, ketika melihat Siangkoan Lohan dan puteranya, dia tertarik sekali. Melalui perkumpulan Tiat-liong-pang yang dia tahu amat berpengaruh dan kuat ini dia akan dapat mengumpulkan kekuatan untuk menentang Kerajaan Mancu. Dan dia dapat menggerakkan hati Siangkoan Lohan dengan memuji-muji puteranya yang dikatakan berbakat untuk menjadi calon kaisar.
Tentu saja dia sudah menyelidiki keadaan keluarga Siangkoan Lohan ini dan tahu bahwa mendiang ibu anak itu adalah seorang bangsawan tinggi, anggauta keluarga Kerajaan Mancu. Dan diapun berhasil menggerakkan hati Siangkoan Lohan, seperti ternyata kemudian betapa Siangkoan Lohan yang kini mempunyai ambisi agar puteranya menjadi kaisar, mulai mengadakan persekutuan untuk memberontak dan menjatuhkan Kerajaan Mancu agar puteranya mendapat kesempatan menjadi kaisar seperti yang diramalkan oleh Nam-san Sian-jin!
Selama beberapa tahun, kadang-kadang Nam-san Sian-jin datang berkunjung dan dalam percakapan mereka, kakek ini menanam dan menyebar bibit-bibit pemberontakan ke dalam hati Siangkoan Lohan demi masa depan puteranya sehingga ketua Tiat-liong-pang yang tadinya terkenal sebagai seorang yang amat setia kepada Kerajaan Ceng, kini berubah dan ingin mengadakan persekutuan untuk memberontak!
Sementara itu, Siangkoan Liong digemblengnya dengan keras sehingga setelah dia berusia delapan belas tahun, pemuda itu telah berhasil mewarisi dan menguasai ilmu-ilmu silat dari ayahnya.
Juga, menurut nasihat Nam-san Sian-jin, ketua Tiat-liong-pang itu mengundang guru-guru sastra untuk mengajar puteranya, karena menurut nasihat Nam-san Sian-jin, seorang calon kaisar haruslah menguasai ilmu tentang sastra dengan baik.
Setelah Siangkoan Liong berusia delapan belas tahun, pada suatu pagi muncullah Ouwyang Sianseng atau Nam-san Sian-jin dan dia pun mengatakan bahwa kini tiba saatnya bagi Siangkoan Liong untuk digemblengnya.
“Dia akan kuajak ke tempat tinggalku di Nam-san, dan aku mengundang Siangkoan Pangcu untuk datang berkunjung pula agar hatinya menjadi tenteram karena dia tahu bahwa puteranya berada di suatu tempat yang dikenalnya.”
Giranglah hati Siangkoan Lohan. Biarpun dia kini sudah menjadi kenalan baik Si Manusia Dewa, namun belum pernah dia mengetahui di mana tempat tinggal pertapa itu sehingga tentu saja hatinya akan diliputi kesangsian dan kekhawatiran melepas puteranya mengikuti tempat tinggalnya. Kini dia diajak berkunjung, maka tentu saja dia merasa girang dan pada hari itu, berangkatlah dia dan puteranya mengikuti kakek sakti itu.
Pegunungan selatan tidaklah setinggi pegunungan di bagian utara, namun hutan-hutannya lebih lebat dan pohon-pohonnya lebih beraneka ragam. Di atas puncak satu di antara bukit-bukit itulah terdapat sebuah hutan lebat dan Nam-san Sian-jin tinggal di puncak ini.
Selama ini, Siangkoan Lohan sudah menyuruh beberapa orang anggautanya untuk menyelidiki keadaan kakek pertapa yang menjadi guru puteranya. Dia mendengar hasil penyelidikan orang-orangnya bahwa kakek itu seringkali mengulurkan tangan menolong para penghuni dusun di sekitar pegunungan itu, bukan hanya menolong dengan pengobatan, akan tetapi juga seringkali menolong mereka yang kekurangan dan kelaparan dengan bahan makanan, pakaian atau bahkan uang secara royal sekali.
Tidak mengherankan kalau kakek itu dinamakan Manusia Dewa oleh para penghuni dusun, bukan hanya karena dermawan sekali dan pandai mengobati, akan tetapi juga karena kakek itu datang dan pergi seperti menghilang saja. Tidak pernah ada yang dapat berhubungan langsung dengan kakek pertapa itu, melainkan melalui para pelayan kakek itu yang kabarnya juga memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi, semua murid dan anggauta Tiat-liong-pang gagal ketika berusaha mencari tempat tinggal Nam-san Sian-jin!
Setelah mereka tiba di tengah hutan di puncak bukit itu, Siangkoan Lohan sendiri terheran-heran. Tidak nampak ada sebuah pun rumah di puncak itu, akan tetapi guru puteranya itu mengatakan bahwa dia tinggal di puncak bukit penuh hutan itu! Dan mengertilah dia mengapa anak buahnya gagal semua menemukan tempat tinggal Si Manusia Dewa, karena tempat tinggalnya amat rahasia dan tidak nampak!
“Kita sudah sampai,”
Kata Nam-san Sian-jin seperti dapat membaca kesangsian dalam hati Siangkoan Lohan dan tiba-tiba saja nampak berlompatan tiga orang laki-laki berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun, kesemuanya berpakaian indah seperti pelayan-pelayan pembesar dan mereka segera memberi hormat kepada Nam-san Sianjin sambil berlutut!
“Siapkan hidangan untuk menyambut tamu kita,” kata Nam-san Sian-jin kepada tiga orang pelayannya itu. “Siangkoan-pangcu menjadi tamu kita hari ini dan Siangkoan-kongcu (Tuan Muda Siangkoan) ini mulai hari ini tinggal di sini sebagai muridku, sediakan kamar untuknya.”
“Baik, Taijin (Orang Besar),” kata mereka dan mereka lalu menyelinap di antara semak belukar di tepi jurang dan lenyap! Terkejutlah Siangkoan Lohan melihat cara mereka menghilang itu.
“Pangcu, jangan heran. Semak-semak dan jurang itulah pintu gerbang menuju ke tempat tinggalku. Mari, silakan,” kata Nam-san Sian-jin dan dia pun mendahului ayah dan anak itu, menyelinap di antara semak belukar, diikuti oleh Siangkoan Lohan dan puteranya.