Gadis itu duduk di bawah pohon, agak jauh dari jalan raya dan tidak nampak dari jalan karena tempat itu agak tertutup oleh hutan kecil yang berada di luar tembok kota raja. Gadis yang usianya sekitar dua puluh tiga tahun itu anggun dan cantik jelita. Pakaiannya indah dan rambutnya digelung tinggi dan dihias tiara kecil. Melihat pakaiannya pantasnya ia seorang puteri bangsawan yang kaya raya. Namun sungguh aneh, ia berada seorang diri di tempat sunyi itu, bahkan lebih aneh lagi, ia duduk termenung dengan air mata mengalir menuruni kedua pipinya.
Kalau orang mengetahui sikap gadis itu, dia tentu dan semakin terheran-heran. Gadis itu adalah puteri ketua Pao-beng-pai yang ketika itu disebut Sang Puteri atau Nona Dewi. Oleh semua anggauta Pao-beng-pai dan bahkan di dunia kang-ouw, ia dikenal sebagai puteri ketua Pao-beng-pai Siangkoan Kok, dan nama gadis itu adalah Siangkoan Eng atau biasa dipanggil ayah ibunya Eng Eng saja.
Akan tetapi, telah terjadi peristiwa hebat yang mendatangkan perubahan besar dan yang membuat Eng Eng kini duduk termenung di bawah pohon itu sambil mencucurkan air mata! Padahal, dahulu sebagai puteri ketua Pao-beng-pai ia dikenal sebagai seorang wanita perkasa yang dingin dan keras, belum pernah menangis! Kalau orang yang pernah mengenalnya melihat ia kini duduk menangis, tentu orang itu akan merasa terkejut dan heran bukan main.
Bagaimana ia tidak akan menangis? Setabah-tabahnya, sekeras-keras hatinya, saat itu Eng Eng dilanda perasaan yang hancur lebur. Ia berduka, kecewa, penuh penasaran dan dendam. Karena membebaskan Yo Han dan Cia Sun, ia hampir dibunuh ayahnya. Kemudian ayahnya menyakiti hati ibunya dengan memaksa Tio Sui Lan, murid ayahnya dan sahabat baiknya, menjadi isteri pengganti ibunya. Sui Lan diperkosa ayahnya tanpa ia dan ibunya dapat berbuat sesuatu!
Dan setelah ia terluka parah oleh pukulan ayahnya, terjadi hal yang lebih hebat lagi, yaitu ibunya membuka rahasia bahwa ayahnya itu, Siangkoan Kok, sebetulnya hanyalah ayah tirinya! Dan ketika ia bertanya kepada ibunya, siapa ayah kandungnya, ibunya marah-marah dan mengatakan bahwa ibunya itu amat membenci ayah kandungnya. Semua peristiwa itu membuat ia merasa sedih bukan main.
Orang yang selama ini dianggap ayahnya sendiri, ternyata orang lain dan amat kejam terhadap ibunya dan terhadap dirinya sendiri. Kemudian, ibunya malah amat membenci ayah kandungnya dan tidak mau memberitahukan siapa nama ayah kandungnya, masih hidup ataukah sudah mati. Semua ini menghancurkan hatinya dan ia pun malam itu juga melarikan diri dari rumah, meninggalkan Pao-beng-pai dan bersembunyi di sebuah gua yang banyak terdapat di Ban-kwi-kok.
Di Lembah Selaksa Setan ini terdapat gua-gua besar yang ditakuti orang, yang menurut tahyul dijadikan tempat tinggal para setan dan iblis. Karena itu, jangankan rakyat biasa, bahkan para anggauta Bankwi-kok sendiri jarang ada yang berani datang, apalagi bermalam di gua-gua itu.
Dalam kedukaannya, Eng Eng tidak mengenal takut. Ia bersembunyi di sebuah gua dan setiap hari dan malam ia hanya duduk bersamadhi, menghimpun tenaga sakti untuk mengobati luka yang diderita akibat pukulan ayah tirinya!
Ayah tirinya amat jahat, hampir membunuhnya, memperkosa Sui Lan, dan menurut ibunya, ayah kandungnya juga amat jahat sehingga dibenci ibunya. Dunia seperti hancur rasanya bagi Eng Eng.
Pada keesokan hatinya, selagi bersamadhi, ia mendengar suara ribut-ribut. Agaknya terjadi pertempuran di Ban-kwi-kok! Kalau saja ia tidak terluka, dan kalau saja ia belum bentrok dengan ayah tirinya, tentu ia akan membela Pao-beng-pai dengan taruhan nyawa.
Akan tetapi, sekali ini ia diam saja, tidak bergerak dan tetap duduk bersila. Ia masih belum pulih, kalau ia bertempur melawan musuh yang agak tangguh saja, ia akan celaka. Selain itu, ia tidak sudi membantu ayah tirinya lagi. Bahkan hatinya condong untuk menentang dan melawan! Kalau saja ia tidak ingat betapa sejak kecil ia dididik dan digembleng oleh ayah tirinya yang ia tahu sayang kepadanya, tentu sekarang ia sudah menganggap ayah tiri itu musuhnya! Karena perasaan itu, ia pun diam saja dan tidak keluar dari dalam gua.
Akan tetapi setelah pertempuran itu berhenti, baru ia teringat akan ibunya! Betapapun ia marah kepada ibunya yang mengatakan membenci ayah kandungnya, tetap saja kini ia mengkhawatirkan ibunya. Ayah kandungnya sakti, juga ibunya memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sehingga mereka akan mampu membela diri dengan baik. Akan tetapi, ia tidak tahu siapa yang melakukan penyerbuan ke Pao-beng-pai dan ia harus melihat bagaimana keadaan ibunya, agar hatinya lega.
Karena keadaan amat sunyi, ia pun keluar dari dalam gua dan pergi ke sarang Pao-beng-pai. Dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat para anggauta Pao-beng-pai banyak yang tewas, sisanya entah lari ke mana. Yang lebih mengejutkan hatinya lagi adalah ketika ia menemukan mayat ibunya dan mayat Sui Lan! Ia menubruk dan menangisi mayat ibunya. Ketika dua orang anggauta Paobeng-pai yang melihat munculnya nona mereka keluar dari tempat persembunyian mereka, Eng Eng bertanya apa yang telah terjadi.
Dua orang anggauta Pao-beng-pai lalu bercerita bahwa pasukan pemerintah datang menyerbu Pao-beng-pai. Tanpa bertanya lagi Eng Eng dengan sendirinya menganggap bahwa Sui Lan dan ibunya tewas di tangan para penyerbu!
“Dan di mana Pangcu (Ketua)?” Ia tidak mau menyebut ayah.
“Kami tidak tahu, Nona. Melihat bahwa tidak ada jenazah Pangcu di sini, tentu beliau telah berhasil menyelamatkan diri.”
“Bagaimana pasukan pemerintah mampu naik ke tempat ini melalui semua jebakan rahasia?” tanyanya penasaran.
“Kami melihat bayangan Cia Ceng Sun yang pernah menjadi tawanan di sini, Nona. Tentu dia yang menjadi penunjuk jalan.”
Eng Eng terkejut, bangkit berdiri dan dengan muka pucat ia mengepal tinju, hatinya berteriak memaki Cia Sun. Tahulah ia. Tentu pangeran Mancu itu yang telah membawa pasukan datang menyerbu! Pangeran itu tentu dahulu datang sebagai mata-mata. Laki-laki berhati palsu! Kelak aku akan membuat perhitungan denganmu, geramnya dalam hati. Dibantu dua orang anggauta Pao-beng-pai itu, Eng Eng lalu mengubur jenazah ibunya dan Sui Lan, di lereng sebuah bukit yang bersih.
Kalau orang mengetahui sikap gadis itu, dia tentu dan semakin terheran-heran. Gadis itu adalah puteri ketua Pao-beng-pai yang ketika itu disebut Sang Puteri atau Nona Dewi. Oleh semua anggauta Pao-beng-pai dan bahkan di dunia kang-ouw, ia dikenal sebagai puteri ketua Pao-beng-pai Siangkoan Kok, dan nama gadis itu adalah Siangkoan Eng atau biasa dipanggil ayah ibunya Eng Eng saja.
Akan tetapi, telah terjadi peristiwa hebat yang mendatangkan perubahan besar dan yang membuat Eng Eng kini duduk termenung di bawah pohon itu sambil mencucurkan air mata! Padahal, dahulu sebagai puteri ketua Pao-beng-pai ia dikenal sebagai seorang wanita perkasa yang dingin dan keras, belum pernah menangis! Kalau orang yang pernah mengenalnya melihat ia kini duduk menangis, tentu orang itu akan merasa terkejut dan heran bukan main.
Bagaimana ia tidak akan menangis? Setabah-tabahnya, sekeras-keras hatinya, saat itu Eng Eng dilanda perasaan yang hancur lebur. Ia berduka, kecewa, penuh penasaran dan dendam. Karena membebaskan Yo Han dan Cia Sun, ia hampir dibunuh ayahnya. Kemudian ayahnya menyakiti hati ibunya dengan memaksa Tio Sui Lan, murid ayahnya dan sahabat baiknya, menjadi isteri pengganti ibunya. Sui Lan diperkosa ayahnya tanpa ia dan ibunya dapat berbuat sesuatu!
Dan setelah ia terluka parah oleh pukulan ayahnya, terjadi hal yang lebih hebat lagi, yaitu ibunya membuka rahasia bahwa ayahnya itu, Siangkoan Kok, sebetulnya hanyalah ayah tirinya! Dan ketika ia bertanya kepada ibunya, siapa ayah kandungnya, ibunya marah-marah dan mengatakan bahwa ibunya itu amat membenci ayah kandungnya. Semua peristiwa itu membuat ia merasa sedih bukan main.
Orang yang selama ini dianggap ayahnya sendiri, ternyata orang lain dan amat kejam terhadap ibunya dan terhadap dirinya sendiri. Kemudian, ibunya malah amat membenci ayah kandungnya dan tidak mau memberitahukan siapa nama ayah kandungnya, masih hidup ataukah sudah mati. Semua ini menghancurkan hatinya dan ia pun malam itu juga melarikan diri dari rumah, meninggalkan Pao-beng-pai dan bersembunyi di sebuah gua yang banyak terdapat di Ban-kwi-kok.
Di Lembah Selaksa Setan ini terdapat gua-gua besar yang ditakuti orang, yang menurut tahyul dijadikan tempat tinggal para setan dan iblis. Karena itu, jangankan rakyat biasa, bahkan para anggauta Bankwi-kok sendiri jarang ada yang berani datang, apalagi bermalam di gua-gua itu.
Dalam kedukaannya, Eng Eng tidak mengenal takut. Ia bersembunyi di sebuah gua dan setiap hari dan malam ia hanya duduk bersamadhi, menghimpun tenaga sakti untuk mengobati luka yang diderita akibat pukulan ayah tirinya!
Ayah tirinya amat jahat, hampir membunuhnya, memperkosa Sui Lan, dan menurut ibunya, ayah kandungnya juga amat jahat sehingga dibenci ibunya. Dunia seperti hancur rasanya bagi Eng Eng.
Pada keesokan hatinya, selagi bersamadhi, ia mendengar suara ribut-ribut. Agaknya terjadi pertempuran di Ban-kwi-kok! Kalau saja ia tidak terluka, dan kalau saja ia belum bentrok dengan ayah tirinya, tentu ia akan membela Pao-beng-pai dengan taruhan nyawa.
Akan tetapi, sekali ini ia diam saja, tidak bergerak dan tetap duduk bersila. Ia masih belum pulih, kalau ia bertempur melawan musuh yang agak tangguh saja, ia akan celaka. Selain itu, ia tidak sudi membantu ayah tirinya lagi. Bahkan hatinya condong untuk menentang dan melawan! Kalau saja ia tidak ingat betapa sejak kecil ia dididik dan digembleng oleh ayah tirinya yang ia tahu sayang kepadanya, tentu sekarang ia sudah menganggap ayah tiri itu musuhnya! Karena perasaan itu, ia pun diam saja dan tidak keluar dari dalam gua.
Akan tetapi setelah pertempuran itu berhenti, baru ia teringat akan ibunya! Betapapun ia marah kepada ibunya yang mengatakan membenci ayah kandungnya, tetap saja kini ia mengkhawatirkan ibunya. Ayah kandungnya sakti, juga ibunya memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sehingga mereka akan mampu membela diri dengan baik. Akan tetapi, ia tidak tahu siapa yang melakukan penyerbuan ke Pao-beng-pai dan ia harus melihat bagaimana keadaan ibunya, agar hatinya lega.
Karena keadaan amat sunyi, ia pun keluar dari dalam gua dan pergi ke sarang Pao-beng-pai. Dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat para anggauta Pao-beng-pai banyak yang tewas, sisanya entah lari ke mana. Yang lebih mengejutkan hatinya lagi adalah ketika ia menemukan mayat ibunya dan mayat Sui Lan! Ia menubruk dan menangisi mayat ibunya. Ketika dua orang anggauta Paobeng-pai yang melihat munculnya nona mereka keluar dari tempat persembunyian mereka, Eng Eng bertanya apa yang telah terjadi.
Dua orang anggauta Pao-beng-pai lalu bercerita bahwa pasukan pemerintah datang menyerbu Pao-beng-pai. Tanpa bertanya lagi Eng Eng dengan sendirinya menganggap bahwa Sui Lan dan ibunya tewas di tangan para penyerbu!
“Dan di mana Pangcu (Ketua)?” Ia tidak mau menyebut ayah.
“Kami tidak tahu, Nona. Melihat bahwa tidak ada jenazah Pangcu di sini, tentu beliau telah berhasil menyelamatkan diri.”
“Bagaimana pasukan pemerintah mampu naik ke tempat ini melalui semua jebakan rahasia?” tanyanya penasaran.
“Kami melihat bayangan Cia Ceng Sun yang pernah menjadi tawanan di sini, Nona. Tentu dia yang menjadi penunjuk jalan.”
Eng Eng terkejut, bangkit berdiri dan dengan muka pucat ia mengepal tinju, hatinya berteriak memaki Cia Sun. Tahulah ia. Tentu pangeran Mancu itu yang telah membawa pasukan datang menyerbu! Pangeran itu tentu dahulu datang sebagai mata-mata. Laki-laki berhati palsu! Kelak aku akan membuat perhitungan denganmu, geramnya dalam hati. Dibantu dua orang anggauta Pao-beng-pai itu, Eng Eng lalu mengubur jenazah ibunya dan Sui Lan, di lereng sebuah bukit yang bersih.
Demikianlah, kini ia berada di luar kota raja, bersembunyi di hutan itu dan menangis. Ia bukan seorang wanita cengeng yang menangisi kematian ibunya berulang kali. Sudah cukup ia menangisi di depan jenazah dan di depan makam sederhana ibunya. Kini ia mencucurkan air mata bukan karena teringat kematian ibunya. Ia menangis karena teringat akan Cia Sun! Ia akan mencari, menangkap dan menyiksa, membunuh Cia Sun!
Akan tetapi, sukar membayangkan bagaimana ia akan dapat melakukan itu. Ia amat mencinta pangeran itu! Mengenangkan sikap manis dan mesra pangeran itu, bagaimana mungkin tangan ini akan mampu melukainya, menyakitinya, apalagi membunuhnya? Inilah yang membuat ia bercucuran air mata menangis!
Senja datang dan suasana semakin sepi. Eng Eng mengepal kedua tangannya.
“Cengeng! Lemah!”
Ia memaki diri sendiri. Bagaimanapun juga, dia adalah musuh besar. Dialah yang menyebabkan Pao-beng-pai runtuh dan terbasmi, bahkan dia pula yang menyebabkan ibuku tewas! Aku bukan membalas dendam untuk Pao-beng-pai, bukan pula membalas dendam untuk Siangkoan Kok, melainkan ia harus membalas dendamnya atas kematian Sui Lan dan ibunya, terutama ibunya. Pangeran Cia Sun harus membayar lunas hutangnya!
Setelah menghapus air mata dan mengeraskan hatinya, Eng Eng memasuki pintu gerbang kota raja sebelah selatan. Karena Ia kelihatan seperti seorang gadis bangsawan atau hartawan, tidak membawa senjata karena senjata istimewanya, yaitu sebatang hud-tim (kebutan) terselip di pinggang, di balik baju, maka para penjaga di pintu gerbang hanya memandang kagum, tidak mengganggunya.
Malam itu gelap. Udara mendung. Gelap dan dingin karena angin malam meniupkan hawa yang lembab. Karena gelap dan dingin, orang-orang lebih suka tinggal di dalam rumah yang lebih hangat dibandingkan hawa di luar. Apalagi di rumah kaum bangsawan dan hartawan, di mana terdapat perapian yang mendatangkan hawa hangat. Kalau tidak mempunyai keperluan yang penting sekali, tidak ada yang mau meninggalkan rumah.
Jalan-jalan raya juga sepi dari lalu lintas. Kesepian itu membantu Eng Eng yang sudah mengenakan pakaian serba hitam. Rambutnya digelung dan diikat ke belakang, tidak disanggul rapi seperti biasa, juga tidak dihias tiara. Pakaiannya yang serba hitam dan ringkas itu membuat gerakannya yang cepat sukar diikuti pandang mata.
Senjata kebutan berbulu merah dan bergagang emas terselip di pinggang depan, dengan bulunya digulung rapi, sedangkan pedang beronce merah tergantung di punggung. Sekuntum jarum hitam juga tergantung di pinggang. Eng Eng kini membekali diri dengan senjata lengkap karena ia hendak menangkap Pangeran Cia Sun di rumah gedung keluarga pangeran itu.
Sore tadi setelah memasuki kota raja, ia telah melakukan penyelidikan dan tidak sukar untuk mendapat keterangan tentang rumah tinggal Pangeran Cia Sun. Sebuah gedung besar dan megah berdiri di sudut kanan kota raja. Itulah tempat tinggal Pangeran Cia Sun dengan keluarga ayahnya, yaitu Pangeran Cia Yan seorang di antara putera-putera Kaisar Kian Liong (1736 - 1796).
Seperti kita ketahui, biarpun secara resmi Pangeran Cia Yan adalah anak angkat Kaisar Kian Liong, yaitu seorang keponakan yang diangkat menjadi putera, namun sesungguhnya, Pangeran Cia Yan adalah putera kaisar itu sendiri, hasil hubungan gelapnya dengan kakak iparnya. Karena itu, biarpun resminya pangeran akuan, atau anak angkat, namun Kaisar Kian Liong menyayangnya seperti anak sendiri. Pangeran Cia Yan tidak dapat diangkat menjadi putera mahkota, namun dia merupakan seorang di antara para pangeran yang disayang kaisar.
Malam itu, di sekitar gedung milik Pangeran Cia Yan juga sunyi. Karena dia sendiri tidak memegang jabatan penting, juga tidak merasa mempunyai musuh, maka gedung tempat tinggal keluarga Pangeran Cia Yan ini tidaklah dijaga ketat seperti tempat kediaman para pangeran lainnya. Hanya ada enam orang yang berjaga malam dan melakukan perondaan di sekitar gedung besar itu untuk menjaga keamanan.
Tentu saja amat mudah bagi Eng Eng untuk menyusup masuk dengan melompati pagar tembok tanpa diketahui para penjaga. Ia melompat pagar tembok belakang dan masuk ke taman bunga yang terpelihara rapi. Sambil menyelinap di antara pohon dan semak bunga, ia menghampiri bangunan besar dan beberapa menit kemudian, ia sudah dapat meloncat ke atas genteng dan melakukan pengintaian dari atas.
Lampu-lampu di luar genteng sudah banyak yang dipadamkan sehingga gerakan Eng Eng tidak dapat terlihat ketika ia berkelebatan di atas genteng. Dengan cara mengintai dari atas, akhirnya ia mendengar percakapan di bawah yang dilakukan dengan suara keras. Jantungnya berdebar tegang ketika ia mendengar suara Pangeran Cia Sun! Suara yang lembut namun kuat.
“Ayah dan Ibu, sekali lagi saya mohon maaf, bukan sekali-kali saya ingin membantah dan tidak menaati perintah Ayah dan Ibu. Bukan sekali-kali saya menolak karena menganggap pilihan Ayah dan Ibu kurang baik untuk saya. Sama sekali tidak! Saya telah mendengar tentang Si Bangau Merah, mendengar bahwa ia seorang pendekar wanita yang berkepandaian tinggi, berwatak gagah perkasa dan berbudi baik, juga ia cantik jelita, keturunan keluarga pendekar sakti yang terkenal.”
“Nah, mau apalagi? Engkau sendiri bilang, ia keturunan pendekar besar, ia gagah perkasa, berbudi baik dan cantik jelita. Apakah semua itu belum memenuhi syarat bagimu untuk menjadi isterimu?” terdengar suara Pangeran Cia Yan, ayah pemuda itu membentak.
“Benar sekali kata Ayahmu, anakku. Selain gadis itu amat baik bagimu, juga kami telah mengikat janji dengan orang tuanya, yaitu Pendekar Bangau Putih dan isterinya. Masih kurang apakah Si Bangau Merah itu, anakku?”
Kalau tadinya Eng Eng yang mendengar semua itu sudah merasa gemas dan ingin segera menangkap orang yang menyebabkan kehancuran Pao-beng-pai dan terutama kematian ibunya, kini mendengar apa yang dipercakapkan, dia tertarik sekali dan ingin ia mendengar apa yang akan dikatakan pangeran itu tentang ikatan jodoh. Ia sendiri tentu saja tadinya mencinta pangeran itu dan mengharapkan menjadi isterinya, dan tentu ia akan marah sekali kalau mendengar pangeran itu akan menikah dengan orang lain.
Akan tetapi sekarang keadaannya sudah berbeda. Ia tidak mungkin menjadi isteri Cia Sun, dan tidak semestinya mencintanya, bahkan sepatutnya membencinya karena pria yang tadinya menjadi kekasihnya itu sekarang telah menjadi musuh besarnya. Biarpun ia tidak peduli lagi apakah pangeran itu akan menikah dengan gadis lain ataukah tidak, tetap saja ia tidak dapat membohongi hatinya sendiri. Ia ingin sekali mengetahui apa jawaban pangeran itu dan bagaimana isi hatinya! Maka, ia pun mendengarkan dengan jantung berdebar tegang.
“Sebagai seorang gadis, memang harus saya akui bahwa Si Bangau Merah itu baik dan tidak ada kekurangannya, Ayah dan Ibu. Akan tetapi untuk menjadi isteriku, ia memiliki kekurangan besar sekali artinya, yaitu ia tidak memiliki cinta! Saya tidak mencintanya dan ia pun tidak mencintaku. Dan saya hanya mau menikah dengan gadis yang saya cinta!”
Eng Eng merasa betapa kedua kakinya gemetar dan ia mengerahkan tenaga untuk melawannya karena ia tidak ingin gerakan tubuhnya terdengar orang. Ucapan pangeran itu terasa begitu nyaman di hatinya, seolah-olah hatinya dibelai oleh tangan yang lembut. Dia musuh besarku, aku benci dia, demikian dengan pengerahan tenaga Eng Eng melawan perasaan hatinya sendiri dan mendengarkan terus.
“Omong kosong!” kata sang ayah. “Kalau kalian sudah saling bertemu dan saling bergaul, cinta itu akan datang dengan sendirinya. Ia cantik dan engkau tampan, kalian sama-sama suka ilmu silat, kalau kalian saling bergaul, pasti kalian akan saling jatuh cinta.”
“Itu mungkin saja kalau saya belum jatuh cinta kepada orang lain, Ayah. Akan tetapi saya telah mencinta seorang gadis lain, dan saya hanya mau menikah dengan gadis yang saya cinta itu.”
Kini kedua kaki Eng Eng menggigil dan hampir saja ia tak mampu bertahan lagi. Ia memejamkan mata, menahan napas dan dengan susah payah baru berhasil menguasai jantungnya yang melonjak-lonjak mendengar pengakuan itu.
“Dia musuhku, aku benci padanya, dia musuhku!” demikian berulang-ulang ia melawan gejolak hatinya sendiri, dan ia mendengarkan terus.
“Kalau engkau jatuh cinta kepada gadis lain, hal itu pun tidak menjadi persoalan. Engkau menikah dengan Si Bangau Merah, dan gadis yang kau cinta itu menjadi selirmu.“ kata sang ibu.
“Maaf, Ibu. Saya tidak mau mempunyai selir!”
“Hemmm, apa salahnya dengan itu?” bantah ayahnya. “Engkau seorang pangeran, sudah sepatutnya mempunyai selir. Semua pangeran di sini mempunyai selir, tidak hanya seorang malah.”
“Akan tetapi saya tidak, Ayah. Saya hanya mencinta gadis itu, dan saya tidak mau menikah dengan wanita lain.” Pangeran itu berkeras.
“Aihhh, engkau keras kepala, Cia Sun. Siapa sih gadis yang telah menjatuhkan hatimu seperti ini? Siapa namanya?” tanya sang ibu.
Di atas genteng, di luar kehendaknya sendiri, Eng Eng menerawang dan matanya setengah terpejam, mulutnya tersenyum simpul, hatinya senang sekali. Semua ucapan pangeran itu terdengar olehnya bagaikan sebuah lagu yang amat merdu. Dan ia mendengarkan terus, siap untuk memperkembangkan senyumnya mendengar ibu pangeran itu menanyakan namanya!
“Ibu, gadis yang saya cinta itu, yang saya pilih untuk menjadi calon isteri saya, ia she (bermarga) Sim dan namanya Hui Eng.”
Terdengar gerakan di atas genting, Cia Sun mendengar suara itu akan tetapi dia mengira itu suara kucing. Ketika mendengar disebutnya nama itu, seketika wajah yang tadinya tersenyum itu menjadi pucat, senyumnya berubah menjadi ternganga, matanya terbelalak. Kemudian wajah yang pucat itu berubah kemerahan dan kedua tangannya dikepal.
“Jahanam keparat kau!” bentaknya di dalam hatinya dan kini kebenciannya terhadap Cia Sun memuncak. “Engkau membohongi aku, engkau merayu dan menipuku!”
Sekarang ia mengerti. Cia Sun telah menyelundup ke dalam Pao-beng-pai, untuk menyelidiki keadaan perkumpulan itu dan ketika orang mulai mencurigainya, dengan ketampanan dan kehalusan budinya, pangeran itu merayunya dan menjatuhkan hatinya. Semua itu palsu! Semua itu hanya untuk berhasil dalam tugasnya sebagai mata-mata. Pangeran itu telah mempunyai seorang kekasih yang akan dijadikan isterinya. Namanya Sim Hui Eng! Keparat! dan dia masih berani berpura-pura meminangku!
“Jahanam kau!”
Eng Eng tidak dapat menahan lagi kemarahannya dan beberapa kali loncatan membuat ia berada di luar jendela ruangan di mana pangeran dan ayah ibunya bercakap-cakap. Ia mengerahkan tenaga dan menerjang daun jendela.
“Brakkk....!”
Daun jendela pecah berantakan dan Eng Eng sudah berdiri di depan pangeran itu yang terbelalak memandang kepadanya.
“Kau....!” seru Cia Sun, akan tetapi pada saat itu, dari jarak dekat, selagi pangeran itu tertegun karena sama sekali tidak pernah menyangka akan bertemu dalam keadaan seperti itu dengan kekasihnya.
Eng Eng menggerakkan tangan kirinya dan dua batang jarum hitam menyambar cepat, mengenai kedua pundak Cia Sun.
“Ahhhhh....!”
Pemuda itu mengeluh dan roboh terpelanting. Sebelum tubuhnya terbanting, dengan cepat Eng Eng sudah menggerakkan tubuhnya, lengan kirinya mengempit tubuh Cia Sun yang terkulai lemas dan sekali meloncat, dia sudah keluar dari rongga jendela yang berlubang.
Suami isteri yang tadinya terbelalak itu, baru sempat berteriak-teriak melihat betapa putera mereka diculik seorang wanita yang cantik dan berpakaian serba hitam.
“Tolong....! Pangeran diculik....!” teriak isteri Pangeran Cia Yan.
“Tangkap penculik! Tangkap penjahat!”
Pangeran Cia Yan juga berteriak-teriak. Suami isteri itu mencoba untuk mengejar lewat pintu.
Akan tetapi, dua orang penjaga yang mencoba untuk menghalangi bayangan hitam yang mengempit tubuh Pangeran Cia Sun, roboh oleh tendangan Eng Eng dan gadis itu pun menghilang dalam kegelapan malam.
Karena malam itu sunyi, gelap dan dingin, maka tidak sukar bagi Eng Ehg untuk melarikan Cia Sun dari rumahnya. Sejenak pemuda itu sendiri tertegun dan bingung. Kedua pundaknya terasa panas sekali dan tubuhnya lemas. Akan tetapi dia menahan rasa nyeri itu dan setelah gadis itu tidak berlari lagi, dia berkata dengan heran.
“Bukankah engkau Eng-moi? Eng-moi, kenapa kau lakukan ini kepadaku?”
Eng Eng diam saja, tidak menjawab, ia sedang memikirkan bagaimana dapat membawa pangeran ini keluar dari kota raja. Sebentar lagi, kota raja tentu akan penuh dengan pasukan yang melakukan pengejaran dan pencarian. Untuk keluar begitu saja dari pintu gerbang sambil mengempit tubuh Pangeran Cia-Sun, tentu menimbulkan kecurigaan dan ia akan segera dikepung perajurit.
Sementara itu, Pangeran Cia Sun berpikir, apa yang membuat orang yang dicintainya dan yang dia tahu juga mencintanya kini bersikap seperti ini, bahkan tega untuk melukainya dan menculiknya. Dan dia pun teringat. Ketika terjadi penyerbuan ke Pao-beng-pai oleh pasukan pemerintah, dia pun nampak di antara para penyerbu. Tentu Eng Eng mengira bahwa dia yang membawa pasukan itu melakukan penyerbuan.
“Eng-moi, engkau hendak membalas dendam atas penyerbuan ke Pao-beng-pai? Eng-moi, bukan.... bukan aku yang melakukan. Engkau salah duga. Mari kita bicara baik-baik dan kau dengarkan semua keteranganku.”
Mendengar ucapan ini, Eng Eng mendapatkan akal untuk dapat membawa keluar pangeran ini dari kota raja tanpa kesulitan. Ia harus dapat membawa pangeran ini keluar. Ia akan menyiksanya, memaksanya mengakui dosanya dan ia akan membunuh pangeran ini di depan makam ibunya!
“Aku memang ingin bicara denganmu, di luar kota raja. Kalau engkau membawaku keluar dari pintu gerbang, aku mau bicara denganmu di sana. Kalau tidak, aku akan membunuhmu di sini juga tanpa banyak cakap lagi.”
Cia Sun bergidik. Dia tidak takut mati. Biarpun dia seorang pangeran, namun dia berjiwa pendekar dan kematian bukan sesuatu yang menakutkan baginya. Yang membuat dia merasa ngeri adalah sikap dan suara gadis yang dicintanya itu. Begitu tidak wajar, begitu dingin dan penuh ancaman maut! Dia dapat menduga bahwa gadis itu tentu sedang dibakar api dendam dan kebencian.
“Baiklah, Eng-moi. Bebaskan totokanmu dan hentikan kenyerian ini agar tidak ada orang curiga. Aku akan mencari dua ekor kuda untuk kita.”
“Jangan mengira engkau akan dapat lari dariku, sebelum kau lari, aku akan membunuhnya!” kata Eng Eng, kemudian dia memberi sebuah pil merah untuk ditelan oleh Cia Sun setelah ia membebaskan totokannya.
Setelah menelan pil itu, Cia Sun tidak begitu menderita lagi. Kebetulan ada serombongan penjaga keamanan kota terdiri dari enam orang menunggang kuda datang dari depan. Cia Sun cepat memberi isyarat kepada rombongan berkuda. Ketika mereka telah dekat dan melihat siapa yang menahan mereka, enam orang itu terkejut, turun dari atas kuda dan memberi hormat kepada Pangeran Cia Sun.
“Kami membutuhkan dua ekor kuda, berikan dua ekor yang terbaik” kata pangeran itu.
Enam orang itu tergopoh memilihkan dua ekor kuda dan Cia Sun segera mengajak Eng Eng untuk menunggang kuda dan segera melarikan kuda ke pintu gerbang selatan seperti dikehendaki Eng Eng.
Sejam kemudian, kota raja geger karena Pangeran Cia Yan minta bantuan pasukan keamanan untuk menangkap penculik yang melarikan Pangeran Cia Sun. Terjadilah geger dan kekacauan, apalagi ketika ada perajurit yang melapor bahwa Pangeran Cia Sun tidak diculik, melainkan pergi dengan suka rela bersama seorang yang berpakaian hitam, bahkan pangeran itu sendiri yang minta dua ekor kuda kepada rombongan perajurit dan menunggang kuda keluar dari pintu gerbang selatan.
Tentu saja berita ini membuat para perwira yang memimpin pengejaran itu menjadi bingung dan ragu. Bagaimana kalau Pangeran Cia Sun tidak diculik melainkan pergi dengan suka rela? Tentu pangeran itu akan marah kalau pasukan melakukan pengejaran. Karena kebingungan inilah maka pengejaran dilakukan setengah hati, dan andaikata mereka dapat bertemu Pangeran Cia Sun, tentu mereka tidak akan berani lancang menangkap gadis berpakaian hitam seperti diperintahkan Pangeran Cia Yan. Mereka tentu akan melihat bagaimana sikap Pangeran Muda Cia Sun.
Karena memang sudah merencanakan lebih dahulu, tanpa ragu-ragu Eng Eng mengajak pangeran itu memasuki hutan kecil di mana tadi ia menangis, dan mereka lalu turun dari atas kuda, menambatkan kuda dan membiarkan dua ekor kuda itu makan rumput.
Karena tubuhnya masih terasa sakit akibat tusukan dua batang jarum di pundaknya, jarum-jarum hitam yang mengandung racun, Cia Sun lalu menjatuhkan diri di atas rumput, memandang kepada gadis itu yang berdiri memandangnya dengan sinar mata yang bernyala-nyala. Biarpun tempat itu gelap, namun Cia Sun seolah-olah dapat melihat sepasang mata yang memandang marah itu.
Malam masih amat dingin, akan tetapi mendung telah tersapu angin dan langit kini nampak bersih dengan sinar bulan sepotong sehingga mereka dapat saling melihat, walaupun hanya remang-remang.
“Nah, katakanlah. Eng-moi, apa artinya semua ini? Benarkah dugaanku tadi bahwa engkau marah kepadaku karena mengira aku yang memimpin pasukan menyerbu Pao-beng-pai?”
Sejak tadi Eng Eng menahan kemarahannya terutama kemarahan karena mendengar percakapan antara pangeran itu dan orang tuanya tadi. Kini, kemarahannya meledak!
“Engkau manusia paling busuk di dunia! Engkau manusia palsu, jahanam keparat yang berbudi rendah!”
“Silakan memaki dan mencaci, bahkan engkau boleh saja membunuhku, Eng-moi, akan tetapi, setidaknya jelaskan dulu mengapa engkau begini marah kepadaku, agar andaikata engkau membunuhku, aku tidak akan mati penasaran.
“Huh, tidak perlu engkau merayuku lagi dengan omonganmu yang seperti madu berbisa! Engkaulah yang membuat banyak orang mati penasaran, termasuk ibuku dan Tio Sui Lan! Engkau menyamar, menyelundup ke Pao-beng-pai untuk memata-matai Pao-beng-pai. Engkau bahkan merayuku sehingga aku terbujuk dan membebaskanmu, mengkhianati Pao-bengpai sendiri. Ternyata engkau hanya palsu, engkau mempermainkan aku, engkau memimpin pasukan membasmi Pao-bengpai, membunuhi keluargaku! Engkau sungguh keji, kejam dan curang!” Suara Eng Eng terkandung isak tangis.
“Hemmm, kalau begitu tepat dugaanku. Engkau marah kepadaku karena mengira aku yang memimpin pasukan menyerbu Pao-beng-pai. Semua itu tidak benar, Eng-moi! Aku tidak memimpin pasukan itu! Baru sebentar aku pergi, bagaimana aku dapat mengumpulkan pasukan besar untuk menyerbu Pao-beng-pai? Tidak, aku tidak mengerahkan pasukan itu. Aku mendengar bahwa ada pasukan yang pergi menyerbu Pao-bengpai, karena tempatnya sudah diketahui. Ketika Pao-beng-pai mengadakan pertemuan itu, di antara para tamu terdapat orang-orang yang menentang dan merekalah yang memberi laporan kepada pemerintah. Panglima Ciong yang memimpin pasukan itu menyerbu, dan aku menyusul cepat untuk menyelamatkan engkau dan ibumu.”
“Omong kosong! Rayuan gombal! Siapa dapat percaya? Kalau bukan engkau yang menjadi penunjuk jalan, bagaimana mungkin pasukan dapat naik ke Lembah Selaksa Setan, dapat melampaui semua jebakan dan membasmi Pao-beng-pai? Tidak perlu engkau mencoba untuk membohongi aku lagi!” Saking marahnya, tubuh Eng Eng bergerak, tangannya menyambar ke arah dada Cia Sun.
“Bukkk!”
Pukulan tangan terbuka itu keras sekali dan tubuh Cia Sun terjengkang dan terguling-guling. Eng Eng mengejar dan kembali tangannya menampar ke arah kepala orang yang sudah rebah di atas tanah itu. Akan tetapi tangan itu tertahan di udara, tidak jadi memukul.
Akan tetapi, sukar membayangkan bagaimana ia akan dapat melakukan itu. Ia amat mencinta pangeran itu! Mengenangkan sikap manis dan mesra pangeran itu, bagaimana mungkin tangan ini akan mampu melukainya, menyakitinya, apalagi membunuhnya? Inilah yang membuat ia bercucuran air mata menangis!
Senja datang dan suasana semakin sepi. Eng Eng mengepal kedua tangannya.
“Cengeng! Lemah!”
Ia memaki diri sendiri. Bagaimanapun juga, dia adalah musuh besar. Dialah yang menyebabkan Pao-beng-pai runtuh dan terbasmi, bahkan dia pula yang menyebabkan ibuku tewas! Aku bukan membalas dendam untuk Pao-beng-pai, bukan pula membalas dendam untuk Siangkoan Kok, melainkan ia harus membalas dendamnya atas kematian Sui Lan dan ibunya, terutama ibunya. Pangeran Cia Sun harus membayar lunas hutangnya!
Setelah menghapus air mata dan mengeraskan hatinya, Eng Eng memasuki pintu gerbang kota raja sebelah selatan. Karena Ia kelihatan seperti seorang gadis bangsawan atau hartawan, tidak membawa senjata karena senjata istimewanya, yaitu sebatang hud-tim (kebutan) terselip di pinggang, di balik baju, maka para penjaga di pintu gerbang hanya memandang kagum, tidak mengganggunya.
Malam itu gelap. Udara mendung. Gelap dan dingin karena angin malam meniupkan hawa yang lembab. Karena gelap dan dingin, orang-orang lebih suka tinggal di dalam rumah yang lebih hangat dibandingkan hawa di luar. Apalagi di rumah kaum bangsawan dan hartawan, di mana terdapat perapian yang mendatangkan hawa hangat. Kalau tidak mempunyai keperluan yang penting sekali, tidak ada yang mau meninggalkan rumah.
Jalan-jalan raya juga sepi dari lalu lintas. Kesepian itu membantu Eng Eng yang sudah mengenakan pakaian serba hitam. Rambutnya digelung dan diikat ke belakang, tidak disanggul rapi seperti biasa, juga tidak dihias tiara. Pakaiannya yang serba hitam dan ringkas itu membuat gerakannya yang cepat sukar diikuti pandang mata.
Senjata kebutan berbulu merah dan bergagang emas terselip di pinggang depan, dengan bulunya digulung rapi, sedangkan pedang beronce merah tergantung di punggung. Sekuntum jarum hitam juga tergantung di pinggang. Eng Eng kini membekali diri dengan senjata lengkap karena ia hendak menangkap Pangeran Cia Sun di rumah gedung keluarga pangeran itu.
Sore tadi setelah memasuki kota raja, ia telah melakukan penyelidikan dan tidak sukar untuk mendapat keterangan tentang rumah tinggal Pangeran Cia Sun. Sebuah gedung besar dan megah berdiri di sudut kanan kota raja. Itulah tempat tinggal Pangeran Cia Sun dengan keluarga ayahnya, yaitu Pangeran Cia Yan seorang di antara putera-putera Kaisar Kian Liong (1736 - 1796).
Seperti kita ketahui, biarpun secara resmi Pangeran Cia Yan adalah anak angkat Kaisar Kian Liong, yaitu seorang keponakan yang diangkat menjadi putera, namun sesungguhnya, Pangeran Cia Yan adalah putera kaisar itu sendiri, hasil hubungan gelapnya dengan kakak iparnya. Karena itu, biarpun resminya pangeran akuan, atau anak angkat, namun Kaisar Kian Liong menyayangnya seperti anak sendiri. Pangeran Cia Yan tidak dapat diangkat menjadi putera mahkota, namun dia merupakan seorang di antara para pangeran yang disayang kaisar.
Malam itu, di sekitar gedung milik Pangeran Cia Yan juga sunyi. Karena dia sendiri tidak memegang jabatan penting, juga tidak merasa mempunyai musuh, maka gedung tempat tinggal keluarga Pangeran Cia Yan ini tidaklah dijaga ketat seperti tempat kediaman para pangeran lainnya. Hanya ada enam orang yang berjaga malam dan melakukan perondaan di sekitar gedung besar itu untuk menjaga keamanan.
Tentu saja amat mudah bagi Eng Eng untuk menyusup masuk dengan melompati pagar tembok tanpa diketahui para penjaga. Ia melompat pagar tembok belakang dan masuk ke taman bunga yang terpelihara rapi. Sambil menyelinap di antara pohon dan semak bunga, ia menghampiri bangunan besar dan beberapa menit kemudian, ia sudah dapat meloncat ke atas genteng dan melakukan pengintaian dari atas.
Lampu-lampu di luar genteng sudah banyak yang dipadamkan sehingga gerakan Eng Eng tidak dapat terlihat ketika ia berkelebatan di atas genteng. Dengan cara mengintai dari atas, akhirnya ia mendengar percakapan di bawah yang dilakukan dengan suara keras. Jantungnya berdebar tegang ketika ia mendengar suara Pangeran Cia Sun! Suara yang lembut namun kuat.
“Ayah dan Ibu, sekali lagi saya mohon maaf, bukan sekali-kali saya ingin membantah dan tidak menaati perintah Ayah dan Ibu. Bukan sekali-kali saya menolak karena menganggap pilihan Ayah dan Ibu kurang baik untuk saya. Sama sekali tidak! Saya telah mendengar tentang Si Bangau Merah, mendengar bahwa ia seorang pendekar wanita yang berkepandaian tinggi, berwatak gagah perkasa dan berbudi baik, juga ia cantik jelita, keturunan keluarga pendekar sakti yang terkenal.”
“Nah, mau apalagi? Engkau sendiri bilang, ia keturunan pendekar besar, ia gagah perkasa, berbudi baik dan cantik jelita. Apakah semua itu belum memenuhi syarat bagimu untuk menjadi isterimu?” terdengar suara Pangeran Cia Yan, ayah pemuda itu membentak.
“Benar sekali kata Ayahmu, anakku. Selain gadis itu amat baik bagimu, juga kami telah mengikat janji dengan orang tuanya, yaitu Pendekar Bangau Putih dan isterinya. Masih kurang apakah Si Bangau Merah itu, anakku?”
Kalau tadinya Eng Eng yang mendengar semua itu sudah merasa gemas dan ingin segera menangkap orang yang menyebabkan kehancuran Pao-beng-pai dan terutama kematian ibunya, kini mendengar apa yang dipercakapkan, dia tertarik sekali dan ingin ia mendengar apa yang akan dikatakan pangeran itu tentang ikatan jodoh. Ia sendiri tentu saja tadinya mencinta pangeran itu dan mengharapkan menjadi isterinya, dan tentu ia akan marah sekali kalau mendengar pangeran itu akan menikah dengan orang lain.
Akan tetapi sekarang keadaannya sudah berbeda. Ia tidak mungkin menjadi isteri Cia Sun, dan tidak semestinya mencintanya, bahkan sepatutnya membencinya karena pria yang tadinya menjadi kekasihnya itu sekarang telah menjadi musuh besarnya. Biarpun ia tidak peduli lagi apakah pangeran itu akan menikah dengan gadis lain ataukah tidak, tetap saja ia tidak dapat membohongi hatinya sendiri. Ia ingin sekali mengetahui apa jawaban pangeran itu dan bagaimana isi hatinya! Maka, ia pun mendengarkan dengan jantung berdebar tegang.
“Sebagai seorang gadis, memang harus saya akui bahwa Si Bangau Merah itu baik dan tidak ada kekurangannya, Ayah dan Ibu. Akan tetapi untuk menjadi isteriku, ia memiliki kekurangan besar sekali artinya, yaitu ia tidak memiliki cinta! Saya tidak mencintanya dan ia pun tidak mencintaku. Dan saya hanya mau menikah dengan gadis yang saya cinta!”
Eng Eng merasa betapa kedua kakinya gemetar dan ia mengerahkan tenaga untuk melawannya karena ia tidak ingin gerakan tubuhnya terdengar orang. Ucapan pangeran itu terasa begitu nyaman di hatinya, seolah-olah hatinya dibelai oleh tangan yang lembut. Dia musuh besarku, aku benci dia, demikian dengan pengerahan tenaga Eng Eng melawan perasaan hatinya sendiri dan mendengarkan terus.
“Omong kosong!” kata sang ayah. “Kalau kalian sudah saling bertemu dan saling bergaul, cinta itu akan datang dengan sendirinya. Ia cantik dan engkau tampan, kalian sama-sama suka ilmu silat, kalau kalian saling bergaul, pasti kalian akan saling jatuh cinta.”
“Itu mungkin saja kalau saya belum jatuh cinta kepada orang lain, Ayah. Akan tetapi saya telah mencinta seorang gadis lain, dan saya hanya mau menikah dengan gadis yang saya cinta itu.”
Kini kedua kaki Eng Eng menggigil dan hampir saja ia tak mampu bertahan lagi. Ia memejamkan mata, menahan napas dan dengan susah payah baru berhasil menguasai jantungnya yang melonjak-lonjak mendengar pengakuan itu.
“Dia musuhku, aku benci padanya, dia musuhku!” demikian berulang-ulang ia melawan gejolak hatinya sendiri, dan ia mendengarkan terus.
“Kalau engkau jatuh cinta kepada gadis lain, hal itu pun tidak menjadi persoalan. Engkau menikah dengan Si Bangau Merah, dan gadis yang kau cinta itu menjadi selirmu.“ kata sang ibu.
“Maaf, Ibu. Saya tidak mau mempunyai selir!”
“Hemmm, apa salahnya dengan itu?” bantah ayahnya. “Engkau seorang pangeran, sudah sepatutnya mempunyai selir. Semua pangeran di sini mempunyai selir, tidak hanya seorang malah.”
“Akan tetapi saya tidak, Ayah. Saya hanya mencinta gadis itu, dan saya tidak mau menikah dengan wanita lain.” Pangeran itu berkeras.
“Aihhh, engkau keras kepala, Cia Sun. Siapa sih gadis yang telah menjatuhkan hatimu seperti ini? Siapa namanya?” tanya sang ibu.
Di atas genteng, di luar kehendaknya sendiri, Eng Eng menerawang dan matanya setengah terpejam, mulutnya tersenyum simpul, hatinya senang sekali. Semua ucapan pangeran itu terdengar olehnya bagaikan sebuah lagu yang amat merdu. Dan ia mendengarkan terus, siap untuk memperkembangkan senyumnya mendengar ibu pangeran itu menanyakan namanya!
“Ibu, gadis yang saya cinta itu, yang saya pilih untuk menjadi calon isteri saya, ia she (bermarga) Sim dan namanya Hui Eng.”
Terdengar gerakan di atas genting, Cia Sun mendengar suara itu akan tetapi dia mengira itu suara kucing. Ketika mendengar disebutnya nama itu, seketika wajah yang tadinya tersenyum itu menjadi pucat, senyumnya berubah menjadi ternganga, matanya terbelalak. Kemudian wajah yang pucat itu berubah kemerahan dan kedua tangannya dikepal.
“Jahanam keparat kau!” bentaknya di dalam hatinya dan kini kebenciannya terhadap Cia Sun memuncak. “Engkau membohongi aku, engkau merayu dan menipuku!”
Sekarang ia mengerti. Cia Sun telah menyelundup ke dalam Pao-beng-pai, untuk menyelidiki keadaan perkumpulan itu dan ketika orang mulai mencurigainya, dengan ketampanan dan kehalusan budinya, pangeran itu merayunya dan menjatuhkan hatinya. Semua itu palsu! Semua itu hanya untuk berhasil dalam tugasnya sebagai mata-mata. Pangeran itu telah mempunyai seorang kekasih yang akan dijadikan isterinya. Namanya Sim Hui Eng! Keparat! dan dia masih berani berpura-pura meminangku!
“Jahanam kau!”
Eng Eng tidak dapat menahan lagi kemarahannya dan beberapa kali loncatan membuat ia berada di luar jendela ruangan di mana pangeran dan ayah ibunya bercakap-cakap. Ia mengerahkan tenaga dan menerjang daun jendela.
“Brakkk....!”
Daun jendela pecah berantakan dan Eng Eng sudah berdiri di depan pangeran itu yang terbelalak memandang kepadanya.
“Kau....!” seru Cia Sun, akan tetapi pada saat itu, dari jarak dekat, selagi pangeran itu tertegun karena sama sekali tidak pernah menyangka akan bertemu dalam keadaan seperti itu dengan kekasihnya.
Eng Eng menggerakkan tangan kirinya dan dua batang jarum hitam menyambar cepat, mengenai kedua pundak Cia Sun.
“Ahhhhh....!”
Pemuda itu mengeluh dan roboh terpelanting. Sebelum tubuhnya terbanting, dengan cepat Eng Eng sudah menggerakkan tubuhnya, lengan kirinya mengempit tubuh Cia Sun yang terkulai lemas dan sekali meloncat, dia sudah keluar dari rongga jendela yang berlubang.
Suami isteri yang tadinya terbelalak itu, baru sempat berteriak-teriak melihat betapa putera mereka diculik seorang wanita yang cantik dan berpakaian serba hitam.
“Tolong....! Pangeran diculik....!” teriak isteri Pangeran Cia Yan.
“Tangkap penculik! Tangkap penjahat!”
Pangeran Cia Yan juga berteriak-teriak. Suami isteri itu mencoba untuk mengejar lewat pintu.
Akan tetapi, dua orang penjaga yang mencoba untuk menghalangi bayangan hitam yang mengempit tubuh Pangeran Cia Sun, roboh oleh tendangan Eng Eng dan gadis itu pun menghilang dalam kegelapan malam.
Karena malam itu sunyi, gelap dan dingin, maka tidak sukar bagi Eng Ehg untuk melarikan Cia Sun dari rumahnya. Sejenak pemuda itu sendiri tertegun dan bingung. Kedua pundaknya terasa panas sekali dan tubuhnya lemas. Akan tetapi dia menahan rasa nyeri itu dan setelah gadis itu tidak berlari lagi, dia berkata dengan heran.
“Bukankah engkau Eng-moi? Eng-moi, kenapa kau lakukan ini kepadaku?”
Eng Eng diam saja, tidak menjawab, ia sedang memikirkan bagaimana dapat membawa pangeran ini keluar dari kota raja. Sebentar lagi, kota raja tentu akan penuh dengan pasukan yang melakukan pengejaran dan pencarian. Untuk keluar begitu saja dari pintu gerbang sambil mengempit tubuh Pangeran Cia-Sun, tentu menimbulkan kecurigaan dan ia akan segera dikepung perajurit.
Sementara itu, Pangeran Cia Sun berpikir, apa yang membuat orang yang dicintainya dan yang dia tahu juga mencintanya kini bersikap seperti ini, bahkan tega untuk melukainya dan menculiknya. Dan dia pun teringat. Ketika terjadi penyerbuan ke Pao-beng-pai oleh pasukan pemerintah, dia pun nampak di antara para penyerbu. Tentu Eng Eng mengira bahwa dia yang membawa pasukan itu melakukan penyerbuan.
“Eng-moi, engkau hendak membalas dendam atas penyerbuan ke Pao-beng-pai? Eng-moi, bukan.... bukan aku yang melakukan. Engkau salah duga. Mari kita bicara baik-baik dan kau dengarkan semua keteranganku.”
Mendengar ucapan ini, Eng Eng mendapatkan akal untuk dapat membawa keluar pangeran ini dari kota raja tanpa kesulitan. Ia harus dapat membawa pangeran ini keluar. Ia akan menyiksanya, memaksanya mengakui dosanya dan ia akan membunuh pangeran ini di depan makam ibunya!
“Aku memang ingin bicara denganmu, di luar kota raja. Kalau engkau membawaku keluar dari pintu gerbang, aku mau bicara denganmu di sana. Kalau tidak, aku akan membunuhmu di sini juga tanpa banyak cakap lagi.”
Cia Sun bergidik. Dia tidak takut mati. Biarpun dia seorang pangeran, namun dia berjiwa pendekar dan kematian bukan sesuatu yang menakutkan baginya. Yang membuat dia merasa ngeri adalah sikap dan suara gadis yang dicintanya itu. Begitu tidak wajar, begitu dingin dan penuh ancaman maut! Dia dapat menduga bahwa gadis itu tentu sedang dibakar api dendam dan kebencian.
“Baiklah, Eng-moi. Bebaskan totokanmu dan hentikan kenyerian ini agar tidak ada orang curiga. Aku akan mencari dua ekor kuda untuk kita.”
“Jangan mengira engkau akan dapat lari dariku, sebelum kau lari, aku akan membunuhnya!” kata Eng Eng, kemudian dia memberi sebuah pil merah untuk ditelan oleh Cia Sun setelah ia membebaskan totokannya.
Setelah menelan pil itu, Cia Sun tidak begitu menderita lagi. Kebetulan ada serombongan penjaga keamanan kota terdiri dari enam orang menunggang kuda datang dari depan. Cia Sun cepat memberi isyarat kepada rombongan berkuda. Ketika mereka telah dekat dan melihat siapa yang menahan mereka, enam orang itu terkejut, turun dari atas kuda dan memberi hormat kepada Pangeran Cia Sun.
“Kami membutuhkan dua ekor kuda, berikan dua ekor yang terbaik” kata pangeran itu.
Enam orang itu tergopoh memilihkan dua ekor kuda dan Cia Sun segera mengajak Eng Eng untuk menunggang kuda dan segera melarikan kuda ke pintu gerbang selatan seperti dikehendaki Eng Eng.
Sejam kemudian, kota raja geger karena Pangeran Cia Yan minta bantuan pasukan keamanan untuk menangkap penculik yang melarikan Pangeran Cia Sun. Terjadilah geger dan kekacauan, apalagi ketika ada perajurit yang melapor bahwa Pangeran Cia Sun tidak diculik, melainkan pergi dengan suka rela bersama seorang yang berpakaian hitam, bahkan pangeran itu sendiri yang minta dua ekor kuda kepada rombongan perajurit dan menunggang kuda keluar dari pintu gerbang selatan.
Tentu saja berita ini membuat para perwira yang memimpin pengejaran itu menjadi bingung dan ragu. Bagaimana kalau Pangeran Cia Sun tidak diculik melainkan pergi dengan suka rela? Tentu pangeran itu akan marah kalau pasukan melakukan pengejaran. Karena kebingungan inilah maka pengejaran dilakukan setengah hati, dan andaikata mereka dapat bertemu Pangeran Cia Sun, tentu mereka tidak akan berani lancang menangkap gadis berpakaian hitam seperti diperintahkan Pangeran Cia Yan. Mereka tentu akan melihat bagaimana sikap Pangeran Muda Cia Sun.
Karena memang sudah merencanakan lebih dahulu, tanpa ragu-ragu Eng Eng mengajak pangeran itu memasuki hutan kecil di mana tadi ia menangis, dan mereka lalu turun dari atas kuda, menambatkan kuda dan membiarkan dua ekor kuda itu makan rumput.
Karena tubuhnya masih terasa sakit akibat tusukan dua batang jarum di pundaknya, jarum-jarum hitam yang mengandung racun, Cia Sun lalu menjatuhkan diri di atas rumput, memandang kepada gadis itu yang berdiri memandangnya dengan sinar mata yang bernyala-nyala. Biarpun tempat itu gelap, namun Cia Sun seolah-olah dapat melihat sepasang mata yang memandang marah itu.
Malam masih amat dingin, akan tetapi mendung telah tersapu angin dan langit kini nampak bersih dengan sinar bulan sepotong sehingga mereka dapat saling melihat, walaupun hanya remang-remang.
“Nah, katakanlah. Eng-moi, apa artinya semua ini? Benarkah dugaanku tadi bahwa engkau marah kepadaku karena mengira aku yang memimpin pasukan menyerbu Pao-beng-pai?”
Sejak tadi Eng Eng menahan kemarahannya terutama kemarahan karena mendengar percakapan antara pangeran itu dan orang tuanya tadi. Kini, kemarahannya meledak!
“Engkau manusia paling busuk di dunia! Engkau manusia palsu, jahanam keparat yang berbudi rendah!”
“Silakan memaki dan mencaci, bahkan engkau boleh saja membunuhku, Eng-moi, akan tetapi, setidaknya jelaskan dulu mengapa engkau begini marah kepadaku, agar andaikata engkau membunuhku, aku tidak akan mati penasaran.
“Huh, tidak perlu engkau merayuku lagi dengan omonganmu yang seperti madu berbisa! Engkaulah yang membuat banyak orang mati penasaran, termasuk ibuku dan Tio Sui Lan! Engkau menyamar, menyelundup ke Pao-beng-pai untuk memata-matai Pao-beng-pai. Engkau bahkan merayuku sehingga aku terbujuk dan membebaskanmu, mengkhianati Pao-bengpai sendiri. Ternyata engkau hanya palsu, engkau mempermainkan aku, engkau memimpin pasukan membasmi Pao-bengpai, membunuhi keluargaku! Engkau sungguh keji, kejam dan curang!” Suara Eng Eng terkandung isak tangis.
“Hemmm, kalau begitu tepat dugaanku. Engkau marah kepadaku karena mengira aku yang memimpin pasukan menyerbu Pao-beng-pai. Semua itu tidak benar, Eng-moi! Aku tidak memimpin pasukan itu! Baru sebentar aku pergi, bagaimana aku dapat mengumpulkan pasukan besar untuk menyerbu Pao-beng-pai? Tidak, aku tidak mengerahkan pasukan itu. Aku mendengar bahwa ada pasukan yang pergi menyerbu Pao-bengpai, karena tempatnya sudah diketahui. Ketika Pao-beng-pai mengadakan pertemuan itu, di antara para tamu terdapat orang-orang yang menentang dan merekalah yang memberi laporan kepada pemerintah. Panglima Ciong yang memimpin pasukan itu menyerbu, dan aku menyusul cepat untuk menyelamatkan engkau dan ibumu.”
“Omong kosong! Rayuan gombal! Siapa dapat percaya? Kalau bukan engkau yang menjadi penunjuk jalan, bagaimana mungkin pasukan dapat naik ke Lembah Selaksa Setan, dapat melampaui semua jebakan dan membasmi Pao-beng-pai? Tidak perlu engkau mencoba untuk membohongi aku lagi!” Saking marahnya, tubuh Eng Eng bergerak, tangannya menyambar ke arah dada Cia Sun.
“Bukkk!”
Pukulan tangan terbuka itu keras sekali dan tubuh Cia Sun terjengkang dan terguling-guling. Eng Eng mengejar dan kembali tangannya menampar ke arah kepala orang yang sudah rebah di atas tanah itu. Akan tetapi tangan itu tertahan di udara, tidak jadi memukul.