“Ha-ha-ha-ha-ha, pantas kalian berani mengganggu kesenanganku. Nah, mengingat bahwa kalian keturunan orang-orang pandai, mari kuundang kalian makan minum denganku, Bangau Merah dan orang muda she Gak! Dan engkau juga! Nona. Permainan siang-kiam (sepasang pedang) darimu tadi cukup lumayan, membuktikan bahwa engkau pun telah dilatih oleh guru yang pandai. Ha-ha-ha, marilah orang-orang muda, kita mempererat perkenalan dengan makan minum!”
Siangkoan Kok tidak berpura-pura dengan keramahan ajakannya ini. Tadinya dia adalah majikan yang dihormati seperti seorang raja kecil. Akan tetapi sekarang semua kemuliaan itu habislah sudah. Anak buahnya dibasmi pasukan pemerintah, Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Setan) telah diobrak-abrik, seluruh hartanya habis. Habislah sudah kesemuanya, bahkan dia kehilangan anak yang disayangnya walaupun hanya anak tiri, kehilangan isteri yang dia bunuh sendiri, juga kehilangan murid tersayang yang diambilnya secara paksa menjadi isteri, juga murid ini dia bunuh. Sekarang, dia sebatang kara, tidak memiliki apa-apa lagi.
Karena itu, melihat tiga orang muda ini, yang gagah perkasa dan juga dua orang di antaranya adalah gadis-gadis perkasa yang cantik, timbul keinginan hatinya untuk bersahabat dengan mereka. Siapa tahu dia dapat menguasai mereka dan dengan bantuan tiga orang muda seperti ini dia tentu akan mampu membangun lagi perkumpulannya yang terbasmi dan dia akan jaya kembali.
Sejak tadi Sian Li memperhatikan pria yang tinggi besar gagah dan berwibawa itu. Ketika ia melakukan perjalanan untuk menyelidiki Pao-beng-pai, ia telah mencari keterangan tentang perkumpulan itu, tentang ketuanya dan tentang puteri ketua yang pernah datang mengacau pertemuan tiga keluarga besar. Pao-beng-pai telah terbasmi dan di tempat yang tidak jauh dari bekas sarang Pao-beng-pai, terdapat kakek yang lihai ini.
“Bukankah engkau yang bernama Siangkoan Kok, majikan di Ban-kwi-kok dan ketua Pao-beng-pai yang telah hancur?”
Pertanyaan yang dilontarkan Sian Li ini sungguh amat mengejutkan hati semua orang.
Bukan hanya Gak Ciang Hun dan Bi Kim yang terkejut juga Lurah So dan semua orang yang tadi sibuk melayani kakek itu. Lurah So dan para pembantunya menjadi pucat mendengar bahwa kakek itu adalah ketua Pao-beng-pai, perkumpulan yang mereka takuti. Mereka semua sudah mendengar akan Pao-beng-pai dan ketuanya, yaitu Siangkoan Kok majikan Lembah Selaksa Setan, akan tetapi hanya namanya saja yang mereka ketahui, belum pernah melihat orangnya.
“Ha-ha-ha, engkau hebat, Si Bangau Merah! Tidak percuma engkau mendapat julukan itu karena engkau memang cerdik, lihai dan bermata tajam. Aku memang Siangkoan Kok!”
“Bagus! Kiranya engkau ketua Pao-beng-pai! Dan gadis siluman yang berani menantang keluarga kami itu adalah puterimu. Suruh ia keluar untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya!” Sian Li membentak.
“Sian-moi, kiranya tak perlu bicara lagi dengan iblis seperti ini!” kata Ciang Hun yang sudah mencabut pedangnya.
“Benar, jahanam ini iblis yang kejam dan jahat yang harus dibasmi!” kata pula Gan Bi Kim yang sudah siap dengan sepasang pedangnya pula.
“Ha-ha-ha, kiranya kalian hanyalah pendekar-pendekar muda yang menjadi antek penjajah Mancu!” bekas ketua Pao-beng-pai itu mengejek sambil menertawakan mereka.
Wajah Sian Li berubah merah.
“Jahanam busuk! Kalau kami menentangmu, hal itu tidak ada sangkut pautnya dengan pemerintah. Bagi kami, engkau bukanlah pejuang, melainkan penjahat busuk yang suka mengganggu rakyat. Bersiaplah untuk mampus!”
Sian Li sudah menerjang dengan senjata sulingnya, Ciang Hun dan Bi Kim juga cepat menggerakkan senjata mereka, mengeroyok.
Siangkoan Kok adalah seorang datuk yang lihai sekali. Akan tetapi, sekarang dia menghadapi pengeroyokan tiga orang muda yang tangguh, terutama sekali Si Bangau Merah dan Gak Ciang Hun. Dua orang muda ini adalah keturunan pendekar-pendekar lihai, maka dia tidak berani memandang rendah dan kakek itu sudah mencabut pedangnya, memutar senjata itu menyambut serangan para pengeroyoknya.
Kalau tiga orang muda itu menyerang dengan pengerahan seluruh tenaga dan kepandaian mereka, menyerang dengan semangat besar, sebaliknya Siangkoan Kok hanya melindungi dirinya dengan gulungan sinar pedang. Dia tidak bersemangat untuk berkelahi.
Apalagi mengingat bahwa dua orang di antara para pengeroyoknya adalah keturunan keluarga pendekar yang tangguh. Dia tidak ingin menambah jumlah musuh di luar pasukan pemerintah yang telah membasmi perkumpulannya, bahkan mungkin dia ingin bekerja sama dengan kelompok lain untuk membalas dendam kepada pemerintah penjajah Mancu, seperti yang telah dijanjikannya kepada ketua Thian-li-pang di Bukit Setan. Selain itu, dia juga merasa gentar kalau-kalau Pendekar Bangau Putih, ayah Si Bangau Merah ini, dan juga Pendekar Tangan Sakti Yo Han akan muncul.
Maka, setelah memutar pedangnya dengan dahsyat, membuat tiga orang pengeroyoknya dengan hati-hati mundur menjaga jarak, tiba-tiba Siangkoan Kok meloncat ke kiri dan sebelum tiga orang muda yang mengeroyoknya sempat mencegah, dia sudah mencengkeram leher baju Lurah So dan menempelkan pedangnya di leher lurah yang menjadi pucat ketakutan itu.
“Kalau ada yang menyerangku, aku akan lebih dulu menyembelih lurah ini!” bentak Siangkoan Kok sambil mendorong tubuh lurah itu di depannya dan terus mendorongnya keluar rumah.
Ciang Hun, Sian Li, dan Bi Kim tentu saja tidak berani menyerang lagi. Bagaimanapun juga, mereka tidak mau mengorbankan nyawa lurah yang tidak berdosa itu. Mereka hanya dapat memandang ketika lurah itu didorong keluar oleh Siangkoan Kok. Sian Li hanya dapat mengancam ketua Pao-beng-pai itu.
“Siangkoan Kok, kalau engkau membunuhnya, aku bersumpah untuk mengejarmu dan tidak akan berhenti sampai aku dapat membunuhmu!”
Siangkoan Kok tidak berpura-pura dengan keramahan ajakannya ini. Tadinya dia adalah majikan yang dihormati seperti seorang raja kecil. Akan tetapi sekarang semua kemuliaan itu habislah sudah. Anak buahnya dibasmi pasukan pemerintah, Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Setan) telah diobrak-abrik, seluruh hartanya habis. Habislah sudah kesemuanya, bahkan dia kehilangan anak yang disayangnya walaupun hanya anak tiri, kehilangan isteri yang dia bunuh sendiri, juga kehilangan murid tersayang yang diambilnya secara paksa menjadi isteri, juga murid ini dia bunuh. Sekarang, dia sebatang kara, tidak memiliki apa-apa lagi.
Karena itu, melihat tiga orang muda ini, yang gagah perkasa dan juga dua orang di antaranya adalah gadis-gadis perkasa yang cantik, timbul keinginan hatinya untuk bersahabat dengan mereka. Siapa tahu dia dapat menguasai mereka dan dengan bantuan tiga orang muda seperti ini dia tentu akan mampu membangun lagi perkumpulannya yang terbasmi dan dia akan jaya kembali.
Sejak tadi Sian Li memperhatikan pria yang tinggi besar gagah dan berwibawa itu. Ketika ia melakukan perjalanan untuk menyelidiki Pao-beng-pai, ia telah mencari keterangan tentang perkumpulan itu, tentang ketuanya dan tentang puteri ketua yang pernah datang mengacau pertemuan tiga keluarga besar. Pao-beng-pai telah terbasmi dan di tempat yang tidak jauh dari bekas sarang Pao-beng-pai, terdapat kakek yang lihai ini.
“Bukankah engkau yang bernama Siangkoan Kok, majikan di Ban-kwi-kok dan ketua Pao-beng-pai yang telah hancur?”
Pertanyaan yang dilontarkan Sian Li ini sungguh amat mengejutkan hati semua orang.
Bukan hanya Gak Ciang Hun dan Bi Kim yang terkejut juga Lurah So dan semua orang yang tadi sibuk melayani kakek itu. Lurah So dan para pembantunya menjadi pucat mendengar bahwa kakek itu adalah ketua Pao-beng-pai, perkumpulan yang mereka takuti. Mereka semua sudah mendengar akan Pao-beng-pai dan ketuanya, yaitu Siangkoan Kok majikan Lembah Selaksa Setan, akan tetapi hanya namanya saja yang mereka ketahui, belum pernah melihat orangnya.
“Ha-ha-ha, engkau hebat, Si Bangau Merah! Tidak percuma engkau mendapat julukan itu karena engkau memang cerdik, lihai dan bermata tajam. Aku memang Siangkoan Kok!”
“Bagus! Kiranya engkau ketua Pao-beng-pai! Dan gadis siluman yang berani menantang keluarga kami itu adalah puterimu. Suruh ia keluar untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya!” Sian Li membentak.
“Sian-moi, kiranya tak perlu bicara lagi dengan iblis seperti ini!” kata Ciang Hun yang sudah mencabut pedangnya.
“Benar, jahanam ini iblis yang kejam dan jahat yang harus dibasmi!” kata pula Gan Bi Kim yang sudah siap dengan sepasang pedangnya pula.
“Ha-ha-ha, kiranya kalian hanyalah pendekar-pendekar muda yang menjadi antek penjajah Mancu!” bekas ketua Pao-beng-pai itu mengejek sambil menertawakan mereka.
Wajah Sian Li berubah merah.
“Jahanam busuk! Kalau kami menentangmu, hal itu tidak ada sangkut pautnya dengan pemerintah. Bagi kami, engkau bukanlah pejuang, melainkan penjahat busuk yang suka mengganggu rakyat. Bersiaplah untuk mampus!”
Sian Li sudah menerjang dengan senjata sulingnya, Ciang Hun dan Bi Kim juga cepat menggerakkan senjata mereka, mengeroyok.
Siangkoan Kok adalah seorang datuk yang lihai sekali. Akan tetapi, sekarang dia menghadapi pengeroyokan tiga orang muda yang tangguh, terutama sekali Si Bangau Merah dan Gak Ciang Hun. Dua orang muda ini adalah keturunan pendekar-pendekar lihai, maka dia tidak berani memandang rendah dan kakek itu sudah mencabut pedangnya, memutar senjata itu menyambut serangan para pengeroyoknya.
Kalau tiga orang muda itu menyerang dengan pengerahan seluruh tenaga dan kepandaian mereka, menyerang dengan semangat besar, sebaliknya Siangkoan Kok hanya melindungi dirinya dengan gulungan sinar pedang. Dia tidak bersemangat untuk berkelahi.
Apalagi mengingat bahwa dua orang di antara para pengeroyoknya adalah keturunan keluarga pendekar yang tangguh. Dia tidak ingin menambah jumlah musuh di luar pasukan pemerintah yang telah membasmi perkumpulannya, bahkan mungkin dia ingin bekerja sama dengan kelompok lain untuk membalas dendam kepada pemerintah penjajah Mancu, seperti yang telah dijanjikannya kepada ketua Thian-li-pang di Bukit Setan. Selain itu, dia juga merasa gentar kalau-kalau Pendekar Bangau Putih, ayah Si Bangau Merah ini, dan juga Pendekar Tangan Sakti Yo Han akan muncul.
Maka, setelah memutar pedangnya dengan dahsyat, membuat tiga orang pengeroyoknya dengan hati-hati mundur menjaga jarak, tiba-tiba Siangkoan Kok meloncat ke kiri dan sebelum tiga orang muda yang mengeroyoknya sempat mencegah, dia sudah mencengkeram leher baju Lurah So dan menempelkan pedangnya di leher lurah yang menjadi pucat ketakutan itu.
“Kalau ada yang menyerangku, aku akan lebih dulu menyembelih lurah ini!” bentak Siangkoan Kok sambil mendorong tubuh lurah itu di depannya dan terus mendorongnya keluar rumah.
Ciang Hun, Sian Li, dan Bi Kim tentu saja tidak berani menyerang lagi. Bagaimanapun juga, mereka tidak mau mengorbankan nyawa lurah yang tidak berdosa itu. Mereka hanya dapat memandang ketika lurah itu didorong keluar oleh Siangkoan Kok. Sian Li hanya dapat mengancam ketua Pao-beng-pai itu.
“Siangkoan Kok, kalau engkau membunuhnya, aku bersumpah untuk mengejarmu dan tidak akan berhenti sampai aku dapat membunuhmu!”
Ketua Pao-beng-pai itu tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, aku sedang malas bertanding, Nona manis, dan aku menangkapnya hanya untuk mencegah kalian mendesakku, bukan untuk membunuhnya. Lurah ini telah begitu baik untuk melayaniku makan minum, tentu aku tidak akan membunuhnya.”
Setelah tiba di luar rumah, Siangkoan Kok berlompatan jauh sambil tetap menggandeng Lurah So dan baru setelah tiba di tepi sebuah hutan dia melepaskan lurah itu dan menghilang ke dalam hutan. Sian Li dan yang lain juga tidak mau mengejar, mengejar seorang seperti Siangkoan Kok yang melarikan diri ke dalam hutan amatlah berbahaya.
Melihat tiga orang muda yang berhasil mengusir ketua Pao-beng-pai, Lurah So yang dilepaskan oleh kakek itu tanpa dilukai, segera menghampiri dan memberi hormat, menghaturkan terima kasih kepada mereka dan memohon agar malam itu mereka suka bermalam di rumahnya.
“Pertama, agar kami sekeluarga sempat menghaturkan terima kasih kepada Sam-wi (Kalian Bertiga), dan kedua, agar hati kami sekeluarga merasa aman dan tenteram. Kalau Sam-wi pergi sekarang, malam ini pasti kami tidak dapat tidur dan ketakutan membayangkan iblis itu kembali ke rumah kami.”
Demikian antara lain Lurah So membujuk mereka. Karena alasan itu masuk akal juga, akhirnya Ciang Hun, Sian Li dan Bi Kim menerima undangan itu.
Seluruh penghuni dusun itu bersuka ria karena lurah mereka terbebas dari gangguan ketua Pao-beng-pai yang mereka takuti. Dan para penghuni itu memuji-muji pemuda dan dua orang gadis perkasa itu. Keluarga Lurah So juga menghaturkan terima kasih dan mengadakan pesta kecil untuk menyambut mereka.
Sehabis makan minum, akhirnya tiga orang muda itu mendapat kesempatan untuk bicara bertiga saja di ruangan belakang rumah Lurah So. Tidak ada anggauta keluarga yang berani mengganggu mereka bertiga yang sedang bercakap-cakap. Dalam kesempatan ini, Gan Bi Kim berkenalan dengan Gak Ciang Hun dan Tan Sian Li.
“Aku berterima kasih sekali kepada Tai-hiap (Pendekar Besar) dan Li-hiap (Pendekar Wanita),” kata Gan Bi Kim. “Aku sungguh tidak tahu diri, dengan ilmu silatku yang masih rendah aku berani menentang ketua Pao-beng-pai yang lihai itu. Kalau Ji-wi (Anda Berdua) tidak datang, entah bagaimana jadinya dengan diriku.” kata Bi Kim.
“Aih, Nona, harap jangan merendahkan diri. Ilmu pedangmu sudah cukup hebat, hanya ilmu kepandaian ketua Paobeng-pai itu memang luar biasa. Hanya setelah kita bertiga maju bersama, baru dapat mengusirnya.” kata Ciang Hun.
“Benar, Enci, di antara kita tidak perlu sungkan, kita adalah dari golongan yang sama, yaitu menentang perbuatan jahat. Siapakah engkau, Enci, dan bagaimana engkau dapat tiba di tempat ini dan berkelahi dengan ketua Pao-bengpai itu?”
Gan Bi Kim menghela napas panjang.
“Aku hanya orang biasa saja, adik yang gagah, tidak seperti engkau yang berjuluk Si Bangau Merah dan kakak ini yang keturunan orang-orang sakti. Ketua Pao-beng-pai itu sampai mengenal kalian dan merasa gentar. Aku bernama Gan Bi Kim berasal dari kota raja dan aku sedang melakukan perjalanan mengembara untuk meluaskan gengalaman setelah aku mempelajari sedikit ilmu silat dari para guru di kota raja sebagai bekal untuk membela diri. Ketika tiba di sini, aku mendengar akan kejahatan kakek tadi yang menguasai rumah keluarga Lurah So, maka aku datang untuk menegur dan mengusirnya, tidak tahu bahwa kakek itu adalah ketua Pao-beng-pai yang amat lihai. Nah, sekarang aku mengharapkan keterangan tentang kalian, karena aku hanya mendengar julukanmu, tidak tahu siapa namamu dan nama kakak ini.”
“Namaku Tan Sian Li, enci Kim.” kata Sian Li yang segera merasa akrab dengan gadis kota raja yang dari sikapnya saja dapat diduga bahwa ia seorang gadis terpelajar, bahkan ada sikap agung dan anggun seperti gadis pingitan atau gadis bangsawan.
“Dan namaku Gak Ciang Hun, nona Gan,”
Ciang Hun memperkenalkan diri dan dia seperti terpesona memandang gadis itu. Ada sesuatu yang amat menarik hatinya pada gadis itu, entah sinar matanya yang lembut, atau mulutnya yang memiliki bibir yang mempesonakan.
“Aih, Gan-toako, kita segolongan dan aku sudah merasa akrab dengan enci Kim. Kiranya tidak perlu bersungkan-sungkan menyebut ia nona segala!” kata Sian Li yang wataknya terbuka dan jujur.
Bi Kim tersenyum dan memandang kepada pemuda itu.
“Li-moi berkata benar, Gak-toako. Aku pun merasa seolah-olah sudah mengenal kalian selama bertahun-tahun.”
Ciang Hun tersenyum girang.
“Baiklah, Kim-moi (adik Kim).”
“Enci Kim, engkau seorang gadis kota raja, lembut dan pandai, kenapa bersusah-susah bertualang seperti gadis kang-ouw? Kalau aku sendiri lain lagi, memang aku dari keluarga petualang, aku seorang gadis kang-ouw yang sudah biasa hidup berkelana. Tapi engkau....”
Bi Kim tersenyum dan memegang lengan Sian Li.
“Aih, jangan berkata seperti itu, Li-moi. Engkau lebih dalam segala-galanya dibandingkan aku, kenapa mesti memuji-muji aku? Engkau lebih lihai, engkau lebih cantik, lebih muda! Aku mendengar dari para guruku di kota raja tentang dunia persilatan yang luas, mendengar tentang tokoh-tokoh dunia persilatan, bahkan aku pernah mendengar nama besar Si Bangau Putih dan puterinya, Si Bangau Merah. Maka, aku tertarik dan ingin meluaskan pengalamanku dengan merantau.” Tentu saja Bi Kim tidak mau menceritakan bahwa kepergiannya adalah untuk mencari Yo Han, pemuda idamannya yang telah ditunangkan dengannya oleh neneknya. “Dan engkau sendiri, dari mana hendak ke mana, Limoi? Dan juga engkau, Gak-toako?”
“Panjang ceritanya,” kata Sian Li. “Beberapa pekan yang lalu diadakan pertemuan dari tiga keluarga besar Pulau Es, Gurun Pasir, dan Lembah Naga Siluman. Aku pun hadir dan dalam pertemuan itu, muncul puteri ketua Pao-bengpai yang menantang kami. Ia dapat dikalahkan dan pergi. Aku menjadi penasaran dan pergi menyelidiki Pao-beng-pai....”
“Dan karena aku mengkhawatirkan keselamatan siauw-moi Tan Sian Li, maka aku lalu mengejarnya dan berhasil, maka kami melakukan perjalanan bersama.” sambung Ciang Hun.
“Tapi aku mendengar berita bahwa Pao-beng-pai telah dibasmi oleh pasukan pemerintah,” kata Bi Kim.
“Benar, kami terlambat dan kami tidak dapat bertemu dengan gadis iblis itu, melainkan dengan ayahnya di sini.”
“Jadi kalian berdua saja berani datang mencari puteri ketua Pao-beng-pai? Itu berbahaya sekali! Baru ketuanya saja tadi sudah selihai itu. Apalagi kalau perkumpulan itu belum terbasmi dan terdapat banyak anak buahnya.” kata Gan Bi Kim kagum akan keberanian dua orang itu.
“Aku bukan hanya menyelidiki Pao-beng-pai, enci Kim. Sebetulnya, penyelidikan terhadap Pao-beng-pai hanya sambil Lalu saja yang terutama sekali kepergianku adalah untuk mencari Han-koko.”
Sian Li berhenti sebentar sambil memandang kepada Gak Ciang Hun yang nampak tenang saja karena pemuda ini sudah pernah mendengar pengakuan Si Bangau Merah.
“Han-koko? Siapa itu Han-koko?” tanya Bi Kim tersenyum.
Sian Li baru ingat bahwa Bi Kim sama sekali tidak mengenal kekasihnya itu, dan sebagai seorang gadis yang tidak merasa perlu merahasiakan hubungannya dengan Yo Han terhadap seorang sahabat yang dipercayanya, ia pun tertawa.
“Aih, aku sampai lupa bahwa engkau belum mengenal Han-ko, enci Kim. Dia berjuluk Sin-ciang Tai-hiap (Pendekar Tangan Sakti) bernama Yo Han.... eh, engkau kelihatan terkejut, apakah engkau sudah mengenalnya, Enci?”
“Tentu saja aku terkejut,” Bi Kim tersenyum menahan debaran jantungnya, “Siapa yang tidak pernah mendengar akan nama besar Sin-ciang Tai-hiap? Dan engkau menyebutnya Han-koko? Agaknya engkau mempunyai hubungan yang erat dengan dia. Masih ada hubungan keluargakah, Li-moi?”
Sian Li tersenyum dan tiba-tiba saja kedua pipinya menjadi kemerahan dan sambil menundukkan mukanya dengan tersipu ia berkata,
“Boleh dibilang begitulah karena dia.... dan aku.... kami saling mencinta dan mengharapkan kelak menjadi suami isteri.”
Karena mukanya ditundukkan ketika mengatakan itu, Sian Li tidak melihat betapa mata Bi Kim terbelalak, mukanya pucat napasnya terengah sejenak. Bahkan ia lalu menunduk dan mengusapkan tangannya ke arah kedua matanya untuk mengusir cepat dua titik air matanya.
Akan tetapi, Ciang Hun yang sejak tadi mengamatinya, melihat perubahan ini dan diam-diam dia pun merasa terkejut dan heran, hatinya menduga-duga. Ketika Sian Li mengangkat muka memandang kepada sahabat barunya itu, Bi Kim sudah dapat menguasai perasaan hatinya. Baru saja ia mengalami guncangan batin yang hebat.
Siapa orangnya tidak akan merasa seperti ditikam jantungnya kalau mendengar pengakuan seorang gadis yang dikaguminya bahwa gadis itu saling mencinta dengan pria yang selama ini dicari dan dirindukannya karena pria itu adalah tunangannya! Menurut gejolak hatinya, ingin ia marah-marah kepada Sian Li. Akan tetapi ia lalu mengingat-ingat kembali, membayangkan sikap Yo Han terhadap dirinya. Pemuda yang ditunangkan dengannya oleh neneknya itu belum pernah menyatakan cinta kepadanya, bahkan minta waktu untuk dapat memberi jawaban dan mengambil keputusan tentang niat neneknya menjodohkan mereka.
“Kau kenapakah, enci Kim? Kelihatan termenung.” kata Sian Li.
Bi Kim mengangkat muka memandang kepadanya dan tersenyum manis! Lalu ia menggelengkan kepalanya.
“Tidak apa-apa, adik manis, hanya aku merasa terharu mendengar bahwa pendekar wanita Bangau Merah saling mencinta dengan Pendekar Tangan Sakti. Li-moi, melihat usiamu yang masih muda, tentu belum lama engkau berkenalan dengan Pendekar Tangan Sakti.”
Sian Li memandang Bi Kim dengan lucu dan tertawa terkekeh.
“Hi-hi-hik, engkau keliru sama sekali, enci Kim. Usiaku memang baru delapan belas tahun, akan tetapi aku telah berkenalan dan akrab dengan Han-ko sejak aku berusia empat tahun!”
Bi Kim terbelalak, memandang kepada Gak Ciang Hun, lalu menatap lagi wajah Sian Li.
“Aku.... aku tidak mengerti....” katanya bingung.
Sian Li tersenyum dan memegang lengan Bi Kim.
“Tidak perlu heran, enci Kim. Ketahuilah, ketika aku berusia empat tahun, Han-ko ikut orang tuaku, bahkan menjadi murid ayah dan ibu. Kemudian kami berpisah dan baru belasan tahun kemudian kami saling bertemu kembali dan langsung kami saling jatuh cinta, maksudku.... sejak kanak-kanak pun kami sudah saling mencinta, walaupun sifat cinta itu berubah.”
Kembali sepasang pipi itu menjadi merah sekali, semerah warna pakaiannya. Setelah mendengar semua itu tahulah Bi Kim bahwa tidak mungkin ia dapat mengharapkan Yo Han menjadi calon jodohnya. Bukan Sian Li yang merampas tunangannya. Gadis ini dan Yo Han sudah saling mencinta, bahkan sejak kecil! Kalau ia berkeras mempertahankan usul neneknya mengenai perjodohan itu, berarti ialah yang merampas kekasih orang!
Keangkuhan yang timbul dari harga dirinya sebagai seorang dari keluarga bangsawan, membuat Bi Kim dapat menekan perasaannya dan saat itu juga ia sudah mematahkan hubungan batinnya dengan Yo Han. Ia tidak boleh dan tidak akan suka mencinta Yo Han yang telah menjadi kekasih si Bangau Merah! Untuk mengalihkan perhatian dan melupakan rasa nyeri seperti ada pisau menikam ulu hatinya, Bi Kim bertanya dengan suara heran,
“Adik manis, kenapa engkau mencari kekasihmu itu? Dan kenapa pula dia meninggalkanmu?”
Pertanyaan yang wajar saja dari seorang gadis kepada gadis lain, walaupun sesungguhnya pertanyaan itu mengandung keinginan untuk mengetahui lebih jelas tentang hubungan antara Sian Li dan Yo Han.
“Ahhh, banyak sekali yang menyebabkannya, Enci dan sebetulnya hal ini merupakan rahasiaku.”
“Siauw-moi, aku merasa lelah dan mengantuk. Bagaimana kalau engkau lanjutkan percakapanmu dengan adik Bi Kim saja, dan aku beristirahat lebih dulu?” kata Ciang Hun yang merasa tidak enak karena agaknya kehadirannya hanya akan membuat canggung dua orang gadis itu bercakap-cakap secara akrab.
Sian Li tersenyum dan mengangguk, diam-diam merasa terharu dan juga senang karena pemuda itu sungguh tahu diri dan dapat memaklumi keadaan dirinya. Ia selalu merasa tidak enak kepada Ciang Hun kalau di depan pemuda itu harus menceritakan segala hal mengenai Yo Han, padahal Ciang Hun mencintanya.
“Gak-toako seorang pemuda yang bijaksana dan baik sekali, aku amat kagum dan menghormatinya, apalagi di antara dia dan aku masih ada hubungan kekeluargaan, maksudku dia masih keturunan keluarga perguruan Pulau Es, sedangkan kakekku keturunan keluarga Gurun Pasir dan nenekku keluarga Pulau Es.” kata Sian Li kepada Bi Kim setelah mereka tinggal berdua saja.
“Aku pun kagum kepadanya. Dia seorang pemuda yang lihai, pendiam dan sopan,” kata Bi Kim. “Akan tetapi, kalau engkau enggan menceritakan tentang dirimu dan kekasihmu, aku pun tidak akan memaksamu, Li-moi.”
“Ah, tidak sama sekali, Enci. Kepadamu aku tidak merasa sungkan atau enggan untuk menceritakan, hanya kalau ada Gak-toako...., aku tidak tega untuk banyak bercerita tentang Han-koko dan aku....”
“Tidak tega?” Bi Kim memandang penuh selidik, terheran-heran, “Kenapa tidak tega?”
“Karena dia mencintaku, enci Kim. Dan aku tentu saja tidak dapat membalas cintanya, walaupun aku suka dan hormat kepadanya. Aku sudah menceritakan tentang hubunganku dengan Han koko, dan Gak-twako dapat menerima kenyataan itu dengan hati lapang. Dia bijaksana sekali! Dan aku tidak ingin menyinggung perasaannya kalau banyak bercerita tentang Han-ko di depannya.”
Bi Kim semakin terheran-heran dan kagum. Dara ini sungguh luar biasa, pikirnya. Begitu jujur, begitu terbuka!
“Aih, kasihan dia kalau begitu, Li-moi. Pahit sekali memang kalau orang bertepuk sebelah tangan dalam soal asmara. Nah, sekarang ceritakan, kenapa engkau saling berpisah dengan kekasihmu?”
Sian Li bercerita. Tanpa tedeng aling-aling lagi. Diceritakannya tentang ayah ibunya yang agaknya tidak menyetujui hubungan cintanya dengan Yo Han, bahkan ayah ibunya telah memilihkan jodoh untuknya, yaitu seorang pangeran!
“Akan tetapi aku tidak mau, Enci. Aku tidak sudi dijodohkan dengan pangeran itu, walaupun pangeran itu terkenal gagah dan tampan, kabarnya pandai ilmu silat juga.”
“Siapakah pangeran itu? Mungkin aku sudah tahu.”
“Dia Pangeran Cia Sun.”
Diam-diam Bi Kim semakin heran dan terkejut. Tentu saja ia tahu siapa pangeran itu. Seorang pangeran yang menjadi pujaan hampir semua gadis di kota raja. Setiap orang gadis merindukannya dan mengharapkan menjadi isterinya! Bahkan ia sendiri, sebelum ditunangkan dengan Yo Han, pernah beberapa kali melihat pangeran itu dan ia sendiri pun merasa terpikat! Dan gadis ini.... Si Bangau Merah ini, malah menolak dijodohkan dengan Pangeran Cia Sun. Bukan main!
“Hem, menurut penilaianku, dia seorang pangeran yang baik sekali, berbeda dengan para pangeran lainnya. Dia tidak congkak, manis budi dan dekat dengan rakyat.”
“Biar seratus kali lebih baik dari itu, aku tidak sudi, Enci. Aku hanya mau berjodoh dengan Han-ko! Nah, ketika ayah dan ibu mengajakku menghadiri pertemuan tiga keluarga besar, aku mengharapkan dapat bertemu dengan Han koko di sana. Akan tetapi ternyata dia tidak ada. Lalu muncul puteri ketua Paobeng-pai membuat kekacauan dan menantang-nantang kami. Setelah ia dapat diusir pergi, aku lalu diam-diam meninggalkan ayah ibu karena aku ingin mencari Han-koko dan menyelidiki Pao-beng-pai. Sebetulnya, aku ingin membatalkan niat ayah dan ibu mempertemukan aku dengan pangeran itu di kota raja, dan mencari Han-koko sampai dapat.”
“Kemana sih perginya kekasihmu itu, Li-moi?” tanya Bi Kim, diam-diam merasa heran dan geli juga melihat betapa ada persamaan antara ia dan Si Bangau Merah ini.
Ia pun sedang mencari-cari Yo Han seperti yang dilakukan Sian Li. Hanya bedanya, ia mencari pemuda itu sebagai tunangan, sedangkan Sian Li sebagai kekasih! Amat besar bedanya memang, dan kenyataan ini menikam hatinya. Pertunangannya belum resmi itu atas kehendak neneknya, sedangkan saling mencinta tentu saja atas kehendak mereka yang bersangkutan!
“Han-koko menerima tugas berat, yaitu mencari puteri Pendekar Suling Naga Sim Houw yang hilang diculik orang sejak anak itu masih kecil sekali, baru dua tiga tahun usianya. Sampai sekarang, dua puluh tahun lebih sudah berlalu dan tak pernah ada berita tentang anak itu. Semua usaha yang dilakukan Pendekar Suling Naga dan isterinya tidak berhasil. Bahkan andaikata anak itu ditemukan juga, anak itu tidak mengenal orang tua kandungnya, dan suami isteri itu pun tidak akan dapat mengenal puteri mereka. Dan Han-koko bertugas mencari anak yang hilang itu!”
“Aih, betapa sukarnya tugas itu. Bagaimana mungkin dapat mencarinya kalau tidak pernah melihat anak yang kini tentu telah menjadi seorang gadis dewasa itu?” kata Bi Kim yang ikut merasa prihatin mendengar betapa tunangannya, pria yang dicintanya akan tetapi yang mencinta gadis lain itu dibebani tugas yang demikian sulitnya. “Andaikata dapat menemukan gadis itu, bagaimana dapat yakin bahwa ia adalah anak yang hilang itu?”
“Memang ada ciri khasnya, Enci. Menurut keterangan orang tuanya, anak itu memiliki dua buah tanda yang khas, yaitu sebuah tahi lalat hitam di pundak kirinya dan sebuah noda merah di telapak kaki kanannya. Nah, kurasa di dunia ini tidak ada dua orang yang memiliki tanda-tanda yang serupa seperti itu!”
“Aku akan ingat ciri itu, Li-moi, agar aku dapat membantu mencarinya.”
“Terima kasih, enci Kim. Engkau baik sekali. Aku merasa bingung harus ke mana mencari kekasihku itu. Aku amat merindukannya, Enci, dan dia tentu akan berbahagia sekali kalau dapat mencari gadis itu bersamaku.”
Tanpa disadarinya, ucapan itu menikam ulu hati Bi Kim yang segera berpamit untuk beristirahat di kamarnya. Mereka bertiga mendapatkan masing-masing sebuah kamar di keluarga Lurah So yang amat menghormati tiga orang pendekar itu.
Bi Kim rebah di atas pembaringan kamarnya, menelungkup dan menangis menahan isak agar jangan sampai suara tangisnya terdengar oleh orang lain di luar kamar. Ia merasa hatinya seperti diremas-remas, pedih dan perih bukan main rasanya. Ingatannya melayang-layang pada segala peristiwa yang lalu, ketika untuk pertama kali ia bertemu dengan Yo Han.
Pertama kali Yo Han datang berkunjung ke rumah keluarga ayahnya sebagai murid mendiang paman-kakeknya Ciu Lam Hok, keluarga ayahnya sedang dilanda malapetaka. Ayahnya yang menjadi penanggung jawab gedung pusaka kerajaan, diancam hukuman berat karena banyak benda pusaka penting hilang dicuri orang.
Yo Han menyelidiki dan ternyata yang melakukan pencurian adalah Coan-ciangkun yang sengaja melakukan hal itu untuk memaksa keluarga Gan menyerahkan ia untuk menjadi isteri panglima itu. Yo Han berhasil menyelamatkan Gan Seng, ayahnya dan dalam keadaan berbahagia itu, neneknya yang bersembahyang di depan meja sembahyang paman-kakeknya, menetapkan perjodohannya dengan Yo Han!
Semua itu terbayang kembali olehnya. Ikatan pertunangan itu pula yang mendorongnya untuk dengan tekun tanpa mengenal waktu, melatih diri dengan ilmu silat dari guru-guru silat yang pandai dari istana atas bantuan ayahnya sehingga kini ia menguasai ilmu kepandaian silat yang lumayan. Semua itu dilakukannya demi cintanya kepada Yo Han yang dianggap calon suaminya. Calon suaminya seorang pendekar besar, maka akan janggallah kalau ia tidak mengerti ilmu silat sama sekali. Kemudian, karena merasa rindu kepada tunangannya itu yang tak kunjung datang, ia lalu meninggalkan rumah orang tuanya dan pergi mencari Yo Han!
Dan sekarang, Si Bangau Merah Tan Sian Li yang mengagumkan hatinya itu mengaku terus terang bahwa Sian Li saling mencinta dengan Yo Han, bahkan hubungan mereka jauh lebih dahulu daripada pertemuannya dengan pemuda itu. Pantas saja Yo Han belum dapat menerima usul perjodohan yang diajukan neneknya! Kiranya pemuda itu telah mempunyai seorang kekasih!
“Ha-ha-ha, aku sedang malas bertanding, Nona manis, dan aku menangkapnya hanya untuk mencegah kalian mendesakku, bukan untuk membunuhnya. Lurah ini telah begitu baik untuk melayaniku makan minum, tentu aku tidak akan membunuhnya.”
Setelah tiba di luar rumah, Siangkoan Kok berlompatan jauh sambil tetap menggandeng Lurah So dan baru setelah tiba di tepi sebuah hutan dia melepaskan lurah itu dan menghilang ke dalam hutan. Sian Li dan yang lain juga tidak mau mengejar, mengejar seorang seperti Siangkoan Kok yang melarikan diri ke dalam hutan amatlah berbahaya.
Melihat tiga orang muda yang berhasil mengusir ketua Pao-beng-pai, Lurah So yang dilepaskan oleh kakek itu tanpa dilukai, segera menghampiri dan memberi hormat, menghaturkan terima kasih kepada mereka dan memohon agar malam itu mereka suka bermalam di rumahnya.
“Pertama, agar kami sekeluarga sempat menghaturkan terima kasih kepada Sam-wi (Kalian Bertiga), dan kedua, agar hati kami sekeluarga merasa aman dan tenteram. Kalau Sam-wi pergi sekarang, malam ini pasti kami tidak dapat tidur dan ketakutan membayangkan iblis itu kembali ke rumah kami.”
Demikian antara lain Lurah So membujuk mereka. Karena alasan itu masuk akal juga, akhirnya Ciang Hun, Sian Li dan Bi Kim menerima undangan itu.
Seluruh penghuni dusun itu bersuka ria karena lurah mereka terbebas dari gangguan ketua Pao-beng-pai yang mereka takuti. Dan para penghuni itu memuji-muji pemuda dan dua orang gadis perkasa itu. Keluarga Lurah So juga menghaturkan terima kasih dan mengadakan pesta kecil untuk menyambut mereka.
Sehabis makan minum, akhirnya tiga orang muda itu mendapat kesempatan untuk bicara bertiga saja di ruangan belakang rumah Lurah So. Tidak ada anggauta keluarga yang berani mengganggu mereka bertiga yang sedang bercakap-cakap. Dalam kesempatan ini, Gan Bi Kim berkenalan dengan Gak Ciang Hun dan Tan Sian Li.
“Aku berterima kasih sekali kepada Tai-hiap (Pendekar Besar) dan Li-hiap (Pendekar Wanita),” kata Gan Bi Kim. “Aku sungguh tidak tahu diri, dengan ilmu silatku yang masih rendah aku berani menentang ketua Pao-beng-pai yang lihai itu. Kalau Ji-wi (Anda Berdua) tidak datang, entah bagaimana jadinya dengan diriku.” kata Bi Kim.
“Aih, Nona, harap jangan merendahkan diri. Ilmu pedangmu sudah cukup hebat, hanya ilmu kepandaian ketua Paobeng-pai itu memang luar biasa. Hanya setelah kita bertiga maju bersama, baru dapat mengusirnya.” kata Ciang Hun.
“Benar, Enci, di antara kita tidak perlu sungkan, kita adalah dari golongan yang sama, yaitu menentang perbuatan jahat. Siapakah engkau, Enci, dan bagaimana engkau dapat tiba di tempat ini dan berkelahi dengan ketua Pao-bengpai itu?”
Gan Bi Kim menghela napas panjang.
“Aku hanya orang biasa saja, adik yang gagah, tidak seperti engkau yang berjuluk Si Bangau Merah dan kakak ini yang keturunan orang-orang sakti. Ketua Pao-beng-pai itu sampai mengenal kalian dan merasa gentar. Aku bernama Gan Bi Kim berasal dari kota raja dan aku sedang melakukan perjalanan mengembara untuk meluaskan gengalaman setelah aku mempelajari sedikit ilmu silat dari para guru di kota raja sebagai bekal untuk membela diri. Ketika tiba di sini, aku mendengar akan kejahatan kakek tadi yang menguasai rumah keluarga Lurah So, maka aku datang untuk menegur dan mengusirnya, tidak tahu bahwa kakek itu adalah ketua Pao-beng-pai yang amat lihai. Nah, sekarang aku mengharapkan keterangan tentang kalian, karena aku hanya mendengar julukanmu, tidak tahu siapa namamu dan nama kakak ini.”
“Namaku Tan Sian Li, enci Kim.” kata Sian Li yang segera merasa akrab dengan gadis kota raja yang dari sikapnya saja dapat diduga bahwa ia seorang gadis terpelajar, bahkan ada sikap agung dan anggun seperti gadis pingitan atau gadis bangsawan.
“Dan namaku Gak Ciang Hun, nona Gan,”
Ciang Hun memperkenalkan diri dan dia seperti terpesona memandang gadis itu. Ada sesuatu yang amat menarik hatinya pada gadis itu, entah sinar matanya yang lembut, atau mulutnya yang memiliki bibir yang mempesonakan.
“Aih, Gan-toako, kita segolongan dan aku sudah merasa akrab dengan enci Kim. Kiranya tidak perlu bersungkan-sungkan menyebut ia nona segala!” kata Sian Li yang wataknya terbuka dan jujur.
Bi Kim tersenyum dan memandang kepada pemuda itu.
“Li-moi berkata benar, Gak-toako. Aku pun merasa seolah-olah sudah mengenal kalian selama bertahun-tahun.”
Ciang Hun tersenyum girang.
“Baiklah, Kim-moi (adik Kim).”
“Enci Kim, engkau seorang gadis kota raja, lembut dan pandai, kenapa bersusah-susah bertualang seperti gadis kang-ouw? Kalau aku sendiri lain lagi, memang aku dari keluarga petualang, aku seorang gadis kang-ouw yang sudah biasa hidup berkelana. Tapi engkau....”
Bi Kim tersenyum dan memegang lengan Sian Li.
“Aih, jangan berkata seperti itu, Li-moi. Engkau lebih dalam segala-galanya dibandingkan aku, kenapa mesti memuji-muji aku? Engkau lebih lihai, engkau lebih cantik, lebih muda! Aku mendengar dari para guruku di kota raja tentang dunia persilatan yang luas, mendengar tentang tokoh-tokoh dunia persilatan, bahkan aku pernah mendengar nama besar Si Bangau Putih dan puterinya, Si Bangau Merah. Maka, aku tertarik dan ingin meluaskan pengalamanku dengan merantau.” Tentu saja Bi Kim tidak mau menceritakan bahwa kepergiannya adalah untuk mencari Yo Han, pemuda idamannya yang telah ditunangkan dengannya oleh neneknya. “Dan engkau sendiri, dari mana hendak ke mana, Limoi? Dan juga engkau, Gak-toako?”
“Panjang ceritanya,” kata Sian Li. “Beberapa pekan yang lalu diadakan pertemuan dari tiga keluarga besar Pulau Es, Gurun Pasir, dan Lembah Naga Siluman. Aku pun hadir dan dalam pertemuan itu, muncul puteri ketua Pao-bengpai yang menantang kami. Ia dapat dikalahkan dan pergi. Aku menjadi penasaran dan pergi menyelidiki Pao-beng-pai....”
“Dan karena aku mengkhawatirkan keselamatan siauw-moi Tan Sian Li, maka aku lalu mengejarnya dan berhasil, maka kami melakukan perjalanan bersama.” sambung Ciang Hun.
“Tapi aku mendengar berita bahwa Pao-beng-pai telah dibasmi oleh pasukan pemerintah,” kata Bi Kim.
“Benar, kami terlambat dan kami tidak dapat bertemu dengan gadis iblis itu, melainkan dengan ayahnya di sini.”
“Jadi kalian berdua saja berani datang mencari puteri ketua Pao-beng-pai? Itu berbahaya sekali! Baru ketuanya saja tadi sudah selihai itu. Apalagi kalau perkumpulan itu belum terbasmi dan terdapat banyak anak buahnya.” kata Gan Bi Kim kagum akan keberanian dua orang itu.
“Aku bukan hanya menyelidiki Pao-beng-pai, enci Kim. Sebetulnya, penyelidikan terhadap Pao-beng-pai hanya sambil Lalu saja yang terutama sekali kepergianku adalah untuk mencari Han-koko.”
Sian Li berhenti sebentar sambil memandang kepada Gak Ciang Hun yang nampak tenang saja karena pemuda ini sudah pernah mendengar pengakuan Si Bangau Merah.
“Han-koko? Siapa itu Han-koko?” tanya Bi Kim tersenyum.
Sian Li baru ingat bahwa Bi Kim sama sekali tidak mengenal kekasihnya itu, dan sebagai seorang gadis yang tidak merasa perlu merahasiakan hubungannya dengan Yo Han terhadap seorang sahabat yang dipercayanya, ia pun tertawa.
“Aih, aku sampai lupa bahwa engkau belum mengenal Han-ko, enci Kim. Dia berjuluk Sin-ciang Tai-hiap (Pendekar Tangan Sakti) bernama Yo Han.... eh, engkau kelihatan terkejut, apakah engkau sudah mengenalnya, Enci?”
“Tentu saja aku terkejut,” Bi Kim tersenyum menahan debaran jantungnya, “Siapa yang tidak pernah mendengar akan nama besar Sin-ciang Tai-hiap? Dan engkau menyebutnya Han-koko? Agaknya engkau mempunyai hubungan yang erat dengan dia. Masih ada hubungan keluargakah, Li-moi?”
Sian Li tersenyum dan tiba-tiba saja kedua pipinya menjadi kemerahan dan sambil menundukkan mukanya dengan tersipu ia berkata,
“Boleh dibilang begitulah karena dia.... dan aku.... kami saling mencinta dan mengharapkan kelak menjadi suami isteri.”
Karena mukanya ditundukkan ketika mengatakan itu, Sian Li tidak melihat betapa mata Bi Kim terbelalak, mukanya pucat napasnya terengah sejenak. Bahkan ia lalu menunduk dan mengusapkan tangannya ke arah kedua matanya untuk mengusir cepat dua titik air matanya.
Akan tetapi, Ciang Hun yang sejak tadi mengamatinya, melihat perubahan ini dan diam-diam dia pun merasa terkejut dan heran, hatinya menduga-duga. Ketika Sian Li mengangkat muka memandang kepada sahabat barunya itu, Bi Kim sudah dapat menguasai perasaan hatinya. Baru saja ia mengalami guncangan batin yang hebat.
Siapa orangnya tidak akan merasa seperti ditikam jantungnya kalau mendengar pengakuan seorang gadis yang dikaguminya bahwa gadis itu saling mencinta dengan pria yang selama ini dicari dan dirindukannya karena pria itu adalah tunangannya! Menurut gejolak hatinya, ingin ia marah-marah kepada Sian Li. Akan tetapi ia lalu mengingat-ingat kembali, membayangkan sikap Yo Han terhadap dirinya. Pemuda yang ditunangkan dengannya oleh neneknya itu belum pernah menyatakan cinta kepadanya, bahkan minta waktu untuk dapat memberi jawaban dan mengambil keputusan tentang niat neneknya menjodohkan mereka.
“Kau kenapakah, enci Kim? Kelihatan termenung.” kata Sian Li.
Bi Kim mengangkat muka memandang kepadanya dan tersenyum manis! Lalu ia menggelengkan kepalanya.
“Tidak apa-apa, adik manis, hanya aku merasa terharu mendengar bahwa pendekar wanita Bangau Merah saling mencinta dengan Pendekar Tangan Sakti. Li-moi, melihat usiamu yang masih muda, tentu belum lama engkau berkenalan dengan Pendekar Tangan Sakti.”
Sian Li memandang Bi Kim dengan lucu dan tertawa terkekeh.
“Hi-hi-hik, engkau keliru sama sekali, enci Kim. Usiaku memang baru delapan belas tahun, akan tetapi aku telah berkenalan dan akrab dengan Han-ko sejak aku berusia empat tahun!”
Bi Kim terbelalak, memandang kepada Gak Ciang Hun, lalu menatap lagi wajah Sian Li.
“Aku.... aku tidak mengerti....” katanya bingung.
Sian Li tersenyum dan memegang lengan Bi Kim.
“Tidak perlu heran, enci Kim. Ketahuilah, ketika aku berusia empat tahun, Han-ko ikut orang tuaku, bahkan menjadi murid ayah dan ibu. Kemudian kami berpisah dan baru belasan tahun kemudian kami saling bertemu kembali dan langsung kami saling jatuh cinta, maksudku.... sejak kanak-kanak pun kami sudah saling mencinta, walaupun sifat cinta itu berubah.”
Kembali sepasang pipi itu menjadi merah sekali, semerah warna pakaiannya. Setelah mendengar semua itu tahulah Bi Kim bahwa tidak mungkin ia dapat mengharapkan Yo Han menjadi calon jodohnya. Bukan Sian Li yang merampas tunangannya. Gadis ini dan Yo Han sudah saling mencinta, bahkan sejak kecil! Kalau ia berkeras mempertahankan usul neneknya mengenai perjodohan itu, berarti ialah yang merampas kekasih orang!
Keangkuhan yang timbul dari harga dirinya sebagai seorang dari keluarga bangsawan, membuat Bi Kim dapat menekan perasaannya dan saat itu juga ia sudah mematahkan hubungan batinnya dengan Yo Han. Ia tidak boleh dan tidak akan suka mencinta Yo Han yang telah menjadi kekasih si Bangau Merah! Untuk mengalihkan perhatian dan melupakan rasa nyeri seperti ada pisau menikam ulu hatinya, Bi Kim bertanya dengan suara heran,
“Adik manis, kenapa engkau mencari kekasihmu itu? Dan kenapa pula dia meninggalkanmu?”
Pertanyaan yang wajar saja dari seorang gadis kepada gadis lain, walaupun sesungguhnya pertanyaan itu mengandung keinginan untuk mengetahui lebih jelas tentang hubungan antara Sian Li dan Yo Han.
“Ahhh, banyak sekali yang menyebabkannya, Enci dan sebetulnya hal ini merupakan rahasiaku.”
“Siauw-moi, aku merasa lelah dan mengantuk. Bagaimana kalau engkau lanjutkan percakapanmu dengan adik Bi Kim saja, dan aku beristirahat lebih dulu?” kata Ciang Hun yang merasa tidak enak karena agaknya kehadirannya hanya akan membuat canggung dua orang gadis itu bercakap-cakap secara akrab.
Sian Li tersenyum dan mengangguk, diam-diam merasa terharu dan juga senang karena pemuda itu sungguh tahu diri dan dapat memaklumi keadaan dirinya. Ia selalu merasa tidak enak kepada Ciang Hun kalau di depan pemuda itu harus menceritakan segala hal mengenai Yo Han, padahal Ciang Hun mencintanya.
“Gak-toako seorang pemuda yang bijaksana dan baik sekali, aku amat kagum dan menghormatinya, apalagi di antara dia dan aku masih ada hubungan kekeluargaan, maksudku dia masih keturunan keluarga perguruan Pulau Es, sedangkan kakekku keturunan keluarga Gurun Pasir dan nenekku keluarga Pulau Es.” kata Sian Li kepada Bi Kim setelah mereka tinggal berdua saja.
“Aku pun kagum kepadanya. Dia seorang pemuda yang lihai, pendiam dan sopan,” kata Bi Kim. “Akan tetapi, kalau engkau enggan menceritakan tentang dirimu dan kekasihmu, aku pun tidak akan memaksamu, Li-moi.”
“Ah, tidak sama sekali, Enci. Kepadamu aku tidak merasa sungkan atau enggan untuk menceritakan, hanya kalau ada Gak-toako...., aku tidak tega untuk banyak bercerita tentang Han-koko dan aku....”
“Tidak tega?” Bi Kim memandang penuh selidik, terheran-heran, “Kenapa tidak tega?”
“Karena dia mencintaku, enci Kim. Dan aku tentu saja tidak dapat membalas cintanya, walaupun aku suka dan hormat kepadanya. Aku sudah menceritakan tentang hubunganku dengan Han koko, dan Gak-twako dapat menerima kenyataan itu dengan hati lapang. Dia bijaksana sekali! Dan aku tidak ingin menyinggung perasaannya kalau banyak bercerita tentang Han-ko di depannya.”
Bi Kim semakin terheran-heran dan kagum. Dara ini sungguh luar biasa, pikirnya. Begitu jujur, begitu terbuka!
“Aih, kasihan dia kalau begitu, Li-moi. Pahit sekali memang kalau orang bertepuk sebelah tangan dalam soal asmara. Nah, sekarang ceritakan, kenapa engkau saling berpisah dengan kekasihmu?”
Sian Li bercerita. Tanpa tedeng aling-aling lagi. Diceritakannya tentang ayah ibunya yang agaknya tidak menyetujui hubungan cintanya dengan Yo Han, bahkan ayah ibunya telah memilihkan jodoh untuknya, yaitu seorang pangeran!
“Akan tetapi aku tidak mau, Enci. Aku tidak sudi dijodohkan dengan pangeran itu, walaupun pangeran itu terkenal gagah dan tampan, kabarnya pandai ilmu silat juga.”
“Siapakah pangeran itu? Mungkin aku sudah tahu.”
“Dia Pangeran Cia Sun.”
Diam-diam Bi Kim semakin heran dan terkejut. Tentu saja ia tahu siapa pangeran itu. Seorang pangeran yang menjadi pujaan hampir semua gadis di kota raja. Setiap orang gadis merindukannya dan mengharapkan menjadi isterinya! Bahkan ia sendiri, sebelum ditunangkan dengan Yo Han, pernah beberapa kali melihat pangeran itu dan ia sendiri pun merasa terpikat! Dan gadis ini.... Si Bangau Merah ini, malah menolak dijodohkan dengan Pangeran Cia Sun. Bukan main!
“Hem, menurut penilaianku, dia seorang pangeran yang baik sekali, berbeda dengan para pangeran lainnya. Dia tidak congkak, manis budi dan dekat dengan rakyat.”
“Biar seratus kali lebih baik dari itu, aku tidak sudi, Enci. Aku hanya mau berjodoh dengan Han-ko! Nah, ketika ayah dan ibu mengajakku menghadiri pertemuan tiga keluarga besar, aku mengharapkan dapat bertemu dengan Han koko di sana. Akan tetapi ternyata dia tidak ada. Lalu muncul puteri ketua Paobeng-pai membuat kekacauan dan menantang-nantang kami. Setelah ia dapat diusir pergi, aku lalu diam-diam meninggalkan ayah ibu karena aku ingin mencari Han-koko dan menyelidiki Pao-beng-pai. Sebetulnya, aku ingin membatalkan niat ayah dan ibu mempertemukan aku dengan pangeran itu di kota raja, dan mencari Han-koko sampai dapat.”
“Kemana sih perginya kekasihmu itu, Li-moi?” tanya Bi Kim, diam-diam merasa heran dan geli juga melihat betapa ada persamaan antara ia dan Si Bangau Merah ini.
Ia pun sedang mencari-cari Yo Han seperti yang dilakukan Sian Li. Hanya bedanya, ia mencari pemuda itu sebagai tunangan, sedangkan Sian Li sebagai kekasih! Amat besar bedanya memang, dan kenyataan ini menikam hatinya. Pertunangannya belum resmi itu atas kehendak neneknya, sedangkan saling mencinta tentu saja atas kehendak mereka yang bersangkutan!
“Han-koko menerima tugas berat, yaitu mencari puteri Pendekar Suling Naga Sim Houw yang hilang diculik orang sejak anak itu masih kecil sekali, baru dua tiga tahun usianya. Sampai sekarang, dua puluh tahun lebih sudah berlalu dan tak pernah ada berita tentang anak itu. Semua usaha yang dilakukan Pendekar Suling Naga dan isterinya tidak berhasil. Bahkan andaikata anak itu ditemukan juga, anak itu tidak mengenal orang tua kandungnya, dan suami isteri itu pun tidak akan dapat mengenal puteri mereka. Dan Han-koko bertugas mencari anak yang hilang itu!”
“Aih, betapa sukarnya tugas itu. Bagaimana mungkin dapat mencarinya kalau tidak pernah melihat anak yang kini tentu telah menjadi seorang gadis dewasa itu?” kata Bi Kim yang ikut merasa prihatin mendengar betapa tunangannya, pria yang dicintanya akan tetapi yang mencinta gadis lain itu dibebani tugas yang demikian sulitnya. “Andaikata dapat menemukan gadis itu, bagaimana dapat yakin bahwa ia adalah anak yang hilang itu?”
“Memang ada ciri khasnya, Enci. Menurut keterangan orang tuanya, anak itu memiliki dua buah tanda yang khas, yaitu sebuah tahi lalat hitam di pundak kirinya dan sebuah noda merah di telapak kaki kanannya. Nah, kurasa di dunia ini tidak ada dua orang yang memiliki tanda-tanda yang serupa seperti itu!”
“Aku akan ingat ciri itu, Li-moi, agar aku dapat membantu mencarinya.”
“Terima kasih, enci Kim. Engkau baik sekali. Aku merasa bingung harus ke mana mencari kekasihku itu. Aku amat merindukannya, Enci, dan dia tentu akan berbahagia sekali kalau dapat mencari gadis itu bersamaku.”
Tanpa disadarinya, ucapan itu menikam ulu hati Bi Kim yang segera berpamit untuk beristirahat di kamarnya. Mereka bertiga mendapatkan masing-masing sebuah kamar di keluarga Lurah So yang amat menghormati tiga orang pendekar itu.
Bi Kim rebah di atas pembaringan kamarnya, menelungkup dan menangis menahan isak agar jangan sampai suara tangisnya terdengar oleh orang lain di luar kamar. Ia merasa hatinya seperti diremas-remas, pedih dan perih bukan main rasanya. Ingatannya melayang-layang pada segala peristiwa yang lalu, ketika untuk pertama kali ia bertemu dengan Yo Han.
Pertama kali Yo Han datang berkunjung ke rumah keluarga ayahnya sebagai murid mendiang paman-kakeknya Ciu Lam Hok, keluarga ayahnya sedang dilanda malapetaka. Ayahnya yang menjadi penanggung jawab gedung pusaka kerajaan, diancam hukuman berat karena banyak benda pusaka penting hilang dicuri orang.
Yo Han menyelidiki dan ternyata yang melakukan pencurian adalah Coan-ciangkun yang sengaja melakukan hal itu untuk memaksa keluarga Gan menyerahkan ia untuk menjadi isteri panglima itu. Yo Han berhasil menyelamatkan Gan Seng, ayahnya dan dalam keadaan berbahagia itu, neneknya yang bersembahyang di depan meja sembahyang paman-kakeknya, menetapkan perjodohannya dengan Yo Han!
Semua itu terbayang kembali olehnya. Ikatan pertunangan itu pula yang mendorongnya untuk dengan tekun tanpa mengenal waktu, melatih diri dengan ilmu silat dari guru-guru silat yang pandai dari istana atas bantuan ayahnya sehingga kini ia menguasai ilmu kepandaian silat yang lumayan. Semua itu dilakukannya demi cintanya kepada Yo Han yang dianggap calon suaminya. Calon suaminya seorang pendekar besar, maka akan janggallah kalau ia tidak mengerti ilmu silat sama sekali. Kemudian, karena merasa rindu kepada tunangannya itu yang tak kunjung datang, ia lalu meninggalkan rumah orang tuanya dan pergi mencari Yo Han!
Dan sekarang, Si Bangau Merah Tan Sian Li yang mengagumkan hatinya itu mengaku terus terang bahwa Sian Li saling mencinta dengan Yo Han, bahkan hubungan mereka jauh lebih dahulu daripada pertemuannya dengan pemuda itu. Pantas saja Yo Han belum dapat menerima usul perjodohan yang diajukan neneknya! Kiranya pemuda itu telah mempunyai seorang kekasih!