Ads

Kamis, 14 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 158

Suma Hoat tidak membohong ketika dia bercerita kepada Maya. Memang sore hari itu dia telah menyelidik ke istana Pangeran Ciu Hok Ong. Sayang bahwa ketika dia sudah mendengar sebagian dari percakapan antara Pangeran Ciu dan Koksu negara bersama panglima-panglima tinggi, tiba-tiba dia diserang seorang pengawal berpakaian preman yang amar lihai. Tentu saja Suma Hoat tidak mampu menandingi pengawal itu dan terpaksa melarikan diri dengan membawa luka karena pengawal itu bukan lain adalah Kam Han Ki!

Akan tetapi, pada waktu Pangeran Ciu bersama Bu-koksu mengadakan perundingan di pondok taman yang didirikan di atas telaga buatan itu, ada seorang manusia lain yang juga diam-diam mengintai dan mencuri dengar percakapan orang-orang besar ini. Dia bukan lain adalah Ok Yan Hwa yang bekerja sebagai dayang dalam istana Pangeran Ciu Hok Ong.

Bedanya, kalau Suma Hoat mengintai dengan bersembunyi di atas wuwungan pondok sehingga dia terlihat dan diserang oleh Kam Han Ki, dara perkasa ini lebih cerdik dan dia bersembunyi di bawah pondok, menyelam ke dalam air, berpegang pada tiang pondok dan hanya menyembulkan kepalanya sambil bersembunyi di balik tiang, mendengar percakapan orang-orang yang duduk di atas papan pondok. Karena keadaan di kolong pondok itu gelap, tentu saja tempat persembunyian Yan Hwa ini lebih aman sehingga Kam Han Ki yang amat lihai itu sendiri pun tidak dapat melihatnya.

Seperti juga Suma Hoat, Yan Hwa dapat menangkap percakapan antara Pangeran Ciu dan Bu-koksu tentang rencana mereka untuk menjebaknya dan menghancurkan pasukan Mancu. Dia menjadi girang sekali karena hari itu adalah hari terakhir dan besok pagi-pagi dia sudah harus meninggalkan tempat ini untuk mengadakan pertemuan dengan kawan-kawannya, maka hasil pengintaiannya itu dapat mendengarkan rahasia yang amat penting bagi pasukan Mancu. Akan tetapi, betapa terkejutnya ketika ia melihat bayangan berkelebat dan seorang laki-laki tampan berdiri di depan Bu-koksu sambil berkata tenang,

"Bu-loheng, aku telah mengusir seorang mata-mata yang tadi mengintai disini."

"Eh, mengapa kau usir dan tidak kau tangkap atau bunuh?" Koksu Bu Kok Tai bertanya, tidak puas.

"Dia lihai sekali, Loheng. Akan tetapi dia sudah terluka oleh sebuah pukulanku."

"Siapakah dia? Apakah kau mengenal dia?"

"Tempatnya gelap, dia bersembunyi di belakang wuwungan, Loheng. Aku hanya melihat dia dalam cuaca remang-remang, dia masih muda dan tampan, akan tetapi aku tidak mengenalnya."

"Kam-siauwte, engkau telah berjasa. Harap kau suka melakukan penyelidikan ke kota, jangan sampai ada mata-mata musuh dapat menyelundup masuk ke kota Siang-tan ini."

"Baiklah, Loheng." Setelah berkata demikian, pemuda itu berkelebat dan lenyap dari situ.

Ok Yang Hwa masih memeluk tiang di bawah pondok itu, wajahnya pucat dan dia menggigil. Bukan menggigil karena kedinginan yang dapat dilawannya dengan pengerahan sin-kangnya, melainkan menggigil karena ketakutan!

Ok Yan Hwa murid Mutiara Hitam, menggigil ketakutan? Memang benar demikian dan hal ini tidaklah aneh karena dara perkasa itu tadi mengenal Si Pemuda yang menghadap Bu-koksu sebagai Kam Han Ki! Perasaan terheran-heran melihat adik sepupu gurunya itu kini membantu Koksu Negara Sung, bercampur dengan rasa ngeri dan takut karena kalau sampai Kam Han Ki melihatnya, tentu dia celaka. Paman gurunya lebih lihai daripada Maya, pernah menundukkan dia dan suhengnya di medan pertempuran, bahkan memperingatkan mereka berdua agar meninggalkan barisan Mancu.

Karena telah mendengar rahasia penting dan hatinya gentar setelah melihat Kam Han Ki, Yan Hwa lalu menyelam, berenang di bawah permukaan air tanpa menimbulkan suara, meninggalkan tempat itu dan langsung dia menghubungi suhengnya, Can Ji Kun yang menyelundup dan bekerja sebagai tukang kuda.

Isyarat suitan yang dikeluarkan Yan Hwa segera mendapat balasan dan tak lama kemudian kedua orang kakak beradik seperguruan, juga sepasang kekasih ini, sudah saling berhadapan di belakang kandang kuda yang gelap. Ji Kun segera merangkul Yan Hwa dan dia berbisik kaget,

"Aihhh.... kenapa pakaianmu basah semua?"






"Aku baru saja menyelidiki perundingan di pondok telaga dengan hasil baik," Yan Hwa balas berbisik.

"Engkau tentu kedinginan. Hayo masuk ke kamarku, tanggalkan pakaian basah ini dan kuhangatkan...."

"Hushhh, itu saja yang kau pikirkan, suheng. Dengarlah, kita harus pergi dari sini, sekarang juga!"

"Kenapa? Kau kelihatan ketakutan, sumoi."

"Memang aku takut setengah mati. Kau tahu.... Kam-susiok berada disini, dia menjadi pengawal Bu-koksu!"

Can Ji Kun membelalakkan matanya.
"Apa? Kam-susiok? Kau maksudkan dia.... Kam Han Ki penghuni Istana Pulau Es?"

Yan Hwa mengangguk dan dengan singkat menceritakan semua pengalamannya ketika dia mengintai tadi.

"Karena itulah, kita harus sekarang juga meninggalkan tempat ini. Besok adalah hari yang menentukan bagi kita untuk berkumpul di dalam kuil tua di luar kota. Aku telah mendengar rahasia yang amat penting itu, terutama sekali kehadiran Kam-susiok disini tentu akan menarik perhatian Maya. Dan kau sendiri tentu sudah mendapatkan banyak keterangan. Selagi gelap begini, akan berkuranglah bahayanya untuk melarikan diri. Mudah-mudahan saja jangan sampai bertemu dengan Kam-susiok!" Yan Hwa bergidik ngeri karena dia takut sekali kepada adik gurunya itu.

"Baiklah kalau begitu, Sumoi. Nih pedangmu, simpanlah!" Yan Hwa menerima pedangnya yang ia titipkan kepada suhengnya ketika mereka menjalankan siasat menyelundup kota bersama rombongan siuli, "Akan tetapi, engkau harus berganti pakaian lebih dulu. Pakaianmu basah kuyup begini."

"Tidak ada waktu untuk kembali ke istana. Kalau ada yang melihat pakaianku tentu akan menimbulkan kecurigaan. Sudahlah, basah begini pun tidak apa-apa, Suheng."

"Bagimu tidak apa-apa, akan tetapi kalau engkau sakit, akulah yang akan kehilangan!" Ji Kun berkata, "Tidak, engkau harus berganti pakaian kering. Biarlah engkau memakai pakaianku saja."

Yan Hwa tidak membantah lagi dan dengan belaian-belaian mesra, Ji Kun membantunya menanggalkan pakaian basah dan mengenakan pakaian kering yang tentu saja terlalu besar bagi Yan Hwa.

Dalam keadaan seperti itu, mereka tiada ubahnya sepasang suami isteri muda yang saling mencinta. Kalau Yan Hwa yang masih ketakutan mengingat kehadiran Kam Han Ki tidak menolaknya, tentu Ji Kun akan melepas rindunya terhadap sumoinya atau kekasihnya itu.

Mereka lalu menyelundup keluar dari lingkungan istana, melalui tembok belakang yang tidak jauh dari kandang-kandang kuda dimana Ji Kun bekerja. Dengan kepandaian mereka, kedua orang murid Mutiara Hitam ini berhasli meloncat keluar tanpa dilihat para peronda dan penjaga. Mereka meloncat dan berlarian di atas genteng rumah rumah penduduk kota dengan hati-hati sekali dan legalah hati mereka melihat bahwa di atas rumah-rumah itu tidak nampak penjaga-penjaga.

"Kita harus menghubungi Kwa-huciang dan Theng-ciangkun lebih dulu," kata Ji Kun. "Kemarin aku telah berhasil menghubungi mereka."

"Apakah mereka masih menyamar sebagai pengemis?"

"Benar, dan mereka bersembunyi di kolong jembatan Ayam Besi di sebelah utara, bersama para pengemis lainnya. Kita harus membantu mereka keluar dari kota. Marilah!"

Akan tetapi ketika mereka melompat ke atas genteng sebuah rumah besar, tiba-tiba muncul empat bayangan orang-orang yang tadinya bersembunyi dengan mendekam di balik wuwungan. Mereka adalah empat orang pengawal yang memegang pedang dan seorang di antaranya membentak,

"Berhenti! Siapa kalian berdua?"

Kedua orang murid Mutiara Hitam itu menjawab dengan gerakan pedang yang telah mereka cabut dari sarungnya. Gerakan mereka cepat bukah main dan keduanya seperti berlumba, tampak sinar kilat berkelebat dan empat orang pengawal itu telah roboh dan tewas seketika. Kakak beradik seperguruan ini masing-masing merobohkan dua orang!

"Tangkap penjahat....!"

Kini muncullah belasan orang pengawal yang berloncatan dari empat penjuru, dan kedua orang muda perkasa itu sudah dikurung. Terjadilah pertempuran seru di atas genteng.

"Cepat, kita harus pergi dari sini!" Ji Kun berkata sambil mengelebatkan pedangnya.

Para pengawal yang datang mengeroyok ini memiliki kepandaian lumayan sehingga terdengarlah bunyi berdencing nyaring ketika Sepasang Pedang Iblis di tangan Ji Kun dan Yan Hwa mengamuk, mematahkan senjata-senjata lawan yang menghujani mereka dengan serangan dahsyat. Dua orang pengawal roboh lagi, akan tetapi kini tampak banyak sekali pengawal berloncatan.

Ji Kun dan Yan Hwa maklum bahwa kalau pasukan pengawal dikerahkan, mereka akan menghadapi bahaya besar dan akan sukar sekali untuk dapat meloloskan diri. Apalagi kalau mereka teringat kepada Kam Han Ki, mereka merasa ngeri. Maka sambil memutar pedang yang mengeluarkan hawa menyeramkan dan sinar kilat sehingga para pengeroyok menjadi gentar, keduanya meloncat ke depan, berdiri di atas genteng dan dikejar oleh para pengawal.

Terdengar bunyi suitan-suitan dari para pengawal yang memberi tanda bahaya sehingga dari mana-mana muncullah para penjaga yang tadinya melakukan penjagaan sambil bersembunyi.

Melihat betapa dari depan, kanan, kiri muncul pula banyak pengawal, Ji Kun dan Yan Hwa lalu meloncat turun. Seperti juga di atas, di bawah sudah terdapat banyak pengawal yang segera menyambut dan mengurung mereka. Ji Kun dan Yan Hwa mengamuk dan seperti biasa, pedang mereka seolah-olah berubah menjadi naga kilat, sepasang naga yang amat dahsyat dan mereka berlumba membunuhi para musuh yang mengeroyok mereka.

"Sing-sing.... crat-crat....! Delapan orang, Suheng!"

Yan Hwa berseru ketika tubuhnya mencelat ke atas dan pedangnya menyambar ke bawah, merobohkan dua orang pengeroyok yang hampir putus leher mereka terbabat pedang Li-mo-kiam di tangannya. Ucapannya itu berarti bahwa sudah delapan orang yang dirobohkannya.

Ji Kun menggulingkan tubuhnya, pedangnya membabat ke sekelilingnya.
"Wuuuttt, crok-crok....! Sembilan orang Sumoi!" katanya gembira karena dia menang satu orang.

Yan Hwa penasaran dan pedangnya diputar makin hebat. Kedua orang itu kini telah lupa akan bahaya, lupa akan menyelamatkan diri, bahkan lupa bahwa mereka tadi khawatir sekali akan munculnya Kam Han Ki. Mereka telah berubah menjadi dua orang yang haus darah, ingin berlumba berbanyak-banyaknya dalam membunuh musuh!

Tiba-tiba terjadi kekacauan diantara para pengeroyok dan ternyata tiga puluh orang lebih yang berpakaian pengemis, mengamuk dan menyerang para pengawal itu. Keadaan menjadi kacau-balau dan tiba-tiba Ji Kun dan Yan Hwa melihat Kwa-huciang dan Theng-ciangkun muncul dekat mereka.

"Cepat, ikut kami....!" bisik Kwa-huciang memberi isyarat dengan tangannya.

Ji Kun dan Yan Hwa maklum bahwa kalau mereka menuruti nafsu hati berlumba membunuhi musuh, akhirnya mereka akan terjebak dan sukar sekali meloloskan diri, maka mereka segera menyelinap dan mengikuti Kwa-huciang dan Theng-ciangkun yang agaknya memang sudah merencanakan pelarian ini.

Menggunakan kekacauan karena para pengemis menyerbu para pengawal, empat orang mata-mata ini berlari dan melalui lorong-lorong gelap, akhirnya mereka itu dapat lolos dari kota dengan jalan merobohkan beberapa orang penjaga tembok kota yang sunyi dan kurang kuat penjagaannya, meloncat ke atas tembok dan menggunakan tali yang sudah disediakan untuk keluar.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar