Setelah Suma Lian pergi dan pada suatu pagi Bu Beng Lokai menanyakan kepada Li Sian ke mana perginya sucinya itu, Li Sian berterus terang mengatakan bahwa sucinya itu pergi ke Beng-san untuk mengundang Beng-san Siang-eng. Wajah kakek itu nampak berseri dan sinar matanya penuh harap sehingga diam-diam Li Sian merasa terharu dan bersyukur bahwa sucinya mempunyai pendapat yang amat baik untuk mengundang kedua orang pendekar kembar itu.
Beberapa hari kemudian, Li Sian duduk di depan pondok bersama gurunya. Kakek Bu Beng Lokai nampak agak segar pagi itu, dan begitu merasa tubuhnya sehat, dia pun duduk di depan pondok untuk membiarkan sinar matahari pagi memandikan dirinya.
Li Sian sudah selesai berlatih dan mencuci pakaian dan kini ia menemani kakek itu duduk di luar pondok. Kakek itu sudah sarapan bubur yang tadi dipersiapkan Li Sian dan gadis itu duduk di atas sebuah bangku kecil, di sebelah kanan gurunya yang membuka baju atas membiarkan sinar matahari menghangatkan dadanya.
“Saya girang sekali, pagi ini Kong-kong nampak sehat sekali.” kata Li Sian sambil memandang kakek itu dengan sinar mata penuh hormat dan sayang.
Bu Beng Lokai memandang muridnya itu dan tersenyum.
“Li Sian, aku sudah lama tidak melihat engkau berlatih. Sekarang cobalah engkau mainkan Lo-thian Sin-kun, aku ingin sekali melihat sampai di mana kemajuanmu.”
“Baik, Kong-kong,” kata Li Sian dan gadis ini bangkit berdiri lalu meloncat ke tengah pekarangan depan rumah itu, di dekat taman bunga yang dirawatnya dengan baik bersama sucinya.
Ilmu Silat Lo-thian Sin-kun dan Lo-thian Kiam-sut memang merupakan ilmu silat tinggi yang telah disempurnakan oleh kakek itu dan merupakan inti daripada ilmu-ilmu yang diajarkan kepada dua orang muridnya. Setelah memberi hormat dengan mengepal tangan kanan dilekatkan tangan kiri yang terbuka di depan ulu hati dan menghadap gurunya, Li Sian lalu bersilat.
Indah bukan main gerakan gadis ini. Orangnya memang cantik, bentuk tubuhnya indah, tubuh seorang dara yang sedang masak-masaknya, dengan pinggang ramping dan lekuk lengkung tubuh yang sempurna, penuh sifat kehalusan dan kelembutan seorang wanita, maka gerakan silat itu sungguh amat indah. Memang Bu Beng Lokai yang sudah mendalami ilmu silat sampai ke intinya, menekankan segi-segi terpenting dari ilmu silat.
Di dalam gerakan ilmu silat terkandung seni tari yang indah, gerakan tubuh demikian hidup dan penuh keindahan, juga mengandung seni olah raga yang menyehatkan tubuh karena gerakan-gerakan itu memperlancar jalan darah, bahkan mengendalikan hawa dan tenaga sakti dalam tubuh. Selain seni tari, dan olah raga, juga mengandung pengaruh menyehatkan batin di samping ilmu bela diri.
Permainan Li Sian memang indah sekali, juga gerakannya mantap, setiap pukulan atau tangkisan mengandung tenaga yang nampaknya halus namun sesungguhnya amat kuat karena gadis ini pun sudah menguasai penggunaan Tenaga Inti Bumi, bahkan telah mahir pula mempergunakan Hui-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang dari Pulau Es!
Kecepatannya mengagumkan sehingga diam-diam Bu Beng Lokai mengangguk-angguk bangga. Keindahan, kecepatan, kekuatan, tiga hal ini sudah terujud dalam ilmu silat yang dimainkan Li Sian.
“Ambil ranting dan pergunakan sebagai pedang, mainkan Lo-thian Kiam-sut,” kata Bu Beng Lokai.
Tubuh gadis itu tiba-tiba berkelebat ke atas, ke arah sebatang pohon di tengah bunga dan ketika ia berkelebat kembali ke depan gurunya, ia sudah memegang sebatang ranting pohon. Sekali menggerakkan ranting itu, daun-daun yang melekat di situ rontok dan mulailah ia memainkan ilmu pedang yang diminta gurunya.
Seperti juga ilmu silat tangan kosong yang dimainkan dengan halus namun dengan kecepatan yang luar biasa, membuat tubuhnya lenyap terbungkus sinar hijau dari ranting itu, sinar bergulung-gulung yang menyelimuti tubuhnya!
Melihat kemajuan muridnya ini, timbul kegembiraan hati Bu Beng Lokai dan tiba-tiba dia sudah bangkit berdiri.
“Li Sian, mari kita latihan bersama!” katanya gembira dan kakek itu sudah meloncat memasuki gulungan sinar pada ranting pohon yang dimainkan sebagai pedang oleh gadis itu.
Dia mainkan kedua tangannya dan kakinya bergerak dalam langkah-langkah ajaib Sam-po Cikeng dan melihat ini Li Sian girang bukan main. Ini menandakan bahwa gurunya itu telah sehat benar! Maka, ia pun melayani gurunya dan mereka berlatih bersama.
Biarpun sudah tua dan baru saja sembuh dari keadaan tidak sehat, namun begitu tubuhnya bergerak dalam permainan silat, tubuh itu seperti mendapatkan kekuatan baru dan gerakannya lincah dan kuat!
Li Sian juga bersilat dengan sungguh-sungguh, berusaha untuk mengalahkan gurunya. Namun, biar gurunya sudah sangat tua, bagaimanapun juga dia kalah jauh dalam hal kematangan ilmu silat dan pengalaman dan tiba-tiba ujung ranting yang dimainkan sebagai pedang itu dapat tertangkap oleh tangan kanan kakek itu. Li Sian mengerahkan tenaga untuk merampas kembali senjatanya, kakek itu mempertahankan.
“Krek!” Ranting itu patah-patah dan keduanya melompat ke belakang.
Wajah Li Sian berubah merah.
“Wah, Kong-kong sudah sehat benar, sudah mampu mengalahkan saya dengan amat mudah!” kata Li Sian.
Bu Beng Lokai berkata setelah menghapus peluhnya yang membasahi tubuh atas itu dengan bajunya.
“Li Sian, pada saat lawan berhasil menangkap senjata, kesempatan itulah yang teramat baik untuk menyerangnya. Biarkan dia kegirangan karena berhasil menangkap senjatamu sehingga dia lengah dan pada detik itu teramat baik untuk dijadikan kesempatan merobohkannya.”
“Maksud Kong-kong, saya tidak seharusnya mengerahkan tenaga untuk mencoba merampas kembali senjata yang sudah tertangkap, akan tetapi menggunakan saat itu untuk menyerang lawan dengan tangan kiri?”
Beberapa hari kemudian, Li Sian duduk di depan pondok bersama gurunya. Kakek Bu Beng Lokai nampak agak segar pagi itu, dan begitu merasa tubuhnya sehat, dia pun duduk di depan pondok untuk membiarkan sinar matahari pagi memandikan dirinya.
Li Sian sudah selesai berlatih dan mencuci pakaian dan kini ia menemani kakek itu duduk di luar pondok. Kakek itu sudah sarapan bubur yang tadi dipersiapkan Li Sian dan gadis itu duduk di atas sebuah bangku kecil, di sebelah kanan gurunya yang membuka baju atas membiarkan sinar matahari menghangatkan dadanya.
“Saya girang sekali, pagi ini Kong-kong nampak sehat sekali.” kata Li Sian sambil memandang kakek itu dengan sinar mata penuh hormat dan sayang.
Bu Beng Lokai memandang muridnya itu dan tersenyum.
“Li Sian, aku sudah lama tidak melihat engkau berlatih. Sekarang cobalah engkau mainkan Lo-thian Sin-kun, aku ingin sekali melihat sampai di mana kemajuanmu.”
“Baik, Kong-kong,” kata Li Sian dan gadis ini bangkit berdiri lalu meloncat ke tengah pekarangan depan rumah itu, di dekat taman bunga yang dirawatnya dengan baik bersama sucinya.
Ilmu Silat Lo-thian Sin-kun dan Lo-thian Kiam-sut memang merupakan ilmu silat tinggi yang telah disempurnakan oleh kakek itu dan merupakan inti daripada ilmu-ilmu yang diajarkan kepada dua orang muridnya. Setelah memberi hormat dengan mengepal tangan kanan dilekatkan tangan kiri yang terbuka di depan ulu hati dan menghadap gurunya, Li Sian lalu bersilat.
Indah bukan main gerakan gadis ini. Orangnya memang cantik, bentuk tubuhnya indah, tubuh seorang dara yang sedang masak-masaknya, dengan pinggang ramping dan lekuk lengkung tubuh yang sempurna, penuh sifat kehalusan dan kelembutan seorang wanita, maka gerakan silat itu sungguh amat indah. Memang Bu Beng Lokai yang sudah mendalami ilmu silat sampai ke intinya, menekankan segi-segi terpenting dari ilmu silat.
Di dalam gerakan ilmu silat terkandung seni tari yang indah, gerakan tubuh demikian hidup dan penuh keindahan, juga mengandung seni olah raga yang menyehatkan tubuh karena gerakan-gerakan itu memperlancar jalan darah, bahkan mengendalikan hawa dan tenaga sakti dalam tubuh. Selain seni tari, dan olah raga, juga mengandung pengaruh menyehatkan batin di samping ilmu bela diri.
Permainan Li Sian memang indah sekali, juga gerakannya mantap, setiap pukulan atau tangkisan mengandung tenaga yang nampaknya halus namun sesungguhnya amat kuat karena gadis ini pun sudah menguasai penggunaan Tenaga Inti Bumi, bahkan telah mahir pula mempergunakan Hui-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang dari Pulau Es!
Kecepatannya mengagumkan sehingga diam-diam Bu Beng Lokai mengangguk-angguk bangga. Keindahan, kecepatan, kekuatan, tiga hal ini sudah terujud dalam ilmu silat yang dimainkan Li Sian.
“Ambil ranting dan pergunakan sebagai pedang, mainkan Lo-thian Kiam-sut,” kata Bu Beng Lokai.
Tubuh gadis itu tiba-tiba berkelebat ke atas, ke arah sebatang pohon di tengah bunga dan ketika ia berkelebat kembali ke depan gurunya, ia sudah memegang sebatang ranting pohon. Sekali menggerakkan ranting itu, daun-daun yang melekat di situ rontok dan mulailah ia memainkan ilmu pedang yang diminta gurunya.
Seperti juga ilmu silat tangan kosong yang dimainkan dengan halus namun dengan kecepatan yang luar biasa, membuat tubuhnya lenyap terbungkus sinar hijau dari ranting itu, sinar bergulung-gulung yang menyelimuti tubuhnya!
Melihat kemajuan muridnya ini, timbul kegembiraan hati Bu Beng Lokai dan tiba-tiba dia sudah bangkit berdiri.
“Li Sian, mari kita latihan bersama!” katanya gembira dan kakek itu sudah meloncat memasuki gulungan sinar pada ranting pohon yang dimainkan sebagai pedang oleh gadis itu.
Dia mainkan kedua tangannya dan kakinya bergerak dalam langkah-langkah ajaib Sam-po Cikeng dan melihat ini Li Sian girang bukan main. Ini menandakan bahwa gurunya itu telah sehat benar! Maka, ia pun melayani gurunya dan mereka berlatih bersama.
Biarpun sudah tua dan baru saja sembuh dari keadaan tidak sehat, namun begitu tubuhnya bergerak dalam permainan silat, tubuh itu seperti mendapatkan kekuatan baru dan gerakannya lincah dan kuat!
Li Sian juga bersilat dengan sungguh-sungguh, berusaha untuk mengalahkan gurunya. Namun, biar gurunya sudah sangat tua, bagaimanapun juga dia kalah jauh dalam hal kematangan ilmu silat dan pengalaman dan tiba-tiba ujung ranting yang dimainkan sebagai pedang itu dapat tertangkap oleh tangan kanan kakek itu. Li Sian mengerahkan tenaga untuk merampas kembali senjatanya, kakek itu mempertahankan.
“Krek!” Ranting itu patah-patah dan keduanya melompat ke belakang.
Wajah Li Sian berubah merah.
“Wah, Kong-kong sudah sehat benar, sudah mampu mengalahkan saya dengan amat mudah!” kata Li Sian.
Bu Beng Lokai berkata setelah menghapus peluhnya yang membasahi tubuh atas itu dengan bajunya.
“Li Sian, pada saat lawan berhasil menangkap senjata, kesempatan itulah yang teramat baik untuk menyerangnya. Biarkan dia kegirangan karena berhasil menangkap senjatamu sehingga dia lengah dan pada detik itu teramat baik untuk dijadikan kesempatan merobohkannya.”
“Maksud Kong-kong, saya tidak seharusnya mengerahkan tenaga untuk mencoba merampas kembali senjata yang sudah tertangkap, akan tetapi menggunakan saat itu untuk menyerang lawan dengan tangan kiri?”
Kakek itu mengangguk.
“Benar, tertangkapnya senjatamu merupakan pancingan yang tidak disengaja dan berhasil baik. Lawan akan lengah dan saat itu engkau dapat mempergunakan tangan kiri atau kakimu untuk menyerangnya. Ini berarti membiarkan kemenangan datang melahui kekalahan. Kelihatannya saja engkau kalah karena senjatamu tertangkap, akan tetapi kekalahan itu justeru membuka kesempatan bagimu untuk memperoleh kemenangan. Mengertikah engkau?”
“Saya mengerti, Kong-kong.”
“Nah, bagus. Bagaimanapun juga, engkau telah memperoleh kemajuan cukup baik. Tentu selama aku mengaso dan tidak mampu mengawasimu, engkau terus berlatih dengan giat.”
“Ah, betapapun kerasnya saya berlatih, masih sukar bagi saya untuk mengimbangi kemajuan suci, Kong-kong.”
Kakek itu tersenyum.
“Bukan salahmu. Suma Lian memang berbakat sekali, dan selain itu, ingatlah bahwa ia keturunan langsung dari ayah mertuaku, Pendekar Super Sakti Suma Han dari Pulau Es! Bahkan ayah ibunya juga merupakan sepasang pendekar yang sakti. Sejak kecil ia sudah digembleng ayah ibunya dan ketika ia menjadi muridku, ia telah memiliki dasar yang kuat sekali, berbeda dengan engkau yang ketika itu belum pernah mempelajari ilmu silat sama sekali. Ilmu kepandaian silat mendiang ayahmu, Menteri Pouw Tong Ki itu tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan tingkat ilmu silat ayah ibu Suma Lian.
Ketahuilah, Li Sian, bahwa ilmu-ilmu dari Pulau Es amat tinggi dan karenanya tidak mudah dikuasai dengan sempurna. Seperti Hui-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang yang pernah kau latih itu, kiranya sekarang ini sukar mencari orang yang mampu menguasainya sesempurna mendiang ayah mertuaku! Mungkin hanya Suma Ceng Liong ayah Suma Lian saja yang saat ini memiliki tingkat paling tinggi dalam hal ilmu silat keluarga Pulau Es. Akan tetapi, bekalmu sudah lebih dari cukup. Kalau engkau giat berlatih dan ditambah pengalaman-pengalamanmu nanti, kiranya engkau tidak akan tertinggal terlalu jauh. Eh, mengapa Suma Lian belum juga pulang?”
Li Sian duduk bersila di atas batu datar untuk mengatur pernapasan, memulihkan tenaga setelah latihan tadi. Mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu, ia pun menjawab.
“Menurut perhitungnn Lian-suci, mestinya kemarin ia sudah pulang. Saya kira hari ini ia akan pulang, Kong-kong.”
Kakek itu mengangguk-angguk, lalu duduk bersila pula di atas batu datar lain yang banyak terdapat di pekarangan itu.
“Aku harus mengaso, sedikit latihan tadi melelahkan tubuhku, akan tetapi juga menggembirakan dan memberi semangat,” katanya dan sebentar saja dia sudah tenggelam dalam samadhinya.
Belum satu jam mereka berlatih samadhi, baru saja Li Sian bangkit dari duduknya untuk melakukan pekerjaan rumah seperti biasa, tiba-tiba terdengar suara nyaring dari jauh.
“Kong-kong....! Sumoi....! Aku datang....!”
Suara sucinya, Suma Lian, siapa lagi! Suara itu demikian nyaring dan bening, seperti kepingan perak atau emas berdencing, mendatangkan kecerahan dan kegembiraan. Li Sian cepat memandang dan ia melihat sucinya datang berjalan bersama dua orang laki-laki yang usianya mendekati enam puluh tahun, sikap mereka gagah, seorang wanita cantik berusia hampir empat puluh tahun dan seorang anak laki-laki berusia kurang lebih sepuluh tahun. Ia pun segera tahu siapa mereka dan dengan girang ia lalu berseru kepada gurunya.
“Kong-kong, mereka telah datang!”
Bu Beng Lokai membuka matanya, akan tetapi tidak turun dari atas batu datar, nampaknya masih lelah, hanya dia memandang ke arah rombongan yang kini sudah menghampiri tempat itu.
Ketika Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong melihat kakek tua renta yang tak berbaju, duduk di atas batu datar nampak tua dan lelah dan lemah, mereka merasa jantung mereka seperti ditusuk dan keduanya lalu berlari menghampiri sambil menangis, menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakek itu dan mereka menangis mengguguk seperti dua orang anak kecil.
“Ayah.... bertahun-tahun kami mencari Ayah tanpa hasil “ kata Gak Jit Kong.
“Ayah, ampunkan semua dosa kami, Ayah.“ kata pula Gak Goat Kong.
Bu Beng Lokai atau Gak Bun Beng mencoba untuk tersenyum dan kedua tangannya menyentuh kepala dua orang yang berlutut di depannya itu, matanya basah dan suaranya lirih gemetar ketika dia berkata,
“Anak-anak.... anak-anakku.... mana ia, isterimu dan apakah kalian mempunyai keturunan?”
Hui Lian sejak tadi sudah menarik tangan puteranya dan berlutut tak jauh dari situ. Mendengar ucapan ini, ia pun bergeser maju sambil menggandeng tangan puteranya. Ia telah menangis sejak tadi melihat betapa dua orang suaminya mengguguk dalam tangisnya di depan kaki ayah mertuanya itu.
“Ayah.... saya Souw Hui Lian mantumu yang hina dan bodoh dan ini adalah Gak Ciang Hun, anak tunggal kami.”
Gak Bun Beng memandang mereka.
“Anak baik, engkau telah membahagiakan anak-anakku.... terima kasih dan cucuku.... ke sinilah, cucuku.“
Gak Ciang Hun sudah sering mendengar dari kedua ayahnya tentang kakeknya yang dikatakan memlliki ilmu kepandaian amat tinggi seperti dewa, maka sejak tadi dia sudah memandang dengan kagum, juga agak jerih. Mendengar kini kakek itu memanggilnya, dia pun cepat maju menghampiri.
“Cucuku.... ah, sudah begini besar, cucuku.!”
Dia mencoba untuk bangkit akan tetapi terhuyung. Suma Lian, juga kedua orang puteranya cepat meloncat untuk menolongnya, akan tetapi kakek itu menolak mereka dan berkata,
“Biarkan aku dengan cucuku sendiri!”
Suaranya tegas sehingga Suma Lian dan Li Sian mundur kembali, hanya saling pandang dengan alis berkerut dan pandang mata khawatir.
Mereka tahu benar bahwa guru mereka, juga kakek mereka itu berada dalam keadaan yang tidak sehat dan lemah, bukan hanya karena penyakit, akan tetapi terutama karena usia tua. Sementara itu, Bu Beng Lokai atau Gak Bun Beng sudah menggandeng tangan cucunya, diajak memasuki ruangan latihan silat. Kedua orang saudara kembar Gak bersama isteri mereka, juga Suma Lian dan Li Sian, hanya mengikuti dari belakang.
Setelah tiba di ruangan latihan silat, kakek Gak Bun Beng lalu berkata kepada cucunya,
“Ciang Hun, engkau tentu telah dilatih silat oleh orang tuamu. Nah, perlihatkan kepada kakekmu ini sampai di mana kemampuanmu.”
Ciang Hun memang sejak kecil digembleng oleh kedua orang ayahnya dan seorang ibunya. Sebetulnya dia malu dan khawatir ditegur kakeknya karena di depan kakeknya yang kabarnya sakti itu tentu kepandaian silatnya masih belum ada artinya. Akan tetapi dia pun tidak berani membantah, melangkah ke tengah ruangan dan setelah memberi hormat, dia pun bersilat, mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat dasar Lo-thian Sin-kun.
Gerakannya cukup gesit dan penggunaan tenaga yang tepat, sesuai dengan usianya. Melihat ini, agaknya Bu Beng Lokai cukup puas. Biarpun tidak memiliki bakat yang terlalu menonjol, namun Ciang Hun cukup baik, bahkan kelak dapat lebih tinggi tingkatnya daripada orang tuanya kalau rajin berlatih.
“Nah, sekarang duduklah bersila di situ, cucuku,” kata kakek itu dan dia pun menghampiri cucunya yang duduk bersila itu. “Buka bajumu!”
Ciang Hun merasa heran akan tetapi tidak berani membantah dan anak itu pun membuka bajunya. Kakek itu lalu duduk bersila di belakang cucunya. Melihat ini, Suma Lian dan Li Sian dapat menduga apa yang akan dilakukan guru mereka dan keduanya merasa khawatir sekali.
“Kong-kong....!” Mereka berdua berseru lirih.
Kakek itu menoleh kepada mereka, lalu tersenyum.
“Lian dan Sian, kalian berdua telah menerima semua ilmuku dan kurasa sudah cukup bagi kalian untuk mempergunakan ilmu-ilmu itu untuk berjaga diri dan menegakkan kebenaran dan keadilan. Aku tidak punya apa-apa lagi untuk diwariskan kepada cucuku, maka semua yang ada padaku akan kutinggalkan kepadanya.
“Akan tetapi, Kong-kong sedang sakit.“ bantah Suma Lian.
“Dan Kong-kong baru saja berlatih dan dalam keadaan lelah.“ sambung Li Sian, sama khawatirnya dengan sucinya.
“Sudahlah, harap kalian jangan khawatir. Kalau tidak sekarang saatnya, kapan lagi? Hanya inilah yang dapat kulakukan untuk cucuku, dan tentang mati hidup, hal itu adalah urusan Tuhan!”
Setelah berkata demikian, kakek itu menempelkan kedua telapak tangannya di punggung cucunya dan matanya terpejam. Melihat ini, barulah kedua orang bersaudara kembar Gak itu dan isteri mereka tahu apa yang akan dilakukan ayah mereka, dan mereka pun memandang dengan khawatir, akan tetapi tidak berani menghalangi.
“Kendurkan seluruh urat tubuhmu, cucuku, dan jangan melawan, terima saja hawa panas yang memasuki tubuhmu.”
Kakek itu berbisik dan dia pun mengerahkan sin-kangnya untuk disalurkan ke dalam tubuh cucunya! Biarpun usianya baru sepuluh tahun, sebagai putera pendekar, Ciang Hun sudah tahu apa yang dilakukan kakeknya. Tentu kakeknya akan menyalurkan tenaga sin-kang, memindahkan tenaga sakti itu kepadanya.
Diam-diam dia merasa girang bukan main walaupun hatinya tegang karena dia belum pernan merasakan hal ini dan dia pun maklum bahwa pengoperan tenaga sakti itu dapat membahayakan dirinya sendiri kalau dia tidak mentaati sepenuhnya. Maka dia pun mengendorkan semua urat di tubuhnya dan menghentikan semua pikiran seperti dalam latihan samadhi.
Tak lama kemudian, anak itu merasa betapa ada hawa yang mula-mula hangat memasuki tubuhnya. Hawa itu semakin lama semakin panas, masuk semakin banyak sampai memenuhi tubuhnya dan berputaran. Kepalanya mulai terasa pening, keringatnya keluar di seluruh tubuhnya dan hampir saja dia tidak kuat menahan.
Namun, Ciang Hun mematikan semua rasa dan pasrah. Hawa yang tadinya amat panas itu kemudian menjadi hangat kembali, makin lama semakin berkurang panasnya, bahkan menjadi dingin dan semakin dingin sampai Ciang Hun menggigil dan giginya berbunyi.
Akan tetapi anak itu tetap diam dan dapat mempertahankan kebekuan yang menyerang dari dalam itu! Dia lapat-lapat mendengar seruan-seruan khawatir dari dua orang gadis murid kakeknya, akan tetapi tidak dipedulikan. Rasa dingin luar biasa itu makin lama semakin berkurang dan akhirnya kembali hangat seperti semula.
Akan tetapi dia merasa tengkuknya panas sekali dan ada hembusan panas meniup tengkuknya dari luar yang membuatnya sadar dari samadhinya dan kini dia mendengar betapa hembusan napas panas itu keluar dari mulut dan hidung kakeknya, dan kini terdengar terengah-engah. Kedua tangan kakeknya yang tadi tertempel di kulit punggungnya, kini terlepas.
“Kong-kong....!” Terdengar Suma Lian dan Li Sian berseru.
“Ayah....!”
Kedua ayahnya juga berteriak dan mereka sudah berlutut mendekat. Ciang Hun mencoba berdiri, akan tetapi kepalanya menjadi pening seketika dan dia tentu sudah terguling roboh kalau saja tidak ada ibunya yang cepat merangkulnya.
Ibu dan anak berangkulan dan memandang kepada kakek itu yang ternyata telah roboh terlentang dengan muka pucat dan napas terengah-engah, akan tetapi mulutnya yang setengah terbuka itu nampak tersenyum!
“Kong-kong.... ah, kenapa engkau melakukan ini?” Suma Lian nampak meraba dada gurunya.
“Kong-kong, kenapa engkau memaksa diri.?” Li Sian juga meraba pundak gurunya dan ia pun mulai menangis.
Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong saling pandang. Mereka pun tahu bahwa ayah mereka tadi telah memindahkan sin-kang ke tubuh putera mereka, akan tetapi hal ini amat memeras tenaga kakek itu yang sedang dalam keadaan lemah dan lelah.
“Ayah.... kembali kami yang datang hanya menyusahkan Ayah saja.” kata Goat Kong menyesal.
“Ayah, kami tidak pernah melakukan sesuatu yang menyenangkan hatimu, akan tetapi Ayah telah mewariskan sin-kang kepada Ciang Hun, dengan mengorbankan diri.!” kata pula Gak Jit Kong.
Kakek itu dengan lemah membuka kedua matanya, dan dengan napas terengah dia tersenyum, memandang kepada mereka yang merubungnya.
“Aku.. puas.... aku tak dapat meninggalkan apa-apa.... latihlah dia dengan Hui-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang.... dia.... dia akan kuat sekali.... ah, sayang aku harus mati dalam keadaan lemah! Kalau saja ada datuk sesat datang agar dapat kulawan dia dan aku mati dalam perkelahian! Sayang.... tapi.... ah, lihat, itu.... ibu kalian datang.... Milana.... tungguuu....!” Kakek itu seperti hendak bangkit duduk, akan tetapi terkulai kembali dan napasnya pun berhenti.
Tiga orang wanita itu menjerit dan menangis. Dua orang saudara kembar Gak saling pandang dan membiarkan mereka itu menangis sepuasnya, kemudian mereka berkata dengan suara penuh penyesalan.
“Aah, semua ini kesalahan kami. Kedatangan kami hanya memperpendek usia ayah kami.“
Mendengar ini, Suma Lian dan Li Sian menghentikan tangis mereka. Suma Lian memandang mereka dengan mata basah.
“Tidak perlu penyesalan itu, kedua Paman. Kedatangan Paman sekeluarga adalah atas kehendak mendiang kong-kong, dan agaknya memang sudah tiba saatnya kong-kong kembali ke alam baka. Juga, pewarisan sin-kang tadi hanya merupakan jalan belaka yang semua sudah dipastikan dan ditentukan oleh Yang Maha Kuasa.”
Mereka lalu mengurus jenazah kakek Bu Beng Lokai atau Gak Bun Beng, mantu pertama dari Pendekar Super Sakti (riwayat Gak Bun Beng diceritakan dengan lengkap dalam kisah Sepasang Pedang Iblis ).
Atas pesan kakek itu sendiri kepada dua orang muridnya, maka jenazah itu lalu dibakar dengan upacara sederhana, sungguh menyedihkan hati kedua orang puteranya mengingat betapa kakek itu, ayah mereka, yang dahulu menjadi seorang pendekar besar yang pernah mengguncangkan dunia kang-ouw, kini meninggal dunia dan diperabukan tanpa ada yang menghadiri, kecuali kedua puteranya, mantunya, cucunya, dan kedua orang muridnya di tempat yang amat sunyi itu.
Setelah jenazah menjadi abu, kedua orang kembar Gak lalu membawa abu jenazah ayah mereka untuk dikebumikan di Puncak Telaga Warna, bekas tempat tinggal ayah mereka itu.
Mereka segera berpamit dari Suma Lian dan Li Sian, pulang bersama isteri mereka dan Ciang Hun yang masih merasa agak pening dan kadang-kadang mengeluh karena tubuhnya merasakan betapa tenaga yang amat besar membuat dia panas dingin.
Kedua orang ayahnya harus sebentar-sebentar berhenti dalam perjalanan mereka untuk membiarkan anak itu berlatih siu-lian dan memberi petunjuk untuk membiarkan tenaga sakti itu mengeram di dalam tan-tian (pusar di dalam perut) dan tenang di situ sampai kelak dapat dipergunakan kalau anak itu sudah mampu mengendalikannya.
Tinggal dua orang gadis itu yang merasa kesepian. Mereka masih tinggal di pondok bekas tempat tinggal guru mereka sampai tiga hari tiga malam. Betapapun juga, dua orang gadis ini telah tinggal bertahun-tahun di tempat sunyi dan indah itu, dan di antara mereka telah terdapat pertalian kasih sayang seperti saudara kandung saja, mengalami suka duka bersama di tempat sunyi itu sehingga mereka merasa berat untuk saling berpisah.
Juga mereka merasa terharu dan berat untuk meninggalkan tempat itu yang tak mungkin kiranya akan mereka datangi lagi, mengingat bahwa kakek dan juga guru mereka kini telah tiada, bahkan abunya juga sudah dibawa pergi oleh kedua orang kembar Gak yang lebih berhak.
Guru mereka tidak meninggalkan apa-apa kecuali ilmu kepandaian. Sedikit pakaian dan sepatu, barang-barang yang dipakainya sehari-hari, telah diikutkan bersama jenazah ketika dibakar. Yang masih ada hanyalah batu datar yang hitam mengkilat bekas tempat orang tua itu duduk bersamadhi. Saking merasa kehilangan, selama tiga hari tiga malam itu, bergantian Suma Lian dan Li Sian duduk bersamadhi di bekas tempat duduk guru mereka ini, sambil mengenang segala budi kebaikan orang tua itu kepada mereka.
Setelah tiga hari tiga malam, dua orang gadis perkasa itu menyadari bahwa tidak ada manfaatnya membiarkan diri tenggelam dalam buaian perasaan yang penuh keharuan, kehilangan, duka yang timbul dari iba diri. Mereka lalu memutuskan untuk meninggalkan tempat itu.
Suma Lian berkata dengan suara yang berat kerena bagaimanapun juga, ia merasa berat untuk berpisah dari sumoinya yang dianggap seperti adiknya sendiri itu.
“Sumoi, hari ini kita harus meninggalkan tempat ini, tidak ada gunanya tinggal lebih lama disini.”
”Engkau benar, Suci, aku pun berpikir demikian. Lalu.... ke mana kita akan pergi, Suci?”
Li Sian mulai bingung karena ia tak mempunyai tujuan tertentu, tidak tahu harus pergi kemana karena orang tuanya sudah tiada.
“Aku sendiri akan pulang ke rumah orang tuaku di dusun Hong-cun. Dan bagaimana dengan engkau, Sumoi?”
“Aku....? Aku.... entah akan pergi ke mana....?” kata Li Sian dan melihat wajah Sumoinya menjadi sedih, Suma Lian segera merangkul dan mencium pipinya.
“Ah, aku lupa bahwa engkau tidak mempunyai keluarga lagi, adikku. Ah, bagaimana kalau engkau pergi bersamaku, ikut dengan aku ke rumah orang tuaku? Kita tinggal bersama di sana, alangkah akan senangnya.!”
Akan tetapi Li Sian tersenyum dan menggeleng kepalanya.
“Terima kasih, Suci, Engkau baik sekali dan tidak ada kesenangan di dunia ini yang melebihi kalau aku dapat tinggal serumah denganmu. Akan tetapi, aku tidak ingin mengganggu ayah bundamu dengan kehadiranku dan....”
“Ah, mereka akan senang sekali menerimamu, Sumoi. Bukankah engkau sudah kuanggap seperti adikku sendiri? Bahkan, aku akan mohon kepada ayah ibuku untuk mengangkatmu sebagai anak mereka, dan engkau menjadi adik angkatku!”
Kini Li Sian yang merangkul sucinya dan kedua matanya basah ketika ia memandang kepada sucinya.
“Suci, terima kasih. Engkau sungguh baik sekali dan percayalah, aku pun sudah menganggap engkau seperti kakak kandungku sendiri! Akan tetapi, biarpun ayah bundaku sudah tiada, akan tetapi engkau tahu bahwa aku masih mempunyai empat orang kakak laki-laki yang ketika terjadi keributan itu, ditawan oleh pemerintah. Biarlah aku akan mencari mereka terlebih dahulu, siapa tahu ada diantara mereka merupakan satu-satunya keluargaku terdekat yang kumiliki. Aku akan mencari mereka, dan kalau gagal, barulah aku akan menyusulmu di Hong-cun, Suci.”
Suma Lian mengangguk-angguk, mengerti dan menyetujui. Pada hari itu juga mereka turun gunung, kemudian berpisah di jalan persimpangan. Suma Lian menuju ke selatan, sedangkan Li Sian menuju ke utara.
Dua orang saudara seperguruan yang berangkat dewasa bersama-sama ini baru berpisah setelah saling rangkul sampai lama tanpa kata-kata. Kemudian keduanya berpisah dan berlari cepat dengan kedua mata basah.
“Benar, tertangkapnya senjatamu merupakan pancingan yang tidak disengaja dan berhasil baik. Lawan akan lengah dan saat itu engkau dapat mempergunakan tangan kiri atau kakimu untuk menyerangnya. Ini berarti membiarkan kemenangan datang melahui kekalahan. Kelihatannya saja engkau kalah karena senjatamu tertangkap, akan tetapi kekalahan itu justeru membuka kesempatan bagimu untuk memperoleh kemenangan. Mengertikah engkau?”
“Saya mengerti, Kong-kong.”
“Nah, bagus. Bagaimanapun juga, engkau telah memperoleh kemajuan cukup baik. Tentu selama aku mengaso dan tidak mampu mengawasimu, engkau terus berlatih dengan giat.”
“Ah, betapapun kerasnya saya berlatih, masih sukar bagi saya untuk mengimbangi kemajuan suci, Kong-kong.”
Kakek itu tersenyum.
“Bukan salahmu. Suma Lian memang berbakat sekali, dan selain itu, ingatlah bahwa ia keturunan langsung dari ayah mertuaku, Pendekar Super Sakti Suma Han dari Pulau Es! Bahkan ayah ibunya juga merupakan sepasang pendekar yang sakti. Sejak kecil ia sudah digembleng ayah ibunya dan ketika ia menjadi muridku, ia telah memiliki dasar yang kuat sekali, berbeda dengan engkau yang ketika itu belum pernah mempelajari ilmu silat sama sekali. Ilmu kepandaian silat mendiang ayahmu, Menteri Pouw Tong Ki itu tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan tingkat ilmu silat ayah ibu Suma Lian.
Ketahuilah, Li Sian, bahwa ilmu-ilmu dari Pulau Es amat tinggi dan karenanya tidak mudah dikuasai dengan sempurna. Seperti Hui-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang yang pernah kau latih itu, kiranya sekarang ini sukar mencari orang yang mampu menguasainya sesempurna mendiang ayah mertuaku! Mungkin hanya Suma Ceng Liong ayah Suma Lian saja yang saat ini memiliki tingkat paling tinggi dalam hal ilmu silat keluarga Pulau Es. Akan tetapi, bekalmu sudah lebih dari cukup. Kalau engkau giat berlatih dan ditambah pengalaman-pengalamanmu nanti, kiranya engkau tidak akan tertinggal terlalu jauh. Eh, mengapa Suma Lian belum juga pulang?”
Li Sian duduk bersila di atas batu datar untuk mengatur pernapasan, memulihkan tenaga setelah latihan tadi. Mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu, ia pun menjawab.
“Menurut perhitungnn Lian-suci, mestinya kemarin ia sudah pulang. Saya kira hari ini ia akan pulang, Kong-kong.”
Kakek itu mengangguk-angguk, lalu duduk bersila pula di atas batu datar lain yang banyak terdapat di pekarangan itu.
“Aku harus mengaso, sedikit latihan tadi melelahkan tubuhku, akan tetapi juga menggembirakan dan memberi semangat,” katanya dan sebentar saja dia sudah tenggelam dalam samadhinya.
Belum satu jam mereka berlatih samadhi, baru saja Li Sian bangkit dari duduknya untuk melakukan pekerjaan rumah seperti biasa, tiba-tiba terdengar suara nyaring dari jauh.
“Kong-kong....! Sumoi....! Aku datang....!”
Suara sucinya, Suma Lian, siapa lagi! Suara itu demikian nyaring dan bening, seperti kepingan perak atau emas berdencing, mendatangkan kecerahan dan kegembiraan. Li Sian cepat memandang dan ia melihat sucinya datang berjalan bersama dua orang laki-laki yang usianya mendekati enam puluh tahun, sikap mereka gagah, seorang wanita cantik berusia hampir empat puluh tahun dan seorang anak laki-laki berusia kurang lebih sepuluh tahun. Ia pun segera tahu siapa mereka dan dengan girang ia lalu berseru kepada gurunya.
“Kong-kong, mereka telah datang!”
Bu Beng Lokai membuka matanya, akan tetapi tidak turun dari atas batu datar, nampaknya masih lelah, hanya dia memandang ke arah rombongan yang kini sudah menghampiri tempat itu.
Ketika Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong melihat kakek tua renta yang tak berbaju, duduk di atas batu datar nampak tua dan lelah dan lemah, mereka merasa jantung mereka seperti ditusuk dan keduanya lalu berlari menghampiri sambil menangis, menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakek itu dan mereka menangis mengguguk seperti dua orang anak kecil.
“Ayah.... bertahun-tahun kami mencari Ayah tanpa hasil “ kata Gak Jit Kong.
“Ayah, ampunkan semua dosa kami, Ayah.“ kata pula Gak Goat Kong.
Bu Beng Lokai atau Gak Bun Beng mencoba untuk tersenyum dan kedua tangannya menyentuh kepala dua orang yang berlutut di depannya itu, matanya basah dan suaranya lirih gemetar ketika dia berkata,
“Anak-anak.... anak-anakku.... mana ia, isterimu dan apakah kalian mempunyai keturunan?”
Hui Lian sejak tadi sudah menarik tangan puteranya dan berlutut tak jauh dari situ. Mendengar ucapan ini, ia pun bergeser maju sambil menggandeng tangan puteranya. Ia telah menangis sejak tadi melihat betapa dua orang suaminya mengguguk dalam tangisnya di depan kaki ayah mertuanya itu.
“Ayah.... saya Souw Hui Lian mantumu yang hina dan bodoh dan ini adalah Gak Ciang Hun, anak tunggal kami.”
Gak Bun Beng memandang mereka.
“Anak baik, engkau telah membahagiakan anak-anakku.... terima kasih dan cucuku.... ke sinilah, cucuku.“
Gak Ciang Hun sudah sering mendengar dari kedua ayahnya tentang kakeknya yang dikatakan memlliki ilmu kepandaian amat tinggi seperti dewa, maka sejak tadi dia sudah memandang dengan kagum, juga agak jerih. Mendengar kini kakek itu memanggilnya, dia pun cepat maju menghampiri.
“Cucuku.... ah, sudah begini besar, cucuku.!”
Dia mencoba untuk bangkit akan tetapi terhuyung. Suma Lian, juga kedua orang puteranya cepat meloncat untuk menolongnya, akan tetapi kakek itu menolak mereka dan berkata,
“Biarkan aku dengan cucuku sendiri!”
Suaranya tegas sehingga Suma Lian dan Li Sian mundur kembali, hanya saling pandang dengan alis berkerut dan pandang mata khawatir.
Mereka tahu benar bahwa guru mereka, juga kakek mereka itu berada dalam keadaan yang tidak sehat dan lemah, bukan hanya karena penyakit, akan tetapi terutama karena usia tua. Sementara itu, Bu Beng Lokai atau Gak Bun Beng sudah menggandeng tangan cucunya, diajak memasuki ruangan latihan silat. Kedua orang saudara kembar Gak bersama isteri mereka, juga Suma Lian dan Li Sian, hanya mengikuti dari belakang.
Setelah tiba di ruangan latihan silat, kakek Gak Bun Beng lalu berkata kepada cucunya,
“Ciang Hun, engkau tentu telah dilatih silat oleh orang tuamu. Nah, perlihatkan kepada kakekmu ini sampai di mana kemampuanmu.”
Ciang Hun memang sejak kecil digembleng oleh kedua orang ayahnya dan seorang ibunya. Sebetulnya dia malu dan khawatir ditegur kakeknya karena di depan kakeknya yang kabarnya sakti itu tentu kepandaian silatnya masih belum ada artinya. Akan tetapi dia pun tidak berani membantah, melangkah ke tengah ruangan dan setelah memberi hormat, dia pun bersilat, mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat dasar Lo-thian Sin-kun.
Gerakannya cukup gesit dan penggunaan tenaga yang tepat, sesuai dengan usianya. Melihat ini, agaknya Bu Beng Lokai cukup puas. Biarpun tidak memiliki bakat yang terlalu menonjol, namun Ciang Hun cukup baik, bahkan kelak dapat lebih tinggi tingkatnya daripada orang tuanya kalau rajin berlatih.
“Nah, sekarang duduklah bersila di situ, cucuku,” kata kakek itu dan dia pun menghampiri cucunya yang duduk bersila itu. “Buka bajumu!”
Ciang Hun merasa heran akan tetapi tidak berani membantah dan anak itu pun membuka bajunya. Kakek itu lalu duduk bersila di belakang cucunya. Melihat ini, Suma Lian dan Li Sian dapat menduga apa yang akan dilakukan guru mereka dan keduanya merasa khawatir sekali.
“Kong-kong....!” Mereka berdua berseru lirih.
Kakek itu menoleh kepada mereka, lalu tersenyum.
“Lian dan Sian, kalian berdua telah menerima semua ilmuku dan kurasa sudah cukup bagi kalian untuk mempergunakan ilmu-ilmu itu untuk berjaga diri dan menegakkan kebenaran dan keadilan. Aku tidak punya apa-apa lagi untuk diwariskan kepada cucuku, maka semua yang ada padaku akan kutinggalkan kepadanya.
“Akan tetapi, Kong-kong sedang sakit.“ bantah Suma Lian.
“Dan Kong-kong baru saja berlatih dan dalam keadaan lelah.“ sambung Li Sian, sama khawatirnya dengan sucinya.
“Sudahlah, harap kalian jangan khawatir. Kalau tidak sekarang saatnya, kapan lagi? Hanya inilah yang dapat kulakukan untuk cucuku, dan tentang mati hidup, hal itu adalah urusan Tuhan!”
Setelah berkata demikian, kakek itu menempelkan kedua telapak tangannya di punggung cucunya dan matanya terpejam. Melihat ini, barulah kedua orang bersaudara kembar Gak itu dan isteri mereka tahu apa yang akan dilakukan ayah mereka, dan mereka pun memandang dengan khawatir, akan tetapi tidak berani menghalangi.
“Kendurkan seluruh urat tubuhmu, cucuku, dan jangan melawan, terima saja hawa panas yang memasuki tubuhmu.”
Kakek itu berbisik dan dia pun mengerahkan sin-kangnya untuk disalurkan ke dalam tubuh cucunya! Biarpun usianya baru sepuluh tahun, sebagai putera pendekar, Ciang Hun sudah tahu apa yang dilakukan kakeknya. Tentu kakeknya akan menyalurkan tenaga sin-kang, memindahkan tenaga sakti itu kepadanya.
Diam-diam dia merasa girang bukan main walaupun hatinya tegang karena dia belum pernan merasakan hal ini dan dia pun maklum bahwa pengoperan tenaga sakti itu dapat membahayakan dirinya sendiri kalau dia tidak mentaati sepenuhnya. Maka dia pun mengendorkan semua urat di tubuhnya dan menghentikan semua pikiran seperti dalam latihan samadhi.
Tak lama kemudian, anak itu merasa betapa ada hawa yang mula-mula hangat memasuki tubuhnya. Hawa itu semakin lama semakin panas, masuk semakin banyak sampai memenuhi tubuhnya dan berputaran. Kepalanya mulai terasa pening, keringatnya keluar di seluruh tubuhnya dan hampir saja dia tidak kuat menahan.
Namun, Ciang Hun mematikan semua rasa dan pasrah. Hawa yang tadinya amat panas itu kemudian menjadi hangat kembali, makin lama semakin berkurang panasnya, bahkan menjadi dingin dan semakin dingin sampai Ciang Hun menggigil dan giginya berbunyi.
Akan tetapi anak itu tetap diam dan dapat mempertahankan kebekuan yang menyerang dari dalam itu! Dia lapat-lapat mendengar seruan-seruan khawatir dari dua orang gadis murid kakeknya, akan tetapi tidak dipedulikan. Rasa dingin luar biasa itu makin lama semakin berkurang dan akhirnya kembali hangat seperti semula.
Akan tetapi dia merasa tengkuknya panas sekali dan ada hembusan panas meniup tengkuknya dari luar yang membuatnya sadar dari samadhinya dan kini dia mendengar betapa hembusan napas panas itu keluar dari mulut dan hidung kakeknya, dan kini terdengar terengah-engah. Kedua tangan kakeknya yang tadi tertempel di kulit punggungnya, kini terlepas.
“Kong-kong....!” Terdengar Suma Lian dan Li Sian berseru.
“Ayah....!”
Kedua ayahnya juga berteriak dan mereka sudah berlutut mendekat. Ciang Hun mencoba berdiri, akan tetapi kepalanya menjadi pening seketika dan dia tentu sudah terguling roboh kalau saja tidak ada ibunya yang cepat merangkulnya.
Ibu dan anak berangkulan dan memandang kepada kakek itu yang ternyata telah roboh terlentang dengan muka pucat dan napas terengah-engah, akan tetapi mulutnya yang setengah terbuka itu nampak tersenyum!
“Kong-kong.... ah, kenapa engkau melakukan ini?” Suma Lian nampak meraba dada gurunya.
“Kong-kong, kenapa engkau memaksa diri.?” Li Sian juga meraba pundak gurunya dan ia pun mulai menangis.
Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong saling pandang. Mereka pun tahu bahwa ayah mereka tadi telah memindahkan sin-kang ke tubuh putera mereka, akan tetapi hal ini amat memeras tenaga kakek itu yang sedang dalam keadaan lemah dan lelah.
“Ayah.... kembali kami yang datang hanya menyusahkan Ayah saja.” kata Goat Kong menyesal.
“Ayah, kami tidak pernah melakukan sesuatu yang menyenangkan hatimu, akan tetapi Ayah telah mewariskan sin-kang kepada Ciang Hun, dengan mengorbankan diri.!” kata pula Gak Jit Kong.
Kakek itu dengan lemah membuka kedua matanya, dan dengan napas terengah dia tersenyum, memandang kepada mereka yang merubungnya.
“Aku.. puas.... aku tak dapat meninggalkan apa-apa.... latihlah dia dengan Hui-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang.... dia.... dia akan kuat sekali.... ah, sayang aku harus mati dalam keadaan lemah! Kalau saja ada datuk sesat datang agar dapat kulawan dia dan aku mati dalam perkelahian! Sayang.... tapi.... ah, lihat, itu.... ibu kalian datang.... Milana.... tungguuu....!” Kakek itu seperti hendak bangkit duduk, akan tetapi terkulai kembali dan napasnya pun berhenti.
Tiga orang wanita itu menjerit dan menangis. Dua orang saudara kembar Gak saling pandang dan membiarkan mereka itu menangis sepuasnya, kemudian mereka berkata dengan suara penuh penyesalan.
“Aah, semua ini kesalahan kami. Kedatangan kami hanya memperpendek usia ayah kami.“
Mendengar ini, Suma Lian dan Li Sian menghentikan tangis mereka. Suma Lian memandang mereka dengan mata basah.
“Tidak perlu penyesalan itu, kedua Paman. Kedatangan Paman sekeluarga adalah atas kehendak mendiang kong-kong, dan agaknya memang sudah tiba saatnya kong-kong kembali ke alam baka. Juga, pewarisan sin-kang tadi hanya merupakan jalan belaka yang semua sudah dipastikan dan ditentukan oleh Yang Maha Kuasa.”
Mereka lalu mengurus jenazah kakek Bu Beng Lokai atau Gak Bun Beng, mantu pertama dari Pendekar Super Sakti (riwayat Gak Bun Beng diceritakan dengan lengkap dalam kisah Sepasang Pedang Iblis ).
Atas pesan kakek itu sendiri kepada dua orang muridnya, maka jenazah itu lalu dibakar dengan upacara sederhana, sungguh menyedihkan hati kedua orang puteranya mengingat betapa kakek itu, ayah mereka, yang dahulu menjadi seorang pendekar besar yang pernah mengguncangkan dunia kang-ouw, kini meninggal dunia dan diperabukan tanpa ada yang menghadiri, kecuali kedua puteranya, mantunya, cucunya, dan kedua orang muridnya di tempat yang amat sunyi itu.
Setelah jenazah menjadi abu, kedua orang kembar Gak lalu membawa abu jenazah ayah mereka untuk dikebumikan di Puncak Telaga Warna, bekas tempat tinggal ayah mereka itu.
Mereka segera berpamit dari Suma Lian dan Li Sian, pulang bersama isteri mereka dan Ciang Hun yang masih merasa agak pening dan kadang-kadang mengeluh karena tubuhnya merasakan betapa tenaga yang amat besar membuat dia panas dingin.
Kedua orang ayahnya harus sebentar-sebentar berhenti dalam perjalanan mereka untuk membiarkan anak itu berlatih siu-lian dan memberi petunjuk untuk membiarkan tenaga sakti itu mengeram di dalam tan-tian (pusar di dalam perut) dan tenang di situ sampai kelak dapat dipergunakan kalau anak itu sudah mampu mengendalikannya.
Tinggal dua orang gadis itu yang merasa kesepian. Mereka masih tinggal di pondok bekas tempat tinggal guru mereka sampai tiga hari tiga malam. Betapapun juga, dua orang gadis ini telah tinggal bertahun-tahun di tempat sunyi dan indah itu, dan di antara mereka telah terdapat pertalian kasih sayang seperti saudara kandung saja, mengalami suka duka bersama di tempat sunyi itu sehingga mereka merasa berat untuk saling berpisah.
Juga mereka merasa terharu dan berat untuk meninggalkan tempat itu yang tak mungkin kiranya akan mereka datangi lagi, mengingat bahwa kakek dan juga guru mereka kini telah tiada, bahkan abunya juga sudah dibawa pergi oleh kedua orang kembar Gak yang lebih berhak.
Guru mereka tidak meninggalkan apa-apa kecuali ilmu kepandaian. Sedikit pakaian dan sepatu, barang-barang yang dipakainya sehari-hari, telah diikutkan bersama jenazah ketika dibakar. Yang masih ada hanyalah batu datar yang hitam mengkilat bekas tempat orang tua itu duduk bersamadhi. Saking merasa kehilangan, selama tiga hari tiga malam itu, bergantian Suma Lian dan Li Sian duduk bersamadhi di bekas tempat duduk guru mereka ini, sambil mengenang segala budi kebaikan orang tua itu kepada mereka.
Setelah tiga hari tiga malam, dua orang gadis perkasa itu menyadari bahwa tidak ada manfaatnya membiarkan diri tenggelam dalam buaian perasaan yang penuh keharuan, kehilangan, duka yang timbul dari iba diri. Mereka lalu memutuskan untuk meninggalkan tempat itu.
Suma Lian berkata dengan suara yang berat kerena bagaimanapun juga, ia merasa berat untuk berpisah dari sumoinya yang dianggap seperti adiknya sendiri itu.
“Sumoi, hari ini kita harus meninggalkan tempat ini, tidak ada gunanya tinggal lebih lama disini.”
”Engkau benar, Suci, aku pun berpikir demikian. Lalu.... ke mana kita akan pergi, Suci?”
Li Sian mulai bingung karena ia tak mempunyai tujuan tertentu, tidak tahu harus pergi kemana karena orang tuanya sudah tiada.
“Aku sendiri akan pulang ke rumah orang tuaku di dusun Hong-cun. Dan bagaimana dengan engkau, Sumoi?”
“Aku....? Aku.... entah akan pergi ke mana....?” kata Li Sian dan melihat wajah Sumoinya menjadi sedih, Suma Lian segera merangkul dan mencium pipinya.
“Ah, aku lupa bahwa engkau tidak mempunyai keluarga lagi, adikku. Ah, bagaimana kalau engkau pergi bersamaku, ikut dengan aku ke rumah orang tuaku? Kita tinggal bersama di sana, alangkah akan senangnya.!”
Akan tetapi Li Sian tersenyum dan menggeleng kepalanya.
“Terima kasih, Suci, Engkau baik sekali dan tidak ada kesenangan di dunia ini yang melebihi kalau aku dapat tinggal serumah denganmu. Akan tetapi, aku tidak ingin mengganggu ayah bundamu dengan kehadiranku dan....”
“Ah, mereka akan senang sekali menerimamu, Sumoi. Bukankah engkau sudah kuanggap seperti adikku sendiri? Bahkan, aku akan mohon kepada ayah ibuku untuk mengangkatmu sebagai anak mereka, dan engkau menjadi adik angkatku!”
Kini Li Sian yang merangkul sucinya dan kedua matanya basah ketika ia memandang kepada sucinya.
“Suci, terima kasih. Engkau sungguh baik sekali dan percayalah, aku pun sudah menganggap engkau seperti kakak kandungku sendiri! Akan tetapi, biarpun ayah bundaku sudah tiada, akan tetapi engkau tahu bahwa aku masih mempunyai empat orang kakak laki-laki yang ketika terjadi keributan itu, ditawan oleh pemerintah. Biarlah aku akan mencari mereka terlebih dahulu, siapa tahu ada diantara mereka merupakan satu-satunya keluargaku terdekat yang kumiliki. Aku akan mencari mereka, dan kalau gagal, barulah aku akan menyusulmu di Hong-cun, Suci.”
Suma Lian mengangguk-angguk, mengerti dan menyetujui. Pada hari itu juga mereka turun gunung, kemudian berpisah di jalan persimpangan. Suma Lian menuju ke selatan, sedangkan Li Sian menuju ke utara.
Dua orang saudara seperguruan yang berangkat dewasa bersama-sama ini baru berpisah setelah saling rangkul sampai lama tanpa kata-kata. Kemudian keduanya berpisah dan berlari cepat dengan kedua mata basah.
**** 018 ****