Sin Hong merebahkan gadis itu, menutupkan mulut dan matanya, lalu meletakkan kedua tangan di depan dada. Suma Lian yang melihat semua ini, mengerutkan alisnya. Ia melihat betapa Sin Hong duduk tepekur, seperti tenggelam ke dalam lamunan yang menyedihkan.
“Hong-ko, siapakah adik yang malang ini?”
Suma Lian memecahkan kesunyian dengan pertanyaannya dan Sin Hong yang sedang melamun sedih itu terkejut dan seolah-olah terseret kembali ke dalam kenyataan. Dia menoleh, memandang wajah Suma Lian dan menarik napas panjang. Hubungannya dengan Suma Lian, semenjak mereka berdua meninggalkan Yo Han kepada Suma Ciang Bun dan menuju ke sarang Tiat-liong-pang itu, menjadi lebih akrab dan mereka saling menyebut kakak dan adik.
“Namanya Kwee Ci Hwa,” katanya menjelaskan. “Puteri dari Kwee Piauwsu di Ban-goan, kota kelahiranku. Tadinya aku terbujuk oleh Ciu Piauwsu tadi untuk mencurigai Kwee Piauwsu sebagai dalang pembunuhan ayahku. Agaknya, Ci Hwa menjadi penasaran dan melakukan penyelidikan sendiri sampai ke sini ketika ia dan aku memperoleh jejak bahwa Tiat-liong-pang ada hubungannya dengan pembunuh ayahku dan beberapa orang lain. Ternyata sampai di sini, ia mengalami hal-hal yang lebih menghancurkan kehidupannya, walaupun ia telah berjasa untukku, telah mengetahui rahasia pembunuhan ayahku.”
“Hemmm, agaknya ia telah diperkosa oleh Siangkoan Liong. Bukankah Siangkoan Liong itu putera Siangkoan Lohan pemimpin pemberontak seperti yang kita dapatkan keterangan di sepanjang perjalanan itu? Sungguh jahat. Kita harus segera masuk ke sana dan menghajar mereka!”
“Harap sabar dan tenang, Lian-moi. Kurasa tidak semudah itu. Di sana berkumpul banyak sekali orang pandai, apalagi karena mereka sedang menyusun kekuatan untuk memberontak. Dari keterangan yang kita peroleh baru anak buah mereka saja sudah tiga ratusan orang, belum lagi anak buah Sin-kiam Mo-li yang merupakan pembantu utama mereka. Ang I Mo-pang yang menjadi anak buah Sin-kiam Mo-li itu tentu lima puluh orang lebih jumlahnya. Dan masih banyak tokoh sesat yang berada di sarang mereka. Apa artinya tenaga kita berdua?”
Suma Lian dapat membenarkan pendapat Sin Hong.
“Lalu. bagaimana baiknya sekarang. Apa yang harus kita lakukan?”
“Kita rawat dulu jenazah Ci Hwa, kita kubur saja di bukit ini dengan baik-baik. Kemudian kita melakukan penyelidikan kembali. Kabarnya banyak orang gagah tertawan oleh mereka. Kalau saja kita dapat menyelundup dan dapat menolong mereka, alangkah baiknya.”
Suma Lian hanya menyetujui dan mereka berdua lalu mengurus pemakaman jenazah Ci Hwa dengan sederhana namun cukup khidmat. Sin Hong meletakkan sebuah batu besar di depan makam itu dan menuliskan nama Kwee Ci Hwa di atas batu. Kemudian, setelah memberi penghormatan terakhir, dua orang muda perkasa itu mulai melakukan penyelidikan kembali ke sarang Tiat-liong-pang, dengan hati-hati sekali.
Pouw Li Sian, Gu Hong Beng, dan Cu Kun Tek kini ditahan dalam sebuah kamar tahanan yang baru. Kamar tahanan ini luas sekali, dan mereka bertiga dirantai kaki mereka pada besi di dinding yang kuat sekali.
Setelah terbebas dari totokan, mereka dapat duduk bersila dan dapat bercakap-cakap karena mereka berada dalam satu kamar tahanan. Kun Tek yang sadar lebih dahulu, memandang kepada Pouw Li Sian dengan penuh iba. Gadis itu pun mulai dapat bergerak kembali, lalu membereskan pakaiannya yang agak kusut, dan duduk bersila, di sebelah kanan Kun Tek. Hong Beng duduk bersila pula di sebelah kiri Kun Tek yang berada di tengah-tengah. Jarak antara mereka hanya dua meter, namun mereka tidak dapat saling menghampiri karena rantai yang mengikat kaki mereka.
“Nona, sungguh aku merasa menyesal bahwa Nona mengalami bahaya seperti ini,” kata Kun Tek karena tidak tahu apa yang harus dikatakan dalam keadaan seperti itu.
“Kenapa menyesalkan aku, saudara Cu Kun Tek? Bukankah engkau dan saudara Gu Hong Beng ini pun mengalami nasib yang sama dengan aku? Kita sama-sama tertawan, sama-sama terancam bahaya maut!”
Li Sian menatap wajah pemuda tinggi besar yang gagah perkasa itu sambil menahan senyumnya, senyum sedih karena gadis ini masih menderita tekanan batin karena dendamnya yang sedalam lautan setinggi langit terhadap Siangkoan Liong!
“Ucapan Kun Tek memang benar, Nona. Aku pun merasa menyesal sekali bahwa Nona sampai menjadi tawanan seperti kami. Walaupun kami sendiri tertawan, namun kami adalah laki-laki. Kalau saja kami dapat melakukan sesuatu untuk membebaskanmu,” kata pula Hong Beng.
Pouw Li Sian kini mamandang kepada Hong Beng dan ia bertanya,
“Menurut keterangan saudara Cu Kun Tek, engkau adalah murid seorang keluarga Pulau Es. Bolehkah aku mengetahui siapa nama besar gurumu, saudara Gu Hong Beng?”
Biarpun Hong Heng tidak pernah membanggakan nama gurunya, namun mendengar pertanyaan ini, terpaksa dia mengaku dengan sikap rendah hati.
“Suhu bernama Suma Ciang Bun.”
Li Sian mengangguk-angguk.
“Pernah aku mendengar nama besar suhumu. Bukankah beliau itu masih cucu dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Ketahuilah, saudara Hong Beng bahwa mendiang guruku adalah mantu dari Pendekar Super Sakti.“
“Aihhh....! Apakah beliau kakek guru Gak Bun Beng.?”
“Benar, akan tetapi namanya sudah berubah menjadi Bu Beng Lokai.”
“Kalau begitu, Nona adalah saudara seperguruan dari nona Suma Lian?”
“Benar sekali! Engkau mengenal suciku? Sungguh, semakin sempit saja dunia ini!”
Untuk sejenak, Li Sian melupakan kedukaannya dan ia tersenyum gembira sekali. Kun Tek ikut bergembira melihat hal ini.
“Sungguh menyenangkan sekali. Kiranya engkau masih ada hubungan keluarga seperguruan yang dekat dengan Hong Beng, dan dia adalah sahabat lamaku yang amat baik. Kita ternyata masih orang segolongan yang berhubungan dekat. Sayang kita saling berjumpa dalam keadaan seperti ini.”
“Hong-ko, siapakah adik yang malang ini?”
Suma Lian memecahkan kesunyian dengan pertanyaannya dan Sin Hong yang sedang melamun sedih itu terkejut dan seolah-olah terseret kembali ke dalam kenyataan. Dia menoleh, memandang wajah Suma Lian dan menarik napas panjang. Hubungannya dengan Suma Lian, semenjak mereka berdua meninggalkan Yo Han kepada Suma Ciang Bun dan menuju ke sarang Tiat-liong-pang itu, menjadi lebih akrab dan mereka saling menyebut kakak dan adik.
“Namanya Kwee Ci Hwa,” katanya menjelaskan. “Puteri dari Kwee Piauwsu di Ban-goan, kota kelahiranku. Tadinya aku terbujuk oleh Ciu Piauwsu tadi untuk mencurigai Kwee Piauwsu sebagai dalang pembunuhan ayahku. Agaknya, Ci Hwa menjadi penasaran dan melakukan penyelidikan sendiri sampai ke sini ketika ia dan aku memperoleh jejak bahwa Tiat-liong-pang ada hubungannya dengan pembunuh ayahku dan beberapa orang lain. Ternyata sampai di sini, ia mengalami hal-hal yang lebih menghancurkan kehidupannya, walaupun ia telah berjasa untukku, telah mengetahui rahasia pembunuhan ayahku.”
“Hemmm, agaknya ia telah diperkosa oleh Siangkoan Liong. Bukankah Siangkoan Liong itu putera Siangkoan Lohan pemimpin pemberontak seperti yang kita dapatkan keterangan di sepanjang perjalanan itu? Sungguh jahat. Kita harus segera masuk ke sana dan menghajar mereka!”
“Harap sabar dan tenang, Lian-moi. Kurasa tidak semudah itu. Di sana berkumpul banyak sekali orang pandai, apalagi karena mereka sedang menyusun kekuatan untuk memberontak. Dari keterangan yang kita peroleh baru anak buah mereka saja sudah tiga ratusan orang, belum lagi anak buah Sin-kiam Mo-li yang merupakan pembantu utama mereka. Ang I Mo-pang yang menjadi anak buah Sin-kiam Mo-li itu tentu lima puluh orang lebih jumlahnya. Dan masih banyak tokoh sesat yang berada di sarang mereka. Apa artinya tenaga kita berdua?”
Suma Lian dapat membenarkan pendapat Sin Hong.
“Lalu. bagaimana baiknya sekarang. Apa yang harus kita lakukan?”
“Kita rawat dulu jenazah Ci Hwa, kita kubur saja di bukit ini dengan baik-baik. Kemudian kita melakukan penyelidikan kembali. Kabarnya banyak orang gagah tertawan oleh mereka. Kalau saja kita dapat menyelundup dan dapat menolong mereka, alangkah baiknya.”
Suma Lian hanya menyetujui dan mereka berdua lalu mengurus pemakaman jenazah Ci Hwa dengan sederhana namun cukup khidmat. Sin Hong meletakkan sebuah batu besar di depan makam itu dan menuliskan nama Kwee Ci Hwa di atas batu. Kemudian, setelah memberi penghormatan terakhir, dua orang muda perkasa itu mulai melakukan penyelidikan kembali ke sarang Tiat-liong-pang, dengan hati-hati sekali.
Pouw Li Sian, Gu Hong Beng, dan Cu Kun Tek kini ditahan dalam sebuah kamar tahanan yang baru. Kamar tahanan ini luas sekali, dan mereka bertiga dirantai kaki mereka pada besi di dinding yang kuat sekali.
Setelah terbebas dari totokan, mereka dapat duduk bersila dan dapat bercakap-cakap karena mereka berada dalam satu kamar tahanan. Kun Tek yang sadar lebih dahulu, memandang kepada Pouw Li Sian dengan penuh iba. Gadis itu pun mulai dapat bergerak kembali, lalu membereskan pakaiannya yang agak kusut, dan duduk bersila, di sebelah kanan Kun Tek. Hong Beng duduk bersila pula di sebelah kiri Kun Tek yang berada di tengah-tengah. Jarak antara mereka hanya dua meter, namun mereka tidak dapat saling menghampiri karena rantai yang mengikat kaki mereka.
“Nona, sungguh aku merasa menyesal bahwa Nona mengalami bahaya seperti ini,” kata Kun Tek karena tidak tahu apa yang harus dikatakan dalam keadaan seperti itu.
“Kenapa menyesalkan aku, saudara Cu Kun Tek? Bukankah engkau dan saudara Gu Hong Beng ini pun mengalami nasib yang sama dengan aku? Kita sama-sama tertawan, sama-sama terancam bahaya maut!”
Li Sian menatap wajah pemuda tinggi besar yang gagah perkasa itu sambil menahan senyumnya, senyum sedih karena gadis ini masih menderita tekanan batin karena dendamnya yang sedalam lautan setinggi langit terhadap Siangkoan Liong!
“Ucapan Kun Tek memang benar, Nona. Aku pun merasa menyesal sekali bahwa Nona sampai menjadi tawanan seperti kami. Walaupun kami sendiri tertawan, namun kami adalah laki-laki. Kalau saja kami dapat melakukan sesuatu untuk membebaskanmu,” kata pula Hong Beng.
Pouw Li Sian kini mamandang kepada Hong Beng dan ia bertanya,
“Menurut keterangan saudara Cu Kun Tek, engkau adalah murid seorang keluarga Pulau Es. Bolehkah aku mengetahui siapa nama besar gurumu, saudara Gu Hong Beng?”
Biarpun Hong Heng tidak pernah membanggakan nama gurunya, namun mendengar pertanyaan ini, terpaksa dia mengaku dengan sikap rendah hati.
“Suhu bernama Suma Ciang Bun.”
Li Sian mengangguk-angguk.
“Pernah aku mendengar nama besar suhumu. Bukankah beliau itu masih cucu dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Ketahuilah, saudara Hong Beng bahwa mendiang guruku adalah mantu dari Pendekar Super Sakti.“
“Aihhh....! Apakah beliau kakek guru Gak Bun Beng.?”
“Benar, akan tetapi namanya sudah berubah menjadi Bu Beng Lokai.”
“Kalau begitu, Nona adalah saudara seperguruan dari nona Suma Lian?”
“Benar sekali! Engkau mengenal suciku? Sungguh, semakin sempit saja dunia ini!”
Untuk sejenak, Li Sian melupakan kedukaannya dan ia tersenyum gembira sekali. Kun Tek ikut bergembira melihat hal ini.
“Sungguh menyenangkan sekali. Kiranya engkau masih ada hubungan keluarga seperguruan yang dekat dengan Hong Beng, dan dia adalah sahabat lamaku yang amat baik. Kita ternyata masih orang segolongan yang berhubungan dekat. Sayang kita saling berjumpa dalam keadaan seperti ini.”
Li Sian teringat kembali akan keadaan mereka, teringat kembali akan keadaan dirinya. Ia membayangkan kemungkinan mengerikan yang akan menimpa dirinya. Ia tahu kini betapa kejam dan kejinya hati Siangkoan Liong dan para pimpinan pemberontak itu. Ada bahaya yang lebih mengerikan daripada sekedar kematian mengancam dirinya. Hong Beng dan Kun Tek memang benar kalau tadi mengkhawatirkan keselamatannya karena ia seorang wanita. Membayangkan semua ini, ia teringat akan keadaan dirinya yang sudah ternoda dan ia pun mengepal tinjunya.
“Benar apa yang telah dilakukan enci Ciong Siu Kwi itu! Kalau mendapat kesempatan lagi, aku akan melawan dan mengadu nyawa dengan mereka. Lebih baik aku mati daripada sampai tertawan kembali!” Wajah gadis itu menjadi pucat dan sepasang matanya seperti bernyala.
“Jangan khawatir, Nona. Aku Cu Kun Tek bersumpah akan membelamu sampai mati.”
Tiba-tiba Kun Tek berkata dengan suaranya yang dalam dan mantap. Mendengar ini, Li Sian menoleh dan menatap wajah pendekar muda yang gagah itu, dan keduanya saling pandang, sinar mata mereka bertemu dan berpaut, dan dalam saat beberapa detik itu, Li Sian melihat betapa sinar mata pemuda itu penuh dengan cinta kasih yang ditujukan kepadanya. Hal ini membuat ia terharu dan wajahnya yang pucat tadi berubah kemerahan, lalu sinar matanya menunduk dan kedua matanya menjadi basah.
Melihat keadaan mereka berdua itu, timbul kekhawatiran dalam hati Hong Beng. Dia sudah mengenal watak Kun Tek yang keras dan pantang mundur, gagah perkasa dan berani menentang kematian sehingga watak ini kadang-kadang dapat membuat dia menjadi agak sembrono. Dia tahu bahwa kalau kedua orang muda itu nekat mengadu nyawa, hal itu hanya berarti bahwa mereka berdua akan membunuh diri saja, atau mati konyol karena bagaimanapun juga mereka bertiga tidak akan mungkin mampu mengalahkan musuh yang jumlahnya demikian banyak dan memiliki banyak orang yang lebih lihai daripada mereka.
“Nona Li Sian dan Kun Tek, dengarkan kata-kataku baik-baik. Kita bertiga mengalami nasib yang sama, menjadi tawanan tak berdaya di sini. Bagaimanapun juga, kita harus dapat meloloskan diri dan kurasa untuk itu tak mungkin kalau kita hanya mengandalkan keberanian dan kenekatan saja. Kita harus menggunakan akal dan kuharap kalian suka mengikuti apa yang akan kulakukan, demi keselamatan kita. Ingat, kalau aku mempergunakan akal, hal itu bukan berarti aku pengecut dan takut mati. Sama sekali bukan. Hanya agar kita dapat lolos lebih dahulu dari sini, untuk kemudian mengatur siasat bagaimana agar dapat menghancurkan mereka, kalau perlu dengan bala bantuan.”
“Menggunakan akal? Apa yang kau maksudkan, Hong Beng?” tanya Kun Tek.
“Kita harus mengakui bahwa kalau hanya menggunakan kenekatan, kita takkan mampu mengalahkan mereka yang jauh lebih banyak jumlahnya, dan akhirnya kita takkan mampu lolos dan akan mati konyol di sini.”
“Aku tidak takut, apalagi untuk melindungi nona Li Sian!” kata Kun Tek dengan sikap gagah.
Hong Beng tersenyum dan diam-diam dia teringat akan masa lampau. Pemuda tinggi besar dan yang gagah perkasa itu kalau sudah jatuh cinta memang kelihatan nekat sekali!
“Kita semua tidak takut mati, saudaraku yang baik. Akan tetapi mati konyol seperti itu bukanlah perbuatan gagah namanya, melainkan perbuatan bodoh sekali. Bukankah begitu? Tidak, untuk keadaan kita yang dalam perimbangan lebih lemah ini kita harus menggunakan akal. Kalau perlu, aku akan bermain sandiwara dan pura-pura takluk.“
“Takluk kepada mereka? Tidak sudi! Aku akan melawan!” teriak Kun Tek.
“Saudara Kun Tek, harap suka mendengarkan dulu perjelasan saudara Hong Beng. Dia benar, kalau tidak ada harapan menang menggunakan kekerasan, mengapa tidak menggunakan akal mengalah? Mengalah untuk akhirnya menang?”
Aneh sekali, demikian pikir Hong Beng. Mendengar ucapan gadis itu, Kun Tek kelihatan sabar kembali dan mengangguk, lalu berkata,
“Bagaimana akalmu, coba katakan Hong Beng.”
Hemmm, raksasa ini sudah menjadi jinak agaknya, di bawah sinar mata lembut gadis hebat ini, demikian Hong Beng berkata dalam hatinya.
“Begini. Mereka itu jelas musuh kita, akan tetapi setelah kita memberontak terhadap mereka atas bantuan Ci Hwa tadi, setelah kita membunuh belasan orang anak buah mereka, kini kita ditawan kembali. Kita tidak mengalami siksaan, juga tidak dibunuh. Hal ini bukan tidak ada artinya sama sekali. Kalau kita terus dibunuh, hal itu sudah jelas. Akan tetapi tidak, kita tidak dibunuh dan ini hanya berarti bahwa mereka itu, setidaknya pemimpinnya, dan kurasa kakek berkipas itu sendiri, tidak menginginkan kita mati. Dan alasannya tentu hanya satu, yaitu dia menghendaki agar kita membantu pemberontakan mereka.”
“Tidak sudi! Aku....“
Kun Tek menghentikan teriakannya ketika melihat betapa Li Sian menoleh dan memandang kepadanya dengan alis berkerut.
“Teruskan, Hong Beng. “ akhirnya dia berkata lirih.
Hong Beng menahan kegelian hatinya melihat sikap Kun Tek, lalu melanjutkan dengan suara bisik-bisik.
“Tentu saja kita tidak akan bersekutu dengan kaum sesat seperti mereka. Akan tetapi, dalam keadaan terjepit dan tiada pilihan lain, kita boleh memperlihatkan sikap seolah-olah kita setuju untuk bersama mereka menentang pemerintah. Bagaimanapun juga, bukankah kita sendiri juga tidak suka melihat pemerintah penjajah menguasai tanah air kita? Tapi, sikap kita setuju menentang pemerintah penjajah bukan merupakan suatu kepura-puraan belaka. Hanya sikap mau bekerja sama itu yang menjadi permainan sandiwara kita. Nah, kalau sudah begitu, tentu muncul kesempatan bagi kita untuk membebaskan diri kelak. Bagaimana pendapat kalian?”
Kun Tek masih hendak membantah. Pemuda ini merasa betapa memalukan kalau dia harus memperlihatkan sikap lunak dan takluk kepada tokoh-tokoh sesat itu. Akan tetapi, melihat betapa Li Sian mengangguk-angguk menyambut pendapat Hong Beng itu dan nampaknya setuju, dia pun mengangguk pula beberapa kali dan menutup mulutnya!
Mereka bertiga terpaksa kini menutup mulut karena mendengar suara orang dan langkah kaki menuju ke kamar tahanan itu. Ternyata yang muncul adalah Ouwyang Sianseng bersama Siangkoan Liong!
Hong Beng bertukar pandang dengan Kun Tek, memberi isyarat bahwa agaknya apa yang diduganya akan terjadi. Buktinya Ouwyang Sianseng yang lihai sekali itu, kini mengunjungi mereka! Apalagi kalau bukan untuk membujuk mereka agar suka bekerja sama?
Akan tetapi, Hong Beng melihat betapa Li Sian memandang kepada Siangkoan Liong dengan sinar mata memandang penuh kebencian sehingga dia terkejut. Pandang mata seperti itu tak dapat menipu yang hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang amat benci karena dendam sakit hati! Apakah yang telah dilakukan pemuda tampan putera ketua Tiat-long-pang itu sehingga membuat Li Sian demikian membencinya?
Di belakang kedua orang ini nampak tiga belas orang yang keadaan tubuhnya amat menyeramkan. Tinggi besar seperti raksasa, dengan tubuh bagian atas telanjang sehingga nampak dada dan pundak lengan yang berotot melingkar-lingkar dan juga berbulu!
Mereka itu seperti segerombolan orang hutan, mata mereka sempit kemerahan dan mulut mereka lebar menyeringai, nampak gigi yang tidak terpelihara baik-baik dan kekejaman yang buas nampak pada wajah mereka. Usia mereka sekitar tiga puluh sampai empat puluh tahun dan celana mereka hitam dengan kaki bersepatu kulit tebal.
Ketika Siangkoan Liong dan gurunya membuka pintu kamar tahanan dan memasukinya, tiga belas raksasa Mongol itu tinggal di luar, akan tetapi mereka menjenguk ke dalam melalui jeruji-jeruji besi dan mata mereka semua memandang kepada Li Sian seperti segerombolan srigala kelaparan dengan mulut menyeringai dan di antara mereka ada yang tak dapat menahan air liur yang mengalir keluar melalui ujung bibir mereka.
Li Sian membuang muka karena merasa ngeri dan jijik. Dua orang anak buah Tiat-liong-pang membawa dua buah bangku dan memberikannya kepada guru dan murid itu, kemudian keluar lagi.
Siangkoan Liong dan gurunya duduk di dekat pintu, memandang kepada tiga orang tawanan yang kini sudah bangkit berdiri, seperti dua orang yang nonton tiga ekor binatang buas yang diikat pada dinding.
Kun Tek memandang kepada mereka dengan mata melotot marah. Kalau saja kaki kirinya tidak dibelenggu rantai baja dan terikat pada dinding, ingin rasanya dia menerjang kedua orang itu!
Hong Beng berdiri dengan sikap tenang saja, sedangkan Li Sian yang juga sudah berdiri, kini menundukkan pandang matanya karena tidak sudi lagi ia memandang kepada Siangkoan Liong lebih lama lagi.
“Sian-moi, sungguh aku merasa bersedih dan menyesal sekali bahwa engkau telah terkena hasutan Bi Kwi sehingga engkau memusuhi aku. Sian-moi, tidak dapatkah kita berbaik kembali? Lupakah engkau akan hubungan antara kita?”
Kalau tadinya Li Sian sudah dapat menenangkan batinnya, kini mendengar ucapan itu, seolah-olah api yang sudah mengecil itu disiram minyak sehingga berkobar kembali, mengingatkan ia akan kematian kakaknya dan akan dirinya yang telah ternoda oleh pemuda perayu ini. Ketika ia mengangkat mukanya, sepasang matanya berkilat memandang Siangkoan Liong penuh kebencian.
“Siangkoan Liong, tidak perlu banyak bicara lagi! Omonganmu yang beracun tidak perlu kudengarkan lagi. Tidak ada hubungan apa-apa di antara kita kecuali hubungan dendam dan permusuhan yang hanya akan dapat dihapus dengan darah!”
Seperti juga Hong Beng, kini Kun Tek memandang dan menekan keheranan hatinya. Dia juga dapat merasakan kebencian yang mendalam dari gadis itu terhadap Siangkoan Liong.
Sebelum Siangkoan Liong menjawab atau bicara lagi, Ouwyang Sianseng sudah mencegahnya dengan mengangkat tangan kanan ke atas dan kini terdengar kakek itu bicara, suaranya halus dan penuh wibawa, sikapnya tenang sekali dan sikapnya seperti dia sedang bicara kepada para muridnya saja.
“Tidak perlu perbantahan lagi, lebih baik kalau nona Pouw Li Sian mengetahui duduknya persoalan yang sebenarnya. Nona Pouw Li Sian, bukankah engkau merasa penasaran dan mendendam sakit hati karena kakak kandungmu terbunuh? Nah, ketahuilah bahwa memang sesungguhnyalah kalau dia itu dibunuh oleh kami sendiri! Lebih baik berterus terang agar engkau tahu duduknya persoalan.”
Li Sian mengangkat muka memandang wajah kakek itu. Matanya terbelalak dan tentu saja ia mau mendengarkan karena kakek itu agaknya kini berterus terang dan mengakui secara jujur.
“Akan tetapi, mengapa dia dibunuh? Apa kesalahannya?” tanyanya sambil mengamati wajah kakek itu penuh selidik.
“Dia telah mengkhianati perjuangan kami! Dia hendak melaporkan kegiatan kami ke kota raja. Kalau dia tidak dibunuh, kami semua bisa celaka.”
“Bohong! Aku tidak percaya!” kata Li Sian, walaupun di sudut hatinya ia meragukan bantahannya sendiri. Bukankah kakaknya itu sudah memperlihatkan sikap aneh, seolah-olah terkejut dan sama sekali tidak setuju melihat ia membantu gerakan perjuangan yang dipimpin Siangkoan Lohan itu? “Bukankah kakakku itu anak buah Coa Tai-ciangkun yang sudah bergabung dengan Tiat-liong-pang?”
“Itulah sebabnya mengapa kami harus bertindak tegas. Pengkhianatannya itu diketahui oleh perwira lain dan ketika dia ditegur terjadi perkelahian di antara mereka. Kakakmu menang, perwira itu dibunuhnya, akan tetapi pada saat itu, kami mengetahuinya dan kami lalu membunuhnya pula. Nah, engkau sudah mendengar sekarang, dan memang demikianlah keadaannya. Karena itu, harap engkau suka menyadari kekeliruanmu memusuhi muridku ini, nona Pouw.”
Pouw Li Sian hampir terbujuk, akan tetapi ia teringat kembali akan kematian Yo Jin dan Bi Kwi yang mengerikan, dan perasaan tidak suka sudah mulai tumbuh di dalam hatinya terhadap Siangkoan Liong yang tadinya berhasil menjatuhkan hatinya.
“Tidak, aku masih belum percaya! Ini semua tentu tipu muslihat kalian!” katanya.
“Memang kami hendak memperlihatkan bukti kebenaran omongan kami.” kata kakek itu sambil memberi isyarat ke luar kamar tahanan yang luas itu.
Terdengar suara gaduh dan masuklah seorang anak buah Tiat-liong-pang menyeret lengan seorang wanita yang wajahnya pucat dan pakaiannya kusut, rambutnya juga awut-awutan. Namun masih dapat nampak jelas bahwa wanita yang usianya sekitar dua puluh lima tahun itu berwajah cantik dan memiliki tubuh yang montok menggairahkan. Wanita itu terhuyung lalu jatuh berlutut di depan kaki Ouwyang Sianseng.
“Nah, Nyonya Pouw Ciang Hin, sudahkah engkau pikir baik-baik. Kalau engkau ingin agar kami mengampunimu, ceritakan dengan terus terang tentang suamimu yang menjadi pengkhianat itu!” kata Ouwyang Sianseng dengan sikap lembut namun keren.
Li Sian merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan dan ia mengamati wajah wanita itu. Kiranya mendiang kakaknya telah mempunyai seorang isteri dan kini isterinya telah menjadi tawanan dari gerombolan ini pula!
Wajah pucat itu diangkat memandang kepada Ouwyang Sianseng dengan sinar mata mohon dikasihani.
“Sudah berulang kali kuceritakan semuanya, dan suamiku bukan seorang pengkhianat.“
“Bohong!” bentak Siangkoan Liong marah. “Dia mengkhianati Coa Tai-ciangkun, dia mengkhianati gerakan perjuangan kami, dia setia kepada pemerintah penjajah Mancu dan dia merencanakan pengkhianatan dengan laporan ke kota raja. Hayo. ceritakan, siapa saja sekutunya dalam pengkhianatan ini!”
“Kongcu.... sudah berulang kali kunyatakan bahwa aku tidak tahu.... dia seorang yang baik dan tidak mungkin menjadi pengkhianat.... ah, Kongcu, aku telah menceritakan segalanya dan engkau masih belum juga percaya? Kalau begitu, bunuh saja aku agar aku dapat menyusul suamiku.“ Wanita itu menangis.
Siangkoan Liong bertukar pandang dengan gurunya dan Ouwyang Sianseng mengangguk. Siangkoan Liong lalu memanggil ke luar kamar.
“Hei, seorang dari kalian masuklah ke sini!”
Ketika pemuda itu menunjuk kepada mereka, tiga belas orang raksasa Mongol itu menyeringai dan mereka saling berebut hendak masuk, bahkan dorong mendorong dan tarik menarik.
Siangkoan Liong menghardik dan mereka pun diam, lalu seorang di antara mereka yang paling besar, dengan tubuh berbulu seperti seekor gorila, melangkah masuk, kedua tangannya tergantung panjang sampai ke lutut, mulutnya yang lebar menyeringai dan matanya yang sipit kemerahan itu ditujukan kepada wanita yang masih berlutut dan kini memandang dengan mata terbelalak ngeri kepada manusia monyet itu.
Raksasa itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Siangkoan Liong, dan suaranya terdengar parau dan besar ketika dia bertanya,
“Kongcu, apakah yang harus saya lakukan?” Karena logat bicaranya asing, maka terdengar lucu dan juga menyeramkan.
“Engkau Okatou, kau boleh melakukan apa saja terhadap wanita tawanan ini agar ia mau mengakui semua pengkhianatan suaminya. Akan tetapi jangan bunuh!”
Raksasa itu lalu menyeringai dan menoleh kepada isteri mendiang Pouw Ciang Hin.
“Heh-heh-heh, Kongcu. Boleh saya melakukan apa saja terhadapnya, di sini?”
“Ya, bahkan kalau perlu kau boleh memperkosanya agar ia mau mengaku!” kata pula Siangkoan Liong.
Mendengar ini, wajah Kun Tek, Hong Beng dan Li Sian menjadi merah karena marah. Akan tetapi mereka tidak berdaya dan hanya dapat menonton dengan hati tegang. Sementara itu, dua belas orang raksasa lain di luar kamar menonton dari balik jeruji dan mereka tertawa-tawa dan menyeringai dengan mulut berliur, agaknya mereka iri terhadap kawan mereka yang dianggap mujur itu.
Raksasa bernama Okatou itu kini bangkit dan menghampiri isteri Pouw Ciang Hin yang terbelalak dengan muka pucat sekali, tubuhnya menggigil dan ia pun bangkit berdiri. Karena keadaan terhimpit, ia pun agaknya hendak berlaku nekat dan memasang kuda-kuda. Agaknya sedikit banyak wanita ini pernah belajar silat dari suaminya. Melihat ini, Okatou tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang besar-besar dan kotor.
“Cui Bi, mengakulah saja sebelum dia menjamah tubuhmu.” terdengar Siangkoan Liong berkata dan mendengar betapa pemuda ini menyebut nama kecil nyonya itu, mudah diduga bahwa dia sudah akrab dengannya.
Dan memang demikianlah semenjak suaminya meninggal, nyonya ini diboyong ke dalam kamar Siangkoan Liong dan dengan cara halus, dengan bujuk rayu dan permainan cinta, pemuda itu sudah berusaha untuk membuat wanita itu mengakui semua kegiatan suaminya. Karena tidak berhasil walaupun nyonya itu telah menyerahkan diri dengan terpaksa, maka diambil jalan ini, untuk memaksa nyonya itu mengaku, juga sekalian untuk membuat Li San dan dua orang pemuda tawanan itu menjadi jerih dan tunduk.
Nyonya itu menggeleng kepala berkali-kali.
“Tidak.... tidak.... jangan lakukan ini, Kongcu.... ah, bunuh sajalah aku.”
Raksasa Okatou itu sambil menyeringai telah menubruk dengan kedua lengannya yang panjang. Wanita itu mengelak dan mencoba untuk menendang dari samping. Akan tetapi, sekali sambar, raksasa itu telah menangkap kaki dan menendang.
“Ahhhhh.... lepaskan kakiku.... Lepaskan aku.!” Nyonya yang bernama Cui Bi itu meronta-ronta, namun percuma saja, kaki kanannya seperti terjepit besi.
Kini tangan kiri raksasa itu menyambar ke depan dan di lain saat tubuh wanita itu telah dirangkulnya dan ditariknya mendekat, didekapnya dan sambil tersenyum menyeringai, raksasa Mongol itu itu menciumi muka Cui Bi!
Wanita ini berusaha memutar kepalanya ke kanan kiri untuk mengelak, namun kini tangan kiri Okatou menjambak rambutnya, memaksa kepala itu untuk diam dan dengan lahapnya dia mencium pipi dan mulut Cui Bi dengan ciuman yang mengeluarkan bunyi.
Dua belas orang raksasa Mongol lainnya menonton dengan mata melotot dan mulut mengeluarkan air liur. Sementara itu, Li Sian menarik-narik rantai di kakinya. Ia sudah marah sekali dan kalau saja ia dapat melepaskan diri dari rantai itu, tentu ia akan menerjang raksasa Mongol yang sedang menghina kakak iparnya itu! Akan tetapi rantai itu telalu kuat. Kun tek juga mengepal tinju dan berteriak.
“Jahanam busuk, lepaskan ia!”
Akan tetapi, Okatou yang hanya mentaati perintah Siangkoan Liong, tentu saja tidak memperdulikan semua itu.
“Brettttt! Brettttt....!”
“Benar apa yang telah dilakukan enci Ciong Siu Kwi itu! Kalau mendapat kesempatan lagi, aku akan melawan dan mengadu nyawa dengan mereka. Lebih baik aku mati daripada sampai tertawan kembali!” Wajah gadis itu menjadi pucat dan sepasang matanya seperti bernyala.
“Jangan khawatir, Nona. Aku Cu Kun Tek bersumpah akan membelamu sampai mati.”
Tiba-tiba Kun Tek berkata dengan suaranya yang dalam dan mantap. Mendengar ini, Li Sian menoleh dan menatap wajah pendekar muda yang gagah itu, dan keduanya saling pandang, sinar mata mereka bertemu dan berpaut, dan dalam saat beberapa detik itu, Li Sian melihat betapa sinar mata pemuda itu penuh dengan cinta kasih yang ditujukan kepadanya. Hal ini membuat ia terharu dan wajahnya yang pucat tadi berubah kemerahan, lalu sinar matanya menunduk dan kedua matanya menjadi basah.
Melihat keadaan mereka berdua itu, timbul kekhawatiran dalam hati Hong Beng. Dia sudah mengenal watak Kun Tek yang keras dan pantang mundur, gagah perkasa dan berani menentang kematian sehingga watak ini kadang-kadang dapat membuat dia menjadi agak sembrono. Dia tahu bahwa kalau kedua orang muda itu nekat mengadu nyawa, hal itu hanya berarti bahwa mereka berdua akan membunuh diri saja, atau mati konyol karena bagaimanapun juga mereka bertiga tidak akan mungkin mampu mengalahkan musuh yang jumlahnya demikian banyak dan memiliki banyak orang yang lebih lihai daripada mereka.
“Nona Li Sian dan Kun Tek, dengarkan kata-kataku baik-baik. Kita bertiga mengalami nasib yang sama, menjadi tawanan tak berdaya di sini. Bagaimanapun juga, kita harus dapat meloloskan diri dan kurasa untuk itu tak mungkin kalau kita hanya mengandalkan keberanian dan kenekatan saja. Kita harus menggunakan akal dan kuharap kalian suka mengikuti apa yang akan kulakukan, demi keselamatan kita. Ingat, kalau aku mempergunakan akal, hal itu bukan berarti aku pengecut dan takut mati. Sama sekali bukan. Hanya agar kita dapat lolos lebih dahulu dari sini, untuk kemudian mengatur siasat bagaimana agar dapat menghancurkan mereka, kalau perlu dengan bala bantuan.”
“Menggunakan akal? Apa yang kau maksudkan, Hong Beng?” tanya Kun Tek.
“Kita harus mengakui bahwa kalau hanya menggunakan kenekatan, kita takkan mampu mengalahkan mereka yang jauh lebih banyak jumlahnya, dan akhirnya kita takkan mampu lolos dan akan mati konyol di sini.”
“Aku tidak takut, apalagi untuk melindungi nona Li Sian!” kata Kun Tek dengan sikap gagah.
Hong Beng tersenyum dan diam-diam dia teringat akan masa lampau. Pemuda tinggi besar dan yang gagah perkasa itu kalau sudah jatuh cinta memang kelihatan nekat sekali!
“Kita semua tidak takut mati, saudaraku yang baik. Akan tetapi mati konyol seperti itu bukanlah perbuatan gagah namanya, melainkan perbuatan bodoh sekali. Bukankah begitu? Tidak, untuk keadaan kita yang dalam perimbangan lebih lemah ini kita harus menggunakan akal. Kalau perlu, aku akan bermain sandiwara dan pura-pura takluk.“
“Takluk kepada mereka? Tidak sudi! Aku akan melawan!” teriak Kun Tek.
“Saudara Kun Tek, harap suka mendengarkan dulu perjelasan saudara Hong Beng. Dia benar, kalau tidak ada harapan menang menggunakan kekerasan, mengapa tidak menggunakan akal mengalah? Mengalah untuk akhirnya menang?”
Aneh sekali, demikian pikir Hong Beng. Mendengar ucapan gadis itu, Kun Tek kelihatan sabar kembali dan mengangguk, lalu berkata,
“Bagaimana akalmu, coba katakan Hong Beng.”
Hemmm, raksasa ini sudah menjadi jinak agaknya, di bawah sinar mata lembut gadis hebat ini, demikian Hong Beng berkata dalam hatinya.
“Begini. Mereka itu jelas musuh kita, akan tetapi setelah kita memberontak terhadap mereka atas bantuan Ci Hwa tadi, setelah kita membunuh belasan orang anak buah mereka, kini kita ditawan kembali. Kita tidak mengalami siksaan, juga tidak dibunuh. Hal ini bukan tidak ada artinya sama sekali. Kalau kita terus dibunuh, hal itu sudah jelas. Akan tetapi tidak, kita tidak dibunuh dan ini hanya berarti bahwa mereka itu, setidaknya pemimpinnya, dan kurasa kakek berkipas itu sendiri, tidak menginginkan kita mati. Dan alasannya tentu hanya satu, yaitu dia menghendaki agar kita membantu pemberontakan mereka.”
“Tidak sudi! Aku....“
Kun Tek menghentikan teriakannya ketika melihat betapa Li Sian menoleh dan memandang kepadanya dengan alis berkerut.
“Teruskan, Hong Beng. “ akhirnya dia berkata lirih.
Hong Beng menahan kegelian hatinya melihat sikap Kun Tek, lalu melanjutkan dengan suara bisik-bisik.
“Tentu saja kita tidak akan bersekutu dengan kaum sesat seperti mereka. Akan tetapi, dalam keadaan terjepit dan tiada pilihan lain, kita boleh memperlihatkan sikap seolah-olah kita setuju untuk bersama mereka menentang pemerintah. Bagaimanapun juga, bukankah kita sendiri juga tidak suka melihat pemerintah penjajah menguasai tanah air kita? Tapi, sikap kita setuju menentang pemerintah penjajah bukan merupakan suatu kepura-puraan belaka. Hanya sikap mau bekerja sama itu yang menjadi permainan sandiwara kita. Nah, kalau sudah begitu, tentu muncul kesempatan bagi kita untuk membebaskan diri kelak. Bagaimana pendapat kalian?”
Kun Tek masih hendak membantah. Pemuda ini merasa betapa memalukan kalau dia harus memperlihatkan sikap lunak dan takluk kepada tokoh-tokoh sesat itu. Akan tetapi, melihat betapa Li Sian mengangguk-angguk menyambut pendapat Hong Beng itu dan nampaknya setuju, dia pun mengangguk pula beberapa kali dan menutup mulutnya!
Mereka bertiga terpaksa kini menutup mulut karena mendengar suara orang dan langkah kaki menuju ke kamar tahanan itu. Ternyata yang muncul adalah Ouwyang Sianseng bersama Siangkoan Liong!
Hong Beng bertukar pandang dengan Kun Tek, memberi isyarat bahwa agaknya apa yang diduganya akan terjadi. Buktinya Ouwyang Sianseng yang lihai sekali itu, kini mengunjungi mereka! Apalagi kalau bukan untuk membujuk mereka agar suka bekerja sama?
Akan tetapi, Hong Beng melihat betapa Li Sian memandang kepada Siangkoan Liong dengan sinar mata memandang penuh kebencian sehingga dia terkejut. Pandang mata seperti itu tak dapat menipu yang hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang amat benci karena dendam sakit hati! Apakah yang telah dilakukan pemuda tampan putera ketua Tiat-long-pang itu sehingga membuat Li Sian demikian membencinya?
Di belakang kedua orang ini nampak tiga belas orang yang keadaan tubuhnya amat menyeramkan. Tinggi besar seperti raksasa, dengan tubuh bagian atas telanjang sehingga nampak dada dan pundak lengan yang berotot melingkar-lingkar dan juga berbulu!
Mereka itu seperti segerombolan orang hutan, mata mereka sempit kemerahan dan mulut mereka lebar menyeringai, nampak gigi yang tidak terpelihara baik-baik dan kekejaman yang buas nampak pada wajah mereka. Usia mereka sekitar tiga puluh sampai empat puluh tahun dan celana mereka hitam dengan kaki bersepatu kulit tebal.
Ketika Siangkoan Liong dan gurunya membuka pintu kamar tahanan dan memasukinya, tiga belas raksasa Mongol itu tinggal di luar, akan tetapi mereka menjenguk ke dalam melalui jeruji-jeruji besi dan mata mereka semua memandang kepada Li Sian seperti segerombolan srigala kelaparan dengan mulut menyeringai dan di antara mereka ada yang tak dapat menahan air liur yang mengalir keluar melalui ujung bibir mereka.
Li Sian membuang muka karena merasa ngeri dan jijik. Dua orang anak buah Tiat-liong-pang membawa dua buah bangku dan memberikannya kepada guru dan murid itu, kemudian keluar lagi.
Siangkoan Liong dan gurunya duduk di dekat pintu, memandang kepada tiga orang tawanan yang kini sudah bangkit berdiri, seperti dua orang yang nonton tiga ekor binatang buas yang diikat pada dinding.
Kun Tek memandang kepada mereka dengan mata melotot marah. Kalau saja kaki kirinya tidak dibelenggu rantai baja dan terikat pada dinding, ingin rasanya dia menerjang kedua orang itu!
Hong Beng berdiri dengan sikap tenang saja, sedangkan Li Sian yang juga sudah berdiri, kini menundukkan pandang matanya karena tidak sudi lagi ia memandang kepada Siangkoan Liong lebih lama lagi.
“Sian-moi, sungguh aku merasa bersedih dan menyesal sekali bahwa engkau telah terkena hasutan Bi Kwi sehingga engkau memusuhi aku. Sian-moi, tidak dapatkah kita berbaik kembali? Lupakah engkau akan hubungan antara kita?”
Kalau tadinya Li Sian sudah dapat menenangkan batinnya, kini mendengar ucapan itu, seolah-olah api yang sudah mengecil itu disiram minyak sehingga berkobar kembali, mengingatkan ia akan kematian kakaknya dan akan dirinya yang telah ternoda oleh pemuda perayu ini. Ketika ia mengangkat mukanya, sepasang matanya berkilat memandang Siangkoan Liong penuh kebencian.
“Siangkoan Liong, tidak perlu banyak bicara lagi! Omonganmu yang beracun tidak perlu kudengarkan lagi. Tidak ada hubungan apa-apa di antara kita kecuali hubungan dendam dan permusuhan yang hanya akan dapat dihapus dengan darah!”
Seperti juga Hong Beng, kini Kun Tek memandang dan menekan keheranan hatinya. Dia juga dapat merasakan kebencian yang mendalam dari gadis itu terhadap Siangkoan Liong.
Sebelum Siangkoan Liong menjawab atau bicara lagi, Ouwyang Sianseng sudah mencegahnya dengan mengangkat tangan kanan ke atas dan kini terdengar kakek itu bicara, suaranya halus dan penuh wibawa, sikapnya tenang sekali dan sikapnya seperti dia sedang bicara kepada para muridnya saja.
“Tidak perlu perbantahan lagi, lebih baik kalau nona Pouw Li Sian mengetahui duduknya persoalan yang sebenarnya. Nona Pouw Li Sian, bukankah engkau merasa penasaran dan mendendam sakit hati karena kakak kandungmu terbunuh? Nah, ketahuilah bahwa memang sesungguhnyalah kalau dia itu dibunuh oleh kami sendiri! Lebih baik berterus terang agar engkau tahu duduknya persoalan.”
Li Sian mengangkat muka memandang wajah kakek itu. Matanya terbelalak dan tentu saja ia mau mendengarkan karena kakek itu agaknya kini berterus terang dan mengakui secara jujur.
“Akan tetapi, mengapa dia dibunuh? Apa kesalahannya?” tanyanya sambil mengamati wajah kakek itu penuh selidik.
“Dia telah mengkhianati perjuangan kami! Dia hendak melaporkan kegiatan kami ke kota raja. Kalau dia tidak dibunuh, kami semua bisa celaka.”
“Bohong! Aku tidak percaya!” kata Li Sian, walaupun di sudut hatinya ia meragukan bantahannya sendiri. Bukankah kakaknya itu sudah memperlihatkan sikap aneh, seolah-olah terkejut dan sama sekali tidak setuju melihat ia membantu gerakan perjuangan yang dipimpin Siangkoan Lohan itu? “Bukankah kakakku itu anak buah Coa Tai-ciangkun yang sudah bergabung dengan Tiat-liong-pang?”
“Itulah sebabnya mengapa kami harus bertindak tegas. Pengkhianatannya itu diketahui oleh perwira lain dan ketika dia ditegur terjadi perkelahian di antara mereka. Kakakmu menang, perwira itu dibunuhnya, akan tetapi pada saat itu, kami mengetahuinya dan kami lalu membunuhnya pula. Nah, engkau sudah mendengar sekarang, dan memang demikianlah keadaannya. Karena itu, harap engkau suka menyadari kekeliruanmu memusuhi muridku ini, nona Pouw.”
Pouw Li Sian hampir terbujuk, akan tetapi ia teringat kembali akan kematian Yo Jin dan Bi Kwi yang mengerikan, dan perasaan tidak suka sudah mulai tumbuh di dalam hatinya terhadap Siangkoan Liong yang tadinya berhasil menjatuhkan hatinya.
“Tidak, aku masih belum percaya! Ini semua tentu tipu muslihat kalian!” katanya.
“Memang kami hendak memperlihatkan bukti kebenaran omongan kami.” kata kakek itu sambil memberi isyarat ke luar kamar tahanan yang luas itu.
Terdengar suara gaduh dan masuklah seorang anak buah Tiat-liong-pang menyeret lengan seorang wanita yang wajahnya pucat dan pakaiannya kusut, rambutnya juga awut-awutan. Namun masih dapat nampak jelas bahwa wanita yang usianya sekitar dua puluh lima tahun itu berwajah cantik dan memiliki tubuh yang montok menggairahkan. Wanita itu terhuyung lalu jatuh berlutut di depan kaki Ouwyang Sianseng.
“Nah, Nyonya Pouw Ciang Hin, sudahkah engkau pikir baik-baik. Kalau engkau ingin agar kami mengampunimu, ceritakan dengan terus terang tentang suamimu yang menjadi pengkhianat itu!” kata Ouwyang Sianseng dengan sikap lembut namun keren.
Li Sian merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan dan ia mengamati wajah wanita itu. Kiranya mendiang kakaknya telah mempunyai seorang isteri dan kini isterinya telah menjadi tawanan dari gerombolan ini pula!
Wajah pucat itu diangkat memandang kepada Ouwyang Sianseng dengan sinar mata mohon dikasihani.
“Sudah berulang kali kuceritakan semuanya, dan suamiku bukan seorang pengkhianat.“
“Bohong!” bentak Siangkoan Liong marah. “Dia mengkhianati Coa Tai-ciangkun, dia mengkhianati gerakan perjuangan kami, dia setia kepada pemerintah penjajah Mancu dan dia merencanakan pengkhianatan dengan laporan ke kota raja. Hayo. ceritakan, siapa saja sekutunya dalam pengkhianatan ini!”
“Kongcu.... sudah berulang kali kunyatakan bahwa aku tidak tahu.... dia seorang yang baik dan tidak mungkin menjadi pengkhianat.... ah, Kongcu, aku telah menceritakan segalanya dan engkau masih belum juga percaya? Kalau begitu, bunuh saja aku agar aku dapat menyusul suamiku.“ Wanita itu menangis.
Siangkoan Liong bertukar pandang dengan gurunya dan Ouwyang Sianseng mengangguk. Siangkoan Liong lalu memanggil ke luar kamar.
“Hei, seorang dari kalian masuklah ke sini!”
Ketika pemuda itu menunjuk kepada mereka, tiga belas orang raksasa Mongol itu menyeringai dan mereka saling berebut hendak masuk, bahkan dorong mendorong dan tarik menarik.
Siangkoan Liong menghardik dan mereka pun diam, lalu seorang di antara mereka yang paling besar, dengan tubuh berbulu seperti seekor gorila, melangkah masuk, kedua tangannya tergantung panjang sampai ke lutut, mulutnya yang lebar menyeringai dan matanya yang sipit kemerahan itu ditujukan kepada wanita yang masih berlutut dan kini memandang dengan mata terbelalak ngeri kepada manusia monyet itu.
Raksasa itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Siangkoan Liong, dan suaranya terdengar parau dan besar ketika dia bertanya,
“Kongcu, apakah yang harus saya lakukan?” Karena logat bicaranya asing, maka terdengar lucu dan juga menyeramkan.
“Engkau Okatou, kau boleh melakukan apa saja terhadap wanita tawanan ini agar ia mau mengakui semua pengkhianatan suaminya. Akan tetapi jangan bunuh!”
Raksasa itu lalu menyeringai dan menoleh kepada isteri mendiang Pouw Ciang Hin.
“Heh-heh-heh, Kongcu. Boleh saya melakukan apa saja terhadapnya, di sini?”
“Ya, bahkan kalau perlu kau boleh memperkosanya agar ia mau mengaku!” kata pula Siangkoan Liong.
Mendengar ini, wajah Kun Tek, Hong Beng dan Li Sian menjadi merah karena marah. Akan tetapi mereka tidak berdaya dan hanya dapat menonton dengan hati tegang. Sementara itu, dua belas orang raksasa lain di luar kamar menonton dari balik jeruji dan mereka tertawa-tawa dan menyeringai dengan mulut berliur, agaknya mereka iri terhadap kawan mereka yang dianggap mujur itu.
Raksasa bernama Okatou itu kini bangkit dan menghampiri isteri Pouw Ciang Hin yang terbelalak dengan muka pucat sekali, tubuhnya menggigil dan ia pun bangkit berdiri. Karena keadaan terhimpit, ia pun agaknya hendak berlaku nekat dan memasang kuda-kuda. Agaknya sedikit banyak wanita ini pernah belajar silat dari suaminya. Melihat ini, Okatou tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang besar-besar dan kotor.
“Cui Bi, mengakulah saja sebelum dia menjamah tubuhmu.” terdengar Siangkoan Liong berkata dan mendengar betapa pemuda ini menyebut nama kecil nyonya itu, mudah diduga bahwa dia sudah akrab dengannya.
Dan memang demikianlah semenjak suaminya meninggal, nyonya ini diboyong ke dalam kamar Siangkoan Liong dan dengan cara halus, dengan bujuk rayu dan permainan cinta, pemuda itu sudah berusaha untuk membuat wanita itu mengakui semua kegiatan suaminya. Karena tidak berhasil walaupun nyonya itu telah menyerahkan diri dengan terpaksa, maka diambil jalan ini, untuk memaksa nyonya itu mengaku, juga sekalian untuk membuat Li San dan dua orang pemuda tawanan itu menjadi jerih dan tunduk.
Nyonya itu menggeleng kepala berkali-kali.
“Tidak.... tidak.... jangan lakukan ini, Kongcu.... ah, bunuh sajalah aku.”
Raksasa Okatou itu sambil menyeringai telah menubruk dengan kedua lengannya yang panjang. Wanita itu mengelak dan mencoba untuk menendang dari samping. Akan tetapi, sekali sambar, raksasa itu telah menangkap kaki dan menendang.
“Ahhhhh.... lepaskan kakiku.... Lepaskan aku.!” Nyonya yang bernama Cui Bi itu meronta-ronta, namun percuma saja, kaki kanannya seperti terjepit besi.
Kini tangan kiri raksasa itu menyambar ke depan dan di lain saat tubuh wanita itu telah dirangkulnya dan ditariknya mendekat, didekapnya dan sambil tersenyum menyeringai, raksasa Mongol itu itu menciumi muka Cui Bi!
Wanita ini berusaha memutar kepalanya ke kanan kiri untuk mengelak, namun kini tangan kiri Okatou menjambak rambutnya, memaksa kepala itu untuk diam dan dengan lahapnya dia mencium pipi dan mulut Cui Bi dengan ciuman yang mengeluarkan bunyi.
Dua belas orang raksasa Mongol lainnya menonton dengan mata melotot dan mulut mengeluarkan air liur. Sementara itu, Li Sian menarik-narik rantai di kakinya. Ia sudah marah sekali dan kalau saja ia dapat melepaskan diri dari rantai itu, tentu ia akan menerjang raksasa Mongol yang sedang menghina kakak iparnya itu! Akan tetapi rantai itu telalu kuat. Kun tek juga mengepal tinju dan berteriak.
“Jahanam busuk, lepaskan ia!”
Akan tetapi, Okatou yang hanya mentaati perintah Siangkoan Liong, tentu saja tidak memperdulikan semua itu.
“Brettttt! Brettttt....!”