Ads

Selasa, 24 Mei 2016

Pusaka Pulau Es Jilid 20

Keng Han merasa seperti dalam mimpi. Tahu-tahu setelah dia sadar kembali, dia sudah terbelenggu kaki tangannya, rebah di atas sebuah dipan dan tubuhnya dalam keadaan tertotok. Semua itu tidak merisaukan hatinya, akan tetapi yang membuat dia khawatir adalah kepalanya. Kepala itu pening sekali dan masih pening sehingga sukar dia berpikir.

Dia membuka sedikit matanya dan melihat bahwa dirinya berada dalam sebuah kamar, seperti kamar tahanan karena pintunya dari besi dan ada jeruji besi pula di atas pintu. Di luar kamar itu, dia dapat melihat beberapa orang melalui jeruji besi dan agaknya mereka melakukan penjagaan.

Perlahan-lahan dia pun teringat. Dia sedang duduk menghadapi api unggun bersama Souw Cu In dan tiba-tiba terdengar ledakan-ledakan dan asap mengepul tebal lalu dia tidak ingat apa-apa lagi dan tahu-tahu telah berada di tempat ini dalam keadaan terbelenggu dan tertotok. Dia merasa bahwa belenggu itu tidak sukar dipatahkan, juga totokan itu dapat dengan mudah dia punahkan. Akan tetapi kepeningan kepalanya masih terasa, maka dia pun diam saja rebah berbaring menanti perkembangan lebih lanjut sambil memberi waktu kepada kepalanya agar bebas dari kepeningan akibat asap racun pembius itu.

Tidak terlalu lama dia menanti. Dia mendengar daun pintu besi dibuka orang dan nampak tiga orang memasuki tempat tahanan itu. Seorang di antara mereka adalah seorang kakek yang segera dikenalnya. Kakek Itu adalah Toat-beng Kiam-sian yang pernah bentrok dengan dia. Dia menegur kakek yang terlalu kejam menghukum tiga orang anak buahnya dan karena itu kakek ini marah sekali kepadanya.

Dia diberi waktu untuk menghadapinya selama sepuluh jurus dan kalau selama itu dia tidak roboh, dia akan dibebaskan. Dan dia berhasil bertahan sampai sepuluh jurus. Ketika kakek itu merasa penasaran hendak menggunakan tongkat yang sekarang dipegangnya itu, Bi-kiam Nio-cu menegurnya dan mengingatkan akan janjinya dan kakek itu lalu pergi. Sekarang kakek itu agaknya yang menyuruh anak buahnya menawannya. Entah apa yang hendak dilakukan atas dirinya. Dia pura-pura masih pingsan akan tetapi memperhatikan mereka bertiga dengan telinganya.

“Nah, inilah pemuda itu. Bagaimana pendapatmu, Siu Lan?”

Gadis yang datang bersamanya itu memandang wajah Keng Han penuh perhatian. Gadis ini cukup cantik, dengan pakaiannya yang mewah.

“Dia kelihatan seperti seorang dusun, Ayah.” kata gadis itu setelah mengamati Keng Han.

“Ha-ha-ha!” Kakek itu tertawa. “Jangan melihat pakaiannya, Siu Lan. Lihatlah wajahnya. Bukankah dia tampan dan gagah? Dan tentang ilmu silat, sudah kukatakan bahwa dia lihai juga dan pantas untuk menjadi jodohmu.”

“Suhu, saya tidak percaya bahwa dia mampu melawan Sumoi” kata pemuda yang datang bersama mereka. Pemuda ini bertubuh tinggi besar, berwajah gagah namun pandang matanya membayangkan kecongkakan hati. Jelas dia memandang rendah kepada Keng Han yang menggeletak tidak berdaya di atas dipan itu. “Dia tidak pantas untuk melawan Sumoi. Biarlah dia melawan saya lebih dulu. Kalau dia mampu menandingi saya, baru Sumoi boleh mencobanya!”

Toat-beng Kiam-sian tertawa dan mengangguk-angguk.
“Hmmm, pikiran yang baik itu. Boleh engkau mencobanya dulu, Bu Tong.”

“Biar saya bebaskan dulu dia dari totokan dan belenggunya!” kata pemuda itu yang bernama Gan Bu Tong.

Akan tetapi ketika dia menghampiri dipan, Keng Han mengerahkan tenaganya dan totokan itu pun sudah punah, lalu sekali dia menggerakkan kaki tangannya, ikatan itu pun putus semua! Keng Han lalu bangkit dan meloncat berdiri menghadapi tiga orang itu.

“Mengapa kalian menangkap aku? Aku tidak mempunyai permusuhan dengan kalian, mengapa kalian berbuat begini?” tegurnya.

Toat-beng Kiam-sian Lo Cit, puterinya yang bernama Lo Siu Lan dan muridnya itu terkejut bukan main melihat betapa pemuda itu telah terbebas dari totokan dan dengan mudahnya mematahkan semua belenggu.

Toat-beng Kiam-sian maju dan tertawa.
“Ha-ha-ha, tempo hari engkau dapat menahan sepuluh jurus seranganku, maka hatiku tertarik untuk mengujimu, orang muda. Sekarang lawanlah muridku ini, hendak kulihat sampai dimana kelihaianmu!”

“Aku tidak ingin bertanding dengan siapapun tanpa sebab. Di antara kita tidak ada urusan, mengapa kita harus bertanding?”

“Hemmm, bocah sombong. Ada atau tidak ada urusan, aku akan menandingimu. Kalau engkau takut, engkau boleh berlutut dan mencium kaki guru sambil meminta ampun, baru kami akan melepaskanmu.” kata Bu Tong yang memandang rendah.

Keng Han mengerutkan alisnya.
“Aku tidak bersalah apa pun, mengapa harus minta ampun? Aku tidak sudi melakukannya, jangan engkau menghinaku!”

“Aku memang sengaja menghinamu, habis kau mau apa? Aku menantangmu untuk mengadu kepandaian, kalau engkau menolak berarti engkau takut?”

Panas juga rasa hati Keng Han. Dia ditangkap tanpa sebab, kemudian ditantang dan dianggap pengecut kalau tidak berani. Tentu saja dia berani.

“Siapa takut kepada kalian? Aku tidak bersalah apa pun, maka tentu saja aku tidak takut!”

“Ha-ha-ha, bagus. Itu suara seorang laki-laki sejati. Orang muda, marilah kita ke lian-bu-thia dan di sana kita melihat sampai dimana kepandaianmu.” kata Toat-beng Kiam-sian.

Makin senang hatinya menyaksikan kegagahan sikap Keng Han. Sebetulnya, pangcu dari Kwi-kiam-pang ini sudah tertarik sekali kepada Keng Han ketika Keng Han mampu menahan sepuluh jurus serangannya, bahkan mampu menangkis Pukulan Halilintar darinya. Karena itu, ketika melihat Keng Han bersama Souw Cu In, dia lalu menyuruh para anggauta Kwi-kiam-pang menggunakan obat peledak dan pembius untuk menangkapnya. Dia bermaksud untuk menjodohkan pemuda ini dengan puterinya, Lo Siu Lan yang selalu menolak pinangan para pemuda karena di antara mereka tidak ada yang mampu menandinginya. Memang kepandaian Siu Lan sudah hebat sekali. Bahkan suhengnya, Gan Bu Tong juga tidak dapat menandinginya!






Keng Han menjadi penasaran sekali. Karena ditantang, maka dia mengikuti mereka menuju ke sebuah ruangan yang luas dan ini merupakan tempat para anggauta Kwi-kiam-pang berlatih silat. Juga dia melihat bahwa anggauta perkumpulan itu banyak sekali, tidak kurang dari lima puluh orang! Agaknya sulit baginya untuk meloloskan diri menggunakan kekerasan karena selain harus menghadapi tiga orang itu, juga harus menghadapi para anggauta Kwi-kiam-pang. Maka dia hendak menebus kebebasannya dalam pertandingannya itu.

Setelah tiba di lian-bu-thia (tempat berlatih silat), Keng Han telah dihadapi oleh Bu Tong yang bersikap angkuh.

“Nah, bersiaplah engkau untuk melawan aku!” kata Bu Tong.

“Nanti dulu.” kata Keng Han lalu menoleh kepada Toat-beng Kiam-sian. “Locianpwe adalah seorang yang berkedudukan tinggi, apakah ucapannya dapat dipercaya?”

Lo Cit membelalakkan matanya, kakek yang kakinya timpang ini marah sekali mendengar pertanyaan itu.

“Bocah sombong, tentu saja ucapanku dapat dipercaya!”

“Nah, kalau begitu, setelah aku dapat mengalahkan pemuda muridmu ini, apakah aku akan dibebaskan dan dibiarkan pergi tanpa diganggu?”

“Heh, nanti dulu. Kalau engkau mampu mengalahkan muridku, engkau harus dapat mengalahkan pula puteriku ini, dan selanjutnya harus mampu bertahan menghadapi aku sampai lima puluh jurus. Kalau sudah begitu barulah engkau tidak akan diganggu lagi bahkan akan kunikahkan dengan puteriku ini. Ha-ha-ha-ha-ha!”

Bukan main kagetnya hati Keng Han mendengar ucapan itu. Dia hendak dinikahkan dengan gadis cantik itu? Sungguh keterlaluan sekali peraturan kakek itu. Dia sendiri tidak ditanya apakah dia suka atau tidak!

“Aku tidak ingin menikah dengan siapapun juga. Aku hanya minta agar aku dibebaskan dan tidak diganggu lagi”.

“Ha-ha-ha, kita lihat saja nanti. Hayo Bu Tong, mulailah dengan seranganmu!” kata Lo Cit sambil tertawa senang.

Gan Bu Tong sudah mencabut pedangnya.
“Sobat, sebutkan dulu namamu agar engkau jangan mati tanpa nama.”

“Namaku Si Keng Han dan aku tidak akan mati melawanmu.”

“Nah, di sudut itu ada rak senjata. Boleh engkau pilih untuk menghadapi pedangku!”

Hmmm, pemuda ini memiliki watak yang gagah juga dan tidak curang, pikir Keng Han. Agaknya mereka ini bukan orang-orang jahat, akan tetapi orang-orang yang suka membawa dan mempertahankan kehendak sendiri.

“Aku tidak membutuhkan senjata-senjata itu. Bahkan aku sendiri juga memiliki sebatang pedang, akan tetapi tidak akan kupergunakan untuk melawanmu. Tangan kakiku sudah cukup untuk kupakai membela diri.” katanya sambil memperlihatkan pedang bengkoknya yang berada di pinggangnya.

“Si Keng Han, engkau sombong, akan tetapi engkau sendiri yang menentukan. Jangan anggap aku keterlaluan melawanmu dengan pedangku!” kata Bu Tong penasaran dan marah karena dia menganggap pemuda itu memandang rendah kepadanya.

Tiba-tiba Lo Siu Lan mencabut pedangnya dan melemparkan pedang itu kepada Keng Han.

“Si Keng Han, pedang Suhengku merupakan senjata ampuh. Semua senjata di rak itu akan patah apabila bertemu dengan pedangnya, maka pakailah pedangku ini!”

Melihat pedang itu melayang ke arahnya, Keng Han menyambutnya, akan tetapi dia berkata kepada gadis itu.

“Terima kasih, Nona. Akan tetapi sungguh aku tidak membutuhkan pedang!”

Dan dia melemparkan kembali pedang itu kepada Siu Lan, lalu menghadapi Bu Tong sambil berseru.

“Aku sudah siap menghadapi seranganmu!”

Gan Bu Tong semakin marah. Perbuatan sumoinya tadi dianggapnya sebagai pukulan baginya. Sumoinya agaknya berpihak kepada pemuda ini!

“Lihat serangan pedangku!” bentaknya dan dia pun mulai manyerang dengan bacokan pedangnya.

Akan tetapi dengan gesitnya Keng Han mengelak. Bacokan dan tusukan susul-menyusul menghujam ke arah tubuh Keng Han, namun dengan ilmu Hong-in Bun-hoat Keng Han selalu dapat mengelak dengan cepat sekali.

Setelah belasan jurus mengelak, barulah dia membalas serangan lawan dengan pukulan-pukulan tangannya yang ampuh. Ketika pedang lawan menyambar ke arah kepalanya, dia malah maju mendekat dan sekali jari tangannya menyentil pedang, pedang itu terlepas dari tangan Bu Tong, mengeluarkan suara nyaring berdenting ketika jatuh ke atas lantai.

Kalau Keng Han menghendaki, saat yang baik itu tentu dapat dia pergunakan untuk merobohkan lawan. Akan tetapi dia tidak mau berbuat demikian, melainkan dia mencokel pedang itu dengan kakinya dan pedang itu melayang ke arah pemiliknya.

Bu Tong menangkap pedangnya dan dengan muka merah sekali dia mengundurkan diri karena setelah pedangnya terlepas dia maklum bahwa dia tidak mampu menandingi Keng Han.

Lo Siu Lan gembira sekali melihat betapa Keng Han dapat mengalahkan suhengnya. Sekali kakinya bergerak, tubuhnya sudah melayang ke depan dan ia berhadapan dengan Keng Han. Sejenak gadis itu mengamati Keng Han dari atas sampai ke bawah seperti orang menaksir seekor kuda yang hendak dibelinya. Hal ini tentu saja membuat Keng Han tersipu dan dia cepat mengangkat tangan memberi hormat kepada gadis itu.

“Nona, diantara kita tidak ada permusuhan, harap suka menghabiskan urusan ini dan biarkan aku pergi dengan aman. Aku sama sekali tidak ingin bermusuhan dengan kalian”.

Lo Siu Lan menjawab dengan suaranya yang merdu,
“Siapa yang hendak bermusuhan? Kami hanya ingin membuktikan sendiri sampai dimana kelihaianmu dan ternyata engkau mampu mengalahkan suheng Gan Bu Tong. Maka, mari kita main-main sebentar. Akan tetapi, perkumpulan kami disebut Kwi-kiam-pang (Perkumpulan Pedang Setan), maka aku pun hanya bisa memainkan pedang. Kalau engkau tetap bertangan kosong, sungguh amat tidak enak bagiku.”

Kembali diam-diam Keng Han memuji. Gadis ini pun selain tidak curang, juga tidak tinggi hati seperti suhengnya.

“Nona, sudah kukatakan tadi bahwa kalau tidak terpaksa sekali aku tidak pernah menggunakan pedangku, cukup dengan tangan kakiku saja. Maka kalau Nona memaksaku untuk bertanding pergunakanlah pedangmu, aku akan membela diri dengan kedua kaki tanganku saja.”

“Bagus, engkau memang seorang pemuda yang berani. Nah, sambutlah pedangku ini, Sobat!”

Lu Siu Lan sudah mencabut pedangnya dan nampak sinar menyambar. Begitu ia melakukan penyerangan terdengar bunyi pedang berdesing dan sinar kilat menusuk ke arah dada Keng Han. Baru gebrakan pertama saja tahulah Keng Han bahwa gadis ini memang lebih lihai dibandingkan suhengnya.

Akan tetapi gerakan yang cepat itu tidak membuat Keng Han bingung karena baginya kecepatan gerakan gadis itu masih belum hebat. Dengan mudahnya dia mengelak dari sambaran pedang. Gadis itu mendesak terus dan pedangnya berkelebatan, kadang menyerang leher, kadang dada dan ada kalanya menyabet ke arah kedua kaki Keng Han. Pemuda ini memperlihatkan kegesitannya. Sampai sepuluh jurus dia mengelak terus, baru pada jurus ke sebelas dia membalas.

Ketika itu pedang di tangan Siu Lan menyambar ke arah dada dengan tusukan kilat. Keng Han miringkan tubuhnya dan menggunakan dua jari tangan kirinya untuk menjepit pedang itu. Siu Lan terkejut bukan main karena pedangnya seperti dijepit jepitan baja saja. Biarpun ia berusaha untuk menariknya, namun pedang itu tidak dapat terlepas dari dua jari tangan Keng Han. Gadis itu menjadi penasaran dan tangan kirinya sudah meluncur untuk menghantam dada lawan.

Keng Han juga menggerakkan tangan kanannya. Dia maklum bahwa gadis ini menggunakan pukulan yang mengandung tenaga sinkang amat kuat, maka dia pun mengerahkan sinkangnya sehingga dari tangan kanannya itu keluar hawa yang sangat panas. Demikian pula pukulan tangan kiri Siu Lan mengandung hawa panas karena gadis ini telah menyerang dengan pukulan Halilintar.

“Desssss....!”

Dua telapak tangan bertemu dan tubuh Siu Lan terhuyung ke belakang karena pada saat itu juga Keng Han melepaskan jepitan jari tangannya dari pedang lawan. Siu Lan cepat mengambil napas panjang untuk menjaga agar dalam dadanya tidak terluka. Akan tetapi ia tahu bahwa dirinya kalah maka ia pun cepat bersembunyi di balik tubuh ayahnya dan mukanya menjadi merah tersipu dan mulutnya tersenyum malu-malu.

Melihat tingkah puterinya, Toat-beng Kiam-sian Lo Cit tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, sekarang engkau baru percaya kepada omongan ayahmu? Si Keng Han, engkau telah mengalahkan anakku Siu Lan, maka mulai sekarang engkau harus menjadi suaminya!”

Keng Han terkejut sekali dan memandang kepada kakek timpang itu dengan alis berkerut.

“Apa maksud Locianpwe? Saya tidak akan menikah dengan siapapun juga!”

“Hemmm, dengarlah Si Keng Han. Anakku menolak semua lamaran orang karena ia sudah bersumpah untuk menikah dengan pria yang dapat mengalahkannya dan engkaulah yang sekarang mengalahkannya.”

“Akan tetapi sejak semula aku tidak menghendaki pertandingan ini. Aku dipaksa. Aku sama sekali bukan bertanding untuk memperoleh kemenangan dan untuk memperoleh jodoh. Maaf, Locian-pwe, aku tidak dapat menerimanya. Dan sekarang, harap kalian suka membiarkan aku pergi dari sini!”

“Ho-ho-ho, tidak demikian mudah, orang muda! Kalau engkau menolak berjodoh dengan puteriku, hal itu berarti engkau telah menghinaku! Dan siapa menghinaku harus mampus! Akan tetapi karena aku menyukaimu, engkau tidak akan kubunuh. Bersiaplah untuk menahan seranganku sampai lima puluh jurus. Kalau selama lima puluh jurus engkau mampu menahan pedang tongkatku, barulah engkau boleh pergi dari tempat ini!”

Tiba-tiba terdengar bentakan, halus.
“Toat-beng Kiam-sian Lo Cit sungguh tidak tahu malu dan mau menghina yang muda!”

Semua orang terkejut dan menengok. Ternyata, tanpa dapat diketahui para anak buah Kwi-kiam-pang, Souw Cu In telah muncul di situ. Toat-beng Kiam-sian, puterinya dan para muridnya tentu saja terkejut dan terheran. Hanya Keng Han yang menjadi girang bukan main.

“Bibi guru telah datang! Kalian tidak akan memaksaku untuk kawin!” katanya dan dia menghampiri Cu In.

Toat-beng Kiam-sian Lo Cit memandang penuh perhatian dan semakin heran mendengar Keng Han menyebut bibi guru kepada seorang gadis yang berpakaian putih dan mukanya bagian bawah tertutup sutera putih! Teringatlah dia kepada Bi-kiam Nio-cu yang dahulu disebut subo oleh pemuda ini. Tahulah dia bahwa gadis bercadar putih ini pun merupakan seorang murid dari Ang Hwa Nio-nio atau sumoi dari Bi-kiam Nio-cu.

“Nona, apakah engkau murid Ang Hwa Nio-nio?” tanyanya.

“Tidak salah, Pangcu. Aku adalah murid subo Ang Hwa Nio-nio dan Si Keng Han ini adalah murid suci-ku, jadi dia masih murid keponakanku sendiri. Sungguh tidak pantas sekali kalau Pangcu (ketua) hendak memaksanya menikah dengan puterimu. Mana ada paksaan kepada seorang pria untuk menikah? Dan engkau telah menantangnya untuk bertanding selama lima puluh jurus. Bukankah ini namanya menghina yang muda? Apakah engkau tidak akan malu kalau hal ini terdengar oleh dunia kang-ouw?”

Wajah Lo Cit menjadi merah sekali. Tak disangkanya bahwa wanita bercadar itu telah mengetahui dan agaknya telah mendengar semua percakapan tadi. Hal ini saja menunjukkan kehebatan ilmu sinkangnya sehingga tak seorang pun tahu akan kehadirannya.

“Bocah bermulut lancang! Siapakah namamu, yang berani bicara seperti Itu kepadaku?” Lo Cit mencoba mengangkat namanya.

“Namaku Souw Cu In, dan memang aku orang biasa saja. Akan tetapi apa yang kau lakukan ini memang memalukan sekali, Pangcu. Pertama, engkau menggunakan bahan peledak yang mengandung racun pembius untuk menangkap Si Keng Han. Kemudian engkau memaksanya menikah dengan puterimu dan yang terakhir engkau baru mau membebaskannya kalau sudah bertanding denganmu selama lima puluh jurus! Sungguh memalukan!”

“Memang sungguh memalukan!” Keng Han ikut-ikutan bicara. “Mana aku mampu menahan serangannya sampai lima puluh jurus? Ini sama saja dengan memaksaku tinggal di sini dan mengawini puterinya yang tidak kucinta. Mana ada aturan begitu, ya, Bibi Guru?”

“Memang tidak ada aturan seperti itu di dunia kang-ouw, kecuali dunianya orang-orang sesat. Tentu Kwi-kiam Pang-cu tidak akan suka disebut orang sesat!” kata lagi Souw Cu In.

Lo Siu Lan menjadi marah sekali. Ia marah karena melihat hubungan yang akrab antara Keng Han dan Cu In. Biarpun mereka mengaku sebagai bibi guru dan murid keponakan, akan tetapi keduanya masih muda dan wanita bercadar itu nampak cantik jelita dan tubuhnya begitu ramping seperti batang pohon liu. Ia merasa cemburu sekali!

“Perempuan hina! Buka cadarmu dan perlihatkan mukamu! Engkau telah berani mencampuri urusan kami!” Berkata demikian, Lo Siu Lan telah mencabut pedangnya.

Souw Cu In mendengus seperti orang mengejek.
“Dan engkau, sungguh tidak malu hendak memaksa seseorang menjadi suamimu!”

“Keparat!”

Lo Siu Lan menyerang dengan pedangnya. Akan tetapi bagaikan bayangan saja, tubuh Souw Cu In telah meloncat ke samping dan tiba-tiba ada sinar putih mencuat dan tahu-tahu pedang di tangan Siu Lan terlibat dan terampas! Siu Lan terkejut dan melompat mundur. Cu In mengambil pedang itu dan melemparkannya kembali kepada Siu Lan.

“Siapa yang keparat masih patut diselidiki!” kata Cu In.

Biarpun marah sekali, Siu Lan tidak berani sembarangan lagi bergerak. Dalam segebrakan saja pedangnya telah terampas! Lo Cit juga kaget melihat hal ini. Gadis bercadar itu lihai bukan main.

“Siapa yang sudah masuk ke sini tidak boleh sembarangan keluar. Kalau Si Keng Han ingin membebaskan diri, dia harus melalui pertandingan denganku. Tidak usah sampai lima puluh jurus, melihat dia masih muda biarlah kuberi waktu....”

“Sepuluh jurus!” kata Keng Han. “Sepuluh jurus sudah merupakan waktu yang lama, melihat aku yang masih begini muda harus melawan Pangcu yang tua dan berpengalaman!”

Toat-beng Kiam-sian tertegun. Dulu pernah dia menyerang pemuda ini sampai sepuluh jurus dan ternyata dia tidak dapat merobohkan. Akan tetapi ketika itu dia tidak menggunakan pedang tongkatnya. Kalau dia menggunakan pedang tongkatnya, mungkin dalam satu atau dua jurus saja dia sudah mampu mengalahkan pemuda itu.

“Keng Han, sepuluh jurus pun sudah terlalu lama. Engkau tidak akan dapat bertahan menghadapi pedangnya walau hanya lima jurus saja!”

Ucapan ini bernada sungguh-sungguh penuh kekhawatiran, padahal sebenarnya merupakan pancingan yang amat cerdik dari Souw Cu In. Gadis ini sudah melihat kelihaian Keng Han yang dapat menandingi seorang datuk besar seperti Swat-hai Lo-kwi. Kalau pemuda itu mampu menandingi Swat-hai Lo-kwi, maka menghadapi Toat-beng Kiam-sian dalam sepuluh jurus saja tidak mungkin dia dikalahkan, apalagi dalam lima jurus. Bahkan mungkin sampai puluhan jurus akan mampu bertahan.

Mendengar ucapan dan melihat sikap Souw Cu In, Toat-beng Kiam-sian membentak,
“Baiklah, sepuluh jurus! Kalau pedangku selama sepuluh jurus belum mampu mengalahkanmu, engkau boleh pergi dari sini tanpa diganggu!”

“Keng Han, berhati-hatilah. Pedang tongkat itu amat lihai sekali!” Kembali Souw Cu In berseru.

“Hayo, orang muda. Kau boleh menggunakan senjata apa pun, boleh kau pilih dari rak senjata itu untuk menghadapi pedangku!” kata kakek itu sambil mengangkat tongkat di tangannya yang dalamnya terisi pedang.

“Lo-pangcu! Keng Han tidak pernah menggunakan senjata, maka kalau kau menggunakan pedang, itu licik sekali namanya!”

“Dia boleh memilih senjata yang disukainya! Aku tidak peduli, dia mau bersenjata atau tidak!” '

“Jangan khawatir, Bibi Guru. Aku memiliki pedangku ini!”

Keng Han mencabut pedang bengkoknya yang selama ini belum pernah dia pakai untuk berkelahi. Akan tetapi, mendengar nasihat Souw Cu In, dia tahu bahwa tentu ilmu pedang kakek timpang itu hebat dan dahsyat, maka kini dia menggunakan pedang pemberian ibunya atau pedang peninggalan ayah kandungnya.

Melihat pemuda itu memegang sebatang pedang bengkok, Gan Bu Tong tertawa.
“Ha-ha-ha, dia memegang sebatang pisau pemotong ayam!” Dia mengejek.

“Diam, Suheng! Engkau sudah dikalahkannya dengan mudah!” kata Lo Siu Lan ketus.

Akan tetapi Toat-beng Kiam-sian memandang rendah pedang bengkok itu.
“Orang muda, bersiaplah menghadapi seranganku!” bentaknya dan pedangnya sudah menyambar bagaikan kilat cepatnya.

“Singgggg....!”

Keng Han terkejut bukan main. Dahsyat sekali pedang itu menyambar, beberapa kali lipat lebih cepat dan kuat daripada pedang yang dimainkan Lo Siu Lan tadi. Akan tetapi dia sudah siap, dengan gerakan tangkas dia mengelak sambil memutar pedang bengkoknya menangkis.

“Tranggg....!”

Nampak bunga api berpercikan dan keduanya merasa betapa tangan yang memegang pedang menjadi panas dan tergetar.

“Jurus pertama....!” Souw Cu In menghitung dengan suara nyaring sekali.

Lo Cit merasa penasaran dan mulailah dia mengayun pedangnya dan menyerang dari segala jurusan dan dengan kecepatan kilat. Memang tidak kosong saja julukannya Dewa Pedang karena memang hebat sekali ilmu pedangnya.

Namun, Keng Han juga memiliki ilmu Hong-in Bun-hoat yang sakti. Dengan berloncatan ke sana-sini dan pedang bengkoknya mencorat-coret menuliskan huruf-huruf, dia dapat menghindarkan diri dari semua serangan kakek itu.

“Jurus ke dua.... ke tiga....ke empat....!” Souw Cu In menghitung terus jurus-jurus yang dimainkan oleh kakek itu.