Ketika mereka menyusup di antara semak belukar, ternyata di balik semak-semak itu terdapat anak tangga yang menuruni jurang! Pantas tidak ada di antara anak buahnya yang dapat menemukan tempat tinggal kakek ini! Siapa yang menduga bahwa di balik semak belukar, di dalam jurang, merupakan tempat tinggal kakek itu?
Anak tangga itu tidak terus menuju ke dasar jurang, melainkan berhenti sampai dipertengahan dinding jurang dan kiranya di situ terdapat sebuah gua yang tersembunyi dan tidak dapat kelihatan dari atas. Akan tetapi, mulut gua yang berada di dinding jurang ini menghadap ke timur sehingga memperoleh penerangan sinar matahari yang cukup.
“Inilah tempat tinggalku, pangcu. Silakan masuk,” kata Nam-San Sian-jin sambil melangkah masuk ke dalam gua.
Siangkoan Lohan mengerutkan alisnya dan ikut masuk bersama puteranya. Diam-diam dia merasa kecewa. Puteranya harus tinggal di tempat seperti ini? Akan tetapi, setelah memasuki gua itu, dia terbelalak dan menjadi bengong!
Gua itu lebar dan nampak biasa saja ketika dia mulai memasukinya, akan tetapi setelah masuk ke sebelah dalam, dia terpesona. Di dalam gua itu ternyata amat luas, seperti rumah gedung besar, dan keadaan di dalamnya tidak kalah dengan gedung tempat tinggalnya sendiri, bahkan jauh lebih mewah. Keadaan gua ini tiada ubahnya keadaan dalam gedung istana!
Terdapat banyak kamar, dan setiap ruangan dihias gambar-gambar dan tulisan-tulisan indah, setiap perabot rumahnya amat indah dan halus buatannya, dan keadaan di dalam gua itu luar biasa sekali. Sedemikian luasnya, dan sebagian atasnya berlubang dan terbuka sehingga nampak sinar matahari dan di tengah-tengah ruangan itu terdapat pula sebuah taman kecil penuh bunga!
Tidak nampak pelayan wanita di situ dan agaknya kakek Ouwyang itu hidup bersama tiga orang pelayan pria yang menyambut tadi saja. Mereka itulah yang memasak, membersihkan tempat tinggal yang mewah itu, dan melayani Nam-san Sian-jin serta melakukan pekerjaan lain.
Setelah membiarkan tamunya mengagumi isi gua itu, Nam-san Sian-jin lalu mempersilakan mereka memasuki sebuah ruangan yang paling luas, yang berada di sebelah dalam.
“Ruangan itu kujadikan sebagai ruangan tamu, juga ruangan duduk dan sekaligus ruangan untuk berlatih silat. Dan kadang-kadang, seperti sekarang ini, menjadi juga ruangan makan, walaupun baru sekarang aku menjamu seorang tamu.”
Anak tangga itu tidak terus menuju ke dasar jurang, melainkan berhenti sampai dipertengahan dinding jurang dan kiranya di situ terdapat sebuah gua yang tersembunyi dan tidak dapat kelihatan dari atas. Akan tetapi, mulut gua yang berada di dinding jurang ini menghadap ke timur sehingga memperoleh penerangan sinar matahari yang cukup.
“Inilah tempat tinggalku, pangcu. Silakan masuk,” kata Nam-San Sian-jin sambil melangkah masuk ke dalam gua.
Siangkoan Lohan mengerutkan alisnya dan ikut masuk bersama puteranya. Diam-diam dia merasa kecewa. Puteranya harus tinggal di tempat seperti ini? Akan tetapi, setelah memasuki gua itu, dia terbelalak dan menjadi bengong!
Gua itu lebar dan nampak biasa saja ketika dia mulai memasukinya, akan tetapi setelah masuk ke sebelah dalam, dia terpesona. Di dalam gua itu ternyata amat luas, seperti rumah gedung besar, dan keadaan di dalamnya tidak kalah dengan gedung tempat tinggalnya sendiri, bahkan jauh lebih mewah. Keadaan gua ini tiada ubahnya keadaan dalam gedung istana!
Terdapat banyak kamar, dan setiap ruangan dihias gambar-gambar dan tulisan-tulisan indah, setiap perabot rumahnya amat indah dan halus buatannya, dan keadaan di dalam gua itu luar biasa sekali. Sedemikian luasnya, dan sebagian atasnya berlubang dan terbuka sehingga nampak sinar matahari dan di tengah-tengah ruangan itu terdapat pula sebuah taman kecil penuh bunga!
Tidak nampak pelayan wanita di situ dan agaknya kakek Ouwyang itu hidup bersama tiga orang pelayan pria yang menyambut tadi saja. Mereka itulah yang memasak, membersihkan tempat tinggal yang mewah itu, dan melayani Nam-san Sian-jin serta melakukan pekerjaan lain.
Setelah membiarkan tamunya mengagumi isi gua itu, Nam-san Sian-jin lalu mempersilakan mereka memasuki sebuah ruangan yang paling luas, yang berada di sebelah dalam.
“Ruangan itu kujadikan sebagai ruangan tamu, juga ruangan duduk dan sekaligus ruangan untuk berlatih silat. Dan kadang-kadang, seperti sekarang ini, menjadi juga ruangan makan, walaupun baru sekarang aku menjamu seorang tamu.”
Siangkoan Lohan merasa terhormat sekali dan segera bermunculan tiga orang pelayan tadi yang datang membawa hidangan yang mereka atur di atas meja. Akan tetapi perhatian Siangkoan Lohan tertarik kepada hiasan aneh yang terdapat di dekat dinding, di sebelah rak senjata. Di situ terdapat sebuah rak panjang dengan tombak-tombak yang berdiri berjajar.
Akan tetapi, di atas tombak itu tertancap masing-masing sebuah kepala manusia, ada belasan buah banyaknya! Yang mengerikan sekali, kepala manusia itu seperti dalam keadaan hidup, matanya terbuka dan hanya mukanya yang nampak pucat, namun segalanya masih utuh seperti hidup.
“Itu.... itu.... apa maksudnya?” tanya Siangkoan Lohan sambil menuding dan Siangkoan Liong juga terkejut melihat kepala yang berjajar itu.
“Aahhh, itu?” kata tuan rumah sambil menarik napas panjang dan alisnya berkerut seolah-olah dia teringat akan hal yang tidak menyenangkan. “Itulah kepala beberapa orang yang memimpin penyerbuan, mereka yang menyebabkan matinya semua anak isteriku. Aku berhasil mencari dan membunuh mereka, kepalanya kuawetkan dengan ramuan obat dan kupasang di sini agar mendinginkan hatiku setiap kali teringat kepada anak isteriku.”
Siangkoan Lohan diam-diam bergidik. Orang yang amat lihai ini ternyata dapat berlaku amat sadis dalam pembalasan dendamnya. Dia tidak tahu sama sekali bahwa memang dendam telah membuat Ouwyang Sianseng menjadi seperti gila, dan karena dia dianggap gila itulah maka dia dipecat dari kedudukannya dalam istana raja Birma! Dia dianggap berbahaya dan bahkan kemudian dia membunuh seorang menteri dan menjadi buronan pemerintah Birma.
Sebaliknya dari ayahnya, Siangkoan Liong merasa kagum sekali kepada gurunya, yang dianggapnya telah menebus kematian yang membuat penasaran dari keluarganya dan telah membuktikan kesetiaannya kepada keluarganya.
Setelah dijamu dengan masakan yang cukup lezat dan lengkap sehingga kelihatan aneh masakan seperti itu dapat dihidangkan di tempat itu, Siangkoan Lohan lalu meninggalkan puteranya di situ dan kembali ke perkampungan Tiat-liong-pang. Dia harus berjanji takkan memberitahukan kepada siapapun juga tentang tempat tinggal Ouwyang Sianseng atau Nam-san Sian-jin ini dan ternyata kemudian bahwa kakek ini pun tidak pernah berhubungan dengan orang lain kecuali Siangkoan Lohan dan puteranya.
Siangkoan Liong lalu menerima gemblengan di tempat rahasia itu oleh kakek bekas penasihat Raja Birma sehingga dalam waktu dua tahun dia telah memperoleh kemajuan yang amat pesat. Setelah lewat dua tahun dan kembali ke rumah orang tuanya, dia melihat betapa ayahnya kini telah mengadakan persekutuan dengan tokoh-tokoh lihai.
Karena girang melihat puteranya telah tamat belajar dan memiliki kepandaian yang tinggi, bahkan mungkin lebih tinggi dari tingkatnya sendiri, Siangkoan Lohan lalu mengadakan pesta, sekalian untuk merayakan hari ulang tahunnya yang ke enam puluh tahun. Dia mengundang tokoh-tokoh, baik dari golongan hitam maupun putih dan seperti kita ketahui, di dalam pesta itu terjadilah keributan.
Siangkoan Liong maklum bahwa ayahnya sedang bersekutu dengan kekuatan-kekuatan yang hendak menggulingkan pemerintah Mancu. Biarpun dia sendiri, dalam keangkuhannya, merasa diri jauh lebih tinggi, tidak suka bergaul dengan orang-orang kang-ouw itu, namun dia tidak menghalangi usaha ayahnya karena dia maklum bahwa usaha pemberontakan itu cocok dengan apa yang dicita-citakan oleh gurunya, yaitu menggulingkan pemerintah Ceng dan dialah yang dicalonkan menjadi kaisar kalau usaha itu berhasil.
Akan tetapi, di atas tombak itu tertancap masing-masing sebuah kepala manusia, ada belasan buah banyaknya! Yang mengerikan sekali, kepala manusia itu seperti dalam keadaan hidup, matanya terbuka dan hanya mukanya yang nampak pucat, namun segalanya masih utuh seperti hidup.
“Itu.... itu.... apa maksudnya?” tanya Siangkoan Lohan sambil menuding dan Siangkoan Liong juga terkejut melihat kepala yang berjajar itu.
“Aahhh, itu?” kata tuan rumah sambil menarik napas panjang dan alisnya berkerut seolah-olah dia teringat akan hal yang tidak menyenangkan. “Itulah kepala beberapa orang yang memimpin penyerbuan, mereka yang menyebabkan matinya semua anak isteriku. Aku berhasil mencari dan membunuh mereka, kepalanya kuawetkan dengan ramuan obat dan kupasang di sini agar mendinginkan hatiku setiap kali teringat kepada anak isteriku.”
Siangkoan Lohan diam-diam bergidik. Orang yang amat lihai ini ternyata dapat berlaku amat sadis dalam pembalasan dendamnya. Dia tidak tahu sama sekali bahwa memang dendam telah membuat Ouwyang Sianseng menjadi seperti gila, dan karena dia dianggap gila itulah maka dia dipecat dari kedudukannya dalam istana raja Birma! Dia dianggap berbahaya dan bahkan kemudian dia membunuh seorang menteri dan menjadi buronan pemerintah Birma.
Sebaliknya dari ayahnya, Siangkoan Liong merasa kagum sekali kepada gurunya, yang dianggapnya telah menebus kematian yang membuat penasaran dari keluarganya dan telah membuktikan kesetiaannya kepada keluarganya.
Setelah dijamu dengan masakan yang cukup lezat dan lengkap sehingga kelihatan aneh masakan seperti itu dapat dihidangkan di tempat itu, Siangkoan Lohan lalu meninggalkan puteranya di situ dan kembali ke perkampungan Tiat-liong-pang. Dia harus berjanji takkan memberitahukan kepada siapapun juga tentang tempat tinggal Ouwyang Sianseng atau Nam-san Sian-jin ini dan ternyata kemudian bahwa kakek ini pun tidak pernah berhubungan dengan orang lain kecuali Siangkoan Lohan dan puteranya.
Siangkoan Liong lalu menerima gemblengan di tempat rahasia itu oleh kakek bekas penasihat Raja Birma sehingga dalam waktu dua tahun dia telah memperoleh kemajuan yang amat pesat. Setelah lewat dua tahun dan kembali ke rumah orang tuanya, dia melihat betapa ayahnya kini telah mengadakan persekutuan dengan tokoh-tokoh lihai.
Karena girang melihat puteranya telah tamat belajar dan memiliki kepandaian yang tinggi, bahkan mungkin lebih tinggi dari tingkatnya sendiri, Siangkoan Lohan lalu mengadakan pesta, sekalian untuk merayakan hari ulang tahunnya yang ke enam puluh tahun. Dia mengundang tokoh-tokoh, baik dari golongan hitam maupun putih dan seperti kita ketahui, di dalam pesta itu terjadilah keributan.
Siangkoan Liong maklum bahwa ayahnya sedang bersekutu dengan kekuatan-kekuatan yang hendak menggulingkan pemerintah Mancu. Biarpun dia sendiri, dalam keangkuhannya, merasa diri jauh lebih tinggi, tidak suka bergaul dengan orang-orang kang-ouw itu, namun dia tidak menghalangi usaha ayahnya karena dia maklum bahwa usaha pemberontakan itu cocok dengan apa yang dicita-citakan oleh gurunya, yaitu menggulingkan pemerintah Ceng dan dialah yang dicalonkan menjadi kaisar kalau usaha itu berhasil.
**** 013 ****