Kini kedua tangan raksasa itu merobek-robek dan merenggut pakaian Cui Bi. Bagaikan kertas saja, kain pakaian itu robek dan tanggal sehingga kini tubuh wanita yang malang itu menjadi telanjang bulat! Dan jari-jari tangan yang besar berbulu itu, tanpa rikuh atau malu-malu di depan banyak orang, menggerayangi bagian tubuh dengan penuh nafsu.
Okatou dan kawan-kawannya yang menjadi pasukan khusus dan anak buah Siangkoan Liong datang dari luar Tembok Besar dan mereka itu memang merupakan manusia liar yang buas. Mereka sudah biasa melakukan siksaan atau pembunuhan, perkosaan begitu saja di depan banyak orang tanpa merasa rikuh sedikit pun juga.
Cui Bi, wanita yang malang itu, hampir pingsan ketika dirinya didekap, diciumi dan kini pakaiannya telah tanggal semua, akan tetapi ia masih ingat untuk nekat menggigit pipi raksasa Mongol itu sekuat tenaga.
“Aughhh....!”
Okatou mengeluarkan suara gerengan seperti binatang buas dan dia mendorong tubuh Cui Bi dengan keras sehingga gigitan itu terlepas dan tubuh Cui Bi terlempar ke arah Li Sian. Raksasa itu meraba pipinya yang kulitnya robek berdarah oleh gigitan Cui Bi, kini matanya makin merah memandang ke arah Cui Bi yang tentu akan terbanting kalau saja Li Sian tidak menyambutnya dengan tangan kirinya.
“Heh-heh-heh....“ dalam kemarahannya, Okatou menyeringai dan terkekeh, lalu melangkah perlahan-lahan menghampiri wanita telanjang itu, sinar matanya penuh ancaman mengerikan.
“Heh-heh-heh, engkau kuda betina binal.... heh-heh-heh, mari sini manis.“
Okatou tiba-tiba melompat ke depan, tangannya terulur untuk menangkap rambut Cui Bi yang kini terurai karena terlepas dari sanggulnya. Akan tetapi, sebuah kaki menyambutnya.
“Dukkk....!”
Dan tubuh Okatou terjengkang keras oleh tendangan yang dilakukan Li Sian untuk melindungi Cui Bi. Tubuh Okatou terbanting keras dan Li Sian berkata kepada Cui Bi,
“So-so (Kakak Ipar), bersembunyilah di belakangku. Aku akan melindungimu, aku adalah adik perempuan suamimu.”
Pada saat itu Cui Bi merangkak ke belakang Li Sian. Okatou sudah bangkit lagi dan dengan kemarahan meluap, Okatou sudah menubruk ke depan, sekali ini bukan menubruk ke arah Cui Bi, melainkan ke arah Li Sian, wanita tawanan yang berani menendang sehingga dadanya terasa nyeri dan sesak napas itu.
Li Sian yang sudah amat marah dan membenci raksasa ini, sudah mempersiapkan diri, mengumpulkan tenaga sin-kang pada seluruh tubuhnya. Ia menanti sampai penyerangnya itu dekat, lalu ia mendahului dengan luncuran tangan kirinya, dengan dua jari mencuat, yaitu telunjuk dan jari tengah, agak direnggangkan dan dua buah jari itu meluncur dan menghujam ke arah kedua mata raksasa itu.
Okatou dan kawan-kawannya yang menjadi pasukan khusus dan anak buah Siangkoan Liong datang dari luar Tembok Besar dan mereka itu memang merupakan manusia liar yang buas. Mereka sudah biasa melakukan siksaan atau pembunuhan, perkosaan begitu saja di depan banyak orang tanpa merasa rikuh sedikit pun juga.
Cui Bi, wanita yang malang itu, hampir pingsan ketika dirinya didekap, diciumi dan kini pakaiannya telah tanggal semua, akan tetapi ia masih ingat untuk nekat menggigit pipi raksasa Mongol itu sekuat tenaga.
“Aughhh....!”
Okatou mengeluarkan suara gerengan seperti binatang buas dan dia mendorong tubuh Cui Bi dengan keras sehingga gigitan itu terlepas dan tubuh Cui Bi terlempar ke arah Li Sian. Raksasa itu meraba pipinya yang kulitnya robek berdarah oleh gigitan Cui Bi, kini matanya makin merah memandang ke arah Cui Bi yang tentu akan terbanting kalau saja Li Sian tidak menyambutnya dengan tangan kirinya.
“Heh-heh-heh....“ dalam kemarahannya, Okatou menyeringai dan terkekeh, lalu melangkah perlahan-lahan menghampiri wanita telanjang itu, sinar matanya penuh ancaman mengerikan.
“Heh-heh-heh, engkau kuda betina binal.... heh-heh-heh, mari sini manis.“
Okatou tiba-tiba melompat ke depan, tangannya terulur untuk menangkap rambut Cui Bi yang kini terurai karena terlepas dari sanggulnya. Akan tetapi, sebuah kaki menyambutnya.
“Dukkk....!”
Dan tubuh Okatou terjengkang keras oleh tendangan yang dilakukan Li Sian untuk melindungi Cui Bi. Tubuh Okatou terbanting keras dan Li Sian berkata kepada Cui Bi,
“So-so (Kakak Ipar), bersembunyilah di belakangku. Aku akan melindungimu, aku adalah adik perempuan suamimu.”
Pada saat itu Cui Bi merangkak ke belakang Li Sian. Okatou sudah bangkit lagi dan dengan kemarahan meluap, Okatou sudah menubruk ke depan, sekali ini bukan menubruk ke arah Cui Bi, melainkan ke arah Li Sian, wanita tawanan yang berani menendang sehingga dadanya terasa nyeri dan sesak napas itu.
Li Sian yang sudah amat marah dan membenci raksasa ini, sudah mempersiapkan diri, mengumpulkan tenaga sin-kang pada seluruh tubuhnya. Ia menanti sampai penyerangnya itu dekat, lalu ia mendahului dengan luncuran tangan kirinya, dengan dua jari mencuat, yaitu telunjuk dan jari tengah, agak direnggangkan dan dua buah jari itu meluncur dan menghujam ke arah kedua mata raksasa itu.
“Creppp....!”
Dua batang jari itu seperti sumpit baja menusuk dan masuk ke dalam rongga mata Okatou. Tubuh Okatou menggigil dan gerengan aneh keluar dari mulutnya, kemudian dia terjengkang, akan tetapi pada saat itu, kaki kanan Li Sian menyusul dengan tendangan maut.
“Desssss....!”
Dan kini tubuh itu terbanting keras dan tidak mampu bergerak lagi. Kedua matanya berlumuran darah dan di bagian tengah celananya juga berlepotan darah. Kalau tusukan jari tangan itu membutakan matanya, maka tendangan tadi menghancurkan selangkangnya dan membuat nyawa raksasa buas itu melayang!
“Soso, jangan takut, aku melindungimu,” kata pula Li Sian kepada wanita telanjang yang masih berlutut di belakangnya.
Akan tetapi, Cui Bi terbelalak memandangnya, kemudian berkata dengan suara lantang.
“Hemmm, kiranya engkau adik suamiku yang bernama Pouw Li Sian? Cihhh, sungguh tidak tahu malu engkau! Kakakmu dibunuh orang dan engkau menyerahkan diri dan kehormatanmu kepada Siangkoan Kongcu!”
Wajah Li Sian tiba-tiba menjadi pucat sekali, kemudian berubah merah dan pada saat itu, Siangkoan Liong yang juga tidak mengira wanita itu akan mengeluarkan kata-kata seperti itu, menghardik,
“Cui Bi, ke sini engkau!”
Bagaikan seekor anjing yang takut mendengar panggilan majikannya, Cui Bi berjalan menghampiri Siangkoan Liong, berusaha menggunakan kedua tangan menutupi bagian tubuh atas dan bawah, lalu ia berlutut di depan pemuda itu.
“Kongcu, jangan siksa aku seperti ini. Ampunkan atau bunuh saja aku,” ratapnya.
Ouwyang Sianseng mengerutkan alisnya menyaksikan semua peristiwa yang tidak disangkanya itu.
“Hemmm, Kongcu apakah engkau masih menyayang dan membutuhkan wanita ini?” tanyanya kepada Siangkoan Liong.
Pemuda itu menggeleng kepala dan mendengus dengan pandang mata menghina.
“Tidak, Suhu, saya sudah bosan padanya.”
“Kalau begitu, suruh bunuh saja ia agar jangan mendatangkan keributan lagi,” kata Ouwyang Sianseng.
Siangkoan Liong memandang kepada Cui Bi, lalu menoleh kepada wajah dua belas orang raksasa Mongol di luar yang masih terbelalak memandang ke arah tubuh wanita telanjang itu seperti srigala-srigala kelaparan, lalu dia berkata,
“Tidak Suhu. Biar untuk mereka saja! Nih, ia kuberikan kepada kalian. Bawa pergi ke belakang sana!”
Siangkoan Liong tiba-tiba melakukan gerakan dengan kakinya, menendang tubuh Cui Bi yang terlempar keluar dari pintu kamar. Di luar, dua belas orang itu sambil mengeluarkan suara teriakan-teriakan liar telah menyambut dan jerit melengking yang keluar dari mulut Cui Bi mengatasi semua suara gaduh.
Li Sian melihat tubuh berkulit putih mulus menjadi rebutan di antara tangan-tangan yang berbulu dan berotot, lalu tubuh wanita itu diangkat pergi oleh dua belas orang raksasa itu. Yang terdengar hanya lengking tangis dan Li Sian lalu menundukkan mukanya dan mematikan pendengarannya agar ia tidak lagi mendengar jeritan kakak iparnya.
Sementara itu, Kun Tek kini duduk bersila dan matanya menatap ke arah Siangkoan Liong, bagaikan mencorong dan mengeluarkan api. Di dalam hatinya, pemuda ini mengambil keputusan untuk membunuh pemuda tampan itu. Bukan hanya untuk perbuatannya yang keji terhadap Cui Bi, melainkan juga karena Li Sian! Kini dia mulai mengerti mengapa gadis perkasa itu demikian penuh kebencian terhadap Siangkoan Liong!
Setelah para anak buah Tiat-liong-pang membawa pergi mayat Okatou, Ouwyang Sianseng lalu memandang kepada tiga orang tawanan itu. Dia menarik napas panjang lalu berkata,
“Ahhh, perang memang kejam. Dalam perjuangan, kadang-kadang memang harus mempergunakan kekerasan terhadap musuh. Apalagi kaum pengkhianat memang harus dibasmi. Kami mengenal Sam-wi (Kalian bertiga) sebagai orang-orang gagah, keturunan para pendekar sakti. Sudah tentu memiliki jiwa patriot dan membenci pemerintah penjajah Mancu. Kami sedang berusaha menumbangkan penjajah, membebaskan rakyat dari penjajahan, oleh karena itu, kami yakin bahwa sebagai pendekar-pendekar gagah yang membela tanah air dan rakyat, Sam-wi tentu akan berpikir panjang. Membantu perjuangan kami atau terpaksa kami lenyapkan Sam-wi sebagai lawan-lawan yang berbahaya. Kami memberi waktu untuk mengambil keputusan sampai besok pagi.”
Setelah berkata demikian, Ouwyang Sianseng mengajak muridnya keluar dari kamar itu dan memesan kepada para anak buah untuk menyuguhkan hidangan yang hangat dan baik kepada mereka bertiga.
Dengan cerdik, Hong Beng diam saja, tidak menjawab pertanyaan Ouwyang Sianseng. Dia tahu bahwa Kun Tek dan Li Sian masih terguncang batinnya menyaksikan kekejaman yang tak berperikemanusiaan tadi, maka mereka berdua itu pasti akan menentangnya kalau dia menyambut dengan lembut. Apalagi, kakek itu memberi waktu sampai besok, masih banyak waktu bagi mereka bertiga berunding.
Dua batang jari itu seperti sumpit baja menusuk dan masuk ke dalam rongga mata Okatou. Tubuh Okatou menggigil dan gerengan aneh keluar dari mulutnya, kemudian dia terjengkang, akan tetapi pada saat itu, kaki kanan Li Sian menyusul dengan tendangan maut.
“Desssss....!”
Dan kini tubuh itu terbanting keras dan tidak mampu bergerak lagi. Kedua matanya berlumuran darah dan di bagian tengah celananya juga berlepotan darah. Kalau tusukan jari tangan itu membutakan matanya, maka tendangan tadi menghancurkan selangkangnya dan membuat nyawa raksasa buas itu melayang!
“Soso, jangan takut, aku melindungimu,” kata pula Li Sian kepada wanita telanjang yang masih berlutut di belakangnya.
Akan tetapi, Cui Bi terbelalak memandangnya, kemudian berkata dengan suara lantang.
“Hemmm, kiranya engkau adik suamiku yang bernama Pouw Li Sian? Cihhh, sungguh tidak tahu malu engkau! Kakakmu dibunuh orang dan engkau menyerahkan diri dan kehormatanmu kepada Siangkoan Kongcu!”
Wajah Li Sian tiba-tiba menjadi pucat sekali, kemudian berubah merah dan pada saat itu, Siangkoan Liong yang juga tidak mengira wanita itu akan mengeluarkan kata-kata seperti itu, menghardik,
“Cui Bi, ke sini engkau!”
Bagaikan seekor anjing yang takut mendengar panggilan majikannya, Cui Bi berjalan menghampiri Siangkoan Liong, berusaha menggunakan kedua tangan menutupi bagian tubuh atas dan bawah, lalu ia berlutut di depan pemuda itu.
“Kongcu, jangan siksa aku seperti ini. Ampunkan atau bunuh saja aku,” ratapnya.
Ouwyang Sianseng mengerutkan alisnya menyaksikan semua peristiwa yang tidak disangkanya itu.
“Hemmm, Kongcu apakah engkau masih menyayang dan membutuhkan wanita ini?” tanyanya kepada Siangkoan Liong.
Pemuda itu menggeleng kepala dan mendengus dengan pandang mata menghina.
“Tidak, Suhu, saya sudah bosan padanya.”
“Kalau begitu, suruh bunuh saja ia agar jangan mendatangkan keributan lagi,” kata Ouwyang Sianseng.
Siangkoan Liong memandang kepada Cui Bi, lalu menoleh kepada wajah dua belas orang raksasa Mongol di luar yang masih terbelalak memandang ke arah tubuh wanita telanjang itu seperti srigala-srigala kelaparan, lalu dia berkata,
“Tidak Suhu. Biar untuk mereka saja! Nih, ia kuberikan kepada kalian. Bawa pergi ke belakang sana!”
Siangkoan Liong tiba-tiba melakukan gerakan dengan kakinya, menendang tubuh Cui Bi yang terlempar keluar dari pintu kamar. Di luar, dua belas orang itu sambil mengeluarkan suara teriakan-teriakan liar telah menyambut dan jerit melengking yang keluar dari mulut Cui Bi mengatasi semua suara gaduh.
Li Sian melihat tubuh berkulit putih mulus menjadi rebutan di antara tangan-tangan yang berbulu dan berotot, lalu tubuh wanita itu diangkat pergi oleh dua belas orang raksasa itu. Yang terdengar hanya lengking tangis dan Li Sian lalu menundukkan mukanya dan mematikan pendengarannya agar ia tidak lagi mendengar jeritan kakak iparnya.
Sementara itu, Kun Tek kini duduk bersila dan matanya menatap ke arah Siangkoan Liong, bagaikan mencorong dan mengeluarkan api. Di dalam hatinya, pemuda ini mengambil keputusan untuk membunuh pemuda tampan itu. Bukan hanya untuk perbuatannya yang keji terhadap Cui Bi, melainkan juga karena Li Sian! Kini dia mulai mengerti mengapa gadis perkasa itu demikian penuh kebencian terhadap Siangkoan Liong!
Setelah para anak buah Tiat-liong-pang membawa pergi mayat Okatou, Ouwyang Sianseng lalu memandang kepada tiga orang tawanan itu. Dia menarik napas panjang lalu berkata,
“Ahhh, perang memang kejam. Dalam perjuangan, kadang-kadang memang harus mempergunakan kekerasan terhadap musuh. Apalagi kaum pengkhianat memang harus dibasmi. Kami mengenal Sam-wi (Kalian bertiga) sebagai orang-orang gagah, keturunan para pendekar sakti. Sudah tentu memiliki jiwa patriot dan membenci pemerintah penjajah Mancu. Kami sedang berusaha menumbangkan penjajah, membebaskan rakyat dari penjajahan, oleh karena itu, kami yakin bahwa sebagai pendekar-pendekar gagah yang membela tanah air dan rakyat, Sam-wi tentu akan berpikir panjang. Membantu perjuangan kami atau terpaksa kami lenyapkan Sam-wi sebagai lawan-lawan yang berbahaya. Kami memberi waktu untuk mengambil keputusan sampai besok pagi.”
Setelah berkata demikian, Ouwyang Sianseng mengajak muridnya keluar dari kamar itu dan memesan kepada para anak buah untuk menyuguhkan hidangan yang hangat dan baik kepada mereka bertiga.
Dengan cerdik, Hong Beng diam saja, tidak menjawab pertanyaan Ouwyang Sianseng. Dia tahu bahwa Kun Tek dan Li Sian masih terguncang batinnya menyaksikan kekejaman yang tak berperikemanusiaan tadi, maka mereka berdua itu pasti akan menentangnya kalau dia menyambut dengan lembut. Apalagi, kakek itu memberi waktu sampai besok, masih banyak waktu bagi mereka bertiga berunding.
**** 047 ****
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================