Ads

Kamis, 14 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 157

Maya duduk termenung di dalam pondok dimana dia bersembunyi. Hari telah hampir malam dan dia menanti kedatangan Suma Hoat. Telah empat hari dia berada di tempat persembunyiannya ini dan selama empat hari itu, dia mendengar banyak dari Suma Hoat.

Dia sendiri pun setiap malam keluar melakukan penyelidikan, namun harus dia akui bahwa tanpa bantuan keterangan-keterangan yang amat penting dari pemuda itu, akan sukarlah baginya menyelidiki keadaan musuh. Penjagaan amat ketatnya dan kini dia mendengar dari Suma Hoat bahwa benteng kota Siang-tan ini benar-benar amatlah kuatnya, jauh berbeda dengan kota Sian-yang.

Bahkan dia mendengar dari Suma Hoat bahwa benteng itu sedang mendatangkan barisan bantuan dari selatan untuk menghadapi ancaman pasukan-pasukan Mancu yang telah menduduki Sian-yang. Dengan barisan bantuan itu, jumlah pasukan Sung menjadi lebih besar daripada pasukan Mancu dan Maya berpikir bahwa untuk menyerbu ke Siang-tan, pasukan Mancu harus mendatangkan bala bantuan juga.

Suma Hoat banyak membantunya dan diam-diam dia merasa berterima kasih kepada pemuda itu. Pemuda musuh besarnya karena bukankah pemuda itu putera Suma Kiat? Namun, harus dia akui bahwa di dalam hatinya, dia tidak membenci Suma Hoat. Bahkan sebaliknya, dia merasa kagum dan suka kepada pemuda itu yang jelas menaruh hati cinta kepadanya. Hal ini mudah saja dia lihat dari pandang matanya, dari sikap dan gerak-geriknya, dari suara dan dari senyumnya.

Teringat akan hal ini, Maya menarik napas panjang karena terbayanglah wajah satu-satunya orang yang dicintanya, wajah Kam Han Ki.

"Aihhh, Suheng. Banyak pria yang jatuh cinta kepadaku, akan tetapi mengapa engkau seorang yang kuharapkan, bahkan mengecewakan hatiku?"

Teringat akan suhengnya, Maya menundukkan mukanya dan perasaan rindu dendam mencekam hatinya, membuatnya menggigit bibir menahan tangis.

Gerakan orang memasuki rumah itu menyadarkannya dan ia cepat meloncat bangun. Bukan Suma Hoat, pikirnya. Pemuda itu memiliki gerakan yang ringan, akan tetapi pendatang ini langkah kakinya berat! Langkah itu terdengar makin berat dan akhirnya terdengar suara orang roboh. Maya cepat meloncat ke ruangan depan dan betapa kagetnya melihat Suma Hoat rebah di lantai dalam keadaan pingsan!

Maya cepat berlutut memeriksa dan segera melihat bahwa pernuda ini telah menderita luka oleh pukulan yang hebat, yang membuat tubuhnya dingin sekali dan dada kanannya membiru. Cepat ia memondong tubuh pemuda itu, membawanya ke dalam kamar tidur dan merebahkannya di atas pembaringan.

Sekali renggut robeklah baju yang menutup dada Suma Hoat dan setelah memeriksa sebentar, tahulah Maya bahwa pemuda itu terkena pukulan yang mengandung hawa Im-kang kuat sekali dan tentu nyawanya akan terancam maut kalau tidak cepat ditolong.

Maka dia lalu duduk bersila di atas pembaringan, menempelkan telapak kanannya di dada kanan pemuda itu sambil mengerahkan hawa sin-kang dari pusarnya melalui lengan. Untuk melawan luka akibat pukulan Im-kang itu, dia mengobatinya dengan pengerahan Yang-kang. Mula-mula hawa yang hangat memasuki tubuh Suma Hoat, kehangatan yang makin lama menjadi makin panas mengusir hawa dingin yang dideritanya semenjak dia terkena pukulan itu.

Setelah lewat dua jam lebih, barulah wajah Suma Hoat yang pucat menjadi kemerahan dan napasnya menjadi normal kembali. Ketika dia membuka matanya perlahan dan melihat tangan Maya menempel di dadanya, merasakan betapa hawa yang panas memasuki dadanya, mendatangkan rasa hangat mengusir rasa dingin yang hampir merenggut nyawanya tadi, Suma Hoat menjadi terharu sekali. Dia menggerakkan tangan, meraba lengan Maya, membelai lengan itu dan berbisik,

"Aku.... aku cinta padamu...."

Maya yang sedang rindu kepada suhengnya, selama mengobati tadi dia mendapatkan kesempatan untuk mengamati wajah pemuda ini dan jantungnya berdebar, menggelora. Wajah pemuda itu tampan sekali membuat hatinya amat tertarik. Diantara pemuda yang pernah menyatakan cinta kasih kepadanya, harus ia akui bahwa Suma Hoat merupakan pria yang paling tampan.

Gejolak darah masa dewasa membuat muka Maya merah sekali, apalagi ketika mendengar bisikan Suma Hoat mengaku cinta begitu pemuda itu siuman, membuat jantungnya berdebar keras dan dia menarik kembali tangannya yang tadi dipakai mengobati dada pemuda itu agar belaian pada lengan yang membuat lengannya gemetar itu tidak sampai diketahui Suma Hoat.

"Suma Hoat, apa yang kau lakukan ini?"

Maya membentak, akan tetapi seluruh tubuhnya terasa lemas sekali, bukan hanya karena dia tadi lama mengerahkan tenaga untuk mengobati pemuda itu, melainkan terutama sekali karena debar jantungnya membuat dia merasa aneh dan lemas, seperti dilolosi seluruh urat dari tubuhnya.






"Nona.... engkau telah menolong nyawaku, dan karena aku tidak tahan untuk menyimpan perasaan hatiku lebih lama, biarlah sekarang aku mengaku dan aku akan rela andaikata engkau marah dan membunuhku. Nona, semenjak pertama kali aku memandangmu, aku telah jatuh cinta kepadamu. Aku membantumu karena cinta...."

Maya seperti terkena pesona. Seluruh tubuhnya gemetar dan kedua matanya basah ketika pemuda itu kembali memegang lengannya yang dahaga akan cinta kasih, rindu dendamnya yang selalu ditahan-tahannya terhadap suhengnya, membuat hatinya seolah-olah menjadi sebatang tanaman kering. Kini sikap dan bisikan Suma Hoat yang penuh getaran cinta kasih, seolah-olah merupakan embun pagi bagi hatinya, sejuk dan menyenangkan.

"Nona, aku cinta padamu.... aku bersumpah, aku mencintamu dengan hati tulus dan murni...."

Maya memejamkan matanya, tubuhnya yang lemas itu menurut saja ketika ditarik dan terdengar rintih perlahan dari dadanya ketika ia merasa betapa tubuhnya dipeluk erat-erat, kemudian napasnya berhenti menjadi sedu-sedan ketika ia merasa betapa mulutnya dicium penuh kemesraan oleh Suma Hoat.

Seperti dalam mimpi, kedua lengannya bergerak, membalas rangkulan pemuda itu dan pada saat itu Maya yang rindu akan cinta kasih itu seperti tidak ingat bahwa yang memeluk dan menciuminya bukanlah pemuda yang dicintanya dan dirindukannya, bukanlah Kam Han Ki suhengnya, melainkan Suma Hoat, putera Suma Kiat musuh besarnya!

Selama ini, hanya kepada tiga orang wanita saja Suma Hoat benar-benar jatuh cinta. Pertama-tama adalah cinta kasihnya kepada Ciok Kim Hwa yang juga merupakan cinta pertamanya. Kedua kalinya adalah ketika dia berjumpa dengan Khu Siauw Bwee, dan ke tiga kalinya adalah kepada Maya inilah.

Kecuali tiga orang wanita itu, tidak ada lagi wanita yang benar-benar dicinta secara mendalam, bukan hanya cinta berahi belaka, seperti yang telah dia jatuhkan kepada banyak sekali wanita sehingga dia dijuluki Jai-hwa-sian. Dapat dibayangkan betapa bahagia hati Suma Hoat setelah dapat mendekap dan mencium mulut Maya. Dia merasa bahagia, mendapatkan pengganti Ciok Kim Hwa, pengganti Khu Siauw Bwee.

"Maya.... bidadariku, kekasih pujaan hatiku.... bumi dan langit menjadi saksi akan cinta kasihku kepadamu, Maya...."

Maya tersentak kaget. Tadi sebelum mendengar namanya disebut, dia hanyalah seorang gadis dewasa, seorang wanita yang haus akan cinta, yang menderita karena rindu sehingga dia terlena dalam dekapan Suma Hoat, pria tampan yang pandai merayu hati wanita itu.

Akan tetapi, begitu mendengar namanya disebut, dia sadar! Dia adalah Maya, panglima wanita pemimpin Pasukan Maut. Dia adalah Puteri Maya, puteri dari Raja dan Ratu Khitan yang sedang berjuang membalaskan kematian ayah bunda dan keluarganya! Dia adalah Maya, penghuni Istana Pulau Es, sumoi dari Kam Han Ki!

Sekali meronta, Maya telah merenggutkan tubuhnya dari pangkuan dan dekapan Suma Hoat dan dia sudah meloncat turun dari atas pembaringan. Mukanya berubah pucat, sepasang matanya bersinar-sinar ketika ia memandang Suma Hoat yang menjadi kaget dan khawatir menyaksikan perubahan sikap ini.

"Maya.... kekasihku, kenapa....?"

"Suma Hoat! Bagaimana engkau bisa mengenal namaku?"

Tiba-tiba Maya bertanya, suaranya penuh kecurigaan dan pandang matanya tajam menyelidik. Sejenak Suma Hoat kagum dan bengong, diam-diam ia harus mengakui bahwa belum pernah dia melihat gadis secantik Maya sehingga dalam keadaan seperti itu masih saja tampak cantik jelita, kecantikan yang aneh namun pada saat itu menguasai seluruh hatinya.

"Ahhh, kekasih pujaan hatiku, jadi itukah yang mengejutkan hatimu?" Suma Hoat tersenyum lebar. "Tentu saja aku dapat menduga. Pertama karena aku melihat bahwa wajahmu yang cantik seperti bidadari itu bukan wajah seorang gadis Han dan mengingat engkau bekerja untuk orang Mancu, tentulah engkau seorang gadis Mancu pula. Dan ilmu kepandaianmu demikian hebat. Siapa lagikah gadis secantik dan terlihai di Mancu kalau bukan Panglima Wanita Maya? Akan tetapi, kenyataan itu bahkan menggirangkan hatiku, Maya dewiku. Engkau seorang Panglima Mancu, aku seorang putera jenderal. Kita akan menjadi sepasang suami isteri yang cocok dan...."

"Cukup!"

Tiba-tiba Maya membentak dan melihat pandang mata gadis itu, Suma Hoat baru merasa terkejut sekali karena gadis itu benar-benar telah menjadi marah sekali.

"Maya.... ada apakah....? Mengapa engkau marah-marah....?" Suma Hoat turun pula dari pembaringan dan melihat perubahan yang amat menggelisahkan ini, dia yang cerdik cepat menceritakan jasanya untuk menyenangkan hati Maya. "Tidak cukupkah bukti yang kuperlihatkan dalam membantumu? Bukankah engkau sendiri yang tadi mengobati aku yang terluka hebat dan hampir tewas? Maya.... aku rela berkorban nyawa untukmu. Untuk memenuhi permintaanmu dan membantumu, aku tadi menyelidiki ke dalam istana Pangeran Ciu Hok Ong yang sedang mengadakan perundingan dengan Bu-koksu, dan aku mendapatkan sebuah rahasia rencana mereka yang amat penting bagimu!"

Suma Hoat memandang wajah Maya dengan hati gelisah karena gadis itu seolah-olah tidak mendengarnya, bahkan kini tampak penyesalan dan kemarahan membayang di wajah yang cantik itu. Maya merasa menyesal sekali, menyesalkan diri sendiri yang telah menjadi lemah dan membiarkan pemuda itu memeluk dan menciuminya. Betapa mungkin hal itu terjadi! Dia masih nanar kalau memikirkan kembali dekapan dan ciuman yang membuat darahnya menggelora tadi!

"Maya, dengarlah," Suma Hoat menyambung cepat, "Pangeran Ciu dan Koksu berunding dan mengambil keputusan untuk memancing pasukan Mancu meninggalkan Sian-yang menyerbu Siang-tan menggunakan saat itu untuk menyerbu dan merampas kembali Sian-yang dan mengurung pasukan antara kedua kota itu. Sial bagiku, dalam persembunyianku itu, aku ketahuan oleh seorang panglima pengawal Koksu yang amat lihai dan dalam beberapa gebrakan saja aku telah terpukul. Untung keadaan yang kacau memungkinkan aku melarikan diri dan kesini.... eh, Maya, bukankah sudah terbukti betapa aku rela mengorbankan apa saja untukmu?"

Maya menarik napas panjang.
"Terima kasih atas bantuanmu, Suma Hoat. Akan tetapi jangan kau mengira bahwa semua jasamu itu harus kubalas dengan cinta! Engkau telah mengetahui siapa aku. Aku adalah Puteri Maya, juga Panglima Maya, dan aku adalah penghuni Istana Pulau Es! Tak mungkin aku mencinta orang seperti engkau yang seharusnya kubunuh, karena engkau adalah putera Suma Kiat musuh besarku! Untuk bantuanmu itu, aku membalas dengan mengampunimu, tidak membunuhmu. Nah, selamat tinggal!"

"Maya....!"

Suma Hoat berteriak, kaget bukan main mendengar bahwa Maya adalah penghuni Istana Pulau Es! Dia mengejar, akan tetapi sekali berkelebat saja Maya telah lenyap dari situ.

"Ahhhh.... tidak.... tidak mungkin....!"

Suma Hoat menjatuhkan diri ke atas pembaringan setelah dia kembali ke kamar itu, hatinya seperti diremas, semua harapannya membuyar. Mengapa nasibnya seburuk itu dalam cinta kasih? Setelah gagal memperisteri Ciok Kim Hwa, setelah gagal meraih cinta kasih Khu Siauw Bwee, setelah semua harapannya tercurah kepada Maya dan melihat Maya berada dalam dekapannya mandah diciuminya, kini Maya terlepas dan terbang pula dari tangannya! Kembali dia gagal!

Tidak ada harapan lagi karena Maya ternyata adalah penghuni Istana Pulau Es yang tentu saja memiliki kepandaian yang amat luar biasa! Mengapa nasibnya bagitu buruk sehingga dia dipertemukan dengan dua orang dara penghuni Istana Pulau Es? Apakah seperti Siauw Bwee, Maya juga telah mencinta laki-laki lain? Ah, nasib!

Ketika Suma Hoat bangkit lagi, rambutnya awut-awutan karena dijambakinya, wajahnya pucat dan sepasang matanya kembali mengandung sinar yang keji, sinar yang telah lama meninggalkan matanya semenjak dia melukai Ketua Siauw-lim-pai, semenjak dia sadar akan kesesatannya.

Hatinya yang berkali-kali mengalami pukulan, kegagalan cinta, membuat perasaannya menjadi kecut dan kambuh kembalilah penyakitnya, penyakit yang membuat dia menjadi Jai-hwa-sian, penyakit yang membuat dia membenci wanita, ingin mempermainkan semua wanita, terutama mempermainkan cinta kasih mereka! Kalau dia menjadi sakit hati karena cintanya terhadap wanita, dia akan mempermainkan cinta kasih wanita.

Mulai detik itu juga, iblis mulai menguasai hati Suma Hoat lagi, seolah-olah Jai-hwa-sian yang beberapa bulan lamanya telah mati itu kini bangkit dan hidup kembali. Dan dengan beringas pemuda itu meloncat keluar meninggalkan rumah itu, kemudian di malam hari itu, di sebuah rumah besar, terdengarlah rintihan dari seorang gadis yang dipermainkannya, kemudian menjelang pagi terdengar jerit gadis itu yang mengantar nyawanya terbang meninggalkan tubuhnya yang setelah diperkosa lalu dibunuh oleh tangan Jai-hwa-sian!

**** 157 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar