Tidak! ia tidak ingin tertarik kepada pemuda itu. Ia tidak ingin harus membunuh pemuda itu. Dan ia menghela napas panjang. Ia dan sucinya sudah bersumpah kepada subo mereka untuk tidak jatuh cinta, dan kalau ada pria yang jatuh cinta kepada mereka harus mereka bunuh!
“Semua lelaki jahat,” demikian subo mereka selalu menekankan ke dalam hati mereka. “Semua lelaki itu jahat dan palsu, bagaikan kumbang yang selalu mendekati kembang dengan suaranya yang merayu-rayu. Akan tetapi setelah dia memghisap madu kembang itu sampai habis, lalu ditinggalkannya kembang itu begitu saja!”
Dan kalau menurut keterangan gurunya itu, tidak ada laki-laki yang baik. Berarti Keng Han juga bukan seorang yang baik. Mungkin sikapnya yang baik itu pun hanya merupakan akal untuk merayunya belaka! Tidak, ia tidak boleh tertarik kepadanya!
Lewat tengah malam, Souw Cu In terbangun dari tidurnya. ia menggeliat karena tubuhnya terasa kaku tidur di lantai yang kasar itu, lalu menutupi mulut dari luar topeng untuk menahan uapnya, dan ia bangkit berdiri. Dihampirinya Keng Han dan ia berkata dengan suara yang kasar.
“Sekarang engkau boleh mengaso dan tidur, giliranku berjaga.” katanya.
Keng Han merasa heran sekali mendengar ucapan yang bernada ketus itu. Dia memandang dan berkata.
“Tidak perlu, Su-i. Su-i mengaso dan tidurlah, biar aku berjaga di sini sampai malam lewat”.
“Tidak!” suara Cu In membentak karena dalam perasaannya sikap baik pemuda ini hanya akal untuk merayunya saja. “Kau kira aku ini orang macam apa? Engkau sudah berjaga setengah malam, maka setengah malam yang lain menjadi bagianku untuk berjaga!”
Melihat sikap gadis itu demikian galak dan tegas, Keng Han merasa heran sekali.
“Kalau bagitu, biarlah aku juga berjaga di sini saja. Aku tidak merasa mengantuk.
Cu In duduk di dekat api unggun berhadapan dengan pemuda itu terhalang api unggun. Mereka saling pandang dan Keng Han tak dapat menyembunyikan perasaan kagumnya. Wajah yang biarpun hanya kelihatan bagian atasnya saja itu demikian indahnya tertimpa sinar api unggun, kemerahan dan begitu halusnya dahi itu. Ditambah lagi anak rambut yang berjuntai melingkar-lingkar itu. Begitu manisnya!
“Kau melihat apa?” bentak gadis itu dan Keng Han baru menyadari bahwa terlalu lama dia menatap wajah itu.
“Tidak apa-apa, Su-i. Hanya aku heran mengapa Su-i tidak tidur saja mengaso. Malam sudah larut dan biarkan aku yang berjaga di sini”.
“Tidak, aku tidak mau tidur.”
“Kalau begitu, kita berdua tidak tidur.” kata Keng Han bersikeras.
“Engkau bandel!”
“Bukan cuma aku yang bandel.”
Keduanya diam dan terasa amat heningnya malam itu. Yang terdengar hanya suara api makan kayu kering.
Keng Han maklum bahwa gadis ini berwatak aneh sekali. Bukankah Nio-cu pernah berkata betapa sumoinya ini.lebih kejam darinya? Akan tetapi dia tidak percaya. Seorang gadis dengan sinar mata selembut itu tidak mungkin kejam.
“Engkau berasal dari mana?” tiba-tiba gadis itu bertanya dan nada suaranya sambil lalu saja, seolah pertanyaan itu hanya untuk mengisi kesepian.
Terhadap Souw Cu In, entah bagaimana, Keng Han tidak ingin menyembunyikan rahasianya.
“Aku berasal dari daerah Khitan.”
“Engkau orang Khitan?”
“Peranakan Khitan. Ibuku orang Khitan, ayahku orang Han.” Dia masih belum berani mengakui ayahnya sebagai seorang pangeran Mancu.
“Semua lelaki jahat,” demikian subo mereka selalu menekankan ke dalam hati mereka. “Semua lelaki itu jahat dan palsu, bagaikan kumbang yang selalu mendekati kembang dengan suaranya yang merayu-rayu. Akan tetapi setelah dia memghisap madu kembang itu sampai habis, lalu ditinggalkannya kembang itu begitu saja!”
Dan kalau menurut keterangan gurunya itu, tidak ada laki-laki yang baik. Berarti Keng Han juga bukan seorang yang baik. Mungkin sikapnya yang baik itu pun hanya merupakan akal untuk merayunya belaka! Tidak, ia tidak boleh tertarik kepadanya!
Lewat tengah malam, Souw Cu In terbangun dari tidurnya. ia menggeliat karena tubuhnya terasa kaku tidur di lantai yang kasar itu, lalu menutupi mulut dari luar topeng untuk menahan uapnya, dan ia bangkit berdiri. Dihampirinya Keng Han dan ia berkata dengan suara yang kasar.
“Sekarang engkau boleh mengaso dan tidur, giliranku berjaga.” katanya.
Keng Han merasa heran sekali mendengar ucapan yang bernada ketus itu. Dia memandang dan berkata.
“Tidak perlu, Su-i. Su-i mengaso dan tidurlah, biar aku berjaga di sini sampai malam lewat”.
“Tidak!” suara Cu In membentak karena dalam perasaannya sikap baik pemuda ini hanya akal untuk merayunya saja. “Kau kira aku ini orang macam apa? Engkau sudah berjaga setengah malam, maka setengah malam yang lain menjadi bagianku untuk berjaga!”
Melihat sikap gadis itu demikian galak dan tegas, Keng Han merasa heran sekali.
“Kalau bagitu, biarlah aku juga berjaga di sini saja. Aku tidak merasa mengantuk.
Cu In duduk di dekat api unggun berhadapan dengan pemuda itu terhalang api unggun. Mereka saling pandang dan Keng Han tak dapat menyembunyikan perasaan kagumnya. Wajah yang biarpun hanya kelihatan bagian atasnya saja itu demikian indahnya tertimpa sinar api unggun, kemerahan dan begitu halusnya dahi itu. Ditambah lagi anak rambut yang berjuntai melingkar-lingkar itu. Begitu manisnya!
“Kau melihat apa?” bentak gadis itu dan Keng Han baru menyadari bahwa terlalu lama dia menatap wajah itu.
“Tidak apa-apa, Su-i. Hanya aku heran mengapa Su-i tidak tidur saja mengaso. Malam sudah larut dan biarkan aku yang berjaga di sini”.
“Tidak, aku tidak mau tidur.”
“Kalau begitu, kita berdua tidak tidur.” kata Keng Han bersikeras.
“Engkau bandel!”
“Bukan cuma aku yang bandel.”
Keduanya diam dan terasa amat heningnya malam itu. Yang terdengar hanya suara api makan kayu kering.
Keng Han maklum bahwa gadis ini berwatak aneh sekali. Bukankah Nio-cu pernah berkata betapa sumoinya ini.lebih kejam darinya? Akan tetapi dia tidak percaya. Seorang gadis dengan sinar mata selembut itu tidak mungkin kejam.
“Engkau berasal dari mana?” tiba-tiba gadis itu bertanya dan nada suaranya sambil lalu saja, seolah pertanyaan itu hanya untuk mengisi kesepian.
Terhadap Souw Cu In, entah bagaimana, Keng Han tidak ingin menyembunyikan rahasianya.
“Aku berasal dari daerah Khitan.”
“Engkau orang Khitan?”
“Peranakan Khitan. Ibuku orang Khitan, ayahku orang Han.” Dia masih belum berani mengakui ayahnya sebagai seorang pangeran Mancu.
“Pantas. Aku sudah menduga bahwa engkau seorang peranakan. Di mana orang tuamu sekarang?”
“Ibuku masih di Khitan bersama kakekku akan tetapi ayahku....”
“Bagaimana dengan ayahmu? Sudah matikah?”
Keng Han menggeleng kepalanya dan menghela napas panjang.
“Aku belum pernah melihat ayahku. Semenjak aku dalam kandungan ibu, ayah telah pergi meninggalkan ibu dan sejak itu tidak pernah kembali.”
Souw Cu In melempar sepotong kayu di api unggun sehingga bunta-bunga api membubung ke atas.
“Huh!” katanya gemas. “Benar juga kata subo. Lelaki adalah mahkluk yang palsu dan kejam!”
“Akan tetapi aku memang sedang mencari ayahku, Su-i. Dia harus menjelaskan mengapa dia tidak pernah pulang menengok ibu. Kalau memang benar dia telah melupakannya dan mengkhianatinya, aku sendiri yang akan menghajarnya!”
“Hemmm, apalagi yang terjadi kalau bukan ayahmu bertemu dengan wanita lain yang lebih cantik lalu ayahmu mengawini wanita itu dan melupakan ibumu?”
“Belum tentu. Kurasa ayahku tidak sejahat itu! Akan tetapi, aku ingin mencarinya sampai dapat! Dan engkau sendiri, Su-i. Maukah engkau bercerita tentang dirimu? Dari Nio-cu aku sudah tahu bahwa engkau juga murid Ang Hwa Nio-cu, dan bahwa engkau mempunyai pendirian yang sama dengan Bi-kiam Nio-cu tentang pria. Selain itu, aku tidak tahu apa-apa tentang dirimu. Maukah engkau bercerita?”
“Hemmm, untuk apa bercerita tentang diriku padamu?” Sepasang mata itu menatap tajam penuh selidik.
Keng Han menghela napas panjang.
“Bukan apa-apa, Su-i. Akan tetapi engkau adalah bibi guruku, dengan adanya hubungan ini, tidak pantaskah kalau aku mengenalmu lebih baik lagi? Agar engkau tidak menjadi seperti orang asing lagi bagiku.”
“Engkau sudah mengetahui namaku.”
“Ya, aku masih ingat. Nama Su-i adalah Souw Cu In, hanya itu yang kuketahui.”
“Aku juga seperti engkau. Hidup keluargaku tidak berbahagia. Ayah ibuku telah meninggal dunia, terbunuh musuh. Ketika itu aku baru berusia lima tahun, lalu aku diambil murid oleh subo. Nah, hanya begitu saja riwayatku dan aku pun sedang mencari-cari seseorang untuk membalas kematian ayah ibuku.”
“Musuh besar yang membunuh ayah ibumu itu?”
“Benar. Ah, sudahlah. Kenapa aku menceritakan semua ini kepadamu?” Ia seperti menegur diri sendiri. “O ya, kemana engkau hendak mencari ayahmu itu, Keng Han?”
Mendengar gadis itu tiba-tiba membelokkan percakapan, tahulah Keng Han bahwa gadis itu tidak mau lagi bercerita tentang dirinya, dan dia pun menjawab sejujurnya,
“Aku hendak mencari ayahku di kota raja.”
“Ahhh....!”
“Kenapa Su-i terkejut mendengar itu?”
“Tujuan perjalananku juga ke kota raja!”
Bukan main girangnya hati Keng Han mendengar ini.
“Kalau begitu kebetulan sekali, Su-i. Kita dapat melakukan perjalanan bersama.”
“Tidak! Besok pagi kita harus berpisah, melakukan perjalanan sendiri-sendiri. Kalau subo mengetahui, baru malam ini saja kita berada di sini berdua, sudah cukup bagi subo untuk menuduh yang tidak-tidak dan membunuhku!”
“Gurumu amat kejam terhadap laki-laki, Su-i!” Keng Han memprotes.
“Tidak! Guruku sudah adil. Engkau tidak tahu betapa hatinya telah dihancurkan, kehidupannya telah dilumatkan oleh kaum pria! Ia hanya membalas dendam! Aku mencari musuh besarku itu, juga untuk mencari musuh besar yang telah menghancurkan kebahagiaan hidup guruku. Orangnya sama!”
“Ahhh....!”
Keng Han bukan hanya terkejut mendengar ucapan itu, melainkan juga terkejut mendengar suara lain, suara gerakan orang-orang di sekitar mereka! Akan tetapi karena malam itu gelap sekali dan api unggun itu tidak terlalu besar, dia tidak melihat apa-apa.
“Engkau dengar tadi?” Souw Cu In bertanya. Keng Han mengangguk dan keduanya waspada.
Tiba-tiba terdengar ledakan-ledakan keras di sekitar mereka. Mereka terkejut dan meloncat berdiri, tidak tahu harus berbuat apa karena musuh tidak nampak dan ledakan-ledakan masih terjadi di sekeliling mereka. Agaknya musuh menyerang mereka dengan bahan ledakan yang mengeluarkan asap tebal.
Kedua orang itu tidak berani sembarang bergerak karena khawatir kalau-kalau di-serang musuh yang tidak kelihatan. Akan tetapi tiba-tiba keduanya mencium bau keras sekali dan Souw Cu In berseru.
“Tahan napas.!”
Akan tetapi sudah terlambat. Keduanya sudah menghisap asap terlalu banyak dan mereka terbatuk-batuk roboh terkulai, pingsan. Kiranya bahan peledak itu mengandung racun pembius yang kuat sekali.
Tubuh Keng Han memang sudah kebal terhadap racun, berkat dia makan daging ular merah. Akan tetapi yang kebal adalah tubuhnya sehingga andaikata dia terkena makan racun atau dilukai oleh racun, tentu hawa beracun dalam tubuhnya menolak dan membuatnya kebal. Akan tetapi sekali ini dia terkena racun pembius berupa asap yang memasuki paru-parunya, maka dia pun tidak dapat bertahan dan roboh pingsan seperti Souw Cu In.
Beberapa bayangan orang yang memakai kedok tebal berkelebatan memasuki tabir asap itu dan menghampiri kedua orang yang sudah pingsan itu. Akan tetapi ketika empat orang itu menghampiri Keng Han dan Cu In, Cu In melompat dan dua orang roboh tewas seketika terkena pukulan Tok-ciang (Tangan Beracun).
Kiranya Cu In belum pingsan seperti keadaan Keng Han. Ketika wanita ini tahu bahwa ada musuh menggunakan asap beracun, ia meneriaki Keng Han, akan tetapi Keng Han yang terlambat. Ia sendiri baru sedikit menghisap asap beracun dan untuk menyelamatkan diri, ia menjatuhkan diri agar tidak terpengaruh asap yang membubung ke atas. Setelah ada empat orang datang, Ia cepat menyerang dan setelah merobohkan dua orang, ia pun melompat jauh keluar dari tabir asap itu. Dua orang berkedok lain menggotong Keng Han membawanya pergi dari situ.
Souw Cu In merasa khawatir sekali, akan tetapi tidak dapat mencegah dengan adanya tabir asap pembius yang menghalanginya. Setelah tabir asap menipis dan mulai menghilang, barulah ia melakukan pengejaran, akan tetapi dia tidak menemukan jejak mereka, apalagi malam itu gelap sekali dan api unggun yang mereka buat malam tadi sudah hampir padam. Terpaksa ia duduk kembali dekat api unggun dan menambahkan kayu bakar sehingga api unggun itu membesar kembali. Akan tetapi ia sudah tidak mungkin dapat tidur lagi dan sambil menanti lewatnya malam, ia duduk bersila, dekat api unggun dan memperhatikan sekelilingnya dengan pendengarannya.
Hatinya gelisah bukan main memikirkan Keng Han dan menduga-duga siapa yang menangkap pemuda itu dan apa alasannya. Juga ia mengingat-ingat siapa tokoh dunia kang-ouw yang suka mempergunakan alat peledak yang mengandung racun pembius itu.
Ia lalu teringat kepada seorang datuk sesat dari selatan yang berjuluk Ban-tok Kwi-ong (Raja Iblis Selaksa Racun). Datuk inikah yang melakukannya? Akan tetapi rasanya tidak mungkin. Seorang datuk seperti dia itu biasanya memiliki ketinggian hati, tidak mungkin kalau hanya hendak menangkap seorang pemuda saja harus menggunakan peledak racun pembius. Siapapun yang menangkap pemuda itu, Keng Han berada dalam bahaya dan dia harus menolong pemuda itu.
“Ibuku masih di Khitan bersama kakekku akan tetapi ayahku....”
“Bagaimana dengan ayahmu? Sudah matikah?”
Keng Han menggeleng kepalanya dan menghela napas panjang.
“Aku belum pernah melihat ayahku. Semenjak aku dalam kandungan ibu, ayah telah pergi meninggalkan ibu dan sejak itu tidak pernah kembali.”
Souw Cu In melempar sepotong kayu di api unggun sehingga bunta-bunga api membubung ke atas.
“Huh!” katanya gemas. “Benar juga kata subo. Lelaki adalah mahkluk yang palsu dan kejam!”
“Akan tetapi aku memang sedang mencari ayahku, Su-i. Dia harus menjelaskan mengapa dia tidak pernah pulang menengok ibu. Kalau memang benar dia telah melupakannya dan mengkhianatinya, aku sendiri yang akan menghajarnya!”
“Hemmm, apalagi yang terjadi kalau bukan ayahmu bertemu dengan wanita lain yang lebih cantik lalu ayahmu mengawini wanita itu dan melupakan ibumu?”
“Belum tentu. Kurasa ayahku tidak sejahat itu! Akan tetapi, aku ingin mencarinya sampai dapat! Dan engkau sendiri, Su-i. Maukah engkau bercerita tentang dirimu? Dari Nio-cu aku sudah tahu bahwa engkau juga murid Ang Hwa Nio-cu, dan bahwa engkau mempunyai pendirian yang sama dengan Bi-kiam Nio-cu tentang pria. Selain itu, aku tidak tahu apa-apa tentang dirimu. Maukah engkau bercerita?”
“Hemmm, untuk apa bercerita tentang diriku padamu?” Sepasang mata itu menatap tajam penuh selidik.
Keng Han menghela napas panjang.
“Bukan apa-apa, Su-i. Akan tetapi engkau adalah bibi guruku, dengan adanya hubungan ini, tidak pantaskah kalau aku mengenalmu lebih baik lagi? Agar engkau tidak menjadi seperti orang asing lagi bagiku.”
“Engkau sudah mengetahui namaku.”
“Ya, aku masih ingat. Nama Su-i adalah Souw Cu In, hanya itu yang kuketahui.”
“Aku juga seperti engkau. Hidup keluargaku tidak berbahagia. Ayah ibuku telah meninggal dunia, terbunuh musuh. Ketika itu aku baru berusia lima tahun, lalu aku diambil murid oleh subo. Nah, hanya begitu saja riwayatku dan aku pun sedang mencari-cari seseorang untuk membalas kematian ayah ibuku.”
“Musuh besar yang membunuh ayah ibumu itu?”
“Benar. Ah, sudahlah. Kenapa aku menceritakan semua ini kepadamu?” Ia seperti menegur diri sendiri. “O ya, kemana engkau hendak mencari ayahmu itu, Keng Han?”
Mendengar gadis itu tiba-tiba membelokkan percakapan, tahulah Keng Han bahwa gadis itu tidak mau lagi bercerita tentang dirinya, dan dia pun menjawab sejujurnya,
“Aku hendak mencari ayahku di kota raja.”
“Ahhh....!”
“Kenapa Su-i terkejut mendengar itu?”
“Tujuan perjalananku juga ke kota raja!”
Bukan main girangnya hati Keng Han mendengar ini.
“Kalau begitu kebetulan sekali, Su-i. Kita dapat melakukan perjalanan bersama.”
“Tidak! Besok pagi kita harus berpisah, melakukan perjalanan sendiri-sendiri. Kalau subo mengetahui, baru malam ini saja kita berada di sini berdua, sudah cukup bagi subo untuk menuduh yang tidak-tidak dan membunuhku!”
“Gurumu amat kejam terhadap laki-laki, Su-i!” Keng Han memprotes.
“Tidak! Guruku sudah adil. Engkau tidak tahu betapa hatinya telah dihancurkan, kehidupannya telah dilumatkan oleh kaum pria! Ia hanya membalas dendam! Aku mencari musuh besarku itu, juga untuk mencari musuh besar yang telah menghancurkan kebahagiaan hidup guruku. Orangnya sama!”
“Ahhh....!”
Keng Han bukan hanya terkejut mendengar ucapan itu, melainkan juga terkejut mendengar suara lain, suara gerakan orang-orang di sekitar mereka! Akan tetapi karena malam itu gelap sekali dan api unggun itu tidak terlalu besar, dia tidak melihat apa-apa.
“Engkau dengar tadi?” Souw Cu In bertanya. Keng Han mengangguk dan keduanya waspada.
Tiba-tiba terdengar ledakan-ledakan keras di sekitar mereka. Mereka terkejut dan meloncat berdiri, tidak tahu harus berbuat apa karena musuh tidak nampak dan ledakan-ledakan masih terjadi di sekeliling mereka. Agaknya musuh menyerang mereka dengan bahan ledakan yang mengeluarkan asap tebal.
Kedua orang itu tidak berani sembarang bergerak karena khawatir kalau-kalau di-serang musuh yang tidak kelihatan. Akan tetapi tiba-tiba keduanya mencium bau keras sekali dan Souw Cu In berseru.
“Tahan napas.!”
Akan tetapi sudah terlambat. Keduanya sudah menghisap asap terlalu banyak dan mereka terbatuk-batuk roboh terkulai, pingsan. Kiranya bahan peledak itu mengandung racun pembius yang kuat sekali.
Tubuh Keng Han memang sudah kebal terhadap racun, berkat dia makan daging ular merah. Akan tetapi yang kebal adalah tubuhnya sehingga andaikata dia terkena makan racun atau dilukai oleh racun, tentu hawa beracun dalam tubuhnya menolak dan membuatnya kebal. Akan tetapi sekali ini dia terkena racun pembius berupa asap yang memasuki paru-parunya, maka dia pun tidak dapat bertahan dan roboh pingsan seperti Souw Cu In.
Beberapa bayangan orang yang memakai kedok tebal berkelebatan memasuki tabir asap itu dan menghampiri kedua orang yang sudah pingsan itu. Akan tetapi ketika empat orang itu menghampiri Keng Han dan Cu In, Cu In melompat dan dua orang roboh tewas seketika terkena pukulan Tok-ciang (Tangan Beracun).
Kiranya Cu In belum pingsan seperti keadaan Keng Han. Ketika wanita ini tahu bahwa ada musuh menggunakan asap beracun, ia meneriaki Keng Han, akan tetapi Keng Han yang terlambat. Ia sendiri baru sedikit menghisap asap beracun dan untuk menyelamatkan diri, ia menjatuhkan diri agar tidak terpengaruh asap yang membubung ke atas. Setelah ada empat orang datang, Ia cepat menyerang dan setelah merobohkan dua orang, ia pun melompat jauh keluar dari tabir asap itu. Dua orang berkedok lain menggotong Keng Han membawanya pergi dari situ.
Souw Cu In merasa khawatir sekali, akan tetapi tidak dapat mencegah dengan adanya tabir asap pembius yang menghalanginya. Setelah tabir asap menipis dan mulai menghilang, barulah ia melakukan pengejaran, akan tetapi dia tidak menemukan jejak mereka, apalagi malam itu gelap sekali dan api unggun yang mereka buat malam tadi sudah hampir padam. Terpaksa ia duduk kembali dekat api unggun dan menambahkan kayu bakar sehingga api unggun itu membesar kembali. Akan tetapi ia sudah tidak mungkin dapat tidur lagi dan sambil menanti lewatnya malam, ia duduk bersila, dekat api unggun dan memperhatikan sekelilingnya dengan pendengarannya.
Hatinya gelisah bukan main memikirkan Keng Han dan menduga-duga siapa yang menangkap pemuda itu dan apa alasannya. Juga ia mengingat-ingat siapa tokoh dunia kang-ouw yang suka mempergunakan alat peledak yang mengandung racun pembius itu.
Ia lalu teringat kepada seorang datuk sesat dari selatan yang berjuluk Ban-tok Kwi-ong (Raja Iblis Selaksa Racun). Datuk inikah yang melakukannya? Akan tetapi rasanya tidak mungkin. Seorang datuk seperti dia itu biasanya memiliki ketinggian hati, tidak mungkin kalau hanya hendak menangkap seorang pemuda saja harus menggunakan peledak racun pembius. Siapapun yang menangkap pemuda itu, Keng Han berada dalam bahaya dan dia harus menolong pemuda itu.
**** 019 ****
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================